NovelToon NovelToon

Magic Pandemic

Prolouge Vol 1 - Ujian hidup awal mula dirimu

Aku mengamati sekitar. Menajamkan kewaspadaan ke titik maksimal. Di sekitarku, suasana mencekam. Meski jam menunjukkan bahwa matahari masih berada pada titik paling tinggi, gelap gulita menyelimuti diriku. Hutan tempatku berpijak saat ini rindang dengan pepohonan besar. Saking rindangnya sampai-sampai tak ada sinar matahari yang diperbolehkan menembus payung alamiah hutan rimba. Untungnya, ada pencahayaan yang ku bawa. Yaitu berkat sebuah bola cahaya yang melayang menemaniku saat ini.

Jantungku berdegup kencang. Bukti bahwa aku sedang berada dalam kondisi tidak normal. Mau bagaimana lagi, aku tengah berada di hutan belantara sendirian, tanpa ada manuisa lain yang menemani. Maklum rasa takut serta gugup mengikutiku. Apalagi dengan ancaman yang bersembunyi, siap menerkam. Aku menarik nafas panjang-panjang. Berusaha mengurangi rasa gugup.

Kresak-kresak.

Tiba-tiba aku mendengar suara sesuatu bergerak cepat dari semak belukar. Secara refleks aku melemparkan pandanganku ke sumber suara, sayangnya mataku tidak menemukan apa-apa disana.

Aku menghela nafas, 'Mengagetkan saja!'

Saat itulah, dari arah berlawanan, sosok itu melompat. Keluar dari persembunyiannya. Dengan sigap aku mengeluarkan tinju ke arahnya. Akan tetapi, tinjuku memukul angin, asap hitam menggantikan sosok yang barusan berada di situ.

Suasana kembali mencekam. Angin pun ikut sunyi. Tak ada suara selain jantungku yang berdegup lebih kencang.

Kresak-kresak.

Suara itu terdengar lagi. Kali ini, aku tetap tenang. Kedua kaki kulebarkan sebahu dan memasang kuda-kuda.

Sosok itu melompat lagi. Dari atas dahan pohon, seekor Puma Hitam Pekat hendak menerkamku. Aku membalas dengan gerakan yang sama, mengeluarkan tinjuku. Tinju berlapis energi gaib, kekuatannya melebihi tinju-tinju biasa.

Aku mengira pukulanku telak. Puma biasa tak akan bisa menghindar saat berada di udara. Namun, aku lupa bahwa makhluk di hadapanku bukan hewan biasa. Puma ini telah berevolusi. Lebih ganas dan buas. Juga memiliki kekuatan aneh yang diluar nalar manusia.

Sesaat sebelum tinjuku mengenainya, binatang berbulu hitam ini berubah menjadi asap. Asap itu meliuk cepat lalu mendarat di tanah. Dari balik asap itulah puma buas itu muncul kembali dan langsung merangsek maju. Mulutnya yang terbuka lebar menunjukkan taring-taring tajam berjejer mengerikan.

Cepat-cepat aku menghindar atau badanku akan bolong-bolong oleh taring tajam itu. Di saat bersamaan aku mengumpulkan energi gaib–sumber energi baru yang menyebabkan perubahan total di bumi terjadi yang juga merupakan penyebab evolusi si puma. Satu tanganku menggenggam kuat. Tepat sebelum Puma memijakkan kakinya di tanah, aku berteriak! Peluru tinju aku tembakkan!

BLAR!!

Ledakan terjadi. Di hutan yang tadinya sunyi, suara ledakan kecil cukup mengagetkan seisi penghuni hutan. Serangga-serangga kaget berlarian dari sarangnya.

Nyawa yang seharusnya lenyap bila terkena ledakan pukulanku tak berpindah menuju alam baka, masih keras kepala menempel pada badannya. Meliuk badan puma masih berdiri tegak, menebarkan murka dan arogan. Kutarik nafas sempit, penglihatan, penciuman, sentuhan, serta seluruh persepsi kutajamkan.

Kewaspadaanku membuahkan hasil. Puma buas mengeluarkan kekuatan anehnya lagi. Pecut bayangan melesat dari balik asap ledakan. Satu bergerak memecut dan satu lagi meliuk-liuk hendak menusuk.

Aku memindahkan kakiku ke belakang, berniat menghindar. Naas, tanah hutan yang tidak rata membuatku terselip. Keseimbanganku hilang. Tubuhku jatuh mengikuti arah gravitasi. Entah bagaimana caranya, aku berhasil menghindari jatuh total. Kedua tanganku berhasil menyangga beban tubuh sebelum aku terjatuh.

JLEB!

Sesuatu menembus pundakku. Itu pecut bayangan tadi. Beruntung, satu pecut berhasil aku hindari. Tapi, pecut satunya–yang telah membidikku sejak awal, berhasil menemukan targetnya. Berkat latihan keras yang telah aku terima sebelum ini, aku berhasil menahan diri untuk berteriak sekeras-kerasnya, hanya gerutu kesakitan keluar dari mulutku.

Melihat kesempatan, puma ganas melompat. Mangsanya terjatuh di tanah. Sudah pasti dia tidak akan melewatkan kesempatan ini.

Tentunya aku tidak ingin kalah tanpa perlawanan. Aku mengorbankan tangan kiriku untuk menahan taring tajam yang hendak menggigit leherku. Untungnya, terdapat perlengkapan pelindung yang aku pakai di tangan, tetapi ada bagian tidak terlindungi, dan itu tertusuk oleh taring-taring tajam si puma. Darah segar mengucur keluar di antara taring-taring.

Sakit? Jelas! Tapi aku menahannya. Aku mengeritkan gigi untuk menahan berteriak kesakitan. Ini pertarungan hidup dan mati. Aku tak boleh kehilangan fokus karena rasa sakit.

Aku mulai membalas. Kedua kakiku yang bebas mengunci puma. Bergulat dengan si puma. Makhluk ganas ini memiliki kekuatan untuk berubah menjadi asap. Kekuatan yang menyusahkan. Namun, jika puma ini sedang berkontak fisik dengan makhluk lain, transformasi menjadi asap itu tidak bisa dia aktifkan.

Tangan kananku yang juga bebas bergerak, masuk ke bawah perut puma. Telapak tanganku terbuka lebar. Separuh energi gaib yang ada di tubuh aku alirkan ke telapak tangan. Atau lebih tepatnya ke perlengkapan mistis berbentuk sarung tangan. Energi berkumpul, tanganku bersinar.

“Rasakan ini, kucing brengsek!” Dengan teriakan pembalasan, aku menembakkan energi di tangan kanan ke perut puma.

Tidak ada suara ledakan seperti sebelumnya. Sebagai gantinya, suara hati berdegup tunggal kencang yang terdengar. Puma buas muntah darah, membasahi pakaianku dengan darah merah. Aku melepas kuncian kaki. Si puma sempoyongan satu-dua kali sebelum oleng jatuh. Tersungkur diam di tanah. Tidak bergerak lagi.

Pertarungan selesai. Kenyataan ini membuatku menghela nafas panjang. Adrenalinku turun dan di saat yang bersamaan rasa sakit di tangan dan bahu bertambah. Segera aku menggunakan ramuan penyembuh untuk menutup lukaku. Perlahan, luka di tubuhku menutup dan rasa sakit perlahan menghilang.

Aku menidurkan diri ke tanah. Kemudian, sekali lagi menghela nafas panjang, “Hahhhhhh.. Nyaris sekali aku mati. Jika bukan karena latihan yang telah kujalani, nyawaku bakal melayang sejak tadi.”

Hutan kembali lengang. Tidak ada cahaya matahari yang bisa menembus kanopi hutan ini. Sebagai gantinya ranting-ranting di langit mengeluarkan sinar-sinar bergaris. Melukis langit dengan coretan-coretan alami. Telingaku juga menangkap suara serangga-serangga bernyanyian. Semua itu memberikan suasana misterius sekaligus indah dalam hutan ini.

Saat suasana tenang kembali seperti ini, Aku mulai memikirkan banyak hal. Mulai dari kelegaan karena masih bisa bertahan di hutan misterius ini, hingga bagaimana ceritanya aku bisa sampai titik ini, bertahan hidup di hutan belantara. Padahal, sebelumnya, beberapa bulan lalu, aku cuman seorang pecandu. Yang selalu menghabiskan sehari-harinya untuk melakukan hal sia-sia.

Ya, jika memori otakku benar, semua ini dimulai ketika adik perempuanku tanpa kabar-kabar datang menjajah hunian damai yang aku tinggali.

...___...

Namun, sebelum cerita ini dimulai, izinkan aku untuk sedikit bercerita mengenai diriku.

Pernahkah kamu merasa bahwa hidupmu tak berwarna? Sia-sia dan tak berguna? Hal apapun yang kamu lakukan terasa hambar? Apapun yang kamu usahakan seperti uap air? Menguap hilang ditelan keadaan?

Kalau jawaban kalian "Ya." Selamat datang di kegelapan dunia kawan. Dimana kamu akan merasa seperti sampah. Hidup layaknya parasit yang merugikan apa yang ada di sekitar kita.

Yap, seperti diriku ini.

Addiction atau kecanduan. Semua orang pada masa hidupnya pasti pernah melakukan sesuatu secara berlebihan. Dan kadang kala, berlebih membuahkan kecanduan. Entah dalam bentuk apa kecanduan tersebut–meski kegiatan yang dilakukan seolah terlihat positif seperti bekerja dan bersosial media, jika sudah memasuki tahap kecanduan, kegiatan positif bisa jadi akan menjadi racun bagi manusia.

Aku pun juga begitu. Namaku Zen. Umur 17 tahun. Sebagai anak remaja yang baru saja terekspos oleh berbagai macam lika-liku dunia. Kecanduan bukanlah hal yang asing bagiku yang haus dengan rasa penasaran. Bahkan, bisa dibilang, diriku yang terjangkit kecanduan adalah hal yang sangat biasa untuk anak zaman abad 21 yang dekat dengan kebebasan.

Akan tetapi, bedanya dari kebanyakan remaja yang mengalami kecanduan, aku berlarut-larut dalam gangguan mental ini. Dinding batas mental yang ada dalam diriku, aku jebol tanpa sisa. Sekolah kutinggalkan. Keluarga aku hiraukan. Teman aku acuhkan. Apalagi, dalam dunia yang cepat berubah akibat pandemi yang baru-baru ini muncul kembali. Wah, sudahlah! Pikiran habis untuk mengikuti perubahan yang terjadi. Satu-satunya pilihan bagiku hanyalah melarikan diri dari realitas yang ada.

Mengurung diri di kamar ditemani gadget-gadget canggih. Menyelam dalam dunia maya yang tiada habisnya. Menonton cerita-cerita imajinasi penuh dengan kejutan. Bertarung di dunia game bersama kawan senasib. Menyenangkan sekali. Sampai-sampai keluar dari tempurung kura-kura yang bernama kamar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun enggan.

Yah.. Beginilah kehidupanku. Seorang pemuda, jika tidak memiliki kerjaan apa-apa, larinya bakal kemana-mana. Tak jarang, pelarian tersebut menuju ke arah yang buruk. Seperti yang aku lakukan hampir setiap hari di tengah malam dengan kamar tertutup dan lampu mati menonton hal-hal yang tak senonoh.

Semuanya gara-gara pandemi.

November 2035. Satu dekade plus setengah setelah pandemi terakhir kali terjadi. Pandemi baru menyerang bumi. Tidak ada yang tahu awal mulanya dari mana. Tapi, di suatu hari, serempak di berbagai titik di dunia, penyakit misterius muncul dan menyebar. Sekejap, ratusan penduduk tertular dan beberapa jam kemudian korban meninggal berguguran. Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, perintah untuk social distancing kembali dimunculkan oleh pemerintahan se-dunia. Para penduduk, mengingat kejadian yang sama telah terjadi satu dekade yang lalu segera menuruti perintah tersebut. Isolasi massal terjadi kembali. Kota-kota besar kembali sunyi.

Namun, seperti menertawakan keputusan tersebut, meski isolasi total telah dijalankan, penyebaran tetap terjadi. Dari kota ke kota, satu negara ke negara lain, bahkan melompat antar benua. Dan itu terjadi dengan sangat cepat. Bulan Februari 2036, Ratusan Ribu nyawa telah melayang. Kurun waktu 3 bulan, tak ada sisi di bumi yang tak ternoda oleh pandemi tersebut.

Para ilmuwan kepayahan. Mereka mengira penyebaran virus terjadi melalui udara. Padahal tidak. Mereka salah besar. Jawaban ditemukan 3 bulan berikutnya, bukan virus ataupun organisme lain yang menyebabkan penyakit, melainkan sebuah energi asing yang menyebar secara misterius. Energi asing tersebut menjadi racun bagi tubuh manusia. Dan saat para peneliti telah menemukan solusi, miliaran nyawa telah melayang.

Lalu, apa hubungannya semua itu dengan kecanduanku? Frankly, tidak ada. Ada-tidak adanya pandemi, kecanduanku tetap ada. Tapi, hatiku tidak bisa menerimanya. Otak terus-menerus mencari alasan atas masalah kecanduanku.

Ya. Beginilah diriku. Seorang pecandu gadget akut. Yang selalu melarikan diri dari realitas. Yang maunya semaunya sendiri dan acuh dengan sekitar. Yang merasa dirinya selalu menjadi korban. Yang ingin berkarya namun enggan berproses. Yang kerajaannya di kamar menatap layar elektronik 24x7. Yang olahraganya cuman sebatas jari, tangan, mata, dan otak. Yang cuma bisa diam menahan rasa iri di hati ketika melihat postingan teman di social media. Yang menghabiskan waktu dengan tontonan-tontonan yang sebenarnya tidak berguna bagi dirinya. Yang tahu bahwa dirinya sedang sakit tapi enggan berobat. Yang tahu bahwa dia seorang pecandu tapi merasa bodo amat dengan itu.

Ya. Beginilah manusia. Tidak, bukannya mereka tidak tahu bahwa mereka salah. Justru sebaliknya, mereka tahu yang mereka lakukan itu salah tapi mereka tetap melakukannya. Kecanduanku parah, aku mengerti akan fakta itu. Kalau begitu, mengapa tidak berusaha untuk menyembuhkan itu? Ngomong doang sih enak. Kecanduan itu, hubungannya dengan kebiasaan. Dan seperti kata pepatah, "Old habits, die hard." Sudah berapa kali aku mencoba untuk merubah kebiasaan buruk ini malah berujung dengan lebih parahnya kebiasaan buruk itu. Susah untuk merubah kebiasaan jika tekad belum kuat atau jika kita belum benar-benar di ujung tanduk.

Ya. Inilah ceritaku. Bukan cerita komedi romantis antara sepasang sejoli yang bikin muntah manis. Bukan juga cerita overpowered hero yang terdampar dan berpetualang di dunia fantasi. Ini sebuah cerita mengenai anak muda melawan bayangan dirinya sendiri di dunia penuh perubahan.

...___...

Vol 1 Chapter 1 - Adakah Kakak yang teringgal jauh dari Adiknya?

"Hei, kak."

"Hm?"

"Kakak mau gak mencoba sesuatu yang baru?" tanya adik perempuanku di suatu siang. Kami berdua sedang bersantai di ruang tengah.

Dua bulan yang lalu, November 2037, tepat dua tahun setelah pandemi muncul, keputusan yang menyatakan bahwa pandemi telah selesai resmi dikeluarkan. Dan bulan ini, Januari 2038, merupakan musim liburan sekolah. Adikku tengah mengunjungi kediamanku. Sebuah vila bekas rumah almarhum nenekku yang telah direnovasi.

"Sesuatu yang baru? Like what?" jawabku tanpa menoleh. Bukan karena aku tidak mau menatap wajah adikku–yang semakin lama semakin glowing. Namun karena kedua bola mataku terpaku ke ponsel canggih di ditanganku. Dengan posisi ponsel miring, aku mengetuk-ngetuk layar ponsel tersebut dengan lincah.

"Mencoba sihir," balasnya singkat.

Mendengar kata "Sihir" kali ini aku menoleh. Jariku yang lincah bergerak, terhenti mendengar kata ajaib itu. Kata yang akhir-akhir ini sedang viral. Semua media ramai membicarakannya. Banyak orang sudah mengklaim bahwa sihir itu benar-benar nyata tapi aku masih belum percaya jika belum melihat dengan mata kepala sendiri.

"Sihir seperti yang ada di tren jejepangan itu? Atau seperti yang ada di film-film barat?" Aku balik bertanya, memastikan. Aku menatap adikku yang sedang tiduran di sofa asyik dengan sosmed-nya.

"Ya," timpal adikku singkat. Melihat diriku melepas tatapanku dari layar ponsel, dia bangkit dari tidurnya.

"Mengeluarkan bola api, terbang di langit, berjalan di atas air, mengendalikan tanah, berlayar dengan sapu terbang, hal-hal fantasi seperti itu?" Sekali lagi aku memastikan.

"Tidak harus seperti itu juga, tapi yang seperti itu bisa dilakukan." Mendengar perumpamaan aneh yang aku sebutkan, gadis di depanku mengerutkan dahinya.

"Kamu beneran bisa melakukan sihir, Luna?" Masih tidak percaya, aku bertanya lagi.

"Jelaslah! Buat apa terus aku mengajakmu, kak?" Kesal dengan sikapku yang masih belum percaya, adikku mulai meninggikan nada suaranya.

"Aku pikir kamu terjangkit hoax," Aku melirik ponselku sedetik. Kemudian kembali menatap adikku. "Dan sekarang, kamu sedang menyebar informasinya dengan sembarangan," sindirku asal. Kedua bahu kuangkat dengan gaya mengejek.

Aku mengembalikan pandangan ke layar ponsel, menyelesaikan percakapan. Melanjutkan apa yang aku lakukan sebelum ini. Jari-jariku kembali bergelut kanan-kiri di layar ponsel.

Sayangnya, sepertinya Luna belum puas berbicara. "Heh, tidak sepertimu, kak. Yang cuma berdiam diri di rumah dan selalu menunggu. Penasaran dengan sihir, aku langsung mencari informasi apakah sihir itu asli atau sekedar omongan kosong orang-orang menganggur. Setidaknya tidak seperti kamu–"

"Oke-oke, terserah kamu dah, aku mau lanjut main dulu." Aku memotongnya sebelum dia bisa melanjutkan ceramahnya. Luna terdiam.

Ruangan kembali sunyi, suara yang terdengar tinggal suara ketukan jariku ke layar ponsel dan suara game yang sedang aku mainkan. Betul sekali, inilah yang menyita perhatianku dari tadi. Jika ada seseorang memegang ponsel genggam dengan posisi miring, ditambah dengan jari-jemari yang sibuk meliuk-liuk, apalagi kalau bukan sedang bermain game?

"Kak Zen, kamu jadi mau mencoba sihir?" Luna kembali menawarkan. Tetapi, aku tidak menjawab. Fokusku sudah terkunci di layar ponsel, detik-detik ini adalah puncak pertandingan. Sekali melakukan kesalahan, kalahlah diriku.

Tak kusangka kesalahan yang aku lakukan pertama kali tidak berada dalam permainan, tetapi di dunia nyata. Luna yang tidak terima dicuekin, dengan cepat menyambar gadget di tanganku. Aku terpana, menatap kedua tanganku yang terangkat. Tidak bisa mencerna apa yang baru terjadi.

'What?! Di tengah permainan gini, ponselku diambil? Beraninya dia!' Aku menoleh ke arah si pencuri ponsel. Emosiku memuncak.

"Heh, Luna!! Kenapa kamu ambil HP-ku?! Permainan belum selesai! Kalau kamu sambar kayak gitu, bakal auto-lose nanti!" sentakku marah.

Tidak mau kalah, Luna balas menyahut, “Salah Kak Zen sendiri tidak menjawab pertanyaanku! Padahal tinggal jawab Ya atau Ngga doang!"

"Aduh! Itu tunggu sebentar kan bisa. Lagian, kamu gak perlu mengambil HP-ku segala!"

"Halah! Yang namanya Kak Zen, kalau sudah fokus, sama sekali gak bisa diganggu! Dulu, sudah pernah aku menepuk-nepuk pundakmu karena kakak sedang memakai headphone. Tapi, apa yang terjadi? Tidak ada! Kak Zen sama sekali berkutik, sibuk dengan dunianya sendiri. Makanya, sekarang aku langsung ambil HP-nya!" jelas Luna. Dia menyebutkan kesalahan lamaku.

"Yah, mau gimana lagi. Namanya juga sudah kebiasaan!" Aku mengelak.

"Kebiasaan buruk kok dipelihara, kakak bodoh, ya?" Sayang, alasanku langsung dipotong secepat kilat oleh Luna.

Dipanggil bodoh oleh adik sendiri ingin aku rasanya lanjut membalas. Still, kalau begini terus, tidak akan selesai pertengkaran ini.

"Ah! Sudahlah, capek debat sama kamu Lun, sinikan HP-nya!"

"Eh, enak aja. Jawab dulu pertanyaanku, Kak Zen jadi mau mencoba sihir, gak? Kalau Ya akan aku siapkan peralatannya."

"Iya-iya, akan kucoba nanti, setengah jam lagi. Sekarang aku mau lanjut main dulu, tadi kamu ganggu sih, makanya harus ngulang lagi deh," kataku sambil mengulurkan tanganku, menagih gadget genggamku.

Luna mengembalikan gadgetku dengan ekspresi enggan terpampang jelas di mukanya. Seperti anak yang keberatan menyerahkan gadget kepada ibunya karena kebanyakan bermain. Nyatanya, kondisi aktualnya berkebalikan.

Tangan Luna mengambang di udara. Sebelum bisa sampai ke telapak tanganku, aku lebih dulu menyambar ponselku dengan kecepatan hampir sama saat Luna mengambilnya. Melihat itu, Luna mengeluarkan nafas pasrah.

"Haahh... Kapan kamu mau berhenti bermain game, kak?" keluhnya.

"Oh? Kamu belum tahu pepatah ini, Lun? No game, No life. Hidup ini tidak seru kalau tidak ada permainan." Aku mencomot asal salah satu judul film lawas yang aku tonton dan menjadikannya pepatah.

"Tapi, kalau kebanyakan bermain game, hidupmu bakal enggak ada gunanya. More game, No life."

Luna membalas dengan pepatah buatannya sendiri.

Aku tidak membalas. Game selanjutnya dimulai. Aku mengembalikan pandanganku ke layar. Memfokuskan diri. Sedangkan Luna, dia berdiri dari sofa dan meninggalkan ruang tengah. Mempersiapkan percobaan sihir nanti.

...___...

Setengah jam kemudian, aku beranjak ke halaman luar rumah. Angin sore berhembus menerpa wajahku seketika aku melewati pintu. Aku menyipitkan mataku. Tidak heran, sudah beberapa hari sejak terakhir kali aku keluar dari rumah. Bola mataku harus beradaptasi terlebih dahulu dengan sinar benderang matahari.

Rumah peninggalan nenek kami berada di pinggiran kota tua di suatu dataran tinggi. Seperti kebanyakan rumah-rumah zaman dulu, rumah ini memiliki area yang cukup luas. Dengan model bangunan zaman kuno dibalut renovasi terbaru di sana dan sini. Halaman depan yang luas penuh tanaman dan bunga. Serta kebun buah di pekarangan belakang. Tempat ini lebih mirip seperti villa untuk masa tua.

Di suatu sisi di halaman depan, di bawah pohon rindang, aku melihat adik perempuanku duduk di rerumputan sembari menyiapkan sesuatu. Rambut hitam panjangnya yang dikuncir berumbai diterpa angin sore. Aku berjalan menghampirinya.

"Bagaimana, Lun? Sudah selesai persiapannya?" tanyaku membuka percakapan.

Luna menoleh ke arahku sebentar lalu kembali melanjutkan mengotak-atik benda di tangannya,

"Sebentar kak. Dikit lagi nih."

"Itu benda apa, Lun?" Penasaran dengan benda asing di tangan Luna, aku melanjutkan bertanya. Benda itu berbentuk lonjong seperti sumpit, bedanya benda ini lebih tebal dan lebih panjang. Bagian bawah benda tersebut–yang lebih tebal dari bagian atasnya, penuh dengan ukiran-ukiran kecil. Luna sedang mengotak-atik kabel-kabel di bagian bawah benda tersebut.

"Tongsis," jawabnya polos. Namun, itu malah membuatku tambah bingung.

'Eh? Tongsis? Gak salah dengar nih? Kita mau percobaan sihir atau fotografi?' pikirku.

Sebelum aku sempat bertanya lagi, Luna melanjutkan, "Tongsis, alisas tongkat sihir."

Aku menjiplak dahiku, 'Tongsis dari mana? Tongsih iya kali...!' teriakku dalam hati. Entah Luna sengaja atau tidak dalam menyingkatnya, di luar pikiran aku tetap diam. Memasang wajah datar, supaya tidak mengganggu konsentrasi Luna.

"Nah... akhirnya selesai," tutur Luna sembari merenggangkan tangannya ke atas. Kemudian dia berdiri, memandangku.

"Hm? Kenapa kamu, kak? Kok tersenyum aneh seperti itu?"

Sepertinya ekspresi datar wajahku sedikit buyar saking anehnya permainan kata Luna.

'Salahmu sendiri membuat singkatan yang salah!' ingin diriku menjerit seperti itu, tapi ku urungkan niatku. Sebagai gantinya, aku menggelengkan kepala dan berkata, "Gak ada apa-apa kok..."

Luna terlihat bingung awalnya, tapi dia dengan cepat melupakannya dan memulai percobaan sihir kami.

"Sebelum kita mulai mencoba sihir, aku ingin bertanya, sejauh apa Kakak tau tentang sihir?"

Aku berpikir sebentar lalu menjawab, "Yang kutahu cuma fakta bahwa sihir muncul setelah pandemi datang merajalela." Mendengar pernyataanku, Luna memijat dahinya. Dia terlihat jengkel. Seakan-akan dia tengah berurusan dengan anak bermasalah.

"Kak, boleh aku bertanya sesuatu?"

"Apa?"

"Kapan terakhir kali kamu melihat berita?"

Aku heran mengapa Luna tiba-tiba memberikan pertanyaan semacam itu. Namun, aku tetap merespons.

"Kemarin, saat kamu menonton TV."

"Sebelum itu?"

"Hmm... Mungkin... tahun lalu?" tanggapku tidak pasti. Sejak kedatanganku di rumah nenek dua tahun lalu, aku hampir tidak pernah menyentuh layar persegi panjang tersebut.

"Mengurung diri di rumah, sibuk dengan dunianya sendiri, tidak peduli apa pun yang terjadi di luar sana." Luna menyebutkan satu persatu kegiatanku dengan hitungan jari, "Hah... Kakak ini benar-benar jadi pemalas level akut... Apa yang kamu lakukan selama ini, kak?" Selidik adik perempuanku ini, yang lebih muda 2 tahun dariku.

Aku mengangkat bahu. Enggan menanggapi. Melihat itu, Luna menghembuskan nafas pasrah entah untuk yang ke berapa kalinya hari ini.

"Baiklah kalau begitu, akan aku jelaskan terlebih dahulu bagaimana sihir bekerja. Pertama..."

"Eh, kita langsung lompat ke sana? Bagaimana dengan asal usul sihirnya, Lun?" selaku tiba-tiba. Yang malah membuat Luna tambah sewot.

"Aihh...! Itu mah bisa kakak cari sendiri di internet! Aku malas menjelaskannya padamu," ucap Luna kesal. "Dan, satu hal lagi! Kalau ada orang berbicara, jangan dipotong! Kalau Kak Zen memang ingin tahu bagaimana sihir itu. Kakak cukup diam dan dengarkan!" Mata Luna memelototiku dengan intensitas tinggi. Menjadikanku otomatis bisu dan mengangguk.

"Good. Pertama, apa kakak tahu sumber energi sihir?"

"Ether, kan? Sebuah energi asing yang tiba-tiba muncul dua tahun lalu. Kalau cuman ini aku juga tahu. "

Luna mengangguk, "Ya, Ether dari kata Ethereal. Energi yang juga menjadi penyebab utama pandemi. Aku tidak akan membahas panjang bagaimana energi gaib itu muncul karena itu akan sangat panjang ceritanya. Yang perlu kakak tahu sekarang, untuk menggunakan sihir kita perlu merasakan energi Ether ini." Luna berhenti. Mengambil nafas panjang, kemudian dia menutup kedua matanya.

"Ether tersebar bebas di sekitar. Untuk merasakannya tutup matamu dan konsentrasi. Gunakan indramu yang lain untuk merasakan sekitar." Sampai di sini, Luna masih terlihat normal di mataku.

"Lalu, kumpulkan Ether tersebut ke tanganmu atau ke alat pembantu sihir yang kamu bawa." Luna mengangkat tangan kanannya yang memegang tongkat sihir. Dia mengarahkan ujung tongkat sihir tersebut ke langit. Aku merasakan ada energi yang tidak terlihat berkumpul di tangan Luna. Energi itu tidak terlihat. Namun, entah mengapa aku bisa merasakan bentuknya yang seperti air dan gerakannya yang seperti angin.

"Selanjutnya, ucapkan mantra sihir dan lepaskan energi Ether di tanganmu seketika mantra itu selesai." Luna mulai mengocehkan sesuatu. Aku tidak mengetahui bahasa apa yang dia gunakan. Dalam pandanganku dia seperti berkomat-kamit tidak jelas. Selagi aku memperhatikannya, mendadak Luna berteriak, "Keluarlah! Water Ball!"

Mengikuti perintah Luna, sebuah bola air muncul di ujung tongkat sihirnya. Gumpalan cairan biru berukuran kepala manusia melayang di sana. Gumpalan tersebut kemudian dengan cepat meluncur ke udara.

Pyar!

Bola air tersebut meletus di langit. Butir-butir air jatuh layaknya hujan membasahi bunga-bunga.

'Ah, ada pelangi mini!' Pikiran itu sempat terlintas di kepalaku saat melihat pemandangan ganjil nan indah ini.

"Bagaimana, kak? Indah bukan?" kata Luna mengeluarkanku dari keadaan tercengang.

"Eh, cuman begitu?" komentarku dengan muka datar. Padahal, di dalam kepala, pikiranku heboh membayangkan apa yang bakal aku lakukan jika nanti aku bisa menggunakan sihir.

Daripada menjawab, Luna mendekatiku. Kedua tangannya terulur dan mencubit kedua pipiku. "Jangan sok gak tertarik begitu kamu, kak! Aku tahu kamu kegirangan di dalam hati. Kamu kira aku bakal tertipu dengan ekspresimu karena sudah lama tidak bertemu, hah? Aku masih ingat ekspresimu yang satu ini. Ekspresi saat kamu kegirangan karena menemukan game baru dan kamu berusaha untuk tidak menampilkannya di muka karena takut ketahuan oleh Ayah," celoteh Luna sambil menarik-narik kedua pipiku, menganggap pipiku ini mainan slime.

"Aduduuh! Oke-oke Lun, kamu menang. Aku memang benar-benar tertarik dengan sihir. Jadi, adikku Luna yang cantik nan imut, bisakah kamu melepaskan tanganmu! Pipiku bakal melar nih nantinya!" tuntutku mengeluarkan bendera putih, menyerah. Luna melepas cubitannya dan aku bisa membayangkan pipiku mendal seperti karet karena saking kerasnya ditarik.

"Tapi Lun, kok kelihatannya gampang, ya?" Aku mengatakan pendapatku mengenai percobaan sihir tadi. Tentunya, aku masih mengusap-usap pipiku yang merah.

"Hmm? Kamu mau aku cubit lagi, kak?" balas Luna seraya menggerak-gerakan jarinya seperti capit kepiting.

"Ngga-nggak, ampun Lun. Aku jujur kok. Dari yang aku lihat kamu tadi, pertama, kamu berkonsentrasi dengan mengambil nafas panjang, terus kamu berkomat-kamit tidak jelas sambil mengangkat tangan, dan yang terakhir kamu berteriak. Simpel dan mudah tuh kelihatannya."

"Kak Zen... Aduh Kak Zen... Coba dipakai dikit dong otakmu yang lumutan itu. Mana mungkin cuman begitu doang. Kelihatannya memang mudah karena aku sudah melakukan ini berkali-kali. Faktanya dulu, untuk melakukan tahap pertama yang aku sebutkan tadi, aku membutuhkan berhari-hari untuk berhasil melakukannya. Tahap kedua dan ketiga pun seperti itu, membutuhkan waktu lama untuk menguasainya."

Aku masih tidak percaya. Mungkin karena tidak terima dipanggil otak lumutan oleh adik sendiri. Gini-gini, dulu, saat sekolah menengah, aku termasuk juara kelas.

"Lagian–" Luna melanjutkan. "Ada beberapa hal yang tidak bisa Kak Zen lihat dengan kondisimu saat ini," jelasnya dengan senyum misterius.

Aku mengerutkan alisku, bingung dengan maksud kalimat Luna. "Kondisi diriku yang pemalas ini maksudmu, Lun?"

"Yes and No!" timpal Luna dengan nada riang. Dia kelihatan puas sekali melihat diriku yang tambah bingung.

Aku hendak bertanya lagi apa maksud dari jawabannya, tapi tiba-tiba Luna bertepuk tunggal. Membatalkan niatku untuk bertanya.

"Pokoknya, tidak semua yang kamu lihat semudah yang kamu kira, kak. Dan itu termasuk dalam sihir. Untuk maksud dari kalimat yang aku katakan tadi, jadikan itu PR hari ini. Pikirkan matang-matang, atau, kamu mungkin bisa menemukannya jawabannya di mbah google yang serba tahu itu. Dah ya kak, aku kembali ke rumah dulu," jelas Luna seperti guru yang sedang mengajari murid-muridnya. Dia langsung membalikkan badan dan berjalan ke rumah. Di tengah langkahnya dia berhenti dan menambahkan,

"Oh ya! Jangan lupa untuk mempelajari asal-usul sihir yang aku lewatkan tadi. Itu penting untuk besok! Karena kita akan pergi ke suatu tempat."

Selesai menambahkan, Luna kembali melangkah, meninggalkanku dengan beribu pertanyaan. Aku menatap punggungnya yang kecil itu. Saat itulah, aku tersadar. Tak kusangka adik perempuanku yang selalu membuntutiku saat kecil sudah tumbuh sedewasa ini. Entah berapa hambatan yang sudah dilaluinya selama 2 tahun ini aku tidak tahu. Yang pasti, Luna sudah berubah. Tingginya sudah hampir setara denganku. Punggungnya yang kecil itu sudah menampung banyak beban, lebih banyak dari yang aku kira. Rambut panjangnya menguraikan jarak yang sudah ditempuhnya dalam hidup ini.

Dunia berjalan dengan cepat. Meninggalkanku yang tak mampu mengikutinya, yang tak dapat melakukan perubahan, yang terkurung dalam kurungan masa lalu. Sendirian.

...___...

Vol 1 Chapter 2 - "I'm Vtuber, So What?"

"AAhhh~ Nikmatnya kasur ini..."

Aku menghempaskan tubuhku ke kasur. Melepaskan semua peluh yang dikumpulkan oleh otakku. Semenjak percobaan sihir tadi siang –meski aku sudah mencoba mengalihkan perhatianku dengan game atau menonton channel YouTube favoritku– aku terus-terusan memikirkan apa yang diucapkan oleh Luna. Hingga malam pun tiba aku belum bisa berhenti memikirkannya. Dan lebih parahnya lagi, dari segi mana pun aku memikirkannya, aku belum menemukan jawabannya.

"Pemalas level akut huh..." gumamku. Jujur saja, apa yang dikatakan Luna tentangku kurang lebih benar.  Yep, Aku adalah makhluk yang biasa kamu sebut shut-in, recluse, no-life, NEET, tertutup, hermit, pemalas, atau apalah sebutannya. Yang pasti, makhluk-makhluk sepertiku ini suka atau mungkin lebih tepatnya memaksakan diri untuk berdiam diri di dalam ruangan tanpa melakukan progress apa pun.

Sekitar dua tahun lalu, tepatnya satu semester setelah aku memasuki masa seragam abu-abu putih–yang aku tidak tahu dari mana asal sebutan abu-abu itu padahal seragamnya berwarna biru muda–aku mogok sekolah. Bosan bertengkar dengan orang tua setiap hari, aku memutuskan untuk kabur dari rumah. Tujuanku yaitu rumah nenek yang ada di ibukota provinsi sebelah.

Sesampainya di rumah nenek, aku melakukan kesalahan besar. Setelah tekanan besar yang menimpaku, aku seharusnya membangun diriku yang kelelahan secara perlahan. Akan tetapi, yang kulakukan hanyalah mengurung diri di rumah. Bermalas-malasan setiap hari. Membiarkan waktu mengalir dengan percuma. Hidup tanpa tujuan.

Lambat-laun aku sadar cara hidupku ini salah, tapi setelah beberapa bulan menjalaninya. Cara hidup itu menempel erat di tubuhku. Entah berapa kali dan cara apa pun aku mencoba merubahnya, tetap saja sama. Mengingatkanku atas alasan pertamaku mogok sekolah. Lingkaran setan ini berulang-ulang terjadi dan tak terasa sudah hampir 2 tahun aku mendiamkan roda hidupku.

"Argh! Stop My brain, Stop thinking! Cukup Zen, nggak usah dipikir susah-susah! Bakalan mikir yang nggak jelas nantinya." Aku menegur diri, "Lebih baik, kita kerjakan PR Luna yang satunya dulu saja. Oke, Here we go!" dan aku langsung mengganti fokusku. Yep, beginilah kalau sendirian di rumah dalam jangka waktu lama, sering ngomong sendiri jadinya.

Aku beranjak dari kasur. Menuju meja di sudut kamar. Sebuah layar komputer terletak mengkilap di atas meja. Bentuknya yang lebar dan sedikit lengkung memberikan nuansa 3D bagi si pengguna. Di samping kanan-kiri layar tersebut, layar kedua dan ketiga yang lebih kecil manis duduk menemani layar utama. Perangkat-perangkat tambahan berceceran rapi di sekitarnya. Mouse, Keyboard, Controller, Speaker, dan Headphone, semua bermerek gaming dengan LED yang menyala berwarna-warni memeriahkan meja. Tak lupa dengan Microphone, Webcam, dan alat-alat seperangkat alat streaming lainnya.

Bisa dibilang, inilah hasilku bermalas-malasan dua tahun ini. Aku memilih menjadi virtual youtuber.

'Makanan apalagi ini?' ucap pikiranku yang mulai bercakap sendiri.

'Oya? Kamu tidak tau apa itu? Cek sendiri sana! Zaman sekarang kan, dikit tidak tahu larinya langsung ke mbah Google.' balas belahan otak lainnya.

'Wew, hebat juga kamu bisa mendapatkan semua perlengkapan ini hanya dari menjadi Virtual Youtuber!' ungkap sisi kiri diriku.

'Well, tidak juga. Jujur saja, subscriber-ku tidak terlalu banyak. Aku membeli sebagian perlengkapanku dengan tabungan di awal aku memulainya.' Jawab yang kanan.

Aku duduk di kursi gaming hitam layaknya seorang kapten kapal antariksa, menyilangkan kakiku sembari menunggu mesin menyala. Tak sampai penunjuk menit di jam digital berganti, layar utama menyala dengan tulisan 'Welcome', menyambutku bak awak kapal yang memberikan hormat kepada kaptennya. Segera aku memberikan perintah, menyetir mouse dengan presisi dan meng-klik mesin pencarian. Perintah aku ketikan dengan cepat, 'Asal-usul sihir', Ctak-tak-tak! Enter!!

Perintahku dijalankan dengan kecepatan kilat. Sebelum aku bisa melanjutkan perintahku, awak kapal menyelaku dengan sebuah sebuah ringtone notifikasi. Ternyata, kapten kapal lainnya di samudera internet memberiku pesan. Dia kawan sesama VTuber-ku. Kebetulan jam-jam segini memang waktu untuknya online.

Aku meng-klik notifikasi itu, mengantarkanku ke sebuah aplikasi pengirim pesan. Sebut saja aplikasi D. Aplikasi D ini yang banyak menjadi pilihan para pengguna akut gadget elektronik. Dengan server-servernya yang luas dan terstruktur, membuat aplikasi tersebut diminati tak hanya untuk komunitas gamer, komunitas-komunitas lainnya juga ikut menanamkan akarnya dalam aplikasi tersebut, bahkan komunitas belajar sekalipun.

[Oi, Zen! Ngga main lu?]

[Oi! Ngga bro, lagi sibuk nih...]

[Alah... Kayak yang bisa sibuk aja lu. Sibuk ngapain emang?]

[Searching sesuatu.]

...

Chat singkat kami terhenti sebentar, kawanku tidak merespons. Jeda beberapa detik kemudian dia baru melanjutkan.

[Pindah VC aja, Zen.]

Aku langsung paham apa yang dimaksud olehnya. Dengan lincah, aku menggeser kursor mouse-ku ke channel khusus berbicara secara real atau Voice Channel.

Dalam aplikasi komunikasi lainnya, fitur untuk berbicara secara langsung berupa Voice Call atau Video Call yang untuk menggunakannya membutuhkan persetujuan lawan bicara. Tetapi, di aplikasi yang aku gunakan sedikit berbeda. Dalam aplikasi ini terdapat channel-channel yang memudahkan penggunanya untuk membicarakan lebih dari satu topik, dan salah satunya yaitu Voice Channel. Kita tinggal memilih mana voice channel yang sesuai dengan topik yang ingin dibicarakan dan tinggal klik. Batas jarak yang menghalangi kami hilang sudah. Aku memasang Headphone favoritku.

"Hello-hello! Amex here!"

Seketika aku masuk channel tersebut, suara tenor riang menyambutku. Dia adalah Amex, kawan streaming online-ku selama kurang lebih satu tahun ini. Aku bertemu dengannya di komunitas VTuber. Berhubung kami seumuran, aku dan Amex dengan mudah akrab. Nama Amex merupakan nama VTuber-nya, aku tidak tahu-menahu nama asli dan jenis kelaminnya, tapi pita suaranya yang rendah meyakinkanku bahwa dia Laki-laki.

"Hai, Mex! Cek-cek. Suaraku jelas, kan?" sapaku sekaligus mengecek suara. Aku akrab memanggilnya Mex.

"Jelas kok, lagi searching apaan lu, Zen? Game baru?"

"Nope, kali ini bukan tentang game. Aku dapet PR disuruh mencari asal-usul sihir."

"Ahh... Yes-yes. Sihir," tanggap Mex memahami, aku bisa membayangkan dia mengangguk-angguk di depan layar komputernya.

"Lu sudah mencoba sihir, Mex?" tanyaku.

"Of course, I have! Kegiatan menarik sekaligus menyenangkan seperti itu nggak bakal dilewatkan oleh Mex si Ahli ini!" Aku tertawa kecil mendengar reaksinya. Selalu seru berbicara dengan Mex. Tingkah lakunya yang inovatif membuat pendengarnya betah dengannya. Bahkan kadang kala aku dapat membayangkan ekspresi apa yang dia tampilkan hanya dengan mendengar suaranya saja. Pantas saja, subscriber-nya lebih banyak dariku.

"Then? How's it?"

"It's awesome!! Awal mencoba memang susah. Tapi, setelah kamu mengerti kuncinya. A whole new world awaits you!"

Aku meneguk ludah, 'Dunia baru menyambutku? Inikah yang dimaksud Luna tadi siang? Sesuatu yang tidak bisa aku lihat dengan kondisiku yang sekarang? Haruskah aku mempelajari sihir lebih dalam lagi?' Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benakku. Menjadikanku semakin antusias dengan sihir.

"Btw Zen, Mex si Ahli ini punya video rekomendasi untukmu," kata Mex mengalihkan topik pembicaraan ke semula.

"Tentang sihir, maksudmu?"

"Yes! Kawan kita di komunitas streamer yang membuatnya. Sudah aku tonton, dijamin mantapu jiwa!"

"Oh ya? Rekomendasimu biasanya manjur-manjur. Mana link-nya, Mex? Mau aku tonton sekarang juga," pintaku tak sabar.

"Nih! Aku kirim lewat direct messages."

Ringtone notifikasi berbunyi lagi. Ketika kolom chat aku buka kembali, dua link Youtube telah dikirim oleh Mex.

"Eh? Kok ada dua link Youtube?" gumamku pelan. Akan tetapi, berhubung aku memakai Headphone, gumam pelan itu terdengar oleh Mex.

"Link yang kedua itu Bonus! Anggap saja sebagai surprise gift kecil-kecilan dariku untukmu, kawan akrabku. Terima kasih sudah berteman denganku meski hanya lewat online ini."

"Eh? Ah! I-iya Mex, sama-sama, aku juga terima kasih." balasku gagap. Aku tidak menyangka Mex memberiku terima kasih tiba-tiba, menyebabkan diriku malu-malu kucing.

"Ehehe..." Mex tertawa kecil, juga dengan malu-malu.

"..."

"..."

Dengan suasana canggung, kami berdua mencukupkan perbincangan kami.

...___...

Akhir tahun 2035, tanpa diundang tanpa diinginkan, serangan mematikan datang ke planet bumi. Rumor mengatakan serangan ini merupakan senjata bioteknologi mematikan superpower barat, sedangkan yang lain mengatakan serangan ini hanya sebuah propaganda negara-negara merah. Tidak ada yang tahu penyebab aslinya, yang pasti, serangan ini bukanlah hanya sebuah rumor. Serangan ini menyebar dengan cepat, satu-persatu nyawa melayang, berhari-hari kota lumpuh, berminggu-minggu negara menutup diri, demi bertahan dari serangan tak terlihat tersebut. Mereka tidak mendiskriminasi. Negara, ras, suku, bukan lawan mereka. Dalam setengah tahun, tidak ada makhluk di penjuru bumi yang tak terlewati oleh pandemi ini.

Tapi, selalu ada makna dibalik sebuah kesulitan. Bagi mereka yang berhasil bertahan, kehidupan baru menantinya. Serangan yang awalnya dikira hanya sebuah penyakit biasa ternyata merupakan sebuah kunci evolusi untuk manusia. Tiga bulan setelah serangan pertama kali datang, pejuang-pejuang yang berhasil bertahan hidup dalam pertarungan melawan penyakit mulai mengklaim bahwa mereka melihat sesuatu yang ganjil. Tentu, tidak ada yang menggubris mereka, menyebut mereka gila karena perjuangan hidup-mati tersebut. Satu bulan selanjutnya, jumlah mereka bertambah. Ditambah lagi, beberapa individual mengalami perubahan fisik. Bukti sudah jelas, umat manusia tidak bisa lagi menghiraukannya. Ada sesuatu yang terjadi dengan dunia. Dunia berkicau.

Di saat genting dan panik seperti inilah ujian sebenarnya menampakkan taringnya. Ya, tidak ada makhluk hidup yang terlewati oleh serangan tersebut, hewan dan tumbuhan juga termasuk dalam daftar, bahkan serangga-serangga kecil kasat mata. Makhluk-makhluk seperti mereka lebih cepat berevolusi. Dan itu bukan kabar baik bagi umat manusia. Mereka mengamuk. Ekosistem rusak. Yang kecil dimakan oleh yang besar. Yang besar tunduk oleh yang lebih besar lagi. Dan yang lebih besar lagi dikalahkan oleh si kecil elite yang menakutkan.

Umat manusia tidak luput dari amukan tersebut. Dan lagi-lagi, ribuan nyawa melayang. Senjata-senjata modern berhasil untuk menahan mereka. Hanya untuk sementara sayangnya. Amukan monster evolusi tersebut bak air bah. Senjata modern yang tidak efisien dalam masalah sumber daya kalah dengan massa yang terus berkembang. Tak ada pilihan lain, umat manusia memilih untuk mempergunakan cara terakhir, senjata pemusnah massal. Namun, sebelum keputusan itu ditegakkanlah, mereka muncul.

"Para penyihir." Jelas narator dalam Youtube. Aku menyaksikan video yang direkomendasikan oleh Amex dengan mata berbinar. Membuka mataku lebar-lebar. Takut untuk ketinggalan informasi walau hanya sekedip saja.

Tontonan yang satu ini menarik. Youtuber video itu memulai video dengan animasi yang memukau. Dia juga memberikan narasi yang cermat. Gaya storytelling-nya melekat di hati penonton. Diikuti oleh background sound yang sesuai memendam lebih dalam penonton ke dalam video tersebut.

Video itu kemudian berlanjut menampilkan sebuah cuplikan video di mana para penyihir pertama kali muncul. Dibalut oleh musik pertarungan yang garang, para penyihir memukul mundur gerombolan monster dengan sihir-sihir fantastis mereka. Lidah-lidah api berjilatan, air mengamuk buas, angin meraung ganas, tanah berguncang hebat, petir-petir berdentum gila. Monster-monster dimusnahkan, prajurit baris depan bersorak ramai terselamatkan.

Aku mem-pause video. Mengambil nafas panjang. Meraih botol di sampingku dan meneguk air di dalamnya. "Fuuhh..." Bisa berbahaya jika aku tidak mengambil jeda dalam kegiatan apa pun, terutama jika aku sedang penuh fokus. Selain karena takut dehidrasi, mengistirahatkan otak sebentar dalam kegiatan yang membutuhkan perhatian penuh dapat merefresh otak, meringankan risiko stress.

Tombol spasi aku tekan kembali. Video berlanjut. Kali ini, youtuber tersebut memberikan narasi secara langsung. Dengan figuran-figuran dari kertas di kedua tangan dia lanjut bercerita,

"Kejadian itu terjadi tepat satu tahun setelah pandemi pertama kali diidentifikasi. Sejak saat itulah sihir mulai dikenalkan. Para penyihir membentuk asosiasi penyihir dunia, yang berpusat di kota sihir, di pulau melayang di tengah samudera Pasifik." Figuran-figuran kertas bertopi penyihir berkumpul di sebuah gambar dengan pulau melayang di atas air.

"Sihir mulai diajarkan ke masyarakat luas, dan masyarakat menggunakan sihir untuk memukul balik para monster. Meski belum semua monster termusnahkan, mereka berhasil ditahan. Kedamaian kembali ke pemukiman-pemukiman manusia. Tentunya dengan sihir di tengah-tengah kita." Youtuber tersebut mengakhiri video dengan menancapkan figuran di atas sebuah gabus, figure kertas bertopi penyihir berdampingan dengan figure kertas orang biasa.

Aku menyandarkan punggungku ke bantalan kursi. Kedua tanganku aku lempar ke udara, mengulet puas.

"Video tadi memang mantapu jiwa. Seperti yang aku harapkan dari Mex. Dia memang Si Ahli dalam hal beginian." gumamku kepada diri sendiri.

Tapi, aku merasa masih ada yang kurang dari video tadi. Aku reka ulang percobaan sihir tadi siang, mencoba mencari apa yang kurang dari video tersebut. Ketika aku mengingat Luna yang melancarkan sihir, saat itulah jawaban terlintas dalam pikiranku.

"Ah!" seruku. Menemukan jawaban, "Pantas saja ada yang kurang. Video tadi tidak menjelaskan tata cara menggunakan sihir! Youtuber tadi hanya bercerita tentang asal-usulnya saja!"

Aku yakin masih banyak informasi mengenai sihir yang belum aku tahu. Video tadi singkat, hanya menampilkan sebagian kecil dari kejadian yang sebenarnya. Luna juga mengatakannya seperti itu, memang kelihatannya gampang, tapi nyatanya proses yang harus dilalui sangatlah panjang.

Aku mengepalkan telapak tanganku. Sudah lama aku tidak merasa bersemangat seperti ini. Terakhir kalinya mungkin saat aku dan Mex mengikuti kompetisi game secara online.

"Sepertinya aku harus lembur malam ini, banyak hal yang harus aku pelajari."

Tangan kananku segera meraih mouse dan tangan kiri bersiap di atas keyboard. Waktunya bekerja!

Baru saja aku memantapkan niatku, aku teringat masih ada satu video lagi yang dikirimkan oleh Mex. Video Bonus. Aku kembali membuka ke log chat-ku dengan Mex dan meng-klik link video kedua. Aku hanya bisa diam menganga melihat apa yang ditampilkan oleh video kedua.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Memang, mengumpulkan informasi membutuhkan waktu yang cukup lama tapi bukan itu alasanku tidak bisa tidur. Video kedua yang aku tonton jauh lebih menarik dari yang pertama. Aku menghabiskan semalaman untuk memikirkannya.

...___...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!