Arya Sentana tersentak kaget mendengar penuturan Adijaya di hadapan dirinya bersama Ki Ranggasura, gurunya.
"Jadi benar kau keponakan dia?"
Adijaya mengangguk, "Dia paman Darpa namanya,"
Dua hari Adijaya tak sadarkan diri, dirawat di biliknya Arya Sentana. Setelah pulih baru dibawa ke biliknya Ki Ranggasura. Di situ Adijaya menuturkan kisahnya.
"Hatimu baik, Nak," ujar Ki Ranggasura setelah tahu alasan Adijaya kabur dari ayahnya.
"Lantas bagaimana keadaan orang itu?" tanya Ki Ranggasura kepada muridnya. Yang dimaksud adalah Darpa anggota Lima Begal Cakrageni.
"Terakhir kutinggalkan dalam keadaan terluka parah akibat Pukulan Dewa Tunggal-ku," jawab Arya Sentana. Menarik nafas sejenak, lanjutnya, "Ilmu Cakrageninya cukup hebat seandainya tenaga dalamnya lebih besar mungkin akan bisa menandingi pukulanku,"
"Nah, Adijaya maukah tinggal di sini menjadi murid padepokan Linggapura?" tanya Ki Ranggasura kepada Adijaya.
Anak ini tampak merenung, matanya menerawang jauh.
"Apa yang kau pikirkan, Nak?" tanya si kakek yang sudah berusia hampir delapan puluh tahun tapi masih terlihat tegap perkasa seperti baru berumur lima puluhan.
Ki Ranggasura, guru besar padepokan Linggapura termasuk tokoh yang disegani di dunia persilatan. Dia termasuk sepuluh orang paling sakti di tanah Tarumanagara ini.
"Dulu saya menolak diajari ilmu silat oleh ayahku," kata Adijaya setelah agak lama termenung.
"Kenapa?" tanya Arya Sentana.
"Karena saya pikir nantinya akan digunakan untuk merampok,"
"Anak baik," ujar Ki Ranggasura tersenyum.
"Tapi ilmu silat di sini diajarkan untuk kebaikan, menolong yang lemah, menegakan kebenaran," jelas Arya Sentana salah satu dari dua murid utama Ki Ranggasura.
Komara, adalah saudara seperguruan Arya Sentana. Memiliki kepandaian dan kesaktian yang sama. Hanya saja dia lebih sering di dalam padepokan untuk mendidik murid-murid yang lain yang jumlahnya sekitar lima puluh orang yang terbagi dalam tiga tingkat. Sedangkan Arya Sentana sering mengembara turun gunung sehingga namanya lebih di kenal di dunia persilatan.
"Bagaimana, Nak?" tanya Ki Ranggasura lagi.
"Baiklah Eyang, saya mau belajar di sini,"
"Nah, begitu!"
Si kakek mengekeh sambil menepuk-nepuk pundak Adijaya.
Lalu tiba-tiba ada seseorang datang.
"Sampurasun, maaf Eyang, saya ada keperluan dengan Raka Arya,"
"Rayi Komara, ada apa?"
"Ada beberapa orang mencari Raka,"
"Siapa?"
"Entahlah, mereka empat orang."
"Sepertinya ada hubungannya dengan Adijaya," sang guru menimpali. Dengan ilmunya tinggi dia mempunyai firasat yang selalu tepat.
Komara menatap sejenak ke arah Adijaya begitu nama anak ini disebut gurunya.
"Begal Cakrageni!" ujar Arya Sentana lebih ke menggumam. "Mari, aku temui mereka!"
Pendekar Tinju Dewa bergegas keluar menemui mereka yang menunggu di lapangan tempat berlatih silat. Lapangan yang luas karena bisa menampung lima puluh murid padepokan.
Ki Ranggasura, Komara dan Adijaya mengikuti dari belakang.
Benar juga, yang berdiri di tengah lapangan itu adalah Gandara bersama komplotannya yang kini hanya tiga orang. Lima Begal Cakrageni.
"Ada apa?" tanya Arya Sentana dengan suara menekan yang disertai tenaga dalam.
"Kami menuntut balas atas kematian saudara kami," Gandara menunjuk satu sosok yang tergeletak di sisi lapangan.
Rupanya yang bernama Darpa itu telah tewas.
Gandara menyeringai sinis, "Dan juga hendak mengambil anak itu!" tunjuknya ke arah Adijaya.
Wajah Adijaya tampak panik. Tapi Ki Ranggasura merangkul, menenangkan.
"Saya yang bertanggung jawab atas kematian saudara kalian!" seru Arya Sentana masih disertai tenaga dalam. "Silahkan, mau satu-satu atau sekaligus berempat!"
"Sombong!" sentak Kuntala, kedua matanya melotot angkuh, rahangnya mengeras. Nafsunya sudah memuncak ingin segera membalas dendam.
Dengan tenang Arya Sentana melangkah ke depan. Ke empat lawannya mengambil tempat masing-masing. Mengurung Pendekar Tinju Dewa.
Di pinggiran lapangan kini sudah berderet murid-murid padepokan menyaksikan pertarungan yang akan segera berlangsung.
Pendekar muda yang sudah menorehkan nama melawan kawanan rampok yang juga sudah terkenal. Tapi kini hanya berempat saja.
Entah siapa yang memulai, pertarungan telah terjadi. Empat orang dengan jurus berkelompok menyerang satu orang yang tetap bersikap tenang dalam gerakannya. Empat serangan menyasar kepala, leher, perut dan ************.
Serangan ke kepala bisa dielakkan dengan mudah, serangan ke perut ditangkis dengan tangan yang kokoh dan menjadi andalan dalam jurusnya. Dan serangan ke ************ dihalau dengan kaki.
Selanjutnya terjadi jual beli serangan. Jurus berkelompok Cakrageni dengan kekuatan cakarnya mengurung jurus Pukulan Dewa Tunggal. Menghadapi jurus berkelompok ini Arya Sentana merasa cukup kesulitan. Karena baru kali ini dia menghadapinya. Biasanya dia hanya menghadapi keroyokan tak beraturan yang mudah dihancurkan.
Untuk mengimbangi mereka, Arya Sentana tidak hanya mengandalkan Pukulan Dewa Tunggal. Tapi juga mengeluarkan Tinju Dewa Tertawa dan Dewa memukul Denawa. Tidak lupa pengerahan tenaga dalam juga langsung penuh. Dia tidak mau coba-coba melawan kelompok begal yang sudah lama malang melintang ini.
Jurus dan ilmu Cakrageni memang dahsyat. Walaupun kini cuma berempat kekuatannya tetap besar. Serangan-serangannya menutup gerak langkah lawan. Seolah-olah tak memberi celah untuk menghindar atau bahkan membalas.
Tapi Pendekar Tinju Dewa bukan pendekar sembarangan. Meski masih muda tapi pengalaman bertarungnya sudah lumayan. Tiga jurus yang diperagakan bergantian kadang digunakan bersamaan mampu mengimbangi jurus berkelompok lawannya.
Ki Ranggasura dan Komara menyaksikan dengan tenang. Sang guru sudah bisa membaca kekuatan lawan yang dihadapi muridnya. Merupakan kebetulan juga mengingat sampai saat ini belum ada pendekar yang benar-benar berhasil menumpas kawanan rampok itu. Mereka selalu kabur bila mendapatkan lawan yang sulit dikalahkan.
Kembali ke pertarungan satu lawan empat. Karena semuanya tak menggunakan senjata, maka yang sering beradu benturan adalah pukulan yang menjadi andalan kedua pihak. Kadang juga disertai tendangan guna mengisi kekosongan ketika menyiapkan pukulan susulan.
Benturan-benturan itu menimbulkan getaran ke urat-urat bagian tubuh yang berbenturan terutama bagian tangan. Getaran ini menyebabkan berkurangnya tenaga. Namun, yang membuat bertahan adalah seberapa banyak tenaga simpanan untuk menggantikan tenaga yang hilang.
Jika dilihat secara perhitungan, Arya Sentana akan cepat berkurang tenaga karena melawan empat orang sekaligus. Tapi sampai seratus jurus lebih dia masih tampak tenang bahkan tak berkeringat sedikitpun. Malah keempat lawannya tampak menyerang membabi buta walau masih kompak dengan jurus berkelompok. Mereka geram karena belum juga bisa melukai lawan.
Arya Sentana menggunakan taktik bertahan untuk menyerang. Setiap serangan dia songsong. Berani menahan pukulan dengan pukulan lagi. Dia yakin dengan tenaga cadangannya.
Sampai ketika empat serangan berbarengan menyasar bagian tubuhnya yang berbahaya. Arya Sentana seperti menunggu serangan itu datang. Hingga satu jengkal lagi serangan itu mengenai sasaran, dalam waktu sepersekian detik murid padepokan Linggapura ini melakukan sesuatu.
Braaak!
Bruuugh!
Empat orang terjengkang ambruk. Semuanya tak berkutik.
Terkapar.
Murid-murid yang menyaksikan tampak melongo. Hanya Ki Ranggasura dan Komara yang tersenyum.
Apa yang terjadi?
Arya Sentana mengerahkan tenaga penuh pada tangan dan kakinya. Kepalan tangan kiri dijadikan tameng bagi wajahnya yang menjadi sasaran dari arah depan. Serangan yang menghantam tameng ini seperti menghantam dinding baja sehingga membuat penyerangnya terpental bahkan merasakan akibat benturan itu seperti merontokan tulang-tulangnya.
Begitu juga dengan tiga serangan lain. Yang mengarah ke jantung dari arah kiri di tahan dengan pukulan tangan kanan. Berbarengan dengan siku kanannya menahan serangan ke iga dari arah kanan. Dan tendangan kaki ke belakang menahan serangan ke punggungnya dari arah belakang.
Semua itu terjadi dalam sekejap mata saja.
Semuanya bernasib sama. Serangan mereka seperti menghantam dinding baja yang malah mendorong balik hingga mereka terjengkang dan ambruk.
Yang bernama Wikarta dan Sarkawi langsung tewas seperti tanpa luka di luar tapi di dalam tulang-tulang dan uratnya hancur. Yang bernama Kuntala tampak masih megap-megap menahan ngilu yang amat sangat. Sedangkan sang pimpinan tergeletak lemas tapi masih bisa bersuara.
"Adijaya...anakku..."
Ki Ranggasura menghampiri sambil membawa Adijaya yang kelihatan masih takut dan ragu untuk mendekati ayahnya.
"Kemarilah, Adijaya..."
Ditemani oleh si kakek, Adijaya bersimpuh di samping ayahnya. Ada rasa kasihan melihat nasib ayahnya yang seperti itu. Menjadi orang lumpuh tak berdaya. Diam-diam hatinya tersayat juga. Tapi tak bisa berkata apa-apa.
"Adijaya, maafkan ayahmu. Kau harus tahu, sejahat-jahatnya seorang ayah, tidak ingin anaknya menjadi jahat juga. Ayah ingin kau jadi anak yang baik. Jangan mengikuti jejak ayahmu. Kau benar kalau kau tak mau ikut ayah lagi karena jadi perampok. Tapi ayah juga khawatir kalau kau hidup sendirian. Ki Ranggasura....."
"Ya!"
"Aku serahkan anakku, didiklah dia jadi orang baik dan berguna...."
Gandara terkulai menghembuskan nafas terakhir. Beginilah akhir hayat Begal Cakrageni. Tanpa bersuara, Adijaya meneteskan air matanya. Ada rasa senang dan sedih bersamaan. Senang karena pada akhirnya ayahnya sadar akan sepak terjangnya selama ini. Sedih karena saat ayahnya bertobat harus kehilangan nyawa juga. Tak ada dendam di hatinya. Ia menganggap ini adalah karma bagi ayahnya.
"Eyang, ada satu orang hilang!" seru Komara menyadari sesuatu.
Semua mengedarkan pandangan. Salah satu anggota begal yang bernama Kuntala telah lenyap karena kini hanya ada tiga jasad dan satu jasad di pinggir lapangan.
"Seseorang berilmu tinggi telah membawa jasadnya," ujar Ki Ranggasura merasa lengah."Gerakannya cepat dan tidak bersuara, sungguh hebat ilmunya,"
"Siapa dia, Eyang?" tanya Komara.
Sang guru menggeleng pelan. "Bisa jadi guru mereka," gumamnya pelan.
"Dia membawanya karena masih hidup." ujar Arya Sentana.
"Mari kita kuburkan mereka dengan layak." ajak Ki Ranggasura.
Dibantu beberapa murid lain, empat jasad Begal Cakrageni akhirnya dikuburkan di tempat yang jauh dari padepokan.
Keesokan harinya Ki Ranggasura mengumumkan bahwa Adijaya telah diangkat jadi murid padepokan Linggapura. Di depan sang guru besar para murid padepokan menunjukan sikap menerima kehadiran Adijaya sebagai murid baru. Namun, ketika mereka kumpul-kumpul di kala istirahat, ada berbagai tanggapan menyikapi anak baru itu.
Ada yang menerima dengan senang hati karena sikap Adijaya yang menentang ayahnya. Yang ingin menjadi orang baik tidak mengikuti jejak hitam sang ayah.
Ada juga yang menolak. Alasannya sifat anak pasti tidak jauh dari orang tuanya. Mungkin saja sekarang dia bersikap baik. Atau cuma pura-pura, padahal di dalam hatinya dia menyimpan dendam kesumat atas kematian ayahnya. Bisa jadi suatu saat akan menuntut balas setelah berhasil menguasai semua ilmu di padepokan ini. Kelompok ini ternyata jumlahnya lebih banyak dari kelompok pertama.
Dan ada yang bersikap biasa saja. Tidak menerima, tidak juga menolak. Acuh tak acuh. Siapapun Adijaya bukan jadi urusannya. Hanya sebatas saudara seperguruan. Kelompok ini juga jumlahnya cuma sedikit.
Suatu pagi ketika semua murid hendak latihan. Kelompok yang menolak Adijaya yang jumlahnya paling banyak berkumpul di salah satu sisi lapangan. Salah seorang yang menjadi perwakilan menemui Komara. Bahwa para murid ingin mengadu.
"Ada apa?" tanya Komara begitu berada di hadapan para murid.
"Kami ingin Adijaya dikeluarkan dari padepokan," jawab salah seorang murid yang seumuran dengan Adijaya.
"Apa alasannya?"
"Kami tidak ingin ada bibit penjahat di padepokan ini!"
"Bukankah kalian semua tahu, dia tidak ingin seperti ayahnya?"
"Maaf, Paman, buah jatuh pasti tidak jauh dari pohonnya. Saya khawatir suatu saat dia akan balas dendam atau menebar malapetaka seperti ayahnya."
"Jangan khawatir," Komara menarik nafas sejenak. "Saya percaya guru bisa mendidiknya jadi orang baik,"
"Kami tetap menolak, Paman!" salah seorang murid yang di belakang berteriak.
Lalu datanglah Adijaya bersama Arya Sentana.
"Saya akan pergi dari padepokan jika teman-teman semua tidak berkenan," kata Adijaya datar. Raut wajahnya dingin. Dia sadar dan mengerti keadaan. Lagi pula sebenarnya dia kurang minat dengan ilmu silat.
"Ayahmu telah menyerahkan tanggung jawabnya padaku, Adijaya," ujar Arya Sentana.
"Bersihkan padepokan ini dari bibit penjahat!"
"Usir anak iblis itu!"
"Ya, padepokan ini tempat orang-orang bersih dan suci!"
"Tunggu, tunggu!" teriak Komara menyela di antara teriakan-teriakan para murid yang tampak bernafsu ingin segera mengusir Adijaya.
Semuanya terdiam. Angin berhembus sejuk di seantero padepokan yang letaknya di lereng gunung Lingga itu. Suasana pagi yang indah jadi mencekam.
"Begini saja," ucap Komara memecah kesunyian. "Karena tanggung jawab untuk mendidik Adijaya kini berada di pundak Raka Arya, maka Adijaya tidak bisa dikeluarkan dari padepokan. Hanya..."
Komara berhenti. Menghela nafas. Yang lain tampak menunggu. Adijaya masih bersikap datar. Keheningan melanda lapangan berlatih lagi. Termasuk kelompok lain yang berkumpul terpisah juga menunggu.
"Bagaimana Rayi?" tanya Arya Sentana memecah keheningan.
"Maaf, Raka, begini pendapatku. Adijaya tetap tinggal di padepokan tapi tidak boleh diajarkan ilmu silat,"
Terdengar gumaman di sana sini sambil saling pandang murid-murid satu sama lain.
Tidak diajarkan ilmu silat berarti cuma diajarkan tentang tata krama dan perilaku yang baik saja.
"Bagaimana, Raka?" balik tanya Komara.
"Baiklah, aku setuju!" jawab Arya Sentana tanpa pikir panjang lagi.
Semuanya tampak menghembuskan nafas. Bagi kelompok yang menerima, merasa lega. Tapi bagi yang menolak, masih menyimpan rasa kecewa. Karena sebenarnya mereka lebih ingin Adijaya enyah dari padepokan.
Kejadian ini segera diberitahuakan kepada sang guru besar Ki Ranggasura. Begitulah akhirnya Adijaya boleh tinggal di padepokan Linggapura tapi tidak mendapatkan ajaran ilmu silat.
Bagi Adijaya bukan suatu masalah karena dari awalnya dia tidak suka ilmu silat. Walaupun kata Ki Ranggaguna asal digunakan untuk kebaikan, membela kebenaran. Tapi dia masih dihantui sepak terjang ayahnya.
Benar juga kata murid-murid yang menolaknya. Bisa saja jika sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, sifatnya akan berubah dan seketika ingin membalas dendam ayahnya.
Tidak jadi seorang pendekar pembela kebaikan dan penolong yang lemah juga tidak apa-apa.
Jadi manusia berguna tidak harus jadi pendekar.
Bersambung....
Yang dikerjakan Adijaya setiap hari adalah mencari dan mengumpulkan kayu bakar, membantu tukang masak di dapur serta menyiapkan makanan untuk murid-murid bila waktunya istirahat. Mencuci pakaian guru dan dua pamannya. Di padepokan ini semua penghuninya laki-laki. Ki Ranggasura sendiri sudah lama menduda. Kepada murid yang sudah dewasa seperti Arya Sentana dan Komara, sang guru sudah menyarankan untuk menikah jika sudah ingin berkeluarga. Istrinya boleh tinggal di padepokan.
Arya Sentana yang merasa kasihan dan sudah menganggap Adijaya seperti keponakan sendiri, diam-diam mengajarkan anak itu mengolah tubuhnya menjadi kuat. Setiap hari beban kayu bakar yang diangkat dengan cara dipikul selalu ditambah. Bagusnya, Adijaya selalu semangat mengerjakannya.
Anak mendiang Gandara pimpinan Begal Cakrageni yang telah tewas beberapa hari yang lalu ini juga tidak tahu kalau cara memotong atau menebas kayu bakar merupakan bagian dari gerakan jurus. Secara tidak sadar walaupun tidak diajari silat, tubuh Adijaya ditempa agar menjadi kuat dan memiliki tenaga yang besar.
Setidaknya dia memiliki tubuh yang sehat dan kuat.
Bila Adijaya sedang memotong kayu bakar menjadi bagian-bagian kecil, secara tak sengaja dia mendengarkan Komara yang menerangkan tentang sebuah jurus. Menjelaskan tentang manfaat dan tujuan sebuah gerakan. Cara menggerakan dan menyalurkan tenaga. Bagaimana kecepatan dan ketepatannya. Semua yang dijelaskan itu Adijaya bisa mengingatnya ketika hendak tidur.
"Aku yakin kau akan tetap menjadi orang baik, tidak seperti yang disangkakan para murid," ujar Arya Sentana di suatu malam ketika yang lain sudah terlelap.
Pendekar Tinju Dewa mengunjungi Adijaya di biliknya sebelum tidur.
"Untuk itu saya tidak belajar silat agar tetep menjadi orang baik, Paman,"
"Tapi aku kasihan, bagaimana kalau ada yang jahat terhadapmu?"
"Saya yakin selama kita berbuat baik, maka kebaikan pula yang akan menghampiri kita,"
"Wah, hebat, ucapanmu seperti seorang resi." Arya Sentana tertawa.
"Saya memang pernah mendengar kata-kata itu, tapi entah dari mana?"
"Sebenarnya aku ingin mengajarimu ilmu silat secara diam-diam,"
"Tidak perlu, Paman. Saya sudah senang seperti ini. Bisa bermanfaat untuk orang lain,"
Keduanya terdiam. Merenungi jalan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Arya Sentana pamit untuk istirahat.
Ketika Adijaya telah terlelap dalam mimpi. Diam-diam Arya Sentana masuk ke biliknya. Lalu menempelkan telapak tangan kanan ke perut anak itu.
Mengisi tenaga dalam ke tubuh Adijaya.
"Ada banyak orang yang membencimu karena asal-usulmu, aku ingin dirimu terlindungi dari marabahaya, aku yakin kau orang baik."
Setelah beberapa saat Arya Sentana telah menghilang lagi dari tempat itu.
***
Ketika waktu 'Kongkorongok Hayam' (sebelum fajar menyingsing) Adijaya terjaga dari tidurnya. Ia sudah siap melakukan tugasnya. Terlebih dahulu anak tiga belas tahun ini membersihkan badannya di sungai dekat padepokan. Udara gunung ditambah air sungai di pagi buta membuat badan terasa seperti di pendam dalam es. Tapi Adijaya tampak biasa saja seperti mandi dengan air hangat. Ia tidak sadar, tenaga dalam yang di isi secara diam-diam oleh Arya Sentana telah membuat tubuhnya tahan di segala cuaca.
Selesai mandi kemudian membantu memasak di dapur sampai habis waktu 'Balebat' (Subuh). Ketika 'Carangcang Tihang' (hari mulai terang) tugas Adijaya selanjutnya adalah mencari kayu bakar ke hutan. Di kepalanya telah ingat berapa potong yang harus dia pikul pagi ini sesuai perintah Arya Sentana. Setiap hari semakin berat, tapi aneh dan tak disadari dia bisa memikulnya dengan ringan.
Dalam perjalanan pulang sambil memikul kayu bakar, menelusuri jalan setapak di dalam hutan, Adijaya berpapasan dengan tujuh orang murid yang seumuran dengannya. Mereka hendak mandi ke sungai.
"Hei! Ada anak penjahat!" Tunjuk Kupra.
Serempak tujuh orang ini mengurung Adijaya dengan muka penuh kebencian. Anak ini hanya menatap polos. Pikulannya masih menggantung di pundak kanan.
"Anak penjahat, seharusnya kau sadar diri. Kau tak pantas berada di sini!" hardik Kupra sambil menuding sinis.
Yang lainnya mengiyakan sambil mengangguk angkuh dan bertolak pinggang bahkan ada yang membuka kuda-kuda.
"Biarkan saya lewat, saya sedang bertugas,"
"Alah! Tidak bisa!" sentak Kupra lagi.
"Kau boleh lewat setelah mendapatkan pelajaran!" ujar yang lain.
"Apa salah saya?"
"Masih bertanya, sudah jelas kau anak perampok. Dosa ayahmu setinggi gunung sedalam lautan dan kau yang harus menanggungnya, hajar!"
Seketika tujuh murid yang masih remaja ini menyerang. Pikulan kayu bakar terjatuh. Adijaya terjajar ke belakang karena dorongan tangan orang di depan nya. Lalu dari belakang datang sebuah tendangan ke punggungnya.
Bersamaan dengan itu dari enam lainnya meluncur serangan ke kepala, muka, pinggang, perut dan paha. Semuanya bersamaan dan gerakannya cepat. Secara naluri Adijaya hanya mengangkat kedua tangan untuk melindungi kepalanya.
Dukk! Dukk!
"Auw!"
"Aaah!"
Bukan Adijaya yang menjerit tapi ke tujuh orang yang mengeroyoknya. Bahkan mereka sampai terjungkal.
Apa yang terjadi?
Ternyata serangan mereka seperti menghantam batu karang yang keras. Adijaya juga tidak mengerti keadaannya. Tubuh kasarnya yang telah ditempa secara tidak sengaja menjadikan tulang dan kulitnya kuat. Ditambah simpanan tenaga dalam dari Arya Sentana secara ajaib bekerja sendiri membantu tubuhnya.
Adijaya tercengang.
Tetapi yang dilaporkan kepada Ki Ranggasura berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya.
"Anak perampok ini ternyata memiliki kepandaian silat. Beberapa teman kami telah dilukai. Saya dan beberapa teman saya jadi saksinya!" ucap dusta salah seorang murid bernama Jantra.
Lalu beberapa murid lain mendekat ke tempat berdirinya Jantra sebagai tanda mereka juga menjadi saksi.
Seperti biasa Adijaya hanya diam dengat raut wajah yang datar. Percuma membantah.
"Guru, usir dia dari sini!" pinta salah seorang murid yang diiyakan oleh murid-murid lainnya.
Arya Sentana dan Komara tampak menghela nafas. Menatap sang guru. Menantikan jawaban. Karena mereka tak bisa menentukan keputusan.
Dengan berat hati, akhirnya sang guru besar mengabulkan tuntutan murid yang sebagian besar menginginkan Adijaya diusir dari padepokan. Arya Sentana memberikan bekal secukupnya untuk kebutuhan hidup Adijaya nanti.
"Hendak ke mana kau pergi, biar salah satu pamanmu mengantarkan?" tanya Ki Ranggasura.
"Tidak perlu diantar, Eyang. Mungkin saya akan kembali bekerja di kedai Bibi Sariti."
"Baiklah kalau begitu. Sekali lagi maafkan aku yang tidak bisa melaksanakan wasiat ayahmu."
Ki Ranggasura tampak berkaca-kaca lalu memeluk anak ini. Arya Sentana menatap kasihan. Hanya sampai pintu gerbang padepokan, Pendekar Tinju Dewa ini mengantarkan kepergian Adijaya yang dipaksa karena tuntutan murid-murid.
Namun, wajah Adijaya tetap datar seperti tak terjadi apa-apa walau dalam hatinya berkecamuk, bergemuruh hingga terass panas di dada. Tapi tidak dendam.
Dengan langkah mantap, Anak Penjahat ini meninggalkan padepokan tanpa menoleh lagi ke belakang.
Jadi orang berguna tidak harus menjadi pendekar.
Kemanakah Adijaya akan pergi?"
ikuti terus kisahnya. Jangan lupa dukung dengan memberikan like, vote & bintang lima...
Salam Cersil Nusantara....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!