NovelToon NovelToon

PERMAISURI PENGGANTI

1. Orang-orang Yang Ditinggalkan

Hal pertama yang menyapa Rani saat ia membuka mata adalah langit-langit rumah sakit yang kusam. Dia termenung cukup lama dalam kebingungan. Apa yang telah terjadi padanya? Ia mencoba menoleh ke arah kanan dan kiri dengan susah payah, maka terlihatlah pergelangan tangannya yang sudah tersuntik jarum infus dan beberapa anggota tubuhnya yang dibalut perban.

"Kak Ratih.." desisnya. Ia ingat. Bukankah terakhir kali ia pergi bersama Ratih, kakak kandungnya satu-satunya? Lalu, kenapa dia bisa berakhir di sini sekarang?

"Rani?" Suara seorang wanita yang sangat dikenali Rani mendekat. Wajah wanita itu tampak berkerut. "Kamu sudah sadar nak?"

"Mama.." bisik Rani lemah. Wanita paruh baya yang ia panggil mama itu kemudian langsung bergegas keluar ruangan dan berteriak memanggil dokter.

Sesaat kemudian, dokter dan perawat muncul dan mulai memeriksa kondisi Rani. Mereka bertanya beberapa hal, tentang rasa sakit yang dialami Rani, atau gejala lain yang mungkin patut diwaspadai.

"Jadi, kamu nggak ingat apa yang terjadi sebelum kamu masuk ke sini?" pertanyaan dari dokter dijawab Rani dengan gelengan perlahan.

"Apa yang terjadi sama saya dok? Kenapa saya bisa ada di rumah sakit? Terus, dimana kakak saya? Apa dia juga masuk rumah sakit?"

Hening. Aneh sekali. Baik dokter, suster, maupun mama dan papanya tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Tunggu, ada apa ini? Kenapa rasanya ganjil sekali? Mendadak insting Rani merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

"Ma? Kak Ratih sehat-sehat saja kan?"

Mama tampak menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Rani. Kemudian, setelah bertukar pandang dengan Papa, Mama menjawab dengan perlahan. "Ratih sudah meninggal Rani.."

"Hah? Maksud Mama? Kak Ratih meninggal? Ma, jangan bercanda! Rani serius! Dimana Kak Ratih?"

Mendengar pertanyaan sang putri, Mama justru menangis tersedu-sedu. Papa segera memeluk istrinya dan berusaha menenangkan.

"Nggak.. Nggak mungkin.." Rani menggeleng-gelengkan kepalanya. "Papa! Jawab Rani! Apa maksud Mama? Kenapa Mama bilang Kak Ratih sudah meninggal?"

Papa menghapus air matanya yang sudah mengalir sembari menjawab Rani dengan suara tersendat. "Benar apa kata Mama Ran, Ratih sudah meninggal. Kalian kecelakaan, dan Ratih meninggal di tempat. Kamu sudah tidak sadarkan diri selama tiga hari, dan kami tidak punya pilihan lain selain menguburkan jasad kakakmu secepatnya."

Ucapan Papa membuat Rani merasa tubuhnya dilemparkan ke dalam jurang yang sangat dalam. Apa? Apa tadi katanya? Kakaknya kecelakaan bersamanya, dan hanya dirinya yang selamat? Kenapa? Kenapa harus kakaknya yang meninggal? Kenapa bukan dirinya saja?

"Nggak! Nggak mungkin! Kak Ratih nggak mungkin sudah meninggal! Kak Ratih! Ini pasti prank kan? Kak! Cepet keluar! Ini udah nggak lucu! Kak Ratih!" Rani dengan agresif mencabut jarum infus dari pergelangan tangannya dan langsung bergegas keluar dari kamar. Pergerakan Rani yang sangat cepat membuat dokter dan suster yang berada disampingnya tidak sempat mencegah. Rani berlari menyusuri lorong rumah sakit sembari meneriakkan nama kakaknya seperti orang kesetanan.

"Kak Ratih! Kak Ratih! Jangan sembunyi kak! Ayo cepet keluar! Kak Ratih!"

Secepat apapun Rani berlari, dan sekeras apapun usahanya berteriak, tidak membuat orang yang ia maksud muncul di hadapannya. Yang ada, seorang satpam dengan kuat meraih tubuhnya dan menahannya agar tidak berlari lagi, kemudian seorang suster dengan cepat menyuntikkan obat penenang, membuat kesadaran Rani tiba-tiba menghilang, dan ia kembali pingsan.

...----------------...

Sementara itu, di waktu yang sama, seorang lelaki tengah berdiri di depan makam wanita yang sangat ia cintai. Hujan yang membasahi bumi sore itu tidak membuatnya bergeming, yang ada dirinya malah memandang papan nisan yang tertancap di kuburan bertanah basah itu dengan tatapan nanar.

"Pak," Seorang lelaki paruh baya muncul sambil berusaha melindungi bosnya dengan payung yang ia bawa. "Sudah sore Pak, ayo kita pulang. Baju bapak juga sudah basah, nanti sampeyan bisa sakit pak."

Lelaki berwajah tampan itu tetap terdiam di tempatnya. Air matanya yang sudah tercampur dengan air hujan mengalir deras.

"Bagaimana bisa aku meninggalkan Ratih sendirian di tempat yang dingin itu Pak? Pak Budi tau kan, Ratih sangat tidak tahan dingin. Bagaimana kalau dia kedinginan di dalam sana?"

Pak Budi, lelaki paruh baya yang sedang memegangi payung untuk bosnya itu hanya bisa menghela napas panjang. Dia tahu betul betapa besarnya cinta sang bos kepada sang istri. Apalagi kepergian sang istri terlalu mendadak, karena hal itu terjadi saat si bos sedang dinas keluar kota. Bosnya itu sekarang pasti sedang menyalahkan dirinya sendiri.

"Pak," Pak Budi mencoba membujuk. "Bukan hanya Pak Juna saja yang kehilangan Bu Ratih, tapi Non Ruby juga Pak. Sekarang, Non Ruby pasti sedang membutuhkan kasih sayang dari ayahnya. Saya mohon pak, Pak Juna pulang dulu. Karena Non Ruby sudah kehilangan sosok seorang ibu, jangan sampai Non Ruby juga kehilangan sosok seorang ayah."

Ucapan Pak Budi membuat Juna seketika menoleh. Pak Budi adalah sopir keluarganya sejak dulu, dan sekarang sudah dianggap seperti keluarganya sendiri. Kadangkala Juna bahkan menganggap Pak Budi sebagai sosok ayah kedua baginya.

"Ruby.." Juna mengucapkan nama itu dengan lirih. Wajah manis seorang gadis kecil seketika membuat air matanya kembali merebak. Ia jadi teringat dengan putri semata wayangnya itu. Bagaimana jadinya Ruby tanpa ibunya? Kenapa seorang anak berusia tiga tahun harus menanggung beban seberat ini?

"Pak.." Pak Budi menepuk-nepuk pundak Juna seperti seorang ayah yang berusaha menenangkan putranya. "Kita pulang ya Pak,"

Dengan langkah berat, Juna akhirnya melangkahkan kakinya menjauhi area pemakaman. Bahkan, saat dirinya akan masuk ke dalam mobil mewah yang akan membawanya pergi, Juna masih menyempatkan diri menoleh ke belakang. Berharap sosok sang istri akan muncul dan tersenyum kepadanya seperti biasa.

...----------------...

Tiga bulan telah berlalu sejak kejadian naas itu, tapi keadaan Rani tidak kunjung membaik. Badannya memang sudah sehat, tapi hatinya tidak. Bagaimana bisa ia bangkit kembali, padahal kakak tercintanya sudah meninggal dunia?

Rani ingat betul. Tiga bulan yang lalu dirinya dan Ratih pergi liburan bersama. Mereka menyewa vila dan bersenang-senang di sekitar pantai. Tapi, anehnya Rani sama sekali tidak ingat apa yang terjadi setelah itu. Bagaimana dirinya dan Ratih sampai berakhir kecelakaan? Ingatan Rani seperti sengaja dihilangkan tepat saat semua itu terjadi.

"Kak Ratih.." Rani menyusupkan wajahnya di antara kedua lutut. "Kenapa semuanya jadi seperti ini.. Aku kangen Kak Ratih.. Please Kak, bilang ke Rani kalau semuanya cuma mimpi.."

Ya, Rani benar-benar berharap semuanya hanya mimpi belaka. Ia berharap dirinya akan terbangun keesokan harinya dengan senyuman Ratih yang menyambutnya dengan hangat. Tapi, semua harapan itu sia-sia karena suara ketukan pintu kamarnya terdengar jelas, menandakan kalau saat ini dirinya sedang tidak berada di dunia mimpi.

"Rani.."

Itu suara Mama. Bukan sekali dua kali Rani mengabaikan panggilan sang mama. Bahkan sejak tiga bulan yang lalu, Rani menolak untuk bicara dengan siapapun dan bahkan enggan menyentuh makanan sampai badannya menjadi benar-benar kurus.

"Buka pintunya Rani.. Mama mau bicara.."

Rani tidak menggubris. Kalau boleh mati, Rani lebih memilih mati sekarang juga.

"Rani!" Suara ketukan pintu terdengar lebih keras. "Buka pintunya!"

Rani lebih memilih untuk menutup telinganya. Tak lama kemudian, suara ketukan terhenti. Sepertinya Mama sudah lelah bicara. Tapi, tanpa Rani duga-duga, tiba-tiba pintu kamarnya terdobrak dengan keras, sampai-sampai papan kayu jati itu ringsek dan membuat orang-orang yang berkumpul di luar kamarnya terlihat dari dalam.

"Rani.." Suara lembut seorang lelaki membuat Rani terperangah sejenak. Juna, suami Ratih yang berarti adalah kakak iparnya, masuk dan menghampiri Rani.

"Keluarlah Rani," Juna mengulurkan tangannya. "Ayo kita menikah,"

2. Lamaran dari Kakak Ipar

"Menikah?" Rani mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba mencerna apa yang ia dengar barusan. Sekarang Rani telah duduk di atas sofa, diapit oleh kedua orangtuanya dan berhadapan dengan Juna yang duduk bersama orangtuanya juga. "Aku nggak salah denger kan Kak?"

Panggilan 'kak' yang diucapkan oleh Rani ditujukan kepada lelaki muda yang sekarang sedang memandangnya dengan tatapan tajam. Juna menghela napas panjang sejenak sebelum kemudian mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan adik iparnya itu.

"Kamu nggak salah dengar Rani. Kami memang datang ke sini dengan niat untuk melamar kamu,"

Jawaban Juna serta merta membuat kedua mata Rani terbelalak. "Kak! Jangan bercanda! Kuburan Kak Ratih bahkan belum kering! Kenapa Kak Juna sudah mau menikah? Itu pun dengan aku, adik kandung Kak Ratih sendiri?"

"Rani," Tante Lili, Ibunda dari Juna lantas meraih tangan Rani dengan lembut. "Kami tidak bercanda. Tante tau hal ini pasti sangat mengagetkan buat kamu. Tapi, Juna melakukannya setelah mempertimbangkan banyak hal Nak. Salah satunya adalah karena Ruby, keponakanmu satu-satunya, yang sekarang sangat memerlukan sosok seorang ibu.."

Tante Lili menarik napas panjang sebelum melanjutkan.

"..Juna sudah bicarakan hal ini sama kami, dan kami semua setuju. Satu-satunya orang yang bisa menggantikan Ratih ya hanya kamu, Rani. Kamu juga pasti nggak mau kan kalau suatu saat nanti Ruby diasuh oleh seorang ibu tiri yang tidak tahu asal usulnya, yang belum tentu menyayangi Ruby seperti halnya kamu menyayangi dia?"

Ucapan Tante Lili membuat Rani menundukkan kepalanya. Entahlah, perasaannya benar-benar campur aduk. Dia tidak bisa menyangkal kalau ucapan mertua dari kakak kandungnya itu memang benar adanya. Tapi, bagaimana dengan Kak Ratih?

"Kami tidak akan memaksa kamu menjawabnya sekarang Rani," Juna ikut menimpali. "Tapi, aku harap Ruby menjadi alasan kuat untuk kamu menerima lamaran ini."

Rani mengangkat wajahnya. Wajah Kak Juna benar-benar terlihat serius. Rani bahkan tidak bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran laki-laki itu.

"Aku mau minta waktu buat berpikir dulu," Rani berdiri dari duduknya. "Permisi Kak, Om, Tante. Saya harus masuk karena kepala saya pusing," Ucapnya sembari beranjak menuju kamarnya.

Dari jendela besar yang berada di dalam kamarnya, Rani bisa melihat mobil Juna dan keluarganya yang menjauh dari gerbang rumah. Rani terus melihat kepergian mereka sembari menghela napas panjang.

Akhir-akhir ini, semuanya terjadi seperti sebuah kejutan. Kakaknya yang meninggal dalam kecelakaan bersamanya, lalu dirinya yang bahkan tidak ingat apapun soal itu, sampai tiba-tiba kakak iparnya melamarnya. Rani jadi bertanya-tanya, kejadian apalagi yang akan terjadi berikutnya?

"Rani.." Mama tiba-tiba sudah masuk ke dalam kamar. Kali ini Mama tidak perlu mengetuk pintu karena pintu kamar Rani sudah tidak berfungsi. "Mama mau bicara."

Rani memandang mamanya dengan tatapan bingung. "Ma, apa Mama juga setuju dengan pernikahan ini?"

Mama terdiam sejenak, tapi kemudian menganggukkan kepala. "Mama dan Papa sependapat dengan keluarga Wijaya,"

Keluarga Wijaya adalah sebutan untuk keluarga Juna.

"Ma!" Rani membelalakkan mata. "Yang benar saja! Masa Rani menikah sama suaminya Kak Ratih? Lagipula aku sekarang sedang kuliah! Bagaimana dengan kuliahku?"

"Rani," Mama meraih kedua pundak Rani, mencoba membuat kontak mata intens dengan putri bungsunya itu. "Kuliah sudah tidak penting sekarang. Dan Ratih itu sudah meninggal. Sekarang, yang ada hanyalah masa depan untuk orang-orang yang masih hidup. Jangan sampai kepergian Ratih menjadi alasan untuk kita terpuruk. Rani, selama ini Mama nggak pernah minta apa-apa kan sama kamu? Sekarang, Mama minta sama kamu untuk menerima lamaran Juna. Demi Ruby, dan juga perusahaan kita."

Dahi Rani berkerut mendengar kalimat terakhir Mama. "Perusahaan kita? Jangan-jangan, Mama memaksa aku untuk menikah sama Kak Juna bukan semata-mata demi melindungi Ruby, tapi juga untuk keuntungan perusahaan keluarga kita?"

Mama melepaskan cengkeraman tangannya dari bahu Rani. Sambil melipat kedua tangannya di depan dada, Mama menjawab. "Seperti kata pepatah Rani. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Kalau pernikahan ini bisa menguntungkan banyak pihak, lantas kenapa tidak?"

"Nggak Ma," Rani menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Aku nggak bisa melakukan itu! Aku nggak mau mengkhianati Kak Ratih!"

"Ratih sudah meninggal Rani!" Teriak Mama sambil menatap tajam Rani. "Sebenarnya, Mama sama sekali nggak mau membahas ini. Tapi, satu-satunya cara agar kamu bisa berguna di keluarga kita ya hanya ini. Kalau kamu nggak mau, maka keluarga kita hancur. Apa jadinya jika nanti Juna menikah sama wanita yang entah darimana asalnya? Kamu mau tidak mendapat sedikitpun warisan dari keluarga Wijaya?"

Mama kembali meraih kedua pundak Rani, kali ini ia mencengkramnya dengan kuat sampai Rani mengaduh. "Rani. Semua ini tidak akan terjadi kalau saja kamu yang meninggal dalam kecelakaan itu, dan bukan Ratih."

Usai mengucapkan hal yang kejam itu, Mama lantas melenggang pergi begitu saja. Meninggalkan Rani yang sudah jatuh terduduk di atas lantai kamarnya.

...----------------...

Satu bulan kemudian, pernikahan Juna dan Rani digelar dengan cukup sederhana. Keluarga Juna dan keluarga Rani hanya mengundang beberapa kerabat penting. Tapi, menurut Rani, pernikahan itu tidak ada unsur sederhananya sama sekali. Tentu saja, mana ada orang penting yang tidak mengenal keluarga Wijaya? Keluarga Wijaya adalah pemilik beberapa perusahaan besar yang ada di Jakarta. Salah satunya adalah Hotel Wijaya Royale, yang beberapa tahun ini dinobatkan sebagai hotel terbaik nomor dua di Jakarta. Jadi, meskipun hanya digelar secara privat, tetap saja ada beberapa media yang datang untuk memenuhi kolom berita mereka.

Rani berdiri di depan cermin dengan wajah lesu. Selama satu bulan, tidurnya tidak nyenyak sama sekali. Untunglah, penata rias yang disewa oleh Juna sangat piawai dalam menutupi kantong matanya yang sudah melebar. Gaun putih yang ia pilih secara asal-asalan juga sudah terbalut dengan indah di badannya yang kurus.

Aku ingin kabur. Gagasan itu berkali-kali menghampiri kepala Rani, meskipun ia cukup takut untuk merealisasikannya. Apalagi saat ini ada Mama yang dengan ketat menjaganya sepanjang waktu, seolah ia tahu pikiran sang putri.

"Senyum," perintah Mama sembari merangkul Rani dengan kasar. "Jangan sampai kamu merusak kebahagiaan hari ini."

Dengan terpaksa, Rani mengangkat sudut-sudut bibirnya yang telah dipoles dengan lipstik berwarna merah. Meskipun sebenarnya di dalam hati dirinya sudah menangis hingga air matanya kering.

"Pengantin wanita dipersilahkan keluar," salah seorang anggota WO masuk ke dalam ruangan itu, memberikan informasi kepada mereka. Mama segera meraih tangan Rani, kemudian dengan segera menuntun gadis itu keluar. Rani tidak ada pilihan lain selain mengikuti mamanya.

Maafkan aku Kak Ratih, ucap Rani di dalam hati.

3. Malam Pertama

"Saya terima nikah dan kawinnya Maharani Fatma Handoko binti Yogi Handoko dengan maskawin tersebut dibayar tunai!"

Usai ijab kabul diucapkan dalam satu helaan nafas oleh Juna, dan kedua saksi mengucapkan sah, nuansa aula gedung pernikahan itu menjadi meriah. Para keluarga dan tamu undangan saling mengucap syukur, dan beberapa awak media mencuri-curi gambar kedua mempelai. Dengan tangan gemetar, Rani menyematkan sebuah cincin pada jari manis Juna, dan Juna melakukan hal yang sama pada Rani. Lalu setelah saling bertukar cincin, Juna mencium kening Rani dengan lembut.

Meski dengan perasaan yang bercampur aduk, Rani tidak bisa menyangkal kalau jantungnya berdegup cepat setiap kali dirinya bersentuhan dengan Juna. Meski begitu, dengan cepat Rani menghempaskan perasaan itu ke jurang hatinya yang paling dalam.

Sadarlah Rani, bisiknya di dalam hati. Pernikahan ini terjadi karena Ruby, tidak kurang dan tidak lebih. Jangan mengharapkan apapun, apalagi sampai mencintai laki-laki yang dicintai oleh kakak kandungmu sendiri.

Sampai beberapa lama, Rani dan Juna masih berdiri di atas panggung pelaminan demi menyalami tamu undangan yang datang. Meskipun pernikahan ini adalah pernikahan kedua bagi Juna, para tamu tetap mengucapkan selamat dengan antusias.

"Selamat ya kalian, semoga menjadi keluarga yang samawa," ucap seorang pengusaha yang tidak Rani kenal.

"Keluarga Handoko memang paling pas bersanding dengan keluarga Wijaya," ucap istri seorang pejabat dengan senyuman karirnya. Keluarga Handoko adalah sebutan untuk keluarga besar Rani.

"Yaampun, cantik sekali ya pengantin wanitanya. Kalau dilihat-lihat, mirip sekali dengan mendiang. Kamu beruntung ya. Untung saja kakakmu meninggal, makanya kamu sekarang bisa menikah sama suaminya," celetuk salah satu tamu, seorang wanita paruh baya dengan dandanan yang luar biasa heboh. Kesepuluh jarinya memakai cincin, dan bahkan kalung emasnya pun dipasang di luar agar tidak tertutup oleh hijabnya. Sepertinya wanita itu memang sengaja berkata begitu, terlihat dari caranya bicara dengan nada berbisik. Rani hanya bisa membalas celetukan pedas itu dengan senyuman manis.

Acara pernikahan usai setelah waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Rani bergegas menuju ruang ganti untuk melepas semua aksesoris pernikahan dan menghapus make-up. Wajahnya sudah terasa gatal karena tidak terbiasa memakai riasan tebal dalam waktu yang lama. Setelah benar-benar bersih, Rani kemudian berjalan menuju kamar hotel yang juga berada di dalam gedung tersebut.

Sepanjang perjalanan menuju kamarnya, Rani bisa merasakan degup jantungnya yang berdebar tak karuan. Di usianya yang sudah dua puluh tahun, Rani jelas sudah mengerti kalau ada 'malam pertama' setelah pernikahan. Tapi, bukankah pernikahannya dengan Juna hanya didasari karena anak? Apa mungkin mereka akan melakukan hal-hal seperti pasangan suami istri pada umumnya malam ini?

Rani menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jangan berpikir aneh-aneh Rani. Meskipun sudah menikah dengan Kak Juna, Kak Juna itu tetap suami Kak Ratih."

Untunglah saat itu Rani hanya berjalan sendirian, sehingga pikiran-pikiran anehnya tidak ketahuan. Sejak acara pernikahan selesai, Rani memang berpisah dengan Juna. Jadi mungkin saat ini Juna sudah lebih dulu berada di kamar hotel mereka.

Sampai di depan kamar, Rani segera menempelkan kartu akses pada sensor pintu kamar. Setelah pintu berhasil dibuka, Rani tidak langsung masuk. Ia lebih dulu menenangkan jantungnya yang sudah berpacu tidak karuan. Setelah berdiri beberapa menit di depan kamar, Rani akhirnya mencengkram gagang pintu dan membukanya.

Gelap. Hal pertama yang dilihat Rani hanyalah kegelapan. Tapi, jangan berpikir kalau setelah itu ada Juna yang menyambutnya dengan hangat. Apalagi membayangkan akan ada kejutan romantis seperti di drama korea. Karena yang menyambut Rani pertama kali adalah moncong sebuah pistol yang terarah ke kepalanya.

"Astaga!" Saking terkejutnya, Rani sampai jatuh terduduk. Tepat di depan matanya, Juna berdiri dengan tatapan tajam, mengacungkan senjata api itu kepada Rani, istrinya sendiri.

"Kak Juna!" desis Rani ketakutan. Selain karena senjata itu, tatapan Juna benar-benar menakutkan, seperti benar-benar hendak membunuh seseorang. Dan Rani tahu betul, bahwa saat ini dirinya adalah objek dari 'pembunuhan' itu.

"Kak, kenapa.." Rani bahkan tidak bisa menyembunyikan suaranya yang gemetar. Mendengar ucapan Rani, Juna malah tertawa seolah mengejek.

"Kamu masih tanya kenapa? Tentu saja aku akan membunuh orang yang sudah membunuh istriku tercinta, Rani."

"Membunuh?" ulang Rani. "Apa maksudnya Kak? Siapa yang membunuh siapa?"

"TIDAK USAH PURA-PURA TIDAK TAHU!" teriak Juna emosi. "Kamu bisa membohongi semua orang soal amnesia yang kamu alami, tapi aku tidak,"

Rani bisa merasakan tubuhnya bergidik saat mendengar suara napas Juna yang menggebu-gebu.

"Kenapa waktu itu hanya Ratih yang meninggal, sementara kamu sama sekali tidak terluka? Mau dilihat bagaimanapun, itu nggak masuk akal Rani. Kecuali memang ada dalang yang sengaja membuat kematian Ratih seolah-olah kecelakaan, dan dalangnya adalah kamu."

Juna semakin mendekatkan moncong senjatanya pada dahi Rani, membuat gadis itu hanya bisa terdiam ketakutan.

"Setelah membunuh Ratih, kamu kemudian bermain licik seolah-olah tidak ingat apapun, padahal sebenarnya kamu adalah otak dari semua ini! Apa motif kamu Rani? Kenapa kamu membunuh istriku yang tidak bersalah?"

"Aku tidak membunuh Kak Ratih!" entah mendapat keberanian dari mana, Rani menjawab ucapan Juna dengan suara bergetar. "Aku juga tidak pura-pura amnesia kak, aku memang tidak ingat apapun! Kalau bisa, aku juga ingin tahu apa yang terjadi hari itu! Tapi, aku sama sekali nggak ingat!" Rani menjawab dengan air mata mengalir di kedua pipinya. "Percayalah Kak, aku tidak mungkin membunuh Kak Ratih."

"Bagaimana kamu bisa seyakin itu tidak membunuh istriku, padahal kamu sendiri nggak ingat apapun?" Juna sama sekali tidak tergerak hatinya saat melihat air mata Rani. "Kamu kira aku bodoh? Mana ada pembunuh mengaku membunuh? Kalau semua mengaku, penjara bakalan penuh! Tapi tenang saja Rani, kalau kamu tidak mengakui perbuatanmu, aku yang akan memastikan kamu masuk penjara dengan tanganku sendiri."

Rani menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kalau Kak Juna nggak percaya, bunuh saja aku Kak!"

"Aku pun maunya seperti itu," ucap Juna dengan pistol masih berada di tangannya. "Tapi, kematian terlalu indah untuk pembunuh seperti kamu. Aku akan membuat kamu menderita seumur hidup, sampai kamu bahkan lebih memilih mati ketimbang bertahan hidup di dunia ini."

Perlahan-lahan, Juna menurunkannya pistolnya dari dahi Rani. "Aku menikahi kamu itu hanya sebagai kamuflase. Aslinya, aku ingin mengawasi kamu seumur hidup dan mengumpulkan bukti-bukti yang bisa menjebloskanmu ke penjara. Jadi, jangan harap kamu akan mendapatkan apapun dariku,"

Setelah mengucapkan semua itu, Juna lantas menghentakkan kakinya dan keluar dari kamar begitu saja. Meninggalkan Rani yang masih kesusahan bernapas di dalam sana. Tidak peduli jika malam ini adalah malam pertama mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!