Setiap orang pasti memiliki impian dengan hari pernikahan mereka. Begitu pula dengan seorang gadis bernama Layla Retara. Pernikahan mewah di sebuah hotel dengan gaun indah bak ratu dengan pria pujaan hatinya yang menjadi mempelai, itulah impian dari Layla. Walau terkadang dia juga pernah berpikir untuk tidak menikah sama sekali.
Tapi lihatlah apa yang terjadi saat ini. Kini dia berada di KUA bukan di hotel. Menikah dengan seseorang yang tidak pernah Layla bayangkan akan menjadi suaminya. Pernikahan yang sah setelah kedua mempelai menandatangani akte pernikahan. Tanpa sadar saat itu juga air mata Layla jatuh. Sekuat apapun dia menahan untuk tidak menangis, dia tetap tidak bisa. Bukan ini pernikahan impiannya, terlebih bukan pria ini yang dia cintai.
"Demi si kecil," bisik Mama Layla yang bernama Lady.
Layla hanya diam tidak menyahut. Pernikahan ini telah merubah status Alvano yang dulunya adalah kakak ipar Layla menjadi suaminya. Dengan kata lain Layla menikah dengan seorang duda beranak satu. Dan pernikahan ini terjadi hanya untuk anak kakaknya yang masih berumur hitungan minggu.
Pernikahan ini bisa dikatakan pernikahan dadakan.
"Kami akan langsung ke apartemen saja, Ma." Dengan wajah datarnya Alvano sudah melangkah menuju mobil pribadi pria itu.
"Pergilah bersama suamimu," Mama Lady sedikit mendorong tubuh Layla yang sudah menggendong si kecil, alasan pernikahan ini terjadi.
Layla menghela nafas. Suami darimana? Dia bahkan tidak menganggap pria itu sebagai suaminya.
"Kau duduk di belakang," suruh Alvano saat menyadari Layla mengikutinya.
Layla menatap sinis kakak ipar yang telah berubah status menjadi suaminya itu. Dia pun tidak sudi berada di sebelah pria itu. Menjengkelkan.
"Dengar, kita menikah hanya di atas kertas. Wanita sepertimu tidak akan bisa menggantikan istriku. Jangan mimpi untuk menggantikan posisinya untukku." Itulah ucapan pertama yang Layla dengar setelah mereka sampai di apartemen pria ini.
Seingat Layla ini bukanlah apartemen dimana Alvano dan kakaknya dulu tinggal. Tapi bodo amat untuknya. Siapa yang peduli?
"Kamarmu ada di sebelah kamar utama. Jika terjadi sesuatu pada putriku langsung temui aku." Setelah mengucapkan itu Alvano masuk ke dalam kamar utama yang adalah miliknya.
Layla membenci setiap ucapan dari laki-laki bernama Alvano itu. Enak saja memerintahnya sembarangan.
"Hey sayang, kamu lihat sikap papamu itu? Jangan jadi sepertinya ya. Kamu harus seperti kakak. Jangan jadi sepertinya. Ok?" Layla berucap kepada bayi imut itu. Ya dia memutuskan akan dipanggil kakak bukan mama untuk anak Lina. Mama gadis ini hanya satu yaitu kakaknya dan bukan yang lain.
"Sebenarnya namamu siapa sih? Kamu belum dikasih nama ya? Kalau gitu kakak bakal panggil kamu Leyla saja, biar nama kita mirip hehe." Layla terkekeh sendiri sambil berjalan menuju kamarnya.
Lihatlah betapa kejamnya pria itu meninggalkannya sendiri dengan berbagai tas miliknya yang masih ada di ruang tamu.
Di dalam kamar ternyata memang sudah diatur dengan keperluan bayi. Ada box bayi di samping tempat tidur. Dan karena baby Leyla sudah tidur, Layla memutuskan untuk menaruhnya di sana.
"Tidur dulu ya, kakak perlu mengerjakan tugas kuliah," pinta Layla.
Layla kembali ke ruang tamu dan mengambil semua barang-barangnya. Setelah itu dia langsung mengambil laptopnya dan menghidupkan ponsel yang dia matikan sejak kemarin.
Ada banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari beberapa orang, salah satunya Maria yang merupakan teman dekatnya di kampus. Gadis itu pasti bingung kenapa dia tiba-tiba tidak hadir di kelas hari ini. Lalu ada nomor asing yang masuk ke dalam nomor Layla.
Halo, apa benar ini Layla mahasiswi kedokteran?
^^^Iya^^^
Saya Lio mahasiswa hukum. Kemarin kita sempat ketemu di depan perpustakaan
Layla memekik tertahan dengan pesan itu. Ok, mari perkenalkan siapa itu Lio. Lio itu mahasiswa akhir kehukuman. Dan yang terpenting Lio adalah satu-satunya pujaan hatinya selama kuliah sampau saat ini.
Jadi, menerim pesan itu membuat Layla seakan mendapatkan semangat hingga menjadi hiperaktif seperti sekarang. Gadis itu sudah berguling-guling riah di atas kasur. Hingga...
Bruk
Tubuh itu jatuh mencium lantai dan menciptakan suara keras hingga terdengar ke kamar tetangga.
Alvano di kamar sebelah mendengar dengan jelas suara itu. Pria yang baru saja ingin terlelap ke alam mimpi itu akhirnya beranjak untuk memeriksa kamar sebelah. Dia takut jika ada sesuatu yang terjadi pada putrinya. Hanya putrinya.
"Ada apa?" Tanya Alvano yang baru saja membuka pintu kamar Layla.
Layla mendongak saat mendengar suara Alvano. Tidak seperti kemarin-kemarin, gadis itu terkekeh dengan menunjukkan deretan gigi putihnya. Maklum dia sedang sangat bahagia.
"Dimana putriku?"
Layla menunjuk box bayi.
"Jangan lupa berikan asi untuknya. Ada di kulkas." Setelah mengatakan itu Alvano menutup pintu kamar Layla dan kembali ke kamarnya. Aneh sekali dengan Layla.
Baby Leyla ini adalah bayi prematur sehingga membutuhkan asi untuk perkembangannya. Lalu karena ibu dari bayi itu yang merupakan kakak Layla meninggal membuat semua orang memutuskan untuk membeli asi demi kebaikan baby Leyla.
Setelah selesai menyalurkan kebahagiaannya, Layla melanjutkan pembicaraan dengan Lio.
^^^Ada yang bisa aku bantu?^^^
Gak bakal ngerepotin?
^^^Gak kok. Bilang aja^^^
Bisa ketemu besok, kamu ada waktu luang pas sore?
^^^Bisa.^^^
"Yes!" Teriak Layla tertahan.
Tunggu. Bagaimana dia bisa pergi? Saat ini dia sudah bukan remaja bebas lagi. Dia sudah menjadi seorang ibu.
"Apa yang harus kulakukan?" Tanya Layla merasa depresi.
Semua kejadian yang tiba-tiba di hidupnya ini membuatnya hampir gila.
Baru kemarin rasanya dia bersenang-senang dengan teman-teman kampusnya. Bercanda dan tertawa tanpa beban sedikit pun. Berjalan-jalan mengelilingi Bandung hingga pulang tengah malam.
Lalu, lihatlah diri Layla yang sekarang. Terkurung di apartemen seorang pria yang sialnya adalah suaminya sendiri. Gadis bebas penuh keceriaan itu kini berubah menjadi seorang ibu yang harus memikirkan anak.
Ini terlalu mendadak bagi Layla yang hidup penuh kesantaian. Hatinya sama sekali belum siap untuk semua hal ini.
Andai bukan karena paksaan mungkin saat ini Layla masih ada di Bandung dan berkutat dengan tugas kuliahnya. Mengobrol dengan Tante Tania, adik Mama Lady yang sudah seperti sahabatnya sendiri sampai tengah malam.
"Kak Lina, andai semuanya tidak terjadi. Kematianmu telah mengubah hidupku. Tidak pantaskah adikmu ini berbahagia, kak?" tanya Layla dengan pandangan kosong ke depan.
Tanpa bisa ia kontrol, pikiran itu melayang ke hari dimana semuanya di mulai. Tepatnya saat kakaknya, Lina memilih meninggalkan dunia setelah menitipkan bayi mungil untuk dijaga oleh orang-orang terdekatnya. Bayi mungil yang sayangnya lahir secara prematur hingga membutuhkan perhatian khusus.
Flashback on
Malam terburuk bagi semua keluarga Retara berlalu dengan tangisan dari setiap anggota keluarga. Ini pertama kalinya untuk Layla melihat sisi hancur dari kedua orang tua yang sangat dia sayangi. Dan malam itu juga pertama kalinya dia melihat kakak iparnya yang biasanya dingin terlihat hancur, sehancur-hancurnya.
"Ma." Layla memanggil mamanya yang setia duduk di sebelah putri sulungnya yang telah terbujur kaku.
"Mama makan dulu," pinta Layla dengan pandangan memohon.
Saat ini, Layla tidak menangis, bukan karena dia tidak menyayangi kakaknya itu. Tapi tahukah kalian? Jika dia memperlihatkan bagaimana hancurnya dia, siapa yang akan menghibur kedua orang tuanya yang tampak rapuh ini?
Wanita yang sudah kepala lima itu menggeleng, Mama Lady tidak punya kekuatan sama sekali bahkan untuk bergerak saja. Layla tidak berusaha memaksa mamanya lagi. Dia mengerti pasti mamanya itu merasa sangat hancur dengan kematian putri sulungnya.
"Bagaimana?" Suara Tante Tania menyapa Layla yang baru sampai di kamarnya. Layla menggeleng.
"Tan, sebaiknya biarkan mama sama papa dulu. Mereka sangat sedih sekarang," ucap Layla lemah.
Tante Tania mengangguk. Dia memang adik dari mamanya Layla. Tapi perempuan satu ini belum menikah sama sekali, jadi dia tidak tahu pasti rasanya ditinggalkan anak sendiri.
"Kasihan kakak dan kakak ipar. Tante juga kasihan sekali dengan Lina. Entah apa yang membuat Tuhan memanggilnya secepat ini," lirih Tante Tania.
"Tan," panggil Layla.
"Kenapa?"
"Kak Lina..." Mulut Layla tidak sanggup untuk berkata-kata lagi. Bibirnya bergetar hebat.
"Jangan menangis." Tante Tania langsung mendekap tubuh keponakan kesayangannya. Tangan gadis itu bergerak mengelus rambut Layla dengan penuh sayang. "Kamu harus kuat Layla. Keluargamu butuh kamu. Kalau kamu juga hancur, siapa yang akan menghibur bokap nyokapmu itu? Mereka butuh kamu."
Kata-kata itu yang selalu diingat Layla dari kemarin. Kata-kata itu membuatnya tidak berani untuk menangis di depan kedua orang tuanya. Dia hanya berani menangis di belakang mereka.
"Dia kakakku, Tan" lirih Layla.
"Iya, dia kakakmu. Dia juga keponakanku. Dia punya posisi di hati semua orang. Tegar ya, Lay."
Tidak ada yang tahu seberapa hancurnya Layla karena kematian kakaknya itu. Mereka hanya tahu seberapa tegarnya wanita itu dengan kematian kakaknya. Hanya Tante Tania yang melihat sisi hancur Layla.
...****************...
Satu minggu telah berlalu sejak kakaknya dimakamkan. Suasana di rumah Retara masih berduka. Bahkan selama satu minggu ini Layla dan Tante Tania tidur di rumah orang tuanya yang selalu terasa sepi.
"Ma, Pa" Layla menatap kedua orang tuanya secara bergantian.
"Ada apa dek?" Tanya Papa Zack kepada putri bungsunya.
"Layla akan kembali ke Bandung. Kuliah Layla masih belum siap, Pa." Manik mata Layla melirik Mama Lady yang hanya diam.
Sejujurnya hati Layla belum sanggup untuk meninggalkan rumah ini. Tapi kuliahnya juga tidak bisa ditunda. Dia sudah satu minggu ini meninggalkan kuliahnya. Layla tidak mau jika sampai dia harus mengulang di detik-detik menjelang kelulusannya.
"Kembalilah," ucap Papa Zack.
"Ma," panggil Layla. Kini dia ingin mendengar ucapan Mama Lady.
"Pergilah, kuliahmu penting untuk masa depanmu. Tapi datanglah setiap akhir pekan." Layla mengangguk.
"Kapan kamu akan pergi, dek?" Tanya Papa Zack.
"Hari ini, Pa. Besok Layla harus masuk kelas," jawab Layla.
"Mau Papa antar?" Tawar Papa Zack.
"Papa disini saja. Istirahat yang baik. Jaga kesehatan juga. Jangan lupa makan. Layla akan telepon terus." Kedua orangtuanya hanya menyetujui ucapan putri bungsu mereka. Istirahat yang baik katanya.
...****************...
Perjalanan dari Jakarta ke Bandung memakan waktu sekitar dua sampai tiga jam.
"Tan," panggil Layla kepada Tante Tania yang sibuk menyetir di sebelahnya.
"Hm."
"Menurutmu gimana nasib anaknya Kak Lina?" Tanya Layla teringat akan keponakannya yang masih di dalam inkubator karena terlahir secara prematur.
"Mana aku tahu. Aku belum lihat anak Lina sama sekali," jujur Tante Tania.
"Tan, kenapa kamu belum nikah sampe sekarang?" Topik mereka tergantikan oleh pertanyaan sialan Layla.
"Ha? Ngapa tiba-tiba nanyain begitu? Ayolah girl, jangan tanya aneh-aneh." Selalu begitu, Tante Tania memang selalu menghindar dari pertanyaan begitu.
"Ayolah Tan. Selalu aja menghindar waktu aku tanya gitu. Kamu ada trauma sama cowok?" tebak Layla.
"Gak. Aku cuman mikir pernikahan itu gak sepenting yang orang-orang pikirkan. Gak sebahagia itu, Lay. Aku gak minat buat mencoba menikah dengan komitmen yang sewaktu-waktu bisa dilanggar. Menurutku, hidup sendiri itu udah cukup. Kalau perlu keturunan ya tinggal adopsi saja," jawab Tante Tania.
Tania bukan hanya sekedar Tante bagi Layla. Perempuan itu juga sahabat Layla yang menjadi teladannya. Walau usianya dikatakan sudah sangat pantas menikah, tapi Tania sama sekali tidak pernah memikirkan hal itu sebagai beban. Banyak orang yang mencibirnya karena masih melajang di usianya yang sudah 30 tahun. Tapi dia sama sekali tidak peduli. Toh ini hidupnya bukan mereka dan dialah yang menjalani.
"Aku pengen kayak gitu deh, Tan. Aku pengen ngadopsi anak yatim dari dulu. Itu impianku. Kalau menikah buatku gak bisa lakuin itu ya udah, gak usah nikah." Enteng mulut Layla berbicara.
Tante Tania terkekeh. Sepertinya dia sudah menjadi pengaruh baik atau buruk bagi Layla, tergantung sudut pandang yang membaca.
"Pikirkan kuliah dulu. Gak usah langsung ke nikah. Masih kecil juga." Layla terkekeh. Itu hanya pikirannya saja untuk saat ini.
"Oh iya, Tan. Anak Kak Lina bakal diasuh siapa kira-kira?" Tanya Layla balik ke topik awal.
"Antara keluarga suaminya atau orang tuamu paling. Mungkin juga pengasuh atau bisa jadi kakak iparmu itu nikah lagi," jawab Tante Tania dengan semua kemungkinan yang bisa terjadi.
"Kalau dia nikah lagi gawat sih kataku. Bisa-bisa ponakan tercintaku malah dapat ibu tiri. Iya kalau ibu tirinya baik, kalau jahat. Wah bisa jadi perkedel ponakanku." Layla geleng-geleng kepala dengan imajinasinya sendiri.
"Kalau gitu kamu aja yang jadi ibu penggantinya," celetuk Tante Tania.
"Ha? Maksudmu?" Otak Layla nge-lag dengan kata ibu pengganti yang dikatakan Tante Tania.
"Kamu yang nikah sama kakak iparmu terus jadi ibu pengganti deh buat ponakanmu itu. Gimana, baguskan ide cemerlangku?" Tante Tania terlihat senang dengan idenya sendiri yang bagi Layla malah terlihat gila.
"Ngaco, Tan. Gila." Layla geleng-geleng kepala sendiri memikirkan apa yang terjadi jika itu benar-benar terjadi. "Ihh..." Bagaimana bisa dia mendapatkan suami yang sama dengan kakaknya sendiri? Oh God, Big No!!
"Haha... Gak usah dibayangi kali. Emang kamu beneran mau gantiin posisi kakakmu?" Cepat-cepat Layla menggeleng.
Tidak. Dia tidak kan mau mengganti posisi kakaknya apapun yang terjadi. Dia ingin hidup sesuai keinginannya. Tidak mau ikut campur dengan urusan orang lain.
Beberapa hari kemudian
Hari ini Layla baru saja menyelesaikan kelasnya. Dia bersama dengan temannya, Maria memilih untuk pergi ke kantin kampus. Jika dilihat-lihat sekarang juga sudah waktunya makan siang.
"Lay, maaf nih ya. Tapi gue pengen nanya ke kamu," ucap Maria yang sebenarnya sudah sangat akrab dengan Layla. Mereka berteman dari awal masuk dan karena dari kota yang sama mereka akhirnya jadi lebih dekat daripada dengan yang lain.
"Tanya aja." Layla memegang menu dan melihat daftar makanan yang ada. Dia ingin sesuatu yang berbeda dari biasanya yang dia makan.
"Aku dengar kakakmu meninggal. Iya?" Tanya Maria.
Dahi Layla mengernyit. Dia bingung darimana Maria bisa tahu. Perasaan dia tidak pernah cerita dengan siapapun dan dia tidak pernah mengepost hal-hal yang bersangkutan dengan kematian kakaknya. "Tahu darimana?"
Maria menghela nafas. Temannya yang satu ini pikun atau bagaimana sih. "Kamu lupa atau apasih? Kakakmu itukan mantan ar--- mmmph."
"Diamlah," lirih Layla yang refleks membekap mulut Maria. Setelah Maria diam barulah Layla melepaskan mulut Maria.
"Sorry sorry, aku lupa kalau cuman aku yang tahu itu," jujur Maria merasa bersalah.
Lina Retara, artis terkenal pada masanya. Kakak Layla itu memutuskan untuk berhenti disaat kariernya sedang ada di atas hanya karena akan menikah dengan kakak iparnya. Layla tidak mau orang lain mengetahui bahwa dia adik Lina. Dia tidak mau mencari perhatian dengan nama kakaknya dan juga dia tidak mau dikenal karena nama kakaknya.
"Beritanya lama juga keluar. Ternyata mereka tidak secepat itu berburu informasi," ucap Layla mengingat ini adalah hari ke sepuluh sejak kematian kakaknya.
"Kapan meninggalnya?" Tanya Maria. Dia pernah menjadi salah satu fans dari Lina Retara.
"Udah mau dua minggu yang lalu."
"Meninggal karena apa?"
Layla tidak menjawab. Gadis itu diam. Pandangannya mengarah ke bawah. Gejolak kesedihan yang selama ini dia tekankan untuk disembunyikan seakan mencuat ke permukaan.
"Maaf, aku gak bermaksud." Maria merasa bersalah setelah menyadari ucapannya yang tanpa sadar membuat Layla menjadi sedih.
"Nih, tulis pesananmu terus kasih ke mbaknya" Layla menyerahkan kertas serta pen untuk diisi oleh Maria. Maria mengangguk tanpa banyak bicara.
Selagi Maria pergi mengantarkan kertas pesanan mereka ke mbak kantin, Layla memainkan ponselnya.
Ting...
Ada notifikasi pesan yang dia dapat dari Tante Tania.
"Apa dia udah di parkiran ya? Tapikan aku nyuruhnya jemput sore," lirih Layla bingung. Dia jelas-jelas ingat pesannya tadi kepada Tante Tania agar dijemput sore karena ada keperluan yang membuatnya harus menetap di kampus, lebih tepatnya di perpustakaan.
Layla, anak Lina sudah keluar dari rumah sakit hari ini. Mau pergi untuk melihatnya?
Layla menatap pesan itu sambil berpikir. Dia ingin sekali melihat putri mendiang kakaknya. Tapi sepertinya tidak bisa hari ini. Tugas kuliahnya menumpuk setelah ditinggalkan selama satu minggu.
^^^Nanti saja, Tan. Tugas aku numpuk banget. Mungkin minggu depan aja kita balik. Kalau kamu mau pergi sendiri ya gak papa^^^
Gaklah. Mana mungkin aku pergi tanpamu. Minggu depan aja deh
Layla tersenyum kecil melihat balasan Tante Tania. Perempuan itu memang tidak akan mau meninggalkannya sendirian. Mereka selalu bersama sejak Layla memutuskan kuliah di Bandung dan tinggal berdua bersamanya.
"Ngapain senyum-senyum? Baru dapat pesan dari Lio?" Tebak Maria yang baru saja datang dengan membawa pesanan makan siang merek berdua.
Lio itu mood boster bagi seorang Layla. Walau hanya dengan sebuah kehadiran, Lio bisa membuat Layla senyum-senyum seperti orang gila walau dari jarak jauh sekalipun.
"Mudah-mudahan terjadi," balas Layla asal dengan hati penuh harap.
"Haha... Jangan aneh-aneh deh. Lio udah punya pacar."
"Kamu yang mulai." Layla mendengus kesal dengan kenyataan satu itu. Sedih sekali kisah asmaranya. Setiap dia menyukai lawan jenis pasti mereka akan selalu bersama perempuan lain. Sedangkan Layla, gadis itu hanya bisa diam dan melihat saja.
"Seandainya Lio belum punya pacar gimana, Lay?" Tanya Maria.
"Mana aku tahu."
"Kamu gak bakal berusaha dekatin gitu?" Maria bertanya lagi.
"Gaklah, ntar dia malah ilfeel kan makin parah urusannya." Pikiran inilah yang membuat Layla selalu tertinggal di belakang.
Maria menghela nafas. Asal kalian tahu saja. Layla ini cantik, pintar lagi, banyak pria yang mengejarnya juga. Tapi sayangnya otak temannya yang satu ini sedikit lelet jika berhubungan dengan percintaan. Dia selalu merasa tidak menarik hingga sering berkata bahwa tidak ada orang yang menyukainya. Dan prasangka itu yang selalu membuat Lara tidak berani menunjukkan bahwa dia menyukai pria pujaannya.
"Terserah." Maria tidak ingin membahas lagi yang ujung-ujungnya malah dia sendiri yang akan kesal karena mendengar ribuan kata insecure dari mulut Layla.
Akhirnya mereka berdua duduk diam dengan tenang sambil menikmati makan siang masing-masing.
"Aku langsung balik ya. Kamu masih mau disini?" Tanya Maria.
Layla mengangguk. "Kamu tahu sendiri aku banyak ketinggalan. Skripsi ini itu aja belum ada yang kupersiapkan. Jadi, ya memang harus ke perpus."
Selepas kepergian Maria, Layla melangkahkan kakinya menuju perpustakaan.
"Kenapa sih perpustakaan harus ada di dekat fakultas hukum?" gumam Layla yang berbicara pada dirinya sendiri.
Layla tidak masalah sebenarnya dimana letak perpustakaan. Yang dia permasalahan adalah seseorang yang belajar di fakultas dekat itu. Ya, dia sudah memutuskan untuk melupakan Lio setelah kabar pria itu memiliki pacar. Tapi tahukah kalian? Move on itu tidak segampang membalikkan telapak tangan. Susah.
"Dia pasti tidak ada di perpustakaan. Pasti. Lagian dia sudah mau wisuda pasti tidak ada urusan lagi dengan perpustakaan." Layla sangat optimis dengan hal itu, mengingat sang doi yang bulan depan akan segera wisuda.
Hingga pada akhirnya dia harus terdiam saat kenyataan tidak seindah ekspetasi. Di depan perpustakaan itu ada Lio dengan seorang gadis. Mungkinkah itu pacarnya?
"Aku gak mau tahu. Pokoknya kakak harus temani aku ke mall malam ini. Titik." Gadis yang bersama Lio itu langsung pergi setelah mengucapkan keinginannya.
"Eh, maaf." Layla kikuk saat Lio menyadari bahwa dia mendengar sedikit ucapan gadis yang dia yakini sebagai pacar Lio. "Aku gak sengaja dengar."
"Gak papa." Lio tersenyum ramah.
Oh Tuhan, tidakkah Lio tahu sekarang jantung Layla berdebar kencang. Jika saja Lio tidak di depannya sudah dipastikan dia akan nge-reog dengan bahagia.
"Layla kan? Mahasiswi kedokteran?"
"Iya," jawab Layla dengan menahan senyuman lebarnya. Lio mengingatnya. Lio mengingatnya!!!
"Sorry kalau ucapan adikku malah buat keributan tadi." Wajah Lio terlihat menyesal.
"Adik!?"
Lio bingung dengan ekspresi Layla yang terkejut.
"Maksudku. Dia adikmu? Aku pikir... pacar." Layla melirih di dua kata terakhirnya.
"Pacar? Aku belum punya pacar."
Layla tersenyum senang tanpa sadar. Sepersekian detik kemudian dia langsung mengontrol ekspresinya dan berdehem.
"Kalau gitu aku masuk ke perpus dulu ya."
Lio mengangguk dengan senyum manis tetap dia tunjukkan.
Tahukah kalian seberapa salah tingkahnya Layla sekarang? Dirinya seakan-akan ingin menghilang dari muka bumi sangking senangnya. Lio tidak punya pacar. Dan masih ada kesempatan untuknya. Yes!!!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!