NovelToon NovelToon

Belenggu Nafsu Kakak Ipar

Di Rumah Berdua

Di atas kasurnya, Alena duduk termenung menatap kosong ke depan sana. Ia tidak tahu ke depannya hidupnya akan seperti apa.

3 Hari yang lalu, Kakak kandungnya Halini baru saja berpulang untuk selamanya. Satu-satunya orang yang bisa Alena sebut sebagai keluarga, memilih pergi meninggalkannya sendirian.

Pemakaman hari itu berjalan dengan baik, di iringi dengan Isak tangis keluarga. Begitupula dengan ayah dan Ibu, mereka memasang wajah tanpa ekspresi. Alena harus bersyukur, setidaknya kedua orang tua mereka yang super sibuk masih menyempatkan diri untuk datang, melihat anak perempuan sulung mereka untuk yang terakhir kalinya.

Selepas pemakaman berakhir, kedua pasang suami istri tersebut hanya mengatakan sepatah kata pada Alena. "Kamu tetap tinggal sama Sean ya." Setelahnya tanpa peduli lebih lanjut, mereka kembali terbang menuju Paris.

Sean, kakak iparku yang resmi menjadi seorang duda sejak tiga hari yang lalu juga tampak linglung. Meskipun pernikahan mereka diakibatkan oleh perjodohan orang tua, mereka tetap pernah memiliki hubungan yang serius.

Aku, Alena, sudah tinggal di bawah atap yang sama dengan kakak kandungku semenjak ia menikah. Bukan tidak tahu diri, namun kakak yang memaksa.

"Kamu tinggal bareng kakak ya, enggak boleh protes!" Ucapnya hari itu.

Kakaknya bukanlah sosok yang sempurna, bukan juga tipe kakak yang di idamkan seorang adik, namun kehadirannya cukup memberikan semangat bagi Alena untuk terus bertahan.

Layaknya kakak beradik di luar sana, mereka juga sering beradu opini, berebut barang bagus, saling meminjam barang.

Kakaknya memang bukan sosok kakak yang baik, namun ia juga tidak jahat, Alena selalu merasa tercukupi hanya dengan kehadiran kakaknya.

Sekarang semuanya hanya tinggal kenangan.

"Al, ayo makan, kamu dari kemarin bengong terus, nanti sakit!" Sean berucap, entah sejak kapan ia berada di pintu kamar Alena.

"Iya, kak." Alena bergegas turun, menuju ruang makan.

"Mau makan apa?" Tanya Sean, ia tersenyum ramah.

" Aku bisa ambil sendiri kok kak, gapapa!" ucap Alena, buru-buru mengambil alih centong nasi yang sudah Sean angkat untuk Alena.

"Duduk aja Alena, kalau gini doang kakak juga bisa kok, tenang aja." Ucapnya menenangkan. Suaranya begitu berat namun menenangkan, tubuhnya tinggi semampai, segala gerak-gerik dan karakternya benar-benar menggambarkan seorang suami ideal. Gentleman.

Selalu seperti itu, sejak dulu kakak iparnya ini selalu memberikan kasih sayang juga perhatian pada Alena, layaknya adik kandung.

Setidaknya itu yang ia pikirkan. Sampai akhirnya Alena mengerti dengan jelas maksud dibalik semua perhatian yang Sean berikan padanya.

Kemarin malam, Alena mau tidak mau harus membangunkan Sean karena satu dua hal. Namun, pria itu tidak urung bangun dari tidurnya. Justru mengigau dengan keras.

"Alena, aku harus gimana biar kamu suka sama aku?"

Alena terkejut mendengar pernyataan tiba-tiba dari kakak iparnya.

Selama ini, Sean menyukai dirinya? Lalu bagaimana dengan Kakaknya? Apa perhatian yang Sean tunjukkan pada kak Halini itu palsu?

Sejak kejadian semalam, Alena semakin canggung setiap kali berinteraksi dengan kakak iparnya.

Ia takut, bagaimanapun di rumah ini hanya tersisa mereka berdua saja. Gagasan buruk menguasai pikiran Alena, namun seharusnya kak Sean tidak akan melakukan hal buruk yang hadir di benak Alena, dilihat dari tingkah laku kakak iparnya itu seharusnya itu tidak akan terjadi kan?

"Alena? Makanannya gak enak? Mau makan yang lain?" Lembut, Sean bertanya sambil mengusap pelan rambut adik iparnya itu.

Ah, atau mungkin bukan lagi adik iparnya?

Sebab statusnya sekarang adalah duda.

"Ah! Enggak kak, suka kok, tadi cuma lagi mikirin kerjaan." Bohong, Alena tidak mungkin mengatakan yang sesungguhnya kan.

"Di kantor ada yang nyusahin kamu? Kasih tau aja namanya biar kakak yang urus!" Suaranya berubah menjadi tegas begitu mengetahui Alena memikirkan kerjaan.

Entah bisa dibilang beruntung atau tidak, tapi Alena bekerja dibawah perusahaan yang dikelola Sean. Itu sebabnya, segala hal yang berurusan tentang kerjaan sangat di awasi dan diketahui oleh Sean.

"Bukan, maksudnya aku cuma mikir hari ini ada kerjaan apa gitu!" Elak Alena, gelagapan, takut akan menyebabkan masalah bagi atasannya di kantor.

Sean terkekeh pelan, gemas melihat tingkah panik gadis di depannya.

"Habis makan, berangkat sama kakak ya." Ujar Sean,mengusap pelan pucuk kepala Alena, sembari berlalu lewat, menyiapkan mobil, bersiap pergi ke kantor.

Alena biasanya tidak akan menolak, namun hadirnya kejadian semalam membuat Alena berusaha semaksimal mungkin untuk menolak ajakan kakak iparnya kali ini.

"Aku berangkat sendiri aja kak." Alena berbalik cepat. Menghentikan langkah kaki Sean yang sedikit lagi mencapai gagang pintu.

"Kenapa?" Sena mengernyit bingung, tidak suka. Biasanya gadis itu akan langsung mengiyakan ajakannya.

"Lagi pengen naik motor..." Suaranya meredup seiring kalimatnya berakhir. Alena takut kakak iparnya sadar bahwa ucapannya ketika tidur semalam diketahui oleh Alena.

"Oke, kalau gitu kita naik motor." Sean menjawab santai, meletakkan kunci mobil dan pergi mengambil kunci motor sport miliknya, lalu mengambil jaket kulitnya juga jaket milik Alena.

Alena di tempat duduknya, tidak tahu harus menolak dengan cara apa selanjutnya. Ia takut kegiatan menghindar dari kakak iparnya akan terbaca ketika ia membuat satu alasan lagi.

Hari itu dan seterusnya Alena tetap berangkat bersama kakak iparnya, begitu pula dengan pulangnya.

Kakak iparnya seolah tidak memberikan celah baginya untuk menghindar, apalagi sejak kepergian kakaknya.

Interaksi antar Sean dan Alena kian meningkat dan menjadi lebih sering.

Hingga akhirnya Alena memutuskan untuk melupakan kejadian malam hari itu.

'Lagipula mimpi itu kan sifatnya aneh, bisa jadi kak Sean juga enggak suka sama aku, iya, itu pasti cuma karena mimpi.'

Batinnya.

Selepas memantapkan pikirannya, Alena dan Sean memang lebih sering berinteraksi, baik rapat, kunjungan kerja, makan malam, sarapan, belanja bulanan, dan masih banyak lagi.

Hari ini, sepulang kerja, Sean mengajaknya pergi berbelanja bulanan. Mereka pulang sebentar untuk mengganti kendaraan menjadi mobil agar memudahkan membawa pulang belanjaan.

"Biasa kakak kamu cuci baju pakai sabun yang mana Al?" Tanya Sean saat mereka sedang berada di sesi sabun cuci baju.

"Aku gak tau Kak Halini pakai sabun apa." Alena menoleh, ia merasa tidak enak karena tidak banyak membantu dalam proses belanja bulanan ini.

"Kalau kamu, biasanya pakai apa?" Tanya Sean berusaha tetap menjaga interaksi antar keduanya, melihat Alena merasa bersalah.

"Yang lagi diskon kak." Ucapnya polos mengundang gelak tawa dari pria di sampingnya.

"Kenapa kak?"

"Enggak, lucu aja." Balas Sean ketika tawanya sudah reda.

"Jadi kamu gak ada merk sabun langganan ya?" Lanjutnya

"Enggak kak, tapi aku tau banyak rinso sih, kakak sebut aja mau yang wanginya kayak gimana, nanti aku pilihin." Ujarnya antusias, senang ketika mengetahui ada kesempatan bagi dirinya untuk membantu.

Sean tersenyum manis sebelum berkata "Kalau yang kayak kamu, wanginya apa?"

"Y-ya?"

Wangi seperti dirinya?

"Iya, baju kamu pakai sabun apa? Samain aja." Jelas Sean, mengelak dari arti awal yang ia maksudkan. Gadis di depannya benar-benar tidak peka.

"Ohh, aku pake yang itu!" Alena menunjuk pada satu sabun di atas rak.

"Tolong ambilin dong kak!" Pintanya pada Sean.

"Kalau dibantuin, nanti kakak dapet apa?" Pancing Sean.

Alena menelan ludahnya kuat. Bingung menjawab apa.

" Kalau aku traktir makan malam mau gak kak?" tanyanya. Pikirannya tidak bisa memikirkan jawaban yang lebih baik dari itu.

"Boleh banget." Pria di sampingnya tersenyum senang. Menggenggam tangan Alena, menuntunnya menuju kasir membayar.

Alena terdiam. Sentuhan ini normal kan harusnya?

Mabuk

Pagi ini, Alena tidak masuk kerja karena kakak iparnya meminta bantuannya untuk menemani dirinya pergi ke pesta ulang tahun anak dari rekan kerjanya.

Alena mematut dirinya di cermin. Gaun merah maroonnya yang ia padukan dengan outer berbulu domba membalut tubuhnya dengan sempurna.

Alena menghembuskan nafasnya gugup, sudah dua minggu lamanya sejak terkahir kali ia bertemu dengan Sean.

Malam itu, selepas keduanya pulang berbelanja bulanan, Sean mendapatkan kabar genting mengenai cabang perusahaannya di luar negeri, mengakibatkan dirinya harus segera terbang menyelesaikan masalah yang terjadi.

Tok Tok Tok

"Alena?" Suara seseorang yang ia kenal baik terdengar jelas di telinganya.

"Sebentar kak!" Alena segera mengambil dompet kecilnya, berjalan keluar kamar.

Di depan kakak iparnya sudah terbalut sempurna di dalam tuxedo mahalnya, rambutnya ditata sedemikian rupa hingga memperlihatkan sebagian keningnya.

Terjadi keheningan sejenak, Sean memperhatikan secara gamblang seluruh tubuh Alena, dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Ekspresi mukanya datar, Alena yang melihat itu sontak hendak segera berjalan kembali ke kamarnya. "Aku bisa ganti baju lagi kak, 5 menit, bentar."

Belum sempat melangkah, tangannya dicekal oleh Sean. "Ini udah bagus Alena, cuma gaun kamu bagian bawah terlalu terbuka, nanti jangan duduk jauh-jauh dari kakak."

"Iya kak."

Sean mengarahkan Alena menuju mobil sedan hitamnya. Membukakan pintu mobil agar Alena mudah masuk, tangannya tak lupa melindungi kepala Alena, agar tak terbentur atap mobil.

Setelah memastikan Alena sudah masuk dan duduk dengan sempurna, Sean berjalan mengitari mobil, masuk di kursi kemudi.

"Udah pakai seatbelt nya?" Tanyanya, sesegera setelah ia mendudukkan dirinya di kursi kemudi.

"Udah kak." Jawab Alena.

Tidak ada yang bersuara sepanjang perjalanan menuju Hotel tempat pesta diadakan, hanya iringan musik yang meramaikan suasana hening mereka.

Sedangkan Sean sesekali melirik ke samping melalui ujung matanya, mengagumi seluruh inci paras dan tubuh adik iparnya.

Ia benar-benar dibuat jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada adik iparnya. Perempuan dengan seribu pesona.

Sean meneguk ludahnya ketika pandangannya jatuh pada paha putih mulus gadis disampingnya.

Tubuhnya tegang memikirkan bagaimana menawannya paha putih itu jika ia memberikan tanda disana.

Sial, ia tidak seharusnya berpikir seperti itu.

...****************...

Pesta berjalan begitu meriah, ada begitu banyak orang hadir disini.

Sekarang, mereka sedang berada di sesi party, sekaligus acara penutupan, itu artinya akan ada DJ dengan musiknya yang kencang, minuman beralkohol, juga lampu warna-warni yang memusingkan mata.

Alena sudah terpisah dari Sean sejak 15 menit yang lalu. Sean dengan muka terpaksa harus mengijinkan Alena untuk menepi ke tempat sepi guna mengangkat panggilan telepon dari pacarnya.

"Aku juga gak tahu kalau ada sesi party begini, John." Ucap Alena pada pacarnya diseberang sana melalui telepon.

Sudah hampir dari 15 menit, Johnny terus menerus menginterogasinya akibat sesi party ini.

Hubungan yang baru jalan selama 2 bulan, selalu dihiasi dengan permasalahan.

Johnny pacarnya selalu mempunyai cara untuk memutar balik fakta, apa pun yang Alena lakukan selalu salah.

"Kalau gitu, putus aja Al, gua enggak mau punya cewek yang bebal!" Balas Johnny dengan nada marah. Selalu seperti ini ketika dia sudah kehabisan akal, gaslighting .

"hufft... Ya udah kalau gitu, kita putus!" Final Alena, ia lelah mempunyai hubungan yang tidak sehat seperti ini.

"Alena tun-" Belum selesai sepenuhnya ucapan Johnny di telepon, Alena dengan segera mengakhiri panggilan.

Sedih namun lega menjadi satu ketika Alena memasukkan kembali handphonenya ke dalam tasnya. Hubungannya dengan Johnny yang notabenenya seorang pria yang ia cintai telah kandas, namun memang sebaiknya hubungan yang tidak sehat harus diakhiri sebelum menyakiti lebih dalam.

"Gak apa-apa Al, ini hal yang benar!" Alena berseru kepada dirinya sendiri, berjalan masuk kembali ke dalam ruangan pesta, mencari Sean berada.

...****************...

Sesampainya Alena di sisi Sean, dengan segera lengan kekar laki-laki di sebelahnya itu melingkar di pinggangnya.

Alena yang merasakan itu, terhenyak sekali, hendak menyingkirkan lengan kakak iparnya sebelum perkataannya dipotong.

"Kenapa kamu lama sekali bicara dengan pacar kamu, hm?" Tanya Sean. Mukanya mendekat pada wajah Alena, sedangkan tatapannya yang terlihat kurang fokus turun pada leher jenjang Alena.

Alena mengernyit kala dapat mencium bau alkohol yang amat menyengat dari mulut kakak iparnya. "Kakak minum berapa banyak?"

"Hm?" Sean tidak mendengarkan perkataan Alena. Fokusnya sudah beralih pada leher Alena.

'sial, kenapa tubuhku panas sekali' Sean meneguk ludahnya keras menyadari minuman yang ia tegak sedari tadi pasti sudah dimasuki obat per*ngs**g.

Dengan nekat, Sean semakin mendekati leher Alena, mengendusnya pelan. Wangi gadis di depannya benar-benar menjadi candu baginya, hingga hanya dengan mengendus pelan saja, ia bisa merasakan sesuatu di bawah sana mulai bereaksi.

Alena yang risih segera menjauh dari Sean. "Kak! Kita pulang aja, kakak mabuk berat!" Tegurnya pada Sean yang sebentar lagi dikuasai obat.

Alena sontak menyeret Sean keluar ruangan pesta, membawanya ke mobil dan pulang, sebelum langkah mereka dihentikan oleh pemilik pesta.

"Ahh, dia kayaknya udah mabuk berat itu, mau tidur disini aja gak? Tenang saja, satu tempat ini udah kita booking untuk antisipasi kejadian seperti ini." Tawarnya pada Alena.

Alena hendak menolak, sebelum akhirnya Sean yang sejak tadi linglung mengambil alih pembicaraan. "Boleh Pak, kasian pacar saya kalau harus nyetir malam-malam."

Mata Alena membola sempurna mendengar penuturan laki-laki mabuk di depannya ini. Belum sempat memproses kejadian, Alena sudah ditarik menaiki lift menuju kamar hotel tempat mereka tidur malam ini.

"Aku yang bukain sini Kak!" Alena mengusulkan dirinya untuk membukakan pintu kamar hotel, karena sejak tadi Sean benar-benar seperti orang gila yang kesetanan. Gerakannya sangat tidak beraturan.

Alena berjalan masuk terlebih dahulu, baru Sean yang masih berdiri diam di pintu kamar yang baru saja tertutup.

"Langsung mandi kak, mulut kakak bau banget!" Titah Alena, berjalan masuk begitu saja ke dalam kamar hotel yang sama dengan seorang laki-laki mabuk tanpa rasa curiga sama sekali.

Ia tidak tahu, dibelakangnya laki-laki yang ia anggap kakak ipar itu sudah sepenuhnya dibawah kendali obat per*ngsang, tatapannya pada Alena sudah berubah, Sean sudah dipenuhi dengan hawa nafs*.

"Kak?" Alena berbalik ketika tak mendapati jawaban dari Sean, bahkan kakak iparnya itu tidak juga melangkah masuk ke dalam.

"K-kak gak apa-apa?" Alena yang melihat Sean yang hanya diam menatapnya dari atas hingga bawah dengan tatapan lapar. Bak hewan yang siap menerkam mangsanya.

Klek

Pintu di kunci manual oleh Sean, setelahnya ia masukkan ke dalam kantong celananya.

Berjalan perlahan ke arah Alena, masih dengan tatapannya yang sangat mengintimidasi.

Kakinya yang panjang, memudahkannya untuk memojokkan Alena dengan cepat. Alena sudah tidak bisa lagi mundur, ia terkukung sempurna di antara lengan Sean.

"K-kak....?" Alena menciut takut, tatapan kakak iparnya sangat berbeda dari biasanya.

"Saya gak kuat lagi Alena." Selepas mengatakan kalimat itu, Sean memadukan bibirnya dengan gadis pujaannya.

Malam mengenaskan

Alena dengan segera memberontak ketika alarm tanda bahaya berdenting di kepalanya.

Kenapa ia baru menyadari betapa bahayanya berada di dalam satu kamar yang sama dengan pria dewasa dibawah pengaruh minuman keras .

Alena mulai mendorong tubuh kakak iparnya dengan sekuat tenaganya, tubuhnya memberontak, wajahnya segera ia alihkan ke arah manapun guna menghindari Sean.

"Kak Sean! Jangan Macam-Macam Ya!" Alena setengah berteriak memperingati.

Namun, sia-sia saja, sebab pria di depannya sudah tenggelam dalam pengaruh hal buruk.

Alena juga tidak bisa bergerak menjauh, bahkan satu inci pun, tenaga Sean terlalu kuat untuk ukuran pria yang sedang dibawah pengaruh minuma keras atau mabuk.

Sret

Brakk !!

"Aaa!" dalam satu kedipan mata, Alena sudah berada di tempat tidur.

"aku harus pergi dari sini, Kak Sean benar-benar tidak main-main. Gimana caranya keluar dari sini ?!“

Alena kalang kabut ketika mendapati Sean sudah menyusul . Ia panik setengah mati.

Alena semakin takut dibuatnya, dengan asal ia menggerakkan tubuhnya kesana kemari, memberontak tidak terima perbuatan yang Sean layangkan padanya.

Kedua tangannya ia pakai, menghentikan pergerakan tangan Sean yang semakin lama semakin kemana-mana "Kak Sean, sadar kak!"

Kakinya ia gerakkan naik dan turun, tidak bisa leluasa.

Niat ingin menendang perut kakak iparnya harus ia lepaskan, Alena harus mencari jalan keluar lain.

Sean tidak memberikan waktu pada Alena untuk bertindak.

Alena yang merasakan bahwa tubuh Sean semakin bergerak ke arah yang tidak seharusnya, dengan segera bangun, ia berusaha melindungi dirinya dengan menjambak kuat rambut kakak iparnya.

"Lepas! Aku bilang lepas Kak! Kakak Udah keterlaluan! " Alena berteriak, menahan Sean sembari mempertahankan mahkotanya yang hendak direnggut pria yang sudah menjadi kakak iparnya selama hampir 2 tahun.

Sean menggeram marah, ia sudah tidak bisa menahan lagi.

Namun, gadis kecilnya tidak mau berkoperasi dengan baik.

Dalam durasi beberapa detik saja Sean, sudah berhasil menguasai kedua tangan Alena.

"KAK SEAN! JANGAN! tolong jangan begini! " Alena beteriak panik

" INI AKU! AKU ALENA ARTHUR, BUKAN KAK HALINI !” berkali-kali ia mengingatkan siapa dirinya

Alena berteriak dengan keras ketika kakak iparnya berhasil sepenuhnya mempermalukan dirinya.

Alena membola, nafasnya semakin memburu, menggelengkan kepalanya kuat, melihat tingkah gila kakak iparnya.

"Kak Sean.... Hiks...jangan kak..aku gak mau begini!"

Air matanya luruh, tetap tidak menghentikan pergerakan Sean yang sudah memulai aksinya.

"Ahh.. KAK SEAN! berhenti tolong!"

Tak digubris, tentu saja permohonannya

"Maaf Alena." Tepat setelah mengatakan itu, Sean meresmikan alena sudah menjadi miliknya sepenuhnya.

"ARGH! SAKIT KAK! " Alena memberontak dengan sangat kuat.

" LEPAS ! " Alena terus mendorong Sean dengan lututnya walaupun ia tidak merasakan adanya sedikit perubahan pada jarak antara dirinya dengan kakak iparnya, Sean.

Alena sudah menangisi keadaan dirinya yang kehilangan mahkotanya. Pasrah akan keadaan yang menimpanya. Rasa sakit, malu, kecewa, dan marah bercampur menjadi satu.

"hiks.. Kak Sean jahat...hiks.." Suara isakkan tangis Alena mulai terdengar setelah sebelumnya masih berusaha ia tahan.

"Sakit kak... Udah.."

" Kenapa kakak hiks jahat sama hiks aku…..” Alena tidak menyangka kakak iparnya melakukan hal ini padanya.

"Kamu terlalu takut , itu sebabnya sakit." Itu jawabannya atas semua pernyataan sedih yang alena lontarkan.

"Sial, kamu begitu candu Alena." Sean semakin lama semakin menggila.

...****************...

‘kenapa kak sean ngelakuin ini sama aku? aku ada salahkah? Kak Sean jahat banget, aku benci sama kakak!’ Alena terus mengucapkan kalimat kalimat kebenciannya pada kakak iparnya melalui pikirannya, sebab tenaganya mulai terkuras habis.

mulutnya ia paksakan berbicara, dengan seluruh sisa tenaga yang ia milik, Alena kerahkan untuk mengucapak dua patah kata yang ia tahu dengan baik bahwa kemungkinan Sean mendengarkan ucapannya sangat lah tidak ada.

"cukh-up.. kak....” ucap Alena benar- benar pelan, ketika matanya sudah mulai tidak bisa terbuka sepenuhnya.

Pandangannya mulai memburam, ia tidak bisa melihat sejelas awal, seperti ada bayangan yang menutupi pandangannya. semakin lama semakin membesar.

Tubuhnya terasa penuh dengan peluh, namun Sean masih tidak mau menyerah, mungkin pengaruh alkoholnya masih tersisa .

Staminanya seperti tidak ada habisnya. Padahal mereka sudah melakukan ini hampir 3 jam.

Pandangan Alena mulai kabur, ia tidak kuat lagi. Ini pengalaman pertamanya, dan ia sudah digempur habis-habisan selama satu jam tanpa istirahat.

Alena jatuh pingsan dalam keadaan menyedihkan.

...****************...

Matahari sudah berada di singgasananya,awan-awan memamerkan bentuk-bentuk abstrak nan indah merka, burung- burung sudah kembali pada sarangnya untuk memberikan makanan pada bayi-bayinya yang berkicau meminta makan. Disaat yang bersamaan, baru seorang lelaki di dalam kamar itu membuka matanya.

Kepalanya begitu pusing, tubuhnya lengket, namun anehnya terasa menyegarkan.

ia hampir tidak mengingat apa yang terjadi semalam. Ingatannya hanya berputar sampai pada waktu dimana Alena meminta ijin untuk mengangkat telepon dari pacarnya, Johny.

Sean menoleh ke samping kanan kasur tempat dimana nakas seharusnya berada, hendak meraih handphonenya , namun ia tidak menemukan benda apapun di atas nakas kecuali lampu tidur, itu sebabnya Sean berbalik ke arah sebaliknya, sebelah kiri.

Matanya dibuat kaget, ketika mendapati Alena berbaring disebelahnya tanpa busana, tubuh adik iparnya itu dipenuhi dengan memar kebiruan dan sedikit lebam.

Ia baru menyadari apa yang sudah ia lakukan semalam ketika netranya jatuh pada pakaian-pakaian yang mereka kenakan semalam malah tercecer berantakan di bawah sana.

"Sial! Harusnya gak begini!" Rutuknya pada diri sendiri, menyugar rambutnya ke belakang, matanya membelalak frustasi.

Dengan segera ia menoleh ke Alena, berusaha memeriksa keadaannya. Namun, adik iparnya tidak bergerak sama sekali ketika ia coba bangunkan.

“Alena…”

" hei, al?”

Sean segera menyibakkan selimut yang membalut dirinya, beranjak ke sisi kasur tempat Alena berbaring.

" Alena? kamu bisa dengar suara kakak?” Sean mengguncang pelan lengan alena, hanya untuk mendapatkan abaian.

Alena bukan tipe orang yang tertidur lelap sekali hingga tidak menyadari terjadi sesuatu di sekitarnya, gadis itu adalah gadis yang cenderung mudah terganggu dalam tidurnya, bahkan suara terkecil dari hujan seperti gerimis atau suara kucing yang mengeong pun bisa menganggu, membangunkan Alena dari bunga tidurnya. Sontak Sean panik, menyadari semalam ia sudah menyerang Alena selama 3 jam penuh.

Gadisnya pasti jatuh pingsan, Alena kehilangan kesadaran akibat perbuatan dirinya.

Dengan cekatan tangannya mengambil hand phone genggamnya menelepon dokter keluarga. satu tangannya lagi bertengger di dahi,menekan kuat kepalanya yang tearas memberat setiap detiknya, frustasi dengan keadaan yang kacau.

Kakinya berjalan memutari kasur empuk di isi oleh Alena yang tidak sadarkan diri entah dari kapan. Mondar-mandir di sekitar sana.

" Iya, tolong cepat dokter, ini darurat!” ujarnya pada dokter keluarganya di akhir percakapan, menegaskan dokter kepercayaannya untuk bergegas dengan secepat mungkin.

Sembari menunggu dokter datang memeriksa keadaan Alena, Sean juga dengan telaten memakaikan kemeja, celana, hingga tuxedo miliknya pada tubuh Alena dengan lembut dan pelan, juga mengobati beberapa memar di tubuh Alena dengan salep yang sudah ia minta pada pekerja di hotel tempat mereka menginap.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!