NovelToon NovelToon

Pendekar Payung Terbang

Percakapan Di Kedai

Selesai mengerjakan tugasnya dengan semangat, Adijaya mendapatkan sepiring nasi penuh berikut lauknya juga disediakan satu kendi air untuk minum. Anak ini makan dengan lahap dan senang, karena didapat dari hasil keringat sendiri. Selain jadi enak di lidah juga memberikan rasa tenang di hati.

Selesai makan dia menghampiri si bibi pemilik kedai yang sedang merapikan perabotan.

"Bibi, bolehkah saya bekerja di sini?"

Si bibi memandangi Adijaya dari atas sampai bawah. Anak ini langsung mengerti sorot mata si bibi yang penuh tanya itu.

"Saya sebatang kara, Bi," ujar Adijaya berbohong, dari pada mengaku bahwa dia anaknya Gandara pimpinan Lima Begal Cakrageni yang sudah terkenal itu. Pasti wanita pemilik kedai ini akan langsung mengusirnya.

Melihat anak yang membutuhkan penghidupan juga sepertinya butuh tempat tinggal. Si bibi merasa kasihan juga.

"Kau tidak punya tempat tinggal?" tanya si bibi.

Adijaya menggeleng.

"Baiklah, kau boleh bekerja di sini. Tapi kau tidur di kedai saja, bagaimana?"

"Tidak apa-apa, Bi, saya senang asal ada tempat untuk istirahat," Adijaya tersenyum lebar. Senyum yang menyenangkan. Indah dipandang.

"Oh, ya, siapa namamu?"

Adijaya tercekat sebentar.

"Ginggi," dia terpaksa berbohong lagi.

Si bibi tampak terkejut mendengar nama aneh yang setahu dia Ginggi adalah nama suatu dedemit (mahluk halus). Adijaya melihat perubahan wajah si bibi yang sepertinya merasa aneh mendengar namanya. Entah kenapa dia asal sebut saja.

"Baiklah," kata si bibi mengenyahkan rasa anehnya. Mungkin namanya memang seperti itu. "Kau boleh panggil saya Sariti, rumah saya di sana,"

Sariti menunjuk ke sebelah kiri. Sekitar sepuluh tombak ke sana terlihat sebuah rumah kayu tidak kecil juga tidak besar.

"Saya tinggal bersama suami saya," lanjut Sariti.

"Baik, Bi, terima kasih sudah menerima saya, sekarang apa yang harus saya kerjakan?"

"Baiklah, kau ambil peralatan makan bekas pembeli lalu seperti tadi, cuci lagi sampai bersih."

Ginggi alias Adijaya mengangguk terus langsung mengerjakan perintah majikannya.

Malam harinya setelah kedai tutup, Ginggi tidur di ruang kosong dekat dapur. Ruang kosong yang kebetulan pas untuk tidur ditambah sudah tersedia sebuah bale bambu. Sepertinya tempat ini untuk istirahat jika kedai sedang sepi pembeli.

Di rumahnya, Sariti menceritakan tentang Adijaya alias Ginggi kepada suaminya yang bernama Barna.

"Aneh namanya," ujar Barna mendengar nama anak itu.

"Iya, apa itu benar nama pemberian orang tuanya?" pikir Sariti.

"Tidak penting lah, yang penting dia baik dan Nyai tidak kerepotan sendiri lagi di kedai,"

Barna adalah seorang petani, jadi dia jarang menemani istrinya di kedai. Dia lebih sering mengurus huma dan ladangnya.

"Kang, bagaimana kalau dia diangkat jadi anak kita saja?"

"Siapa?"

"Ginggi, menggantikan anak kita yang sudah meninggal, mungkin umurnya juga tidak jauh beda,"

"Jangan tergesa-gesa, kita belum tahu benar siapa Ginggi itu,"

"Kelihatannya baik, sih..."

"Nyai baru lihat dia tadi siang, lagi pula Nyai kan sedang mengandung lagi,"

Sariti tersenyum sambil mengusap-usap perutnya yang belum kentara kalau sedang mengandung. Lalu wanita ini merebahkan dirinya ke dalam pelukan suaminya.

***

Esok harinya kembali Ginggi bekerja. Kedai yang berada di perempatan jalan itu sangat tepat. Di sana banyak orang lalu lalang, baik yang jalan kaki atau menunggang kuda atau pedati. Pengunjungnya juga banyak dari orang biasa, pelancong yang kebetulan lewat, petani, juga dari kalangan persilatan.

Dari tempat Ginggi mencuci peralatan makan dan dapur, dia bisa mendengarkan percakapan orang-orang yang sedang menyantap makanan di kedai itu.

"Kabarnya Gusti Panglima Cakrawarman tidak puas atas pengangkatan Raden Whisnuwarman menggantikan Gusti Maharaja Purnawarman," ujar salah seorang pengunjung sambil menyantap makanannya.

"Iya, betul itu!" timpal yang lain yang berada di ujung bangku.

"Kenapa tidak puas?" tanya yang lain lagi.

"Karena beliau merasa paling berjasa atas kegemilangan Tarumanagara," jawab yang pertama tadi bicara, namanya Ki Warih seorang lelaki setengah baya.

"Gusti Panglima Cakrawarman selalu terdepan dalam melebarkan wilayah kekuasaan kerajaan," tambah yang kedua tadi yang menimpali ucapan Ki Warih, namanya Janara. Lebih muda dari Ki Warih.

"Apa mungkin beliau menginginkan jadi Maharaja?" tanya yang ketiga lagi bernama Sutaji.

"Kalau yang itu kurang tahu," jawab Janara. "Cuma, ada beberapa Raja bawahan yang siap mendukung Gusti Panglima,"

"Wah, memberontak?" Sutaji seperti penasaran.

"Sepertinya mengarah kesitu," jawab Ki Warih. "Melihat jumlah wilayah yang mendukung cukup banyak,"

"Apa mungkin kerajaan akan terpecah, misalnya Gusti Panglima Cakrawarman mendirikan kerajaan baru sebagai tandingan Tarumanagara dengan wilayah raja-raja bawahan yang mendukungnya?" kali ini Janara yang bertanya, lebih ke mengira-ngira sebenarnya.

"Bisa jadi begitu," Sutaji angguk-angguk.

"Kamu mendukung siapa, Ki Janara?" tanya Ki Warih.

Janara menghempaskan nafas pelan. "Tidak tahu, karena semuanya menurutku benar,"

"Benar bagaimana?" tanya Ki Warih lagi.

"Gusti Prabu Purnawarman benar, sebagai maharaja beliau mewariskan tahta kepada putranya. Gusti Panglima juga benar, atas jasa-jasanya Tarumanagara menjadi besar,"

Ki Warih manggut-manggut. "Menurut kamu bagaimana?" tanyanya kepada Sutaji sambil menepuk pundak.

Sutaji kaget hampir tersedak. Dua temannya tertawa.

"Saya mah yang penting masih bisa makan dengan tenang, urusan kerajaan biarlah sama yang ahlinya saja," ujar Sutaji.

"Huh! Kamu mah, makan saja yang dipikirkan!" seru Janara lalu terbahak-bahak.

Dari mendengarkan percakapan yang tidak sengaja ini, Adijaya bertambah pengetahuannya tentang kerajaan. Walaupun tidak mengerti sama sekali, setidaknya dia jadi tahu nama raja dan panglima.

Kadang Ginggi alias Adijaya menyimak percakapan sambil menghidangkan pesanan makanan. Atau sambil duduk di belakang meja hidangan menggantikan Sariti ketika pemilik kedai ini ada keperluan keluar.

Selain tentang kerajaan yang selalu jadi bahan utama pembicaraan. Adijaya juga sering mendengar perbincangan antar pendekar dari jagat persilatan. Yang mereka bicarakan tentang jurus, ilmu, ajian, senjata dan kitab pusaka.

Tentang pertarungan, balas dendam, rebutan wilayah kekuasaan, bahkan rebutan cinta sampai harus dengan cara adu kepandaian silat, kanuragan atau kesaktian.

Sehingga dia teringat lagi kepada ayahnya, yang menggunakan kepandaian untuk merampas harta orang lain. Adijaya hanya geleng-geleng kepala. Saat itu, dalam pikirannya tidak ingin jadi orang persilatan. Takut menjadi jumawa lalu menindas yang lemah.

Biarlah dia jadi pelayan kedai saja yang tidak memikirkan hal lain yang tampak berat. Yang dikerjakan hanya mencuci alat makan dan masak, mengambilkan pesanan pengunjung, kadang juga membantu Sariti memasak dan membersihkan dalam dan luar kedai dari sampah ketika kedai hendak tutup.

Sampai satu purnama lamanya, Adijaya betah bekerja di kedai itu. Walaupun sempat ditawari untuk tidur di rumah Sariti, tapi Ginggi menolak.

"Itung-itung buat jaga-jaga!" begitu jawabnya.

Dengan Barna juga sudah diperkenalkan. Suami Sariti itu orangnya cukup baik. Dia senang Ginggi alias Adijaya bisa meringankan pekerjaan istrinya.

***

Dukung terus cersil bernuansa Nusantara!

Saran, like dan vote ditunggu, ya!

Salam Cersil Nusantara!

Pukulan Dewa Tunggal

Selain mencuci peralatan makan dan dapur, Adijaya juga diajari memasak. Walaupun umumnya itu adalah pekerjaan perempuan, tapi untuk kelancaran pelayanan boleh-boleh saja lelaki juga memasak. Bukankah banyak juga lelaki yang jago masak? Berbagai macam minuman, Ginggi alias Adijaya juga diberikan cara membuatnya.

Walaupun dia mulai betah dengan pekerjaannya, tapi tetap saja perasaan Adijaya masih was-was. Ayah bersama komplotannya pasti masih mencari-cari dia. Untuk itu dia selalu waspada. Selalu memperhatikan setiap pengunjung kedai yang datang. Siapa tahu ada ayahnya atau komplotannya atau bisa juga mereka berlima.

Perasaan cemas itu seketika berubah menjadi takut ketika Adijaya disuruh mengantarkan pesanan seseorang ke tempatnya duduk. Begitu meletakan hidangan...

"Adijaya!"

Anak ini tersentak, hampir saja hidangan yang dibawanya tumpah. Tanpa basa-basi lagi dia langsung ambil langkah seribu.

"Hei, tunggu!" seru orang itu yang ternyata adalah Darpa, salah satu anggota Lima Begal Cakrageni.

Seketika Darpa juga langsung menghambur mengejar buruannya. Sariti yang melihat dari tempatnya tampak heran. Kenapa anak itu lari? Kenapa orang itu memanggil nama Adijaya, bukan Ginggi? Apa sebenarnya Ginggi itu nama palsu? Ah! Belum terpikirkan karena dia melihat anak itu telah hilang dari pandangannya.

Rasa takut yang amat besar membuat Adijaya tak peduli keadaannya. Dia lari ke arah hutan menerjang semak belukar yang rimbun. Gerakannya terasa berat seperti ada sesuatu yang membebani kakinya.

Di saat seperti ini baru terpikirkan kenapa dia tidak punya ilmu silat yang bisa meringankan tubuh sehingga dia bisa lari dengan cepat. Dulu dia tidak mau diajari ilmu silat oleh ayahnya, karena mengira kepandaiannya akan digunakan untuk merampok.

Adijaya terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Tidak hanya lurus, tapi juga bulak-belok dengan maksud mengecoh pengejarnya.

"Kau tak kan bisa kemana-mana, Adijaya!" teriak Darpa.

Suaranya terdengar keras seperti berada dekat di belakang, tapi anak ini tak mau menoleh. Tak mau lengah sedikit pun. Dia sudah lupa Sariti, kedai, dan pekerjaan yang sudah dia geluti selama satu purnama ini. Yang ada dalam benaknya sekarang adalah selamat dari kejaran Darpa. Dan mudah-mudahan hanya dia sendiri yang mengejar.

"Kau akan tertangkap, sebentar lagi ayahmu dan kawan-kawan yang lain akan menangkapmu!"

Darpa terus menakut-nakuti anak itu agar hatinya lemah lalu menyerah.

Tapi Adijaya tak gentar. Meski tenaga semakin terkuras, dia tak mau menyerah. Dadanya terasa sesak, tenggorokannya panas. Persendian di kakinya ngilu dan goyah. Larinya mulai limbung. Pandangan pun mulai temaram.

Namun, anak ini masih diberikan keberuntungan. Saat tubuhnya tak mampu lagi bergerak dan terjatuh. Dia terjatuh tepat satu langkah di depan seorang pemuda berbadan tegap, tinggi dan tampan.

Sejauh lima tombak di depan sana, Darpa berhenti mengejar. Anggota Lima Begal Cakrageni ini memperhatikan pemuda gagah yang sepertinya sengaja menghadang.

Pemuda kira-kira berumur dua puluh lima tahun memilik rambut hitam lurus panjang hingga melewati bahu, diikat kepala bercorak batik. Sorot matanya tajam mengandung wibawa. Wajahnya yang tampan itu polos tanpa kumis dan cambang. Bajunya sejenis rompi tanpa kancing warna putih memperlihatkan dada yang bidang dan perut yang berotot. Di bagian bawah, celana pangsi hitam dibelit kain pinggang bercorak batik.

"Dia keponakanku!" tunjuk Darpa ke arah Adijaya yang tersungkur pingsan.

"Oh, ya!" seru pemuda ini sedikit senyum. "Tapi sepertinya dia ketakutan, seperti dikejar penculik,"

"Ini urusan keluarga, sebaiknya kau jangan ikut campur, Arya Sentana, Pendekar Tinju Dewa!" Darpa menyebut nama dan gelar pemuda di hadapannya.

Arya Sentana tersenyum tenang. "Urusan keluarga atau begal Cakrageni?"

"Keparat! Aku tidak mempunyai banyak waktu dan urusan denganmu!"

Darpa bergerak hendak mengambil Adijaya yang masih tergeletak pingsan. Namun, dua langkah lagi tiba-tiba angin kesiur menghantam dadanya. Beruntung anggota Lima Begal Cakrageni ini segera meliuk sehingga tendangan menyamping yang dilancarkan Arya Sentana mengenai tempat kosong. Hanya tendangan tipuan untuk melindungi Adijaya.

Selanjutnya Arya Sentana melompat kembali menyerang Darpa. Mendesak mundur agar menjauh dari sosok Adijaya. Ada sedikit kekhawatiran di benak Pendekar Tinju Dewa ini, yaitu anggota Begal Cakrageni yang lain bisa saja membokong dan menangkap anak itu.

Tapi sampai sepuluh jurus berlalu belum juga muncul komplotan begal ini. Arya mengira kawanan begal ini tengah melakukan perampokan, mungkin kepada satu keluarga. Kemudian anak dari keluarga itu melarikan diri dengan membawa sesuatu yang berharga. Terus dikejar hingga akhirnya pingsan di hadapannya.

Jadi sebelum kawan-kawan begalnya datang dia harus menyelesaikan pertarungan ini lalu menyelamatkan anak malang itu.

Darpa sudah mengeluarkan ilmu andalannya, Cakrageni tingkat ke lima. Hanya itu yang baru dicapainya, dua tingkat dibawah pimpinannya, Gandara yang sudah mencapai tingkat tertinggi. Ilmu yang memusatkan tenaga dalam pada tangan dari siku hingga ke jari-jari yang membentuk cakar. Setiap gerakannya menghembuskan angin padat yang menyayat kulit.

Tapi yang dihadapi Darpa adalah Pendekar Tinju Dewa. Sesuai namanya, jurus-jurus yang dilancarkan mengandalkan tinju dari kepalan tangan. Saat ini Arya Sentana menggunakan jurus Pukulan Dewa Tunggal. Gerakannya lentur tapi gesit. Orang mengira gerakan itu lembek seperti jurus untuk perempuan. Tapi bila pukulannya mengenai sasaran, dampaknya akan dahsyat sekali. Batu sebesar kerbau pun akan hancur.

Satu kesalahan yang dilakukan Darpa adalah menghadapi lawannya sendirian. Padahal ilmu atau jurus yang dia andalkan untuk diperagakan secara berkelompok. Sialnya dia hanya sendirian. Teman-temannya masih berpencar mencari Adijaya. Tak menyangka ketika berhasil menemukan anak pimpinannya ini malah harus berhadapan dengan pendekar yang sudah menorehkan namanya di dunia persilatan.

Lama kelamaan anggota Begal Cakrageni ini terdesak. Cakarnya sering digunakan untuk menangkis atau menghalau serangan lawan. Setiap benturan membuat tenaganya terkuras. Tenaga dalam lawan ternyata lebih tinggi beberapa tingkat darinya. Hingga akhirnya...

Dessss!

Brukk!

Karena gerakannya semakin melambat, Darpa melakukan tindakan nekad ketika satu pukulan dahsyat mengarah ke wajahnya. Dia menjadikan dua cakarnya sebagai tameng menghalau pukulan lawan. Karena tenaga lawan lebih kuat akibatnya tubuh Darpa terpental tujuh tombak kebelakang lalu jatuh bergulingan.

Dua telapak tangannya retak, merembet ke tulang tangan hingga siku bahkan tulang bahunya sampai lepas dari tempatnya. Lebih parah lagi tenaga dalam yang menghantam serasa meremukan isi perutnya. Kini tubuhnya lumpuh juga terasa terbakar di dalam. Darpa mengerung menahan sakit yang tiada tara.

Arya Sentana menghampiri tubuh Adijaya yang masih pingsan. Lalu dia menggendongnya dipundak kanan. Sekali lihat saja dia sudah tahu anak ini tidak memilik kepandaian silat. Dia hendak membawa anak itu ke padepokan Linggapura tempat dia menuntut ilmu dari kecil hingga menjadi seorang pendekar pilih tanding.

Semoga saja gurunya Ki Ranggasura mau menerima anak ini sebagai murid.

Bagaimana nasib Adijaya selanjutnya?

Jika berkanan jadikan cersil ini pavorite.

Salam...

Tumpasnya Begal Cakrageni

Arya Sentana tersentak kaget mendengar penuturan Adijaya di hadapan dirinya bersama Ki Ranggasura, gurunya.

"Jadi benar kau keponakan dia?"

Adijaya mengangguk, "Dia paman Darpa namanya,"

Dua hari Adijaya tak sadarkan diri, dirawat di biliknya Arya Sentana. Setelah pulih baru dibawa ke biliknya Ki Ranggasura. Di situ Adijaya menuturkan kisahnya.

"Hatimu baik, Nak," ujar Ki Ranggasura setelah tahu alasan Adijaya kabur dari ayahnya.

"Lantas bagaimana keadaan orang itu?" tanya Ki Ranggasura kepada muridnya. Yang dimaksud adalah Darpa anggota Lima Begal Cakrageni.

"Terakhir kutinggalkan dalam keadaan terluka parah akibat Pukulan Dewa Tunggal-ku," jawab Arya Sentana. Menarik nafas sejenak, lanjutnya, "Ilmu Cakrageninya cukup hebat seandainya tenaga dalamnya lebih besar mungkin akan bisa menandingi pukulanku,"

"Nah, Adijaya maukah tinggal di sini menjadi murid padepokan Linggapura?" tanya Ki Ranggasura kepada Adijaya.

Anak ini tampak merenung, matanya menerawang jauh.

"Apa yang kau pikirkan, Nak?" tanya si kakek yang sudah berusia hampir delapan puluh tahun tapi masih terlihat tegap perkasa seperti baru berumur lima puluhan.

Ki Ranggasura, guru besar padepokan Linggapura termasuk tokoh yang disegani di dunia persilatan. Dia termasuk sepuluh orang paling sakti di tanah Tarumanagara ini.

"Dulu saya menolak diajari ilmu silat oleh ayahku," kata Adijaya setelah agak lama termenung.

"Kenapa?" tanya Arya Sentana.

"Karena saya pikir nantinya akan digunakan untuk merampok,"

"Anak baik," ujar Ki Ranggasura tersenyum.

"Tapi ilmu silat di sini diajarkan untuk kebaikan, menolong yang lemah, menegakan kebenaran," jelas Arya Sentana salah satu dari dua murid utama Ki Ranggasura.

Komara, adalah saudara seperguruan Arya Sentana. Memiliki kepandaian dan kesaktian yang sama. Hanya saja dia lebih sering di dalam padepokan untuk mendidik murid-murid yang lain yang jumlahnya sekitar lima puluh orang yang terbagi dalam tiga tingkat. Sedangkan Arya Sentana sering mengembara turun gunung sehingga namanya lebih di kenal di dunia persilatan.

"Bagaimana, Nak?" tanya Ki Ranggasura lagi.

"Baiklah Eyang, saya mau belajar di sini,"

"Nah, begitu!"

Si kakek mengekeh sambil menepuk-nepuk pundak Adijaya.

Lalu tiba-tiba ada seseorang datang.

"Sampurasun, maaf Eyang, saya ada keperluan dengan Raka Arya,"

"Rayi Komara, ada apa?"

"Ada beberapa orang mencari Raka,"

"Siapa?"

"Entahlah, mereka empat orang."

"Sepertinya ada hubungannya dengan Adijaya," sang guru menimpali. Dengan ilmunya tinggi dia mempunyai firasat yang selalu tepat.

Komara menatap sejenak ke arah Adijaya begitu nama anak ini disebut gurunya.

"Begal Cakrageni!" ujar Arya Sentana lebih ke menggumam. "Mari, aku temui mereka!"

Pendekar Tinju Dewa bergegas keluar menemui mereka yang menunggu di lapangan tempat berlatih silat. Lapangan yang luas karena bisa menampung lima puluh murid padepokan.

Ki Ranggasura, Komara dan Adijaya mengikuti dari belakang.

Benar juga, yang berdiri di tengah lapangan itu adalah Gandara bersama komplotannya yang kini hanya tiga orang. Lima Begal Cakrageni.

"Ada apa?" tanya Arya Sentana dengan suara menekan yang disertai tenaga dalam.

"Kami menuntut balas atas kematian saudara kami," Gandara menunjuk satu sosok yang tergeletak di sisi lapangan.

Rupanya yang bernama Darpa itu telah tewas.

Gandara menyeringai sinis, "Dan juga hendak mengambil anak itu!" tunjuknya ke arah Adijaya.

Wajah Adijaya tampak panik. Tapi Ki Ranggasura merangkul, menenangkan.

"Saya yang bertanggung jawab atas kematian saudara kalian!" seru Arya Sentana masih disertai tenaga dalam. "Silahkan, mau satu-satu atau sekaligus berempat!"

"Sombong!" sentak Kuntala, kedua matanya melotot angkuh, rahangnya mengeras. Nafsunya sudah memuncak ingin segera membalas dendam.

Dengan tenang Arya Sentana melangkah ke depan. Ke empat lawannya mengambil tempat masing-masing. Mengurung Pendekar Tinju Dewa.

Di pinggiran lapangan kini sudah berderet murid-murid padepokan menyaksikan pertarungan yang akan segera berlangsung.

Pendekar muda yang sudah menorehkan nama melawan kawanan rampok yang juga sudah terkenal. Tapi kini hanya berempat saja.

Entah siapa yang memulai, pertarungan telah terjadi. Empat orang dengan jurus berkelompok menyerang satu orang yang tetap bersikap tenang dalam gerakannya. Empat serangan menyasar kepala, leher, perut dan ************.

Serangan ke kepala bisa dielakkan dengan mudah, serangan ke perut ditangkis dengan tangan yang kokoh dan menjadi andalan dalam jurusnya. Dan serangan ke ************ dihalau dengan kaki.

Selanjutnya terjadi jual beli serangan. Jurus berkelompok Cakrageni dengan kekuatan cakarnya mengurung jurus Pukulan Dewa Tunggal. Menghadapi jurus berkelompok ini Arya Sentana merasa cukup kesulitan. Karena baru kali ini dia menghadapinya. Biasanya dia hanya menghadapi keroyokan tak beraturan yang mudah dihancurkan.

Untuk mengimbangi mereka, Arya Sentana tidak hanya mengandalkan Pukulan Dewa Tunggal. Tapi juga mengeluarkan Tinju Dewa Tertawa dan Dewa memukul Denawa. Tidak lupa pengerahan tenaga dalam juga langsung penuh. Dia tidak mau coba-coba melawan kelompok begal yang sudah lama malang melintang ini.

Jurus dan ilmu Cakrageni memang dahsyat. Walaupun kini cuma berempat kekuatannya tetap besar. Serangan-serangannya menutup gerak langkah lawan. Seolah-olah tak memberi celah untuk menghindar atau bahkan membalas.

Tapi Pendekar Tinju Dewa bukan pendekar sembarangan. Meski masih muda tapi pengalaman bertarungnya sudah lumayan. Tiga jurus yang diperagakan bergantian kadang digunakan bersamaan mampu mengimbangi jurus berkelompok lawannya.

Ki Ranggasura dan Komara menyaksikan dengan tenang. Sang guru sudah bisa membaca kekuatan lawan yang dihadapi muridnya. Merupakan kebetulan juga mengingat sampai saat ini belum ada pendekar yang benar-benar berhasil menumpas kawanan rampok itu. Mereka selalu kabur bila mendapatkan lawan yang sulit dikalahkan.

Kembali ke pertarungan satu lawan empat. Karena semuanya tak menggunakan senjata, maka yang sering beradu benturan adalah pukulan yang menjadi andalan kedua pihak. Kadang juga disertai tendangan guna mengisi kekosongan ketika menyiapkan pukulan susulan.

Benturan-benturan itu menimbulkan getaran ke urat-urat bagian tubuh yang berbenturan terutama bagian tangan. Getaran ini menyebabkan berkurangnya tenaga. Namun, yang membuat bertahan adalah seberapa banyak tenaga simpanan untuk menggantikan tenaga yang hilang.

Jika dilihat secara perhitungan, Arya Sentana akan cepat berkurang tenaga karena melawan empat orang sekaligus. Tapi sampai seratus jurus lebih dia masih tampak tenang bahkan tak berkeringat sedikitpun. Malah keempat lawannya tampak menyerang membabi buta walau masih kompak dengan jurus berkelompok. Mereka geram karena belum juga bisa melukai lawan.

Arya Sentana menggunakan taktik bertahan untuk menyerang. Setiap serangan dia songsong. Berani menahan pukulan dengan pukulan lagi. Dia yakin dengan tenaga cadangannya.

Sampai ketika empat serangan berbarengan menyasar bagian tubuhnya yang berbahaya. Arya Sentana seperti menunggu serangan itu datang. Hingga satu jengkal lagi serangan itu mengenai sasaran, dalam waktu sepersekian detik murid padepokan Linggapura ini melakukan sesuatu.

Braaak!

Bruuugh!

Empat orang terjengkang ambruk. Semuanya tak berkutik.

Terkapar.

Murid-murid yang menyaksikan tampak melongo. Hanya Ki Ranggasura dan Komara yang tersenyum.

Apa yang terjadi?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!