"Tolong!!!" Seorang wanita berteriak di tengah malam. Ia menerobos hutan gelap itu dan sesekali menengok ke belakang. Perutnya buncit menandakan ia sedang hamil besar. Di belakangnya terlihat para warga yang mengejarnya dengan obor yang menyala di tangannya. Mereka berencana .. membakarnya hidup hidup.
Teriakan warga yang memaki nya membuatnya gemetar ketakutan. Kakinya sudah tidak kuat berlari, perutnya terasa sakit, nafasnya sesak, tapi ia harus lari jika ingin selamat. Ia dan bayi yang di kandungnya harus selamat!
Bug!
Kakinya tersandung batu hingga membuatnya jatuh. Ada darah yang mengalir di paha nya. Ia menjerit histeris. Para warga semakin dekat.
"Tidak! Jangan sakiti aku! Ampuni kami! Bayi ini tidak salah!" Ia semakin histeris melihat darah itu terus keluar, ia takut bayinya kenapa napa. Ia hanya bisa bersandar di pohon besar itu, pasrah melihat cahaya obor para warga semakin dekat.
Samar ia melihat sesosok yang begitu ia kenali. Pria itu, adalah orang yang menghamilinya. Berdiri tak jauh di dekatnya.
"Tolong, tolong selamatkan gue. Please, gue janji gak akan minta pertanggung jawaban lo lagi" Pinta wanita itu dengan derai air mata.
Pria itu hanya menggeleng. Ia melangkahkan kakinya pergi meninggalkan wanita itu. Sedangkan para warga sudah berada di dekatnya.
Wanita itu menatap kecewa dan benci padanya, ia menyesal pernah mencintai pria itu. Ia bahkan tak memperdulikan anak nya, darah dagingnya, karena kelakuan bejat pria itu, ia harus di benci oleh warga, di cemooh oleh teman temannya, dan ia malah tidak mau tanggung jawab.
Karena marah dengan kehadiran wanita itu yang sudah membuat tempat tinggal mereka tercoreng karena hamil sebelum menikah, di tambah hasutan dari seorang sesepuh di sana, mereka pun berencana ingin membunuhnya agar tempat tinggal mereka tidak terkena sial.
"Bakar! Bakar! Bakar wanita jal*ng itu!"
"Jangan biarkan dia hidup!"
"Bunuh dia!"
Para warga kemudian melemparkan obor ke tubuh wanita itu tanpa belas kasihan.
Wanita itu menjerit histeris! Tubuhnya mulai terbakar, ia kepanasan dan perih, berguling guling di tanah, sudah tak peduli lagi dengan kandungannya. Ia melihat ke arah para warga dengan tatapan tajamnya.
"Aku bersumpah akan membalas perlakuan kalian kepada ku dan juga bayiku! Kalian akan mati terbakar sama seperti ku! Aku akan mendatangi rumah kalian satu persatu dan membakarnya!"
Para warga mulai ketakutan ketakutan, namun seorang sesepuh datang dan menenangkan mereka. Api sudah membakar tubuh wanita malang yang terkapar tak bernyawa itu.
"Apa yang kalian lakukan?! Kenapa kalian tega melakukan ini padanya!" Seorang pria datang sambil menangis dan mengguncang bahu sesepuh itu. Ia datang terlambat. Wanita yang di cintai nya sudah mati di tangan para warga.
"Tenangkan dirimu, nak! Kau pantas mendapatkan wanita yang lebih baik darinya!" Seorang bapak bapak datang untuk menenangkan anaknya yang terlihat histeris melihat wanita yang di cintai nya itu mati mengenaskan. Sebenarnya ia juga tidak tega, namun apalah daya, ia tidak bisa menghentikan warga yang lain.
"Lepaskan aku, yah! Aku harus menyelamatkan nya" Ayahnya memeluknya, menahan tubuhnya yang ingin menyelamatkan wanita itu di bantu oleh warga lainnya.
"Lebih baik kita pulang, biarkan apinya padam dengan sendirinya, besok kita akan kembali untuk mengecek keadaan nya" Ucap sesepuh itu. Mereka sekarang sedang berada di hutan tak jauh dari tempat tinggal penduduk. Jarak antara mereka sekarang dan rumah warga juga tidak jauh, hanya butuh waktu dua puluh menit.
"Maafkan aku, Nita! Maafkan aku karena terlambat" Pria itu menangis melihat api di tubuh wanita itu mulai padam.
Warga yang lain mulai beranjak pergi meninggalkan tubuh hangus terbakar itu di hutan gelap gulita.
Ayahnya membawa pria itu pergi, mengikuti warga yang mulai menjauh. Namun di tengah perjalanan, saat ayahnya lengah, ia berjalan perlahan memisahkan diri dari yang lain untuk kembali ke tempat di mana wanita yang di cintai nya itu berada. Ia akan membawanya pergi ke tempat selayaknya. Tidak mungkin ia meninggal kan wanita itu begitu saja di tengah hutan, walaupun wanita itu sudah tiada.
...
Seseorang datang berteriak memanggil nama wanita itu. Ia mencium bau hangus, hingga matanya tertuju pada tubuh menghitam yang hangus terbakar itu dan ia mengenali tubuh siapa itu.
"Nitaa!!! Tidak, kenapa kau harus berakhir seperti ini! Ini semua karena pria jahanam itu! Andai dia tidak menghamili mu, kau mungkin tidak akan di bakar oleh warga. Maafkan aku karena gagal menjagamu, Nita. Maafkan aku karena terlambat menyelamatkan mu" Orang itu menangis sesenggukan memeluk erat tubuh hangus itu, tak mempedulikan rasa panasnya.
"Aku akan membawamu pergi dari sini. Aku bersumpah akan membuat mereka yang menyakiti mu tak kan hidup dengan tenang!"
...----------------...
Satu Tahun Kemudian...
Suasana kelas terlihat tenang. Para mahasiswa maupun mahasiswi sedang fokus mendengarkan dosen yang sedang menjelaskan. Aku yang memang lelah memilih tidur, beruntungnya aku duduk di pojokan paling belakang, jadi dosen tidak bisa melihatku.
"Woi, bangun" Seseorang menepuk lenganku. Aku membuka mata dengan malas.
"Kenapa Gun? Jangan ganggu gue, gue mau tidur" Aku kembali membenamkan wajahku.
"Kelas udah selesai. Lo masih mau di sini? Kuy, kita ke kantin, yang lain udah pada nungguin" Ajak Guntur. Dengan malas aku mengikutinya. Saat sampai di kantin, kulihat Azmi, Naila dan Reni sudah ada di sana.
"Lama amat, kemana dulu kalian? Ke luar planet?" Tanya Azmi jengkel. Aku duduk di sebelahnya.
"Udah, Gun, apa yang mau lo omongin?" Tanya Naila tak sabar. Guntur terlihat senyum senyum.
"Naik gunung yuk!" Ajak Guntur bersemangat.
"Kalian aja, gue gak tahan udara dingin" Aku menggeleng.
"Ayolah, Vin, kita refreshing ke gunung. Gunungnya gak tinggi kok" Guntur membujukku. Azmi dan Naila terlihat setuju. Reni terdiam memikirkan untuk ikut atau enggak.
"Ikut aja deh Vin, kan lo tinggal pake sweater kalau kedinginan" Ucap Naila. Memang menyenangkan bisa naik gunung, mungkin aku harus ikut.
"Oke oke, gue ikut" Ucap ku yang di sambut sorak gembira dari Guntur.
"Makasih Kevin, lo emang sahabat sejati gue" Ucap Guntur yang ingin memelukku, tapi aku langsung menepisnya sambil memasang wajah jijik. Ehh, dia malam senyum mengejek.
"Di gunung mana?" Tanya Reni.
"Di gunung *****" Jawab Guntur yang langsung menoleh pada Reni.
"Enggak, gue gak mau ikut. Di situ berbahaya" Tolak Reni. Ia terlihat gelisah.
"Kenapa Ren? Lo tenang aja, tempat itu pasti aman kok" Ucap Guntur membujuk.
"Enggak, perasaan gue gak enak. Mending kita gak usah pergi" Saran Reni yang tidak di dengarkan Guntur. Guntur tetap ngotot ingin pergi.
"Gak, gue bakalan tetap pergi, kalau lo gak mau ikut juga gak papa"
Aku melihat saja bagaimana Naila mencoba membujuk Reni agar ikut, namun Reni bersikeras tak mau ikut dan malah menasehati Guntur untuk mengurungkan niatnya itu. Aku sih berharap agar Reni ikut, akan tidak menyenangkan jika dia tidak ikut. Berkemah di gunung akan terasa hampa tanpanya.
Setelah kuliah selesai, kami memutuskan untuk bertemu lagi, karena tadi kami belum mendapatkan keputusan yang bulat tentang rencana kami untuk naik gunung.
Kami bertemu di kafe tak jauh dari tempat kami berkuliah.
"Jadi siapa yang setuju ikut gue?" Tanya Guntur menatap satu persatu sahabat nya.
Azmi dan Naila sudah mengacungkan tangannya, sedangkan aku masih ragu, karena Reni tetap diam dari tadi.
"Lo ikut gak sih Vin? Ngangkat tangan kok kayak gak niat gitu" Ucap Guntur. Akhirnya aku mengangkat tanganku dengan tinggi, walau agak malas.
Melihat Reni yang tetap diam seperti sedang berpikir, Guntur akhirnya memberinya waktu untuknya. Karena kami akan pergi seminggu lagi saat libur semester di mulai.
...----------------...
Seseorang membuka pintu rumahnya dengan pelan. Menghidupkan lampu agar ia bisa melihat jelas rumah yang pernah di tempati oleh dirinya dan Nita.
Ia meletakkan ranselnya di sofa dan berjalan menuju foto yang terpajang di dinding.
"Sebentar lagi, Nita. Sebentar lagi kita akan bisa membalas dendam atas kematian mu itu. Para warga yang membakar mu saat itu sudah mati, sekarang tinggal empat orang sialan itu. Aku sudah menemukan tempat yang cocok untuk mengeksekusi mereka" Ucap orang itu dengan menyeringai.
Seminggu kemudian. Kami semua sudah berkumpul di depan rumah Azmi menuju gunung xxx. Naila telah berhasil membujuk Reni, walau wajahnya terlihat gelisah dan ia menjadi extra diam.
Kami memutuskan untuk menaiki mobil Van milik Azmi. Dia merupakan anak orang kaya di antara kami berlima. Semua bahan sudah kami bawa dan semua sudah di cek kelengkapannya.
Namun ada kesulitan melanda. Mobil Azmi tidak mau hidup. Semua sudah di cek, mesin aman dan bensin juga penuh. Sudah di coba berkali kali namun tidak mau hidup juga.
Aku memutuskan memimpin doa sebelum keberangkatan kami. Berharap tidak ada kendala apapun yang menghalangi perjalanan kami. Karena kami semua tahu, bahwa jika Reni sudah berfirasat buruk, maka sesuatu mungkin akan terjadi.
Alhamdulillah, mobil akhirnya menyala dan kami akhirnya berangkat walau agak kesiangan akibat mobil mogok tadi.
Reni Anindita merupakan gadis paling pendiam yang pernah aku kenal. Tapi setelah lebih dekat dengannya, ternyata ia gadis yang hangat walau jarang bicara, juga sangat penyayang dan perhatian. Dan ternyata alasan selama ini dia diam adalah karena dia bisa merasakan 'mereka' walau tidak bisa melihat 'mereka' secara langsung. Ia juga bisa mengetahui apa yang akan terjadi melalui mimpi dan firasat yang di rasakan nya, karena itu kami harus lebih waspada dan berhati hati dalam perjalanan ini.
Mobil Van mulai berjalan di kemudikan oleh Azmi. Sedangkan Guntur berada di sebelahnya dan aku bersama wanita di belakang.
Aku mendengar mulut cerewet Naila yang tidak pernah berhenti. Ia begitu tahan berbicara dengan Reni yang hanya membalas singkat ucapannya dan anehnya Reni begitu tahan mendengar mulut cerewet Naila yang membuat telinga rasanya berdenyut mendengar suara cemprengnya. Begitulah Naila Mira Lesmana, dari awal pertemuan kami, ia memang yang paling cerewet, namun ia juga lah yang menghidupkan suasana di antara persahabatan kami.
Di depan sana, Azmi tersenyum melihat betapa cerewetnya kekasihnya itu. Dua sejoli itu memang sudah bucin dari dulu. Kami sudah berteman sejak SMA. Azmi dan Naila memang sudah pacaran sejak SMA sampai sekarang. Awal pertemuan ku dengan Azmi juga berkesan, saat itu aku benar benar menginginkan jambu milik penjaga sekolah, eh taunya Azmi juga mengincarnya, hingga akhirnya kami memutuskan untuk mencurinya tapi ketahuan dan akhirnya di kejar oleh penjaga sekolah. Di situlah awal perkenalan ku dengan sosok Azmi Kurniawan.
"Ngapa lo senyam senyum?" Tanya Azmi padaku.
"Gak sengaja ke ingat waktu kita kenalan dulu"
"Oh, iya. Pas kita nyuri jambu terus ketahuan kan?" Sahut Azmi tergelak.
"Hahaha, iya. Ternyata besok nya tuh penjaga masih nungguin kita, padahal manjat aja belum, apalagi ngerasain jambu segar itu" Ucapku membuat kami berdua tertawa mengenang masa lalu.
"Yee, pertemuan gue sama Kevin lebih lucu" Ucap Guntur yang tiba tiba nimbrung. Mulut cerewet Naila juga berhenti, ia dan Reni jadi fokus mendengar cerita Guntur.
Belum lagi Guntur bercerita, aku sudah tertawa duluan. Guntur benar, awal pertemuan kami memang membagongkan.
"Gimana gimana?" Tanya Naila mendekatkan jaraknya dengan Guntur.
"Jadi saat itu gue lagi sholat di Musholla sekolah. Nah, gue mau infaq kan, mengingat gue ini cowok Sholeh bin tamfan"
Naila terlihat mencibir mendengar kenarsisan seorang Guntur Ahmad Yadi.
"Terus gue gak ada duit pas, gue mau nyumbang dua ribu, tapi duit gue lima ribu. Jadi gue mau ngambil duit kembalian gue"
"Terus?" Kini giliran Azmi bertanya walau matanya terus fokus dengan jalanan.
"Terus ini anak gendeng tiba tiba datang terus teriak maling, ada maling! Gue panik dong, mana malingnya? Eh, dia malah nunjuk gue. Anj*ir, anak anak yang lain pada datang mukulin gue sambil teriak maling juga, sebulan gue di ejek maling sama mereka" Ucap Guntur mendelik kesal padaku.
Tawaku pecah melihat betapa kesalnya wajah Guntur menatap ku. Yang lain juga pada tertawa karena mereka mengingat kejadian itu. Saat itu sekolah heboh dengan maling kotak amal, eh ternyata cuma salah paham doang dan akulah biang keladi yang membuat Guntur di cap maling kotak amal.
"Lagian lo infaq juga setengah setengah, kenapa gak sekalian aja semuanya lo infaqin, pake ambil kembalian segala" Ucapku masih dengan di selingi tawa.
Tiba tiba....
Ciiiiittt!
Azmi mengerem secara mendadak, beruntungnya kami semua memakai safe belt, jika tidak, tubuh kami akan terlempar.
Kami semua terdiam sejenak, menetralkan jantung kami yang berdetak kencang. Kami saling melirik ketakutan. Untung nyawa kami masih selamat.
"Ke-kenapa, Mi?" Tanya Guntur memecah kesunyian kami.
"Ta-tadi ada yang lewat, anak kecil" Ucap Azmi dengan tangan gemetar menunjuk tempat di mana ia melihat anak kecil tadi.
"Ta-tadi ada yang lewat, anak kecil" Ucap Azmi dengan tangan gemetar menunjuk tempat di mana ia melihat anak kecil tadi.
Aku buru buru keluar untuk membuktikan perkataan nya. Takut saja jika ternyata Azmi sudah menabrak nya, akan bahaya untuk kami, tapi ... tidak ada apapun.
"Gak ada apa apa, Mi"
Mendengar perkataan ku, Azmi segera keluar begitu juga yang lain.
"Tapi gue yakin gue lihat anak kecil itu di sini. Dia nyebrang tadi" Ucap Azmi terlihat bingung.
Tiba tiba kami semua merinding, desiran angin lembut menerpa kulit kami. Aku melihat sekeliling dengan perasaan was was. Pertanda apa ini?
"Guys" Reni berucap sambil berbisik, namun kami masih bisa mendengar nya.
"Masuk ke mobil. Gue bisa ngerasain 'mereka' mendekat ke sini, banyak"
Mendengar ucapan Reni membuatku gemetar ketakutan. Banyak? Seberapa banyak jumlah 'mereka'?
Naila merapat pada Reni dan Guntur langsung masuk kembali ke mobil. Azmi mencoba bersikap tenang, terlihat mulutnya komat kamit membaca doa.
"Kita masuk" Perintah Azmi yang langsung kami turuti. Ia mencoba menyalakan mesin mobil, namun tidak bisa. Hal itu membuat kami semakin ketakutan saja.
"Mi, cepetan!" Naila merengek sambil menyembunyikan wajahnya di bahu Reni.
Reni meremas tangannya sambil matanya menatap awas ke sekeliling hutan di kanan kiri kami.
"Mi, doa dulu" Ucapku mengingatkan nya. Suasana menjadi sangat tegang saat aku mendengar bisikan 'Ini baru awal'. Suara serak milik seorang wanita menerpa kulit belakang leherku.
Aku melihat yang lain nya, penasaran apakah mereka juga mendengar bisikan itu.
Mobil menyala, Azmi langsung tancap gas meninggalkan tempat itu.
Kami semua terdiam, tak ada lagi canda tawa dan obrolan. Semua sibuk dengan pikiran masing masing. Terutama Reni yang kelihatan begitu ketakutan.
"Kalian dengar gak ada yang bisik 'ini baru awal' pas mobil gak mau nyala?" Akhirnya aku memberanikan diri bertanya. Semua mengangguk, artinya memang bukan aku saja yang mendengar.
"Gue udah bilang seharusnya kita gak usah pergi" Ucap Reni dengan nada bergetar.
"Yaelah, gini doang kalian pada takut. Gak papa kok, paling 'mereka' cuman iseng doang. Gue jamin kita bakalan aman" Ucap Guntur yang terlihat mulai rileks. Ia membuka bungkus jajan dan mulai makan. Bisa bisanya dia makan di situasi tegang seperti ini.
"Tapi, Gun_"
"Udah tenang aja, udah biasa kek gini kalau mau naik gunung" Ucap Guntur memotong pembicaraan Reni.
Reni memilih diam karena tau tidak akan menang melawan Guntur.
"Udah Ren, kita berdoa aja ya" Reni mengangguk mendengar ucapanku.
Butuh waktu dua jam agar kami bisa sampai ke tempat yang di tuju. Rencananya kami akan berangkat jam sembilan pagi, namun karena kendala mobil tak mau menyala tadi, membuat kami berangkat jam sebelas.
Melihat waktu sudah menunjukkan jam dua belas, Azmi mencari warung terdekat untuk kami makan siang. Kami baru seperempat perjalanan, waktu terasa begitu cepat berjalan.
Kami semua turun dan masuk ke rumah makan sederhana itu. Pemiliknya adalah seorang wanita tua, kira kira sekitar enam puluh tahun. Ia menatap tajam ke arahku saat kami masuk.
"Kenapa Vin?" Reni menepuk pundak ku dari belakang. Membuatku menoleh karena terkejut.
"Oh, gak apa apa kok, Ren"
"Monggo, silahkan masuk" Ucap wanita tua itu.
Kami akhirnya makan dengan lahap, melupakan sejenak masalah di perjalanan tadi. Kami istirahat sejenak di rumah makan itu. Kira kira sejam sambil menunggu sholat Zuhur.
Selesai sholat, kami semua berkumpul untuk melanjutkan perjalanan kembali. Wanita tua pemilik rumah makan menghampiri kami.
"Nak, lebih baik urungkan niat kalian sebelum menyesal. Ada aura buruk di antara kalian. Akan terjadi sesuatu jika kalian nekad pergi ke gunung itu"
Kami saling bertatapan mendengar ucapan wanita tua itu. Darimana dia tahu kami akan naik gunung? Padahal kami tidak bercerita, barang barang juga masih di mobil.
Guntur maju dan berbicara dengannya.
"Maaf nek, terimakasih atas nasehatnya. Tapi kami akan tetap pergi, saya yakin kami akan baik baik saja"
"Bocah kok ngeyel tenan. Hehh, gak apa apa kalau kalian gak mau dengar nasehat saya. Hati hati di jalan" Ucapnya masih dengan menatap tajam padaku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!