Namaku Nurmala. Aku adalah mahasiswi tingkat awal yang berkuliah di salah satu kampus di Jogja. Aku bukan orang asli Jogja, kampungku ada di Sumatera Barat.
Ini adalah pertama kalinya aku mendaki gunung bersama teman-teman kampus dan tak kusangka menjadi perjalanan yang tak akan terlupakan seumur hidupku.
“Kita mainnya santai, jadi ga perlu ngebut-ngebut jalannya Bray. Kasihan cewek-cewek di belakang!” ucap seorang pemuda dengan nada meninggi agar orang di depan bisa mendengarnya.
Dia adalah Mike, pemuda berperawakan tinggi, berkulit cerah, rambutnya lurus sebahu dan berwajah blasteran. Sejak dua jam yang lalu dia selalu berjalan di sampingku, selalu menanyakan apakah aku capek atau tidak dan menawariku air minum. Aku rasa dia menyukaiku, bahkan sejak masa orientasi mahasiswa baru beberapa bulan yang lalu.
Diam-diam aku curi-curi pandang pada hidungnya yang mancung itu. Tapi, apa itu? Aku menangkap sesuatu di balik tubuhnya. Ada semak di sekitar pohon besar di pinggir jalur pendakian yang menyerupai dinding. Di sana bersandar sesosok makhluk hitam besar berbulu.
Bola mataku bergetar, berair, beberapanya menetes di pipi. Mulutku kelu padahal begitu ingin berteriak karena tak sanggup melihat hal semengerikan itu. Apalagi tubuhku, semuanya terasa beku padahal aku ingin berlari.
Itu bukan binatang buas! Tidak ada beruang yang penampakannya seperti itu. Wajahnya hancur berdarah-darah dan hangus, matanya merah besar mencerminkan amarah yang berapi-api.
“Mal?” Mike heran. Beberapa kali ia menoleh ke arah titik yang sedang kupelototi tapi sepertinya ia tak melihat apapun.
“Mala? Halo?” Mike melambaikan tangan padaku. “Kamu baik-baik aja kan Mal? Ada apa?” lanjutnya.
“Kamu pucet banget. Mungkin kamu kecapean. WOIII… ISTIRAHAT DULU!” teriak Mike kepada teman-teman di depan.
Rombongan pun berhenti. Mereka mengelilingiku. Aku saat ini sudah duduk untuk beristirahat. Ada yang memberikanku minyak angin, air minum, dan makanan ringan. Semua terlihat cemas. Sementara aku masih terdiam kaku dengan wajah ketakutan.
Tak lama kemudian…
“AAAAAAAAA…”
… terdengar teriakan seorang perempuan sekitar beberapa puluh meter dari tempat kami berhenti sekarang. Semua orang menoleh kaget. Mawar, salah seorang temanku memelukku erat.
“Aku yakin kamu pasti habis ngelihat hantu kan Mal?” ucap Mawar nyaris berbisik. Aku pun mengangguk pelan. Dari tangan Mawar yang gemetar kurasa sepertinya dia begitu ketakutan.
Tak berapa lama ada rombongan yang turun dan melewati kami. Seseorang di antara kami menanyai rombongan itu dan dari jawabannya sepertinya mereka sedang menyembunyikan sesuatu.
“Kalian mau naik? Mendingan ditunda aja, atau balik aja. Balik! Kecuali ada di antara kalian yang memang asli orang sini,” ucap salah satu cowok di rombongan yang baru turun itu.
Orang itu pun disusul oleh teman-temannya yang sedang berjalan sambil memapah seorang perempuan. Perempuan itu tampak kesakitan menangis-nangis. Sepertinya dia adalah orang yang berteriak-teriak histeris tadi.
Teman-temanku tampak kebingungan dan takut. Mereka saling beradu pandang setelah rombongan tadi lewat. Akhirnya Kak Romi, ketua rombongan kami pun memutuskan agar kami menunda perjalanan dan bermalam di tempat ini saja.
Sebenarnya waktu belum terlalu sore, masih jam tiga. Tapi karena langit agak sedikit gelap karena berawan, ketua pun memperkirakan mungkin cuaca sedang tidak baik untuk kami melanjutkan perjalanan. Padahal aku tahu, itu hanya alasan yang mengada-ada. Pasti sebenarnya yang dikhawatirkan bukan cuaca melainkan fenomena misterius yang baru saja kami jumpai.
Orang-orang berbenah, ada yang mendirikan tenda, menyiapkan masakan, mencari kayu bakar dan air, sementara aku hanya berdiam diri. Mawar menemaniku. Aku diminta istirahat saja sebab kondisiku masih pucat katanya.
Mike pun datang. Mawar senyum-senyum melihat kedekatanku dan Mike, lalu Mawar pun pamit pergi. Ia bergabung dengan teman-teman lain yang sedang beraktivitas mendirikan tenda.
Mike begitu perhatian denganku. Ia berjanji akan selalu menjagaku. Bahkan di saat aku kebelet buang air kecil pun ia mau menemaniku, Mike yang menawarkan diri.
Aku dan Mike pun pergi memisahkan diri dari rombongan. Walaupun tidak terlalu jauh, tapi tempat kami berada sekarang cukup tersembunyi. Mike berbalik badan menungguiku. Aku berjongkok di balik perdu pendek untuk buang air dan kami tetap mengobrol untuk memastikan keberadaan kami.
Setelah selesai aku buang air, kami pun hendak kembali kepada teman-teman. Tapi, langkahku terhenti. Mike menahanku. Ia mendekat, kali ini sungguh sangat dekat.
Sesekali Mike melirik ke sekeliling sebelum menyelesaikan kata-katanya. “Mala, aku yakin kamu pasti udah tahu kalau selama ini aku sayang sama kamu,” ucapnya lirih.
Mike terus mendekat seakan hendak menciumku. Akupun mundur tapi ia terus maju mengejar langkahku pelan. Sampai terpojok pada sebuah batang pohon yang besar. Aku pun tak bisa mundur lagi untuk menghindar dari Mike.
Benar saja, ternyata ia ingin menciumku. Aku palingkan wajahku, aku sangat gugup. Mungkin ini tidak semestinya terjadi. Namun, jemari Mike memegang daguku. Ini memaksa mata kami beradu. Aku pun terhipnotis oleh kata-kata indahnya, suara lembutnya dan helaan napasnya yang perlahan semakin pekat menabrak pori permukaan hidungku.
Kami pun melakukannya. Perasaan hangat yang menyenangkan, seperti sedang makan es krim mulutnya sangat lembut dan basah.
Perlahan tangannya mulai berlabuh di leherku, kemudian semakin turun dan terasa seperti pijatan-pijatan lembut di dadaku.
Sebuah dehaman membuat kami menghentikan aktivitas ini. Orang itu berada agak jauh tapi kami tetap berusaha agar kami tidak ketahuan dari orang itu.
“Ni anak berdua mana sih? Buang air aja lama banget,” gerutu orang tersebut kemudian. Dehaman yang mulanya terdengar jauh kini dengan adanya kata-kata itu menandakan orang itu semakin mendekati kami.
Aku dan Mike pun saling menjauh dengan sama-sama menunjukkan wajah yang kikuk. Kami berdua pun kembali ke rombongan seperti tidak terjadi apa-apa tadi.
Saat aku berjalan meninggalkan pohon besar tempat aku bersandar tadi dari ujung mataku seperti nampak sesosok bayangan sedang ada di sana. Tapi itu terlihat di saat aku tidak benar-benar menatapnya dan ketika aku menoleh untuk memperhatikan secara fokus ternyata tidak ada apapun di sana.
Aku yakin betul tadi seperti ada sosok dengan pakaian putih di sana, seperti seorang wanita tapi tidak begitu jelas. Lagi-lagi hal ini membuat bulu kudukku merinding.
Aku memandang ke Mike, sepertinya ia tidak merasakan ketakutan yang sedang aku rasakan sekarang. Aku heran, kenapa lagi-lagi aku yang menyadari kehadiran sosok gaib di tempat ini. Aku sangat merasa tidak nyaman.
Malam pun tiba. Setelah makan malam, Mike mengantarku menuju tenda. Lagi-lagi Mawar membiarkan kami. Hanya Mawar yang tahu ada sesuatu di antara aku dan Mike, sementara yang lain sepertinya tidak. Mawar sangat mendukung kalau seandainya aku dan Mike berpacaran, itu yang selalu ia katakan padaku.
Mike ternyata tidak benar-benar mengantarku ke dalam tenda. Setelah sampai di muka pintu, ia mengajakku berbelok. Kami pun berjalan memutar ke belakang tenda.
Aku kembali merasakan perasaan menggebu-gebu yang tadi sore aku rasakan saat aku dan Mike melakukannya. Aku tebak Mike ingin meneruskannya sekarang.
Benar tebakanku. Kami kembali melakukannya. Namun, kali ini lebih dari tadi sore. Kali ini kami saling menggesekkan bagian tersensitif kami di antara kedua paha. Aku pun khawatir, takut apabila hal ini terlalu berlebihan. Maka, aku menolak tubuhnya dengan telapak tanganku dengan pelan.
Mike tersenyum memaklumi. “Jangan khawatir Sayang. Tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi. Aku akan menjagamu. Percayalah,” bujuknya.
Aku menggeleng. “Ta-tapi Mike…”
“Baiklah, mungkin kita ga perlu buru-buru. Masih ada hari esok,” ucap Mike.
Mike pun mengantar aku ke tenda lalu berpamitan. Aku pun beristirahat. Jantungku masih berdetak kencang maka aku mencoba mengatur napas dan aku pun tertidur.
Baru beberapa menit aku menutup mata, tiba-tiba ada seseorang yang membangunkanku. Ia menepuk-nepuk pipiku. Kurasakan telapak tangannya yang keriput.
“Cu…” Aku melihatnya duduk di sampingku. Seorang kakek dengan pakaian tradisional. Aku terperanjat dan dia mencoba mencegah teriakanku dengan membekap mulutku.
“Sssst…” katanya sambil menutup bibirnya dengan telunjuk.
“Bersiaplah Cu, aku akan membawamu.”
“Membawa saya Kek? Memangnya apa yang…” tanyaku pelan.
“Kamu sudah dikutuk Cu. Kamu dan pacarmu telah melakukan hal yang terlarang di tempat ini,” jawabnya dengan senyuman yang licik dan mengerikan.
“Ta-tapi Kek. Ja-jangan… Jangan…” Aku meninggikan suaraku.
Seseorang menepuk-nepuk pipiku. “Mala, bangun Mal… Bangun…” Itu adalah suara Mawar.
Aku pun membuka mata. Tampak beberapa orang mengelilingiku. Rupanya tadi aku telah bermimpi, untungnya.
Namun, tanpa sengaja pandanganku mengarah ke pintu tenda. Dari sana tampak sesosok menyeramkan mengintip dari samping. Sosok yang terbungkus kain dengan ikatan di kepalanya. Wajahnya begitu legam dan matanya menyala seperti mata binatang yang terkena pantulan cahaya.
“AAAAAAA…” Aku berteriak sambil menutup wajahku dengan kedua tanganku.
Ini dosaku! Aku dan Mike telah berbuat dosa! Aku yakin mimpiku barusan bukan mimpi kosong. Aku tak mau kalau nantinya hanya aku yang menanggung akibat ini sendirian.
Pagi pun tiba. Semalam Mawar dan beberapa teman berhasil menenangkanku. Ada pula Bang Najib yang syukurnya cukup religius bisa membuat aku tertidur dengan lantunan doa-doanya.
Seketika saat aku melihat Mike yang hendak mendekatiku ketika aku baru saja hendak keluar dari tenda, aku pun mencoba menghindar darinya. Aku pergi menjauh kemudian Mike memanggil-manggilku sambil mengejarku.
Dengan keadaan lemas pikiranku terasa begitu kacau. Aku takut kalau bersama dengan Mike akan membuat kutukan dalam mimpiku itu benar-benar terjadi. Jadi, aku pun berlari dengan kalutnya. Langkah kaki dan suara Mike justru membuat kayuhan kakiku semakin kencang.
Tanpa kusadari aku sedang menjauhi rombongan. Aku tidak yakin apakah Mike yang sedang mengejarku sedang bersama teman lainnya atau sendirian. Yang jelas aku terus berlari menjauhi tenda.
Semakin jauh aku berlari, tubuhku semakin sempoyongan. Napasku terengah-engah dan suara Mike sudah tak terdengar lagi. Sepertinya keberadaanku saat ini sudah cukup jauh dari Mike. Aku istirahat sebentar sambil menunduk, kedua tanganku menopang di kedua lututku.
Perasaan yang tidak karuan merongrongku. Aku tak tahu sekarang aku sedang ada dimana. Aku menangis sendirian dan berharap ada orang yang menolongku, tapi jangan Mike!
Dari kejauhan terdengar derak langkah kaki menginjak seresah kering dan reranting. Aku menegakkan diri, pandanganku berkelana, berharap menangkap kehadiran seseorang yang bisa menolongku.
Benar saja. Ada seorang bapak-bapak yang membawa seikat kayu bakar di bahunya hendak melintas. Lantas aku pun mencegat lelaki itu.
“Pak… Tolong saya Pak,” mohonku kepada lelaki berperawakan kurus itu.
Ia adalah lelaki tua yang berusia kira-kira lima puluh tahun. Kulitnya gelap, rambutnya pendek tipis berwarna dominan putih, lingkar matanya cekung seperti hampir tak mampu menahan kedua bola matanya lagi, bertelanjang dada dengan sarung setinggi lutut dan tanpa alas kaki.
Ia sedang memanggul seikat kayu ranting yang dipotong dengan ukuran yang sama dan diikat dengan semacam kulit kayu yang fleksibel.
Ada kesuraman pada wajahnya, tatapan matanya kosong, wajahnya kaku bahkan untuk bicara pun seakan enggan. Sungguh aneh orang ini. Tapi sudahlah, yang penting aku masih bertemu manusia untuk kumintai tolong.
Lelaki tua itu berhenti untuk mendengarkanku. Tapi, ia tidak juga memandang wajahku. Seperti yang kubilang tadi, tatapannya kosong. Ia hanya menatap jalan tanah di depannya. Apakah orang ini buta? Sepertinya tidak. Kalau buta bagaimana bisa dia berjalan di hutan sendirian tanpa gimik meraba-raba perjalanannya?
“Mari ikut saya,” ucapnya lambat.
Wajahku sedikit berseri. Ada kelegaan di hatiku. Aku akan ditunjukkannya jalan. Setidaknya aku akan diantarkannya ke desanya, atau setidaknya ke rumahnya. Yang penting bertemu manusia lain. Apalagi kalau ada makanan dan minuman. Soalnya sejak tadi aku belum meminum dan memakan apapun. Badanku kini lemas sekali.
“Iya Pak. Terimakasih sekali. Syukurnya ada Bapak di sini,” ucapku sambil memulai langkahku.
Sepanjang perjalanan, orang ini tidak mengajakku bicara. Aku ajak dia bicara tapi kadang dijawab kadang tidak dan kalaupun dijawab kata-katanya singkat-singkat. Ah, sudahlah. Mungkin orang ini sedang badmood.
Kami berdua berjalan menelusuri jalur pendakian menurun. Matahari seharusnya semakin meninggi. Mungkin tadi aku keluar tenda sekitar jam delapan. Seharusnya ini sudah jam sembilan atau sepuluh. Tapi anehnya suasana langit kian seperti suasana senja. Lalu ada kabut setinggi perdu yang semakin pekat.
Mungkin cuaca di gunung seperti ini, tidak bisa ditebak. Maklum saja, karena ini adalah kali pertama aku naik gunung. Sebelumnya aku adalah anak rumahan yang jangankan ke gunung, ke kebun aja tidak pernah. Tapi, semenjak aku merantau untuk kuliah di daerah ini aku jadi punya kebebasan untuk bepergian. Sedikit alasan yang kubuat-buat saat meminta izin ke orang tua bisa memuluskan berbagai rencana liburanku.
“Hihihihihi…” Terdengar suara perempuan tertawa cekikikan tapi caranya tertawa sepintas seperti suara ayam betina, agak lain, sedikit cepat dan suaranya pendek-pendek.
Aku menghentikan langkahku dan melihat ke sekeliling. Rasanya sedikit mencekam di sini, jadi aku berusaha mencari di mana sumber suara itu.
Saat kumenoleh aku tidak melihat apapun yang mencurigakan. Tapi, ketika pandanganku kembali kutujukan ke lelaki tua pembawa kayu bakar itu tiba-tiba saja ia menghilang. Aku pun panik.
“Pak? Bapak?”
Aku mencari kehadiran lelaki tua itu ke sekitar dengan isak tangis. Aku ketakutan karena menyadari aku hanya tinggal sendirian sekarang.
“PAK… BAPAK! BAPAK DIMANA?” Aku mulai meninggikan suaraku dan memanggil-manggilnya. “PAAAK… BAPAAAK…”
“Hihihihi…” Lagi-lagi suara cekikikan perempuan itu terdengar dan kali ini lebih dekat.
Di ujung mataku seperti tampak aku sedang diperhatikan entah oleh siapa. Ketika aku menoleh dan fokus melihat ada siapa di sana ternyata tak ada siapapun. Tapi, suara-suara itu nyata. Jelas ada orang!
Lalu tanpa sengaja aku mendongakkan kepala tampak olehku rambut panjang yang menggantung. Setelah difokuskan lagi pandanganku ternyata itu adalah kepala yang terbalik.
Ada sosok perempuan berbaju putih dengan rambut panjangnya sedang bergelayut terbalik di cabang pohon. Aku ketakutannya bukan main. Itu kuntilanak! Pasti!
Maka kukayuh kakiku sekencang mungkin, mencoba meninggalkan tempat mengerikan itu. Tapi suara cekikikannya seperti tidak hilang-hilang, seperti terus mengikutiku.
Akupun berteriak-teriak minta tolong. “TOLOOONG… TOLOOOONG…”
Kemudian dari kejauhan seperti terdengar suara orang-orang, seperti ada keramaian di ujung jalan sana. Aku pun semakin mengayuh kakiku untuk menujunya. Untungnya semakin aku mendekati suara kerumunan itu suara cekikikan kuntilanak itu semakin tak terdengar lagi.
Yang ada di pikiranku sekarang di depan sana adalah desa atau pasar. Jalur ini tertutup semak yang tebal, aku akan segera keluar dari sini.
Aku pun keluar dari rimbunnya kepungan semak tapi ternyata itu adalah sebuah tebing. Aku nyaris melompat ke jurang. Aku menghentikan langkahku secara mendadak tapi sayangnya aku tak berhasil mengerem. Aku jatuh, tapi untungnya di ujung tebing ini ada sesuatu yang bisa kupegang.
Aku pun menggantung dengan memegang sebuah akar pohon yang menyembul. Di bawah sana adalah jurang yang dipenuhi kanopi pohon, jurangnya dalam sekali. Kalau tadi aku terjun bebas ke bawah sana mungkin aku akan langsung mati.
Aku bertahan sampai tanganku lecet. Peganganku nyaris lepas karena tak tahan menahan beban dengan rasa perih di tangan. Tubuhku terlalu lemas untuk menarik diri naik ke atas.
Aku pun berdoa, meminta pertolongan Tuhan. Kupejamkan mataku dan kucoba lagi dan lagi agar kubisa naik. Aku membantu tubuhku dengan cara mencakar-cakar tanah tebing dengan ujung sendalku, berharap bisa memijak.
“AYO KAMU BISA NURMALA! JANGAN MATI KONYOL! NURMALA BODOOOOOH!” Teriakanku ternyata mampu membuat semangatku kembali berkobar. Aku pun dapat menarik tubuhku sehingga berhasil naik ke atas tebing.
Aku merangkak di ujung tebing lalu setelah aman aku pun menjatuhkan tubuhku dan berbaring di atas tanah. Kuhela napas dengan lega. Aku selamat.
Setelah beberapa lama beristirahat aku pun membuka mataku. Aku bangun, kupaksakan tubuhku. Aku akan mencari pertolongan lagi. Ternyata tadi aku baru saja berhalusinasi. Suara-suara yang seperti pasar itu bukan apa-apa melainkan jurang yang menganga.
Aku butuh asupan. Mungkin karena perutku kosong dan dehidrasi sehingga pikiranku kacau seperti ini. Kulihat-lihat pun tempat ini masih saja aneh suasananya. Tidak juga berubah.
Aku berjalan membungkuk sambil memegangi perut. “Tolooong…” Suaraku tak lagi bisa meninggi, tenggorokan pun sangat kering sehingga suaraku sedikit parau.
Dari kejauhan kulihat ada bangunan kayu, seperti gubuk. Aku pun mendatanginya. Semoga ada orang di sana.
KRUUUS… TUUUNG… GRAAAK…
Aku mendengar sesuatu ketika sudah sampai di muka pintu. Pasti ada seseorang di dalam!
Aku pun mengintip dari celah kayu pada pintu gubuk ini. Ada seorang nenek-nenek di sana. Perasaan lega kembali menerpaku.
Tanpa pikir panjang, aku pun langsung membuka pintu itu. Namun, apa yang kulihat sungguh mengerikan. Nenek dengan rambut yang terurai dan gulungan kecil di atas kepalanya itu sedang memakan sesuatu yang berdarah-darah.
KRUS KRUS KRUS…
Di atas mejanya aku melihat potongan kaki. Itu bayi! Bayi manusia! Astaga!
Bola mataku bergetar, berair, air mata pun tumpah dan semakin deras dengan wajah beku seperti tersihir juga segenap tubuhku. Aku tak bisa bergerak, begitu syok.
Nenek berwajah buruk rupa itu melotot kepadaku sambil mengunyah.
Ada sengatan listrik dari matanya kepada mataku, memaksaku untuk terus menatap matanya. Entah kenapa aku tak bisa beralih dari matanya.
Aku serasa tersedot ke dalam matanya. Ada sesuatu di sana, seperti rekaman film usang yang mengerikan. Aku berusaha menolak tapi jiwaku terus saja tersedot masuk ke dalamnya.
Mimik wajahnya kian berubah. Yang tadinya seperti marah lalu semakin meregang dan tenang. Nenek itu seperti memandang seseorang yang dikenalnya.
Seketika wanita tua itu menghentikan kunyahannya. Ditaruhnya potongan daging dari tangannya. Wanita tua berpakaian lusuh berwarna kelabu itu mendekat. Di langkah keduanya ia mengambil tongkat berkepala jenglot yang ada di dekatnya dan ia gunakan untuknya melangkah kemudian.
“Etek Revi,” ucapnya dengan suara parau khas nenek-nenek.
Wanita tua ini pun berdiri di depanku, arah matanya tidak pernah ia lepaskan dari mataku. Dibelainya rambutku dan ia pun tersenyum. Tampak barisan giginya yang hitam dan bentuknya tak utuh lagi. Bibir pecah-pecah keriputnya membuatku hampir tak percaya. Semenakutkan itu dirinya tapi ia tersenyum.
Aku tak merasakan senyum jahat dari wajahnya. Ia benar-benar tersenyum padaku, meredakan gemetar di sekujur tubuhku. Aku pun terbawa pada kisah masa lalunya yang ia sampaikan lewat kedua matanya.
*
Seorang gadis berusia sekitar dua belas tahun sedang riang menggodaiku yang tengah menyusun sebuah rangkaian bunga. Sebuah seni bernama ikebana, di mana beragam jenis bunga disusun sedemikian rupa dalam satu wadah. Gadis itu tertawa menggodaiku.
“Monah mau Etek ajari membuat ini?” tawarku.
“Mau Tek! Mau!” Dengan antusiasnya gadis itu mengikuti arahan yang aku berikan. Setangkai demi setangkai bunga ditusukkannya ke media gabus spons kering.
*
“Bagaimana Tek?” tanyanya. Rupanya gadis kecil itu kini sudah besar. Usianya sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun.
Waktu telah berlalu lama dan selama itu gadis bernama Monah ini menekuni seni ikebana dengan sangat baik.
“Cantik sekali Sayang,” jawabku.
Tunggu sebentar. Kenapa suaraku berubah seperti ini? Aku telah lebih tua sekarang. Suaraku sudah seperti ibu-ibu.
“Monah sedang mempersiapkan diri untuk lomba ikebana, Etek. Pokoknya Monah janji akan memenangkan perlombaan itu. Sebab seantero tanah Minang ini tak ada lagi yang lebih jago selain Monah, berkat guru terbaik yang Monah punya,” ucapnya.
“Jangan sombong begitu Sayang. Kita harus selalu rendah hati. Di atas langit masih ada langit. Inti dari membuat ikebana ini adalah kecantikan. Selain kecantikan bunga-bunganya juga kecantikan hati yang dipancarkan oleh orang yang merangkainya. Ingat itu?” ucapku.
“Hehe… Iya Tek. Monah cuma bercanda. Biar semangat saja,” balasnya.
Monah pun berlalu dan aku juga hendak menuju ruangan lain. Tanpa sengaja aku melewati sebuah tiang yang permukaannya berkilau. Dari sana aku bisa melihat pantulan diriku, seperti bercermin.
Aku melihat cerminan diriku, aku hampir tak percaya. Maka aku bergeser ke lemari yang terdapat cermin di sana. Aku pun bercermin dengan sangat jelas sekarang. Mataku berkaca-kaca melihat pantulan diriku di depan cermin.
Rambut lurus hampir menjangkau bahu, kening berponi hingga menutupi alis, mata bulat berbulu lentik, wajah tirus putih, hidung tipis lancip, bibir tipis, pipi berlesung dan tahi lalat di tulang pipi kiri.
“Mama…” ucapku.
Ini adalah Mama di masa lalu. Gadis itu memanggilku dengan panggilan Etek Revi. Benar. Revi yang dimaksud adalah Revi mamaku. Dari panggilan yang diberikannya, Etek, berarti gadis itu adalah keponakan mamaku. Dia adalah sepupuku.
Malam harinya aku tengah duduk di kamarku, kamar Mama lebih tepatnya. Sebuah ruangan besar juga dengan jendela ditutupi oleh gorden besar yang menjuntai dari langit-langit hingga ke lantai. Semua ornamen di dalamnya adalah ukiran yang bernilai seni tinggi.
TOK TOK TOK…
Ternyata itu adalah Monah. Ia mendatangiku dengan raut wajah yang sedih.
“Kenapa cepat sekali Etek pulang? Monah masih ingin Etek di sini,” ucapnya.
Monah duduk di depan meja rias dan aku mendatanginya. Kami sama-sama duduk menghadap cermin. Dari pantulan cermin aku bisa memandangi wajahnya dan dia pun demikian.
Aku mengelus rambut panjangnya lalu menyisirnya lembut.
“Cinta yang tulus itu tidak pernah merasa kehilangan apalagi mengucapkan selamat tinggal kepada seseorang yang pergi. Sebab yang berpisah itu hanya raga,” ucapku.
Monah menatapku melalui pantulan cermin dengan mata yang berkaca-kaca.
“Sampai kapan Etek tinggal di negeri seberang?” tanya Monah.
“Tidak akan lama Sayang. Pendidikan yang Etek tempuh sebentar lagi akan selesai. Lagipula sudah ada pemuda yang melamar Etek. Tidak mungkin Etek akan berlama-lama di sana,” jawabku.
“Oh iya benar. Monah dengar begitu. Jangan lama-lama Etek, kabarnya…”
“Etek jadi buah bibir orang-orang? Ya seperti itu resikonya Sayang, bila perempuan lambat menikah. Etek harap Monah tidak seperti Etek. Mengejar cita-cita boleh saja, tapi jangan seperti Etek. Semoga kamu secepatnya bisa bertemu dengan jodohmu ya,” ucapku sembari menghimpit kedua pipi Monah dengan telapak tangan.
“Aamiin… Selama ini Monah serius sekolah, Tek. Belum ada yang sreg di hati Monah. Tapi aminkan saja dulu. Siapa tahu…” jawabnya.
“Siapa tahu setelah lulus sekolah kamu bisa langsung menikah, hihihi…” godaku.
“Hihihi… Etek!” Wajah Monah merona.
*
Cerita yang sungguh manis dan mengharukan. Di mana aku bisa menyaksikan mamaku begitu menyayangi gadis manis itu.
Sembari menonton film usang yang dimasukkan melalui sorot mata kami, aku melihat wajah haru ditunjukkan oleh nenek-nenek yang berdiri di depanku ini.
Tak hanya sampai di sana saja, cerita pun berlanjut tentang kehidupan Monah tanpa didampingi mamaku.
*
“Cantik sekali rangkaian bunganya, Non,” puji Zainal, anak tukang kebun keluarga Monah yang seumuran dengan gadis itu.
“Sudah kubilang, jangan panggil aku Non. Risih sekali aku mendengarnya,” protes Monah.
Kala itu sore sedang cerah, mereka berdua sedang ada di teras belakang rumah. Monah sedang merangkai bunga sambil ditemani secangkir teh, sementara Zainal sedang menyemprot tanaman pagar. Ia membantu pekerjaan bapaknya, sebab bapaknya yang tukang kebun itu sudah tua jadi perlu dibantu.
“I-iya Mon. Tapi saya tidak enak kalau didengar yang lain,” ucap Zainal.
“Memangnya di sini sekarang ada siapa lagi selain kita berdua?”
“Hehe… Iya sih. Oh iya, ngomong-ngomong bagaimana persiapanmu untuk menyambut gubernur dua pekan depan? Kudengar kamu diajak Tuan untuk pertemuan istimewa itu.”
“Iya karena ikebana ini. Karena seni ini sangat jarang di ditekuni di daerah kita, jadi saya diminta Ayah untuk memamerkannya. Tapi saya rasa ada yang kurang di sini. Entah apa, seperti semua pola ini begitu membosankan bagiku.”
“Membosankan?”
“Ya, hampir semua jenis bunga sudah kucoba. Membosankan sekali.”
“Sudah pernah mencoba anggrek hutan?”
“Emh? Bunga liar yang warnanya hijau itu? Itu bunga langka kan!” Monah terlihat tiba-tiba begitu bersemangat.
“Benar. Menurutku rangkaian bungamu akan menjadi tidak biasa kalau menggunakan bahan yang tak biasa.”
“Tentu! Dimana saya bisa mendapatkannya?”
“Di hutanlah. Kamu bisa menyuruh siapa saja untuk mengambilkannya, namanya juga anak orang kaya.”
Sesuai saran dari Zainal, Monah meminta ajudan orang tuanya untuk membawakannya bunga langka itu. Namun, setelah menunggu selama seminggu bunga itu tidak juga kunjung ada di tangan Monah.
“Zain, kita harus mencarinya sendiri!” ucap Monah sambil mengendap-endap di kebun belakang rumahnya. Zain yang sedang membersihkan gulma terkejut dengan kedatangan Monah yang tiba-tiba dari balik perdu.
“Ya ampun Mon! Hampir copot jantungku! Kamu masih memikirkan bunga itu?”
“Ya jelas dong! Pokoknya saya harus mendapatkannya! Ayo temani saya, Zain, temani saya untuk mendapatkan bunga itu… Saya mohon,” bujuk Monah.
Zainal menoleh ke belakang, ia menimbang-nimbang ide tersebut. Tapi bagi Zainal mau bagaimanapun permintaan Monah pasti selalu ia penuhi. Sebab, Zainal sebenarnya diam-diam menaruh perasaan terhadap anak majikannya itu.
“Baik, kita akan pergi ke hutan terdekat. Alas Singgalang, di sana ada kawasan hutan yang bisa kita akses sehari saja. Kupikir di sana cukup aman untuk kita mencari anggrek hutan,” ungkap Zainal.
Monah sangat senang. Ia sangat percaya pada Zainal, selain karena mereka bersahabat sudah sejak lama, Zainal juga menguasai pengetahuan tentang tumbuhan.
“Yeee… Besok pagi kita berangkat!” ucap Monah bersemangat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!