Sekelebat bayangan melintasi pepohonan rimbun di sebuah hutan. Alunan nada musik yang tercipta dari tiupan angin membuat tanaman bambu tersebut menari-menari memecahkan keheningan malam. Dua orang pria berlari tanpa arah dengan obor yang mulai padam, bersamaan dengan kabut tipis yang mulai bermunculan.
Tak berselang lama kemudian suara teriakkan mengisi kekosongan hampa dan lenyap begitu saja. Sosok setinggi pohon beringin dengan kuku tajam dan wajah mengerikan itu menyeringai.
❝ꦄꦏꦸꦄꦢꦭꦃꦱꦺꦴꦱꦺꦴꦏ꧀ꦏꦼꦩꦠꦶꦪꦤ꧀ꦩꦸ꧉❞
———
Disebuah kota Jakarta, perumahan komplek Perlita. Sembilan anak remaja Universitas Indonesia tahun pelajaran pertama tengah duduk sembari bercanda tawa. "Bener kan? Kata gue juga apa! Lo pernah kencing di celana pas sekolah dasar dulu." tawa mereka.
Raidan Putra Wangsa—mengalihkan pandangannya. Pipi cowok dengan gaya rambut ala orang Amerika itu merah merona karena malu. Tentu saja memalukan jika rahasia atau aib kita tersebar kepada orang lain. "I-itu kan hari pertama sekolah! Lagian Aina gak mau nemenin gue ke wc!." dengusnya.
Raina Zevarna, memelototkan matanya. "Kan lo cowok!." belanya pada diri sendiri. Semua nampak tertawa ketika mendengarnya. Gadis dengan citra tomboi itu melemparkan bantal di samping tepat mengenai kepala Raidan.
Bima Panji Kartanegara, cowok berhobi makan itu tertawa dengan mulut penuh keripik kentang di dalamnya. Ia merupakan pelontar kalimat pertama di atas barusan yang membeberkan aib milik sahabatnya sendiri. Untung Raidan tidak memiliki dendam atau semacam perasaan di ambil hati.
Chika Cleo Mahardika. Gadis berkacamata itu menutup bukunya dan menarik nafas pelan lalu membuangnya. Tangannya meraih buku lain di depan mejanya, ia baru saja selesai membaca buku sejarah dalam waktu singkat karena sudah terbiasa. Ekor matanya tak sengaja melihat kearah dua cowok yang tengah bermain playstation di depan televisi.
Belum sempat berkomentar mengenai jarak pandangan antara televisi dan mata, lampu di rumah itu padam. "Lang, lo udah bayar listrik kan." pertanyaan tersebut keluar dari mulut, Reyhan Putra Ovian yang meraba sekitarnya.
Gilang Yovi Saputra sebagai tuan rumah kini bangkit dan berjalan menuju panel listrik di depan rumah dengan senter ponsel yang untungnya ia pegang tadi. "Ah masih banyak kok ini, rumah tetangga juga nyala." gumamnya.
"Gimana Lang?." tanya Zafran Fathur Wijaya dari belakang. Gilang menggelengkan kepalanya lalu beralih pada ponselnya menelepon seseorang. Beberapa menit kemudian cowok itu tercengang kaku mendengar penuturan di sebrang dimana Mamanya memberi tahu jika ada kebocoran listrik yang belum sempat di perbaiki karena wanita itu harus pergi ke pertemuan bisnis.
"Ada yang bocor katanya, tapi malah gak bilang dan pergi gitu aja." jelas cowok itu kesal memutar matanya.
"Bagian mana emangnya?." tanya Zafran menepuk bahu Gilang pelan. Jadilah mereka memanggil teknisi yang bisa menanganinya, sementara itu kesembilan remaja tersebut harus menyalakan lilin di ruang tamu.
Menunggu memang membosankan. "Ra, geseran dikit dong." Stella Putri Geovani mencondongkan badannya lebih ke depan. Gadis itu sedikit menutupi pencahayaan Raina yang bersandar sofa namun tidak berkutik dan tetap diam.
Maudi Nanda Lestari memukul kaki Bima yang enak berselonjoran di depannya. Gadis itu menatap tajam lalu memekik pelan karena senang sesuatu. "Eh lo pada, bagus gak?." ucapnya menunjukkan gambar pemandangan di sebuah desa yang terlihat masih asri.
Gilang merampas cepat. "Bagus, kesana lebih bagus kayaknya. Gimana menurut kalian?." mereka mengangguk setuju. Zafran meminum-minuman kaleng bersoda, matanya memicing kesetiap sudut rumah Gilang yang gelap. Duduk melingkar dengan sebuah lilin yang berada di tengah memang cukup aneh.
Wuuusshh!!!
Dengan cepat Zafran mengalihkan pandangannya menatap jendela yang terhubung keluar rumah. Nampak beberapa bintang tengah berkedip untuknya, namun udara yang terasa berat itu membuat Zafran sesak hingga pencahayaan dirumah itu kembali normal. "Makasih pak." Gilang berterimakasih pada mekanik listrik yang di panggilnya dua jam lalu.
"Akhirnya!." kesembilan remaja tersebut, tak terkecuali Zafran itu bangkit dan meregangkan otot tubuh mereka merasa lega.
▪ ▪ ▪
Malam telah berlalu, sembilan anak remaja tersebut terlihat sibuk dengan barang-barang mereka. Usulan Maudi dan tanggapan Galang semalam memang tidak di tolak dan pagi ini adalah awal keberangkatan mereka. Mengenai izin dari orang tua masing-masing, tentu di perbolehkan. Setelah listrik dirumah Gilang kembali normal tadi malam, mereka melanjutkan dengan menelefon orang rumah. "Gimana Dan?." tanya Zafran.
Raidan mengangguk complete, ia baru saja selesai memasukan barang bawaan kedalam mobil. Mereka menggunakan dua mobil dan satu motor, mengingat mereka berangkat dalam jumlah yang banyak.
Raina, Maudi, Bima dan Raidan berada di mobil pertama. Dan, Chika, Stella Gilang bersama Reyhan di mobil kedua. Sedangkan Zafran menaiki motornya.
"Ati-ati lo Za." ucap kompak mobil kedua, berbeda dengan mobil pertama yang sudah berjalan lebih dulu. Zafran mengangguk singkat dan memakai helm nya lalu menyusul kedua mobil di depan sana. Tentu saja pengendara motor lebih rawan terkena kecelakaan dari pada mobil, maka dari itu para sahabat Zafran memperingati untuk tetap waspada pada sekitarnya.
"Rey! Balikin handphone gue ih!." Stella memekik karena kesal ponselnya di ambil saat sedang mengaca di kamera untuk memperbaiki riasan di wajahnya. Untung ia hafal bentuk mukanya sendiri, jadi gadis itu tetap bisa berdandan walaupun tanpa berkaca.
"Filter lo kebanyakan senter La, La, beda banget sama aslinya." ledek Reyhan melihat Stella yang kesal dari center mirror dan tertawa ringan.
Tak jauh berbeda dengan mobil kedua, Maudi dan Bima juga terus saling bertatapan penuh sengit karena memang tidak pernah akur. Kedua makhluk astral tersebut mendengus dan memutar bola matanya malas. Raina dan Raidan menyimak dengan diam.
"Tugas ppt minggu lalu udah lo kerjain Rey?." tanya Gilang di sela-sela cowok itu menyetir. Reyhan yang menutup matanya kini mengangguk sekilas.
"Emang lo belum?." Chika bersuara, gadis itu menutup buku yang baru di baca setengahnya. Gilang tertawa renyah menganggukan kepalanya. Muncul keringat sebiji jagung di pelipisnya ketika melihat Chika yang kembali membaca bukunya, Gilang terheran mengapa gadis itu selalu membaca buku di manapun.
Berbeda dengan dua mobil yang di isi dengan tanda tanya dan jawaban di perjalanan. Zafran yang awalnya tenang kini menjadi sedikit was-was melihat sekelebat bayangan yang seperti mengikutinya di belakang. Cowok itu sedikit menambah kecepatan gas pada motornya. "Apa ada sesuatu nantinya?." gumamnya di balik helm full facenya.
Sosok hitam setinggi pohon itu kembali menarik sudut bibirnya.
"Awass kalo lo minjem sesuatu ke gue lagi. Gak bakalan gue pinjemin, atau sekalinya lo jatoh masuk kejurang nantinya, gue bakal ketawa paling kenceng!." Stella puas setelah mengatakan hal yang aneh.
Reyhan menjulurkan lidahnya tak peduli.
Desa Aran, Kecamatan Durpa, Kabupaten Mati adalah pedesaan asri yang menjadi tujuan tempat liburan menurut sembilan anak remaja tersebut. Mereka sampai pada pukul lima belas lewat tiga puluh dua menit.
"Cewek-cewek ayo bangun. Udah sampe nih kita." Bima menyerukan suaranya sedikit keras lalu turun dari mobil. Raidan meregangkan ototnya karena pegal menyetir, begitu juga dengan Gilang yang keluar bersama Reyhan.
"Gila nih kecebong kering, gak mau gantian ama gue." kesal Gilang menatap sinis Reyhan yang tertawa. Sedangkan Raidan hanya bisa pasrah karena Bima memang tidak bisa menyetir mobil, hanya motor saja. Sedangkan anak perempuan turun dengan badan segar bugar karena hanya duduk.
Zafran yang memarkirkan motor kini turun dan membawa tasnya yang terasa sedikit berat. Cowok itu melangkahkan kakinya menghampiri para sahabatnya. "Wah nice try bro! Kita bisa sampe sini semua dengan selamat." ucap Reyhan menepuk bahu kanan Zafran.
"Villa mana Villa?." tanya Stella berfoto ria dengan ponselnya. Chika yang melihat menggelengkan kepalanya.
"Ini Desa La, bukan luar negri. Mana ada Villa." sahut Raina dari belakang.
Gilang menghampiri dua warga Desa yang duduk di bawah pohon dengan satu buah termos dan beberapa kopi sachet yang tersedia. Cowok itu menanyakan rumah pak RT yang harus mereka kunjungi untuk kedepannya.
Maudi menutup mulutnya saat menguap, gadis itu melihat anak perempuan seusianya yang berpakaian ala gadis Desa namun terlihat sopan. Menurutnya itu sangat cocok, ia jadi memikirkan gaya model berpakaiannya.
"Yang satu muka yang satu lagi pakean." Bima tertawa dengan berjalan masuk gapura Desa, mengikuti sahabatnya. Maudi dan Stella berkontak mata merasa hawa penyindiran abadi.
"Awas lo gendut!." teriak mereka berdua menyusul masuk, mengikuti dari belakang. Reyhan dan Zafran berjalan beriringan melihat sekitar rumah yang di jelaskan Gilang pada mereka.
———
"Ah kalian?." Pak RT bernama Sudirman tersebut menyapa anak-anak dari Kota yang pernah menghubunginya beberapa hari lalu, pria itu tidak berfikir secepat itu mereka akan bertemu di pedesaan.
"Ini rumah sewa yang bapak bilang. Kalian bisa tinggal disini selama kalian." ucap Sudirman mempersilahkan masuk. Chika mengernyitkan keningnya.
"Maaf Pak? Apa cuma satu ya? Maksud saya kami kan perempuan dan laki-laki." tanya Chika membuat Sudirman menepuk keningnya dan tertawa lalu mengangguk.
"Maaf-maaf neng, bapak yang salah. Untuk anak perempuan bisa di rumah sebelah kanannya." tawanya hambar. Gadis-gadis itu keluar dan pergi kerumah sebelah kanan yang nampaknya memang lebih bagus.
"Semua kebutuhan masa kalian disini sudah di sediakan. Seperti tempat tidur dan kamar mandi yang bersih tentunya." jelas Sudirman merogoh saku bajunya.
"Wah kami berterimakasih banget lho Pak, oh ya tempat yang ingin kami lihat?," tanya Stella membuka obrolan. Pria itu memberikan secarik kertas yang bertuliskan sesuatu kepada Bima.
"Tenang saja, yasudah bapak pergi dulu ya dan jangan sungkan jika ingin bertanya sesuatu kepada warga sini." ucap pria itu melenggang pergi. Gilang yang penasaran segera mendekat kearah Bima berdiri, begitu juga dengan yang lain.
"Peraturan?." gumam Chika, ia menarik sahabatnya untuk segera masuk ke rumah sewa anak laki-laki lalu menutup pintu dan berkumpul di ruang utama.
"Apaan nih, kita kesini mau refreshing. Kenapa harus ada peraturan segala sih?!." kesal Gilang membuang kertas pemberian Pak RT barusan.
"Sabar Lang, lagian mungkin tradisi adat Desa emang begini." ucap Raina.
▪ ▪ ▪
Waktu sore akan segera berlalu. Stella memutuskan meletakkan ponsel dan membangunkan Chika dan Maudi yang enak tiduran di kamar. Berbeda dengan Raina yang sepertinya tengah bersama anak laki-laki di luar. "Ce, Mau bangun." ucap gadis itu pelan membangunkan.
Chika mengerjapkan matanya, "Kenapa La?." tanya Chika meregangkan badan.
"Gue mau mandi, tapi takut. Temenin yuk sekalian lo juga kan belum mandi." ajakan Stella di benarkan Chika, spontan Maudi yang mendengar juga tidak ingin di tinggalkan sendirian.
"Ayok gue ikut!." ucapnya.
Mengapa Stella ingin di temani jika hanya ingin mandi? Karena setelah mereka melihat kamar mandi yang ternyata terpisah dari rumah itu cukup aneh bagi anak Kota seperti mereka. Kamar mandi itu ada di belakang rumah yang di sekelilingnya terdapat rumput liar menjulang setinggi lutut.
"Lo berdua jangan kemana-mana." Stella takut jika akan di tinggalkan. Apalagi mereka kesana hanya membawa satu senter, meskipun ada satu lampu yang menyala berwarna kuning. Itu malah menambah kesan menakutkan bukan.
Chika dan Maudi mengangguk."Iya udah cepetan mandi. Gantian kita nanti." ucap Chika lantas di angguki Stella yang mengunci pintu kamar mandi.
Suara cipratan air terdengar hingga ke telinga Raina yang baru saja kembali. "Darimana aja lo Ra?." tanya Maudi membuat Raina kaget dan spontan memutar badannya kebelakang.
"Ah? Ngaggetin aja lo!." ketus Raina di tertawai Maudi. Mereka berdua keluar dari rumah, melihat anak laki-laki tengah membuat api unggun di depan.
"Berdua aja? Mana tuh dua anak?." tanya Reyhan berceletuk. Raina mengkode Maudi mungkin saja tahu.
Aaakhh!!!
Belum sempat mendengar jawaban, mereka bertujuh mendengar teriakan dari belakang rumah yang mana Chika dan Stella tengah ketakutan. Kedua gadis itu berada di dalam kamar mandi yang sama. Sebelum hal itu terjadi,
Stella yang terus menanyakam sesuatu agar ia bisa memastikan jika kedua sahabatnya berada di sana itu selalu di tanggapi Chika. Gadis itu melihat kearah Maudi yang bersender kamar mandi dan menutupi kepalanya dengan handuk yang di bawanya barusan.
Chika merasakan dingin di sekitarnya, saat ia membangunkan Maudi dengan Stella yang masih bernyanyi itu dengan gemetar Chika menyuruh Stella membuka pintunya cepat. Hingga Stella melihat wajah Maudi yang hancur ingin ikut masuk kedalam sana juga.
Stella untung sudah memakai baju dan celana, mereka berdua berhimpitan dengan berpelukan. Chika menggigit bibir bawahnya saat ia baru saja kaget karena seumur hidupnya baru kali ini gadis itu melihat yang namanya hantu.
Dorrr!!... Dorrr!!... Dorrr!!...
"CHIKA, STELLA?! LO BERDUA DI DALEM?!." teriak Maudi dan Raina kompak menggedor pintu kamar mandi.
Mendengarnya, Chika dan Stella nampak bernafas lega. Mereka menarik gagang pintu dengan perlahan-lahan karena masih takut. "Huhh!." nafas keduanya masih tak beraturan.
"Ada apasih kalian berdua?." tanya Maudi spontan Chika dan Stella memukul kepalanya bersamaan.
"Duh?! Kok gue di geplak?!." gadis itu memegangi kepalanya yang sakit. Chika menatap Stella yang terus berteriak sembari merangkulnya. Chika memang terkejut melihat hantu, namun tidak selebay Stella yang terus berteriak.
Anak laki-laki meminta penjelasan mengenai alasan Chika dan Stella yang berteriak hingga terdengar kerumah-rumah lain. Bahkan banyak warga yang berlontang-lantung di depan rumah tersebut sekarang ini. "Haduh neng! Apa kalian gak baca surat yang saya beri?." tanya pak RT menyelidik.
Maudi mengambil surat yang di berikan lalu membaca ulang, di bawah peraturan tersebut ada yang tertulis kecil di bawahnya jika 'anak perempuan tidak boleh mandi saat menjelang malam'. Apalagi pergi bersama tiga anak. Sama saja mereka mengalami ganjil karena hal tersebut. "Maaf pak, kami kurang teliti." ujar Chika.
"Sudah, cepat tidur. Besok bapak antarkan kalian ke tempat tujuan." Pak RT keluar rumah dan mengatakan pada warga jika tidak ada hal yang serius. Anak laki-laki juga keluar dan memasuki rumah sewaan mereka.
"Asli gue takut banget. Lo kenapa gak bilang kalo lagi di dapur si?!." Stella kesal karena masih teringat wajah hantu yang mirip Maudi. Gadis itu menggedihkan bahunya acuh.
"Lo udah mandi La?." tanya Raina di angguki Stella, gadis itu melotot saat menatap kearah Chika yang terheran.
"Maaf ya Ce, lo jadi gak mandi gara-gara gue teriak gak jelas tadi." pintanya tulus. Chika mengangguk tak mengapa, lagian seharian ini ia tidak melakukan kegiatan yang mengotori tubuhnya.
"Tapi menurut gue aneh juga si, kita kan baru kesini dan langsung dapet kejadian kaya gini yang bahkan belum sehari disini." seloroh Raina memberi komentar ringan. Chika mengangguk membenarkan sembari berjalan menuju kamarnya. Mereka tidur berempat karena memang hanya satu kamar namun cukup luas untuk mereka, seperti ruang tamu yang tidak terpakai.
———
"Yailah kutu kuda, mau dandan secantik bidadari aja gak ada yang mau ngeliat modelan cewek kayak lo." ledek Reyhan mengomentari Stella di pagi hari. Suasananya memang berbeda karena waktu menunjukkan pukul enam lewat dua puluh empat menit yang mana embun masih terlihat tebal.
Stella yang mendengar tidak mengidahkan, gadis itu menjulurkan lidahnya dan mengibas-ngibaskan rambut panjangnya dengan bando berwarna kuning di kepalanya.
"Gendut, gendut, perut lo gak kenyang-kenyang perasaan." cerca Maudi pada Bima yang selalu makan di kondisi apapun, berbanding terbalik dengan Chika yang bahkan tengah terlihat mengantongi buku di tasnya.
"Bawaain ya Ra." pinta Chika pada Raina agar memegang camera yang di belinya untuk memfoto pemandangan nantinya. Raina yang melihat itu tetap mengangguk, sebenarnya ia malas jika menyangkut potret memotret.
Srakkk!... Srakkk!... Srakkk!...
Seorang ibu-ibu di samping rumah depan terlihat sedang menyapu halaman rumahnya. "Sudah siap semuanya toh. Bagus sekali, bapak kira masih pada tidur. Baru aja mau di bangunin." gurau Pak RT di pagi hari.
"Bapak kira kami bangun siang? Enggak dong, gini-gini kita udah siap ketempat bagus sesuai di foto hari itu. Ya kan guys?." ucapan Gilang di benarkan.
"Pagi bu." sapa mereka sembari melewati ibu-ibu itu dengan ramah. Pak RT berada di depan menunjukkan jalan dengan menceritakkan hal-hal kecil.
Mereka melewati persawahan luas dan perkebunan tanaman sebelum memasuki area awal dimana pemandangan yang di lihat kesembilan remaja itu merupakan air terjun lereng Gunung merah yang terletak tak jauh dari pedesaan. "Bagus banget gila! Ra fotoin kita Ra!." ujar Stella merangkul Maudi seakan melupakan kejadian semalam yang menimpa dirinya.
Ckrekkk!!... Ckrekkk!!...
"Biar gue aja, lo bisa gabung sama yang lain." Zafran berucap lalu mengambil alih camera, Raina enggan namun tetap memberika camera tersebut. Cowok itu tahu jika Raina memang tipe cewek yang sama sekali tidak berminat tentang foto, berbanding terbalik dengan Stella yang menyukainya.
▪ ▪ ▪
LERENG INDAH BUKIT MERAH—merupakan wisata kebanggan Desa Aran yang mana belum banyak orang mengetahuinya. Tempat seperti itulah yang kerap dilupakan orang-orang Kota yang lebih memilih untuk pergi ke pantai, club, ataupun negara yang bermusim delapan. "Kalo lo lompat, gue jamin kelelep." sindir Gilang pada Bima.
Kedua cowok tersebut tengah berjongkok di tepi bebatuan air terjun. "Eh gue udah bisa berenang ya!." sarkas Bima tak terima. Tentu saja Gilang tertawa ketika mendengarnya.
"Yah, yah! Gak ada sinyal lagi." Stella mencebikan bibirnya kesal, ingin meng-update ke sosial media tentang liburannya malah tidak ada jaringan sinyal yang mencakup di lereng itu.
"Jelas lah, ini kan gunung. Udah lo tinggal foto aja trus kalo udah sampe rumah baru lo update." Maudi berkomentar dengan bersedekap dada. Gadis itu memakai kacamata hitamnya.
"Mau kemana Pak?." tanya Reyhan melihat Pak RT yang ingin pergi. Pria itu memutar badannya kebelakang dengan senyuman yang terpampang jelas di bibir pria tersebut.
"Ada sms dari pekerja kuli bangunan di Desa. Bapak buru-buru mau turun, nanti bapak kesini lagi kok." ujarnya.
"Tenang aja pak! Kami bisa turun bareng nanti kalo udah selesai kok. Lagian jalannnya kan tinggal belok dikit dan gak jauh-jauh amat dari perkebunan tanaman." Raidan menyahuti santai. Pria itu menganggukan kepalanya.
"Yasudah, tapi ingat ya. Kalo sudah senja harus segera pulang. Jangan kemana-mana dan langsung ke rumah." ujarnya lalu bergegas pergi. Sembilan anak remaja tersebut mengangguk tanda mengerti hingga waktu menunjukkan pukul tujuh belas lewat dua puluh delapan menit yang terlihat dari arloji milik Gilang dan Chika.
"Kalian semua. Udah hampir gelap, kita kelamaan disini. Beresin barang kalian terus kita balik secepetnya." Zafran mengintruksi agar sahabatnya tidak lupa waktu dan bergegas pergi. Memang pemandangan sore tadi sangat memukau, tapi jika di lihat semakin malam. Terlihat tidak menyenangkan.
Ucapan Raidan sangat berbeda jauh dengan keadaan mereka. Hari sudah gelap, sekitar pukul tujuh kurang lima menit dan mereka masih di perjalanan turun yang terasa lama dan semakin mencekam. Banyak pohon menjulang tinggi di kiri dan kanan jalan, namun mereka tidak menyadarinya saat dalam perjalanan naik tadi. "Kok lama sih!, perasaan tadi pas berangkat cepet nyampenya." keluh Stella merengut.
"Iya aneh tau! Biasanya kan berangkat lama, pulang cepet. Kenapa kebalik gini sih sekarang?!." timpal Maudi. Chika menyeka keringat di dahinya, gadis itu juga merasa jika mereka berjalan terlalu jauh dan lama dari area awal naik.
"Dan! Lo sebenernya inget jalan gak sih?!." kini Raina berceletuk karena lelah. Ia menyorot tajam tetangga rumahnya dengan senter ponsel miliknya.
"Inget lah! Tapi gue juga ngerasa aneh sih. Semenjak kita turun, gak ada satu belokan pun yang kita lewati. Maka dari itu gue lurus terus dari tadi, tapi lama-lama cape juga." balas Raidan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!