NovelToon NovelToon

Beautiful Pain

Bab 1

Di kota kecil di Jawa Barat, seorang gadis tengah membereskan beberapa piring kotor yang berserakan di meja. Ia membersihkan meja sebelum akhirnya berlalu ke bagian belakang cafe. Tak lama setelahnya, ada rekan kerjanya yang menyuruhnya menemui seseorang. Gadis itupun segera berjalan menuju tempat yang dimaksud. Terlihat seorang wanita paruh baya yang Ia kenal tengah duduk di salah satu meja dengan wajah berseri. Gadis itupun memberi salam dengan sangat sopan pada wanita itu.

"Duduk nak." Titahnya pada Ralia.

"Emm.. ibu mau Lia buatkan minum, atau makan?" Tawarnya sedikit canggung.

Sontak wanita itu menggeleng seraya tersenyum pada Ralia. "Tidak nak. Hari ini Ibu hanya ingin memberitahumu sesuatu." Katanya berhasil membuat Ralia merasa penasaran.

"Memberitahu apa ya bu?" Tanyanya dengan hati-hati.

"Malam ini Ibu dan Alvan akan ke rumah kamu."

'Deg!' Jantung Ralia mendadak berdetak kencang. Ia tak bisa mengendalikan detak jantungnya jika mendengar nama Alvan disebut.

"Mau apa bu?" Tanya Ralia lagi. Ia benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya saat ini.

"Melamar kamu." Sontak mata Ralia seperti akan keluar karena tak percaya dengan jawaban wanita di depannya ini.

Ralia Syazani, seorang gadis berusia 22 tahun yang bekerja di sebuah cafe di kota kecil Jawa Barat. Gadis yang sopan dan ramah berhasil membuat seorang ibu 4 anak tertarik padanya dan menginginkan dirinya menjadi menantu untuk anak bungsunya. Dan Alvan Virendra, seorang direktur di salah satu pusat perbelanjaan di kota Jakarta. Meski tempat kerjanya tidak sebesar mall, namun Ia mengemban tanggung jawab sebanyak 5 toko. Posisi direktur utama Ia raih pada usia 24 tahun, dan sekarang Ia sudah berusia 26 tahun. Terdengar mustahil seorang pemuda yang masih berusia 24 tahun sudah menjadi direktur utama. Namun, kenyataannya Alvan berhasil meraih jabatan itu dengan segala usaha dan kegigihannya dalam bekerja. Diketahui Alvan bukanlah seorang sarjana, Ia terjun di dunia bisnis pemasaran setelah lulus SMK. Mengingat sosok Ayah yang sudah tiada, dan Ibu yang kian menua, Alvan memutuskan untuk mencari uang sendiri tanpa ingin merasakan belajar di sebuah universitas/perkuliahan sehingga di usia yang masih muda, ia sudah diangkat sebagai pimpinan. Meski Alvan masih sangat muda, namun di tempat kerjanya, Ia sangat dihormati oleh karyawan-karyawan di sana yang bahkan jauh lebih tua darinya.

***

Sesuai dengan yang sudah direncanakan, Nidia mendatangi rumah Ralia untuk secara resmi melamar Ralia pada keluarganya. Ralia yang memang menyukai Alvan, hanya tersenyum malu saat ia menerima lamaran Alvan. Begitupun dengan Alvan, senyumnya sangat manis malam itu membuat Ralia merasa terbang ke angkasa. Kesepakatan kedua belah pihak mengenai pernikahan Ralia dan Alvan akan dilaksanakan satu bulan setelah lamaran. Yang berarti, Ralia harus bersiap dan berhenti dari pekerjaannya, karena setelah menikah Ia harus ikut dengan Alvan ke Jakarta.

Masih terngiang di telinga Ralia tentang pesan Nidia padanya untuk selalu menemani Alvan dalam keadaan apapun, dan sampai kapanpun. Bahkan Nidia menegaskan agar Ralia bisa menjauhkan Alvan dari mantan pacarnya yang sebelumnya pernah ketahuan menggunakan uang Alvan untuk berfoya-foya. Bahkan Alvan sempat membeli sebuah mobil dan saat ini digunakan oleh Dara. Mereka hanya beralasan jika mobil itu adalah milik mereka berdua karena Dara pun ikut membayar 30% dari harga mobil tersebut.

Sampai akhirnya hari pernikahan tiba, Ralia sudah merasa tegang saat ia dihadirkan sebelum akad dilaksanakan. Siger sunda dan kebaya putih serta polesan make up tebal berhasil membuat Alvan terpaku pada Ralia. Bahkan kakak ketiganya yang diketahui masih lajang pun terpesona pada kecantikan Ralia di hari itu.

Alvan tersenyum saat Ralia duduk di sampingnya dan menoleh sesaat padanya. Ia tak tahu jika Ralia teringin sekali memeluk Alvan karena gemas. Namun, Ia sadar mereka belum sah menjadi suami istri.

Kemudian akad pun diikrarkan Alvan sebagai tanda Ia menerima Ralia sebagai istrinya dan mulai bertanggung jawab terhadap hidup Ralia kedepannya. Bukan hanya dunia, Alvan harus bersedia menanggung semua tentang Ralia sampai akhirat. Ya... tanggung jawab suami memang sebesar itu.

Ralia melirik ke arah Fathir yang menatap sendu dirinya yang kini sudah menjadi istri orang lain. Fathir Syahreza, seorang pemuda yang dikenal baik hati, adalah mantan pacar dari Ralia. Mereka putus bukan karena adanya orang ketiga ataupun tidak direstui keluarga. Namun, mereka berpisah karena salah faham Fathir pada Ralia yang Ia kira mendua saat itu. Sayangnya, ketika Fathir hendak meminta maaf karena keegoisan dan kesalahannya, ternyata Ralia sudah lebih dulu dilamar pria lain.

"Tak adakah kesempatan untukku?" Lirih Fathir dari kejauhan, namun masih terlihat gerakan bibirnya oleh Ralia yang langsung menunduk tak ingin menatap lebih lama wajah Fathir. Ralia tahu jika Fathir sangat terluka melihatnya bersanding dengan pria lain. Ia sudah terlanjur sakit hati saat Fathir tega memakinya dan meninggalkannya hanya karena asumsi dan kabar tak benar tentang dirinya.

"Ra.. semoga bahagia ya! Aku harap, dia adalah jodoh kamu sampai syurga nanti." Tutur Fathir saat Ia dan Ralia sudah berhadapan. Ralia hanya mengangguk seraya tersenyum menanggapi penuturan doa dari Fathir.

"Kak Fathir juga semoga cepat-cepat menyusul ya! Aku tunggu kabar baiknya." Balas Ralia pun mendoakan mantan pacarnya tersebut. Alvan yang berada di samping Ralia, merasa risih melihat tatapan Fathir yang penuh arti pada Istrinya. Bukan cemburu, namun Ia merasa tidak dihargai sebagai suami Ralia di sana.

"Tolong jaga Ralia ya! Saya tak bisa menjaganya, saya harap kamu bisa menjaganya." Ucap Fathir beralih berbicara pada Alvan.

"Tentu saja. Dia istri saya." Balas Alvan terdengar begitu angkuh meski ucapannya dihiasi senyum manis yang tersimpul.

***

Setelah acara selesai, meski hanya acara sederhana, namun bagi Ralia dan Alvan hari ini sangat melelahkan. Karena waktu libur Alvan hanya diberi 3 hari, dengan terpaksa keesokan harinya Ralia harus bersiap ikut ke Jakarta dan tinggal bersama dengan Alvan. Selama perjalanan, Ralia yang tak ingin mengganggu konsentrasi Alvan pun memilih diam dan sesekali memejamkan mata karena mengantuk. Baru sekejap Ia masuk ke alam mimpi, matanya kembali terbuka karena tiba-tiba teringat keluarga yang baru saja Ia tinggalkan. Biasanya pengantin baru selalu diantar oleh keluarganya saat menuju rumah baru mereka. Namun karena Alvan yang sudah mempunyai mobil sendiri, dan mahir mengemudi, mau tidak mau keluarga Ralia harus rela melepas kepergian Ralia hanya di depan rumah saja.

Singkatnya, sampai di depan sebuah gedung, Ralia terkesiap kagum. Ia bertanya-tanya apakah ini sebuah hotel? Alvan memarkirkan mobil di parkiran khusus, kemudian mereka memasuki sebuah lift dan Ralia masih bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya. Sampai akhirnya Alvan membawanya memasuki sebuah pintu di lantai 9 dengan nomor G-505.

"Ini apartemenku, dan kamarnya di sana. Barang-barang kamu nanti dibawa sama petugas ke sini. Kalau mau mandi, mandi saja dulu." Titah Alvan pada Ralia yang masih terlihat canggung.

"Mas.. emm kak.. eumm--"

"Panggil sesukamu saja. Panggil nama pun tak masalah." Ujar Alvan saat melihat Ralia yang kebingungan dengan panggilan suami-istri mereka.

"Mas, boleh?" Alvan hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Ralia tersebut.

"Mas mau kemana? Mas aja yang duluan mandi. Kan baju aku masih di koper." Ucap Ralia dengan memasang wajah polos.

"Aku mau laporan dulu. Kamu kan tinggal di sini, biar ga ada yang ngira kita macem-macem." Jelas Alvan menjawab pertanyaan Ralia yang masih tak tahu harus apa saat ini. Ketika Alvan sudah berlalu dari balik pintu, Ralia ragu-ragu memasuki kamar Alvan. Ia termangu melihat dekorasi yang begitu rapi, padahal Alvan adalah seorang laki-laki.

Setelah Ralia selesai membersihkan diri, Ia keluar dari kamar mandi dengan menggulung rambutnya memakai handuk tanda Ia baru keramas. Matanya tertuju pada koper yang berada di dekat sofa dan Alvan yang tengah memainkan ponselnya.

"Oh iya Mas... malam ini--"

"Ra..." Panggil Alvan berhasil menghentikan kalimat Ralia yang belum sempat terucap.

"Sebelumnya, aku ingin minta maaf. Kamu tahu kan pernikahan ini bukan kita yang mau. Dan aku tahu kamu belum cinta juga sama aku. Aku rasa, kita jaga jarak ya! Aku gak akan nyentuh kamu kok. Kalau kamu gak percaya, aku akan tidur di sofa, kamu di kasur ya!" Lanjut Alvan seketika membekukan tubuh Ralia sehingga menghentikan aktifitas Ralia mencari pakaiannya.

Alvan sudah siap jika Ralia akan marah atau bahkan memakinya saat ini, namun Ia juga tak bisa membohongi dirinya jika Ia masih mengharapkan Dara.

"Mas punya pacar?" Tanya Ralia dengan suara pelan namun masih terdengar oleh Alvan.

"Sudah putus, tapi masih sayang." Jawaban Alvan ini sontak membuat hati Ralia teriris. Ia menghela nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan.

"Ohh... gapapa mas. Aku ngerti kok." Ucap Ralia terdengar begitu tenang. Mata Alvan membulat merasa tak percaya, karena Ia berpikir Ralia akan marah.

Bersambung

Bab 2

Malam semakin larut, jam sudah menunjukkan pukul 1 malam. Ralia belum juga menutup matanya. Ia merasa kenyataan ini tak bisa Ia percaya. Sebelumnya Ia sempat berpikir hal ini mungkin akan terjadi, karena memang Ia dan Alvan menikah bukan karena cinta diantara keduanya. Namun, Ralia kesal karena berpikir jika Alvan menerimanya hanya karena Alvan tersenyum padanya di malam lamaran itu. Dan ia kecewa karena berpikir Alvan menyukainya hanya karena Alvan selalu bersikap baik saat berkunjung ke cafe bersama Nidia, Ibunya.

Ralia menatap langit-langit kamar seraya meratapi kesedihannya. Meski tak terlalu sesak, namun Istri mana yang bisa menerima jika suaminya tidak berniat menyentuhnya? Ia sering membaca novel percintaan semacam ini, namun tak disangka, justru Ia mengalami hal yang Ia pikir hanya terjadi di dunia fiksi. Ralia meminta tidur di sofa karena Ia tak enak hati jika Ia yang hanya tamu tidur di ranjang, sedangkan pemilik apartemen malah tidur di sofa.

Sedangkan Alvan yang sedari tadi berbaring di tempat tidur dengan membelakangi Ralia pun mulai kesal karena ekspresi Ralia tak seperti yang Ia bayangkan. Ia pikir Ralia akan marah atau meminta cerai, justru Ralia terlihat biasa saja dan seakan tidak masalah jika Ia tak seperti suami pada umumnya. Alvan memaki sahabatnya, Dikta yang memberitahu cara ini agar bisa lepas dari Ralia. Ternyata gadis yang sekarang sudah menjadi Istrinya itu, tidak mudah dibodohi. Alvan mulai memutar otak, dengan cara apa lagi Ia harus membuat Ralia menggugatnya agar Ibunya tidak menyalahkannya nanti jika keinginan bercerai terucap dari mulut Ralia.

Paginya, Alvan tak menemukan Ralia dimana pun, Ia mencari-cari ke sudut ruangan, namun tetap saja gadis itu tak tampak batang hidungnya. Tak lama, Ia mengendus bau masakan dan seketika langsung beranjak dari posisi tidurnya. Benar saja, Ralia tengah memasak di dapur. Mungkin untuk mereka sarapan pagi ini. Dan ide gila muncul di pikiran Alvan agar Ralia merasa tidak betah hidup dengannya.

"Ra... kamu ngapain masak?" Pertanyaan konyol itu tak langsung dijawab oleh Ralia. Ia hanya melirik ke arah Alvan yang masih terlihat mengantuk tengah bersandar di tembok.

"Yaaa karena aku suka masak." Jawab Ralia lagi-lagi terdengar begitu santai.

"Aku gak akan makan di rumah. Hari ini aku mau ketemu sama Dara."

"Oh.. yaudah." Hanya begitu tanggapan Ralia. Alvan tak habis pikir. Ia yakin jika Ralia menyukainya sejak lama, tapi kenapa sikapnya sangat berbanding terbalik setelah menikah.

"Permainan apa yang kamu mainkan Mas? Kamu bersikap seolah kamu menyukaiku sebelum menikah, tapi sekarang, kamu terang-terangan mau bertemu dengan mantan kamu. Yaa Allah... apakah ujian menikah memang seperti ini? Apa aku sanggup menghadapi Mas Alvan yang ternyata masih berhubungan dengan Dara." Batin Ralia masih fokus pada alat masak di depannya.

Menjelang siang, Alvan benar-benar pergi. Ralia duduk lemas di meja makan menatap masakannya yang tak sedikitpun disentuh oleh Alvan. Ralia menunduk dan menopang kepalanya dengan tangan. Semakin lama, bahunya berguncang pelan tanda Ia menangis pilu.

"Mamah... Lia mau pulang." Lagi-lagi Ralia membatin dalam hati. Baru dua hari menjadi seorang istri, namun Ralia sudah merasakan kepahitan rumah tangga. Ia pikir menikah dengan orang yang dicintai akan bahagia, ternyata jauh dari kata bahagia. Ralia memaksakan dirinya untuk memakan sedikit hidangan yang Ia buat.

Tepat di tengah hari, setelah adzan dzuhur berkumandang, Ralia cepat-cepat mengambil wudhu. Ia segera melaksanakan shalat dzuhur dan berdoa agar diberikan kemudahan dalam menjalani rumah tangga dengan Alvan.

Belum sempat melepaskan mukenah, Ralia mendengar seseorang memanggil namanya. Ya, dia adalah Alvan. Saat Ralia memasang senyum menyambut Alvan, senyum itu pudar saat melihat di belakangnya muncul sosok wanita cantik dan anggun menghampirinya.

"Oh ini ya Ralia." Ucapnya terdengar seperti sebuah ejekan secara tidak langsung. Entah kenapa, tatapan Dara seperti tengah merendahkannya saat ini. Ya, Ralia akui dia sangat jauh berbeda dengan Dara yang memiliki paras cantik, kulit putih, dan penampilan modis. Hati Ralia kembali membatin kenapa Alvan membawa wanita ini ke apartemen? Apa dia ingin membandingkan Dara dengan Istri yang dianggap biasa olehnya?

"Aku Dara. Mantannya Alvan. Ternyata...." Sontak Alvan langsung menatap Dara dengan tatapan menusuk. Mungkin Alvan merasa tidak enak hati pada Ralia atas ucapan Dara. Namun, tanpa diduga, Ralia kembali tersenyum dan memperlihatkan wajah tenangnya di depan Alvan.

"Ohhh ini yang namanya Dara. Cantik ya! Pantas saja Mas Alvan gak bisa move on." Cetus Ralia berhasil membuat Alvan terkejut dan bahkan menarik Ralia memasuki kamar, dan meninggalkan Dara sendirian di ruang tamu.

Dara penasaran apa yang tengah dibicarakan Alvan dan Istrinya.

"Apa sih Mas. Sakit tangan aku." Keluh Ralia setelah genggaman Alvan terlepas.

"Kamu ngomong apa sih?" Tanya Alvan dengan sorot mata menahan kesal dan suara yang ditahan agar Dara tidak mendengar.

"Ya kenyataan... Mas kan memang belum move on."

"Tapi ga gitu."

"Ya udah, kalau aku yang salah, aku minta maaf. Maaf ya Mas Alvan." Melihat Ralia yang bersikap tenang di depannya, Alvan memilih berlalu dan membawa Dara kembali ke luar.

"Alvan. Pelan-pelan jalannya!" Tegur Dara yang tak bisa mengimbangi langkah Alvan.

Diwaktu yang sama, Ralia menjatuhkan tubuhnya di ranjang dan menahan sesak di dadanya. Pikirannya kacau namun harus dipaksa tetap sadar. Ingin Ralia kabur sekarang juga, namun Ia teringat pada Ibu mertuanya yang sangat menerima dirinya dengan tulus.

Malamnya, Ralia kembali memasak untuk makan malam, Ia mendapat kabar jika keluarga Alvan akan datang setelah Isya ke apartemennya. Ralia memasak makanan kesukaan mertuanya dan berharap iparnya pun bisa menyukainya. Meski yang terlihat sudah akrab hanya dengan Gio dan Theo saja.

Dan benar saja, saat seluruh keluarga datang, hanya Karisa yang tidak menyapa Ralia. Tatapannya sangat memperlihatkan tidak suka. Ralia hanya mengobrol dengan Nidia saja. Ia merasa nyaman jika mertuanya menemaninya. Dan saat mereka hendak makan, Karisa enggan duduk ketika melihat menu yang menurutnya tidak sedap.

Karisa Lavina. Putri kedua Ibu Nidia yang kebetulan dia adalah seorang wanita karir yang sukses. Ia bekerja di salah satu bidang bisnis yang tidak dikatakan secara rinci oleh Nidia sendiri. Hanya segelintir orang yang tahu siapa Karisa Lavina. Bukan hanya keberhasilannya yang sukses, diketahui pacar Karisa pun berprofesi sebagai pilot di salah satu maskapai di Indonesia. Jelas saja sikapnya yang keras kepala, kini semakin angkuh dan menganggap rendah orang lain. Gaya hidup mewah yang dijalani Karisa, justru membuatnya semakin tidak punya etika. Sempat beberapa tahun yang lalu, Ia dipergoki Gio meninggalkan Ibu mereka ditengah-tengah gelapnya malam dipinggiran kota Bandung. Sejak saat itu, Gio dan Karisa tidak pernah lagi mengobrol. Hanya bertegur sapa sepatah atau dua patah kata saja. Setelahnya, mereka kembali saling berdiam diri. Seperti sekarang, Karisa terus mengoceh menyindir Ralia yang tak masuk kriteria adik ipar bagi dirinya.

Pada akhirnya, Karisa memesan makanan dari luar dan Ralia kembali menggigit jari karena masakannya tidak disentuh oleh Karisa sama sekali. Gio dan istrinya, serta Theo mengambil sedikit yang mungkin untuk menghargai usaha Ralia yang sudah repot-repot memasak untuk mereka. Siapa sangka, niat ingin mencicipi, Theo justru menyukai masakan Ralia sampai Ia tak segan menambah porsi makannya. Alvan melirik sinis pada Ralia yang terlihat senang melihat Theo yang lahap makan di depannya.

Jujur, Ralia ingin menangis saat itu, namun melihat Theo yang menghargai usahanya, Ia merasa sedikit lebih tenang. Jika Karisa tidak menganggapnya keluarga, setidaknya masih ada Nidia dan Theo yang menganggapnya ada. Biarpun Karisa membencinya.

Bersambung

Bab 3

Di pagi hari berikutnya, Alvan kembali mendapati Ralia tengah memasak di dapur, dan Ia mengatakan hal yang sama seperti sebelumnya. Keluarganya sudah pulang setelah larut malam, sehingga Ia bisa leluasa berbicara sesuka hatinya.

"Mas. Sekarang kan Mas masuk kerja, setidaknya makan sedikit. Kalau Mas gak keburu sarapan gimana?" Kali ini Ralia memberanikan diri membujuk Alvan untuk makan bersamanya.

"Aku belum lapar." Ucap Alvan terdengar begitu acuh. Ralia hanya bisa menghela nafas berat dan kecewa menanggapi sikap Alvan. Ralia semakin bertekad untuk bekerja agar Ia tidak terlalu banyak bergantung pada Alvan. Sebelum Alvan berangkat, Ralia menahannya di ambang pintu.

"Mas.. aku mau kerja. Boleh?" Tanyanya meminta izin.

"Apa nafkah dariku kurang?" Sontak Ralia terhenyak mendengar pertanyaan Alvan tersebut. Ia menggeleng menampik hal yang dipikirkan Alvan terhadapnya. "Ini. Kalau kurang, bilang!" Ucap Alvan lagi seraya memberikan sebuah kartu di telapak tangan Ralia.

"Enggak Mas. Aku gak minta ini."

"Kamu gak minta? Hei Ra! Harusnya kamu bersyukur aku punya banyak uang, diluar sana banyak perempuan yang mau jadi istri aku buat ngabisin duit aku aja."

"Dan kamu bangga Mas? Dan apa Dara juga begitu? Jadi pacar kamu cuma karena uang kamu aja?"

"RALIA!" Teriak Alvan berhasil membuat Ralia menutup matanya dan bersiap jika Alvan mungkin akan memukulnya.

"Cih. Kalau bukan karena Ibu, aku gak akan...." Alvan tidak melanjutkan kalimatnya. Ia berdecih kemudian berlalu dari hadapan Ralia. Tubuh Ralia mendadak lemas seketika, Ia tak menyangka jika Alvan akan membentaknya hanya karena Ia membahas tentang Dara. Namun apa salahnya? Bukankah benar Dara mendekati Alvan karena uang?

Di meja kantornya, Alvan melamun menatap data pengeluaran satu tahun ke belakang. 400 juta, uang itu habis entah kemana. Tidak, bukan satu tahun. Tapi berkisar 5 bulan. Saat diingat, selama bersama Dara, Ia memang royal dan bahkan tak tanggung-tanggung liburan ke luar kota. Terlebih saat Dara berulang tahun, mereka liburan sampai ke Swiss. Ya.. Alvan yang memang sering tour ke luar negeri bersama team kantornya, sudah tak asing dengab negara-negara yang sudah Ia kunjungi. Tabungan Alvan untuk membeli tiket umroh dirinya dan sang Ibu, kini hanya tinggal rencana saja. Alvan termenung sendiri sampai Ia tersadar ketika meja kerjanya tiba-tiba digebrak seseorang.

"Hayo.... pengantin baru kok galau. Kenapa? Gak dikasih jatah ya?" Ejek Dikta dengan tawa khasnya.

"Diem lo. Ini gara-gara lo ya! Jadi salah ngomong kan."

"Eh loh kok gue sih? Lo yang nikah."

"Iya emang gue yang nikah, tapi gue ngikutin saran lo, tapi malah gue yang penasaran sama dia."

"Maksudnya? Lo... suka sama dia?"

"Ehhh enggak ya! Dilihat dari mana pun, dia jauh dibanding Dara."

"Ah Dara mulu lo... mantan jangan dibahas. Apa lagi lo udah nikah."

"Lagian gue heran sama nyokap, kenapa gak kasih aja si Ralia ke bang Theo. Dia juga kan belum nikah. Terus gue adiknya. Menurut lo, wajar gak sih gue ngelangkahin kakak, sama-sama cowok lagi! Kalo gue cewek sih wajar."

"Yaaa gue gak heran sih kalo lo yang disuruh nikah duluan. Habisnya lo tuh gak bisa milih pasangan apa gimana sih? Udah tahu Dara itu matre, masih aja dipelihara."

"Jaga mulut lo ya Ta! Lo ga ngerti. Gue udah terlanjur sayang sama Dara."

"Terus, kalo terlanjur sayang, lo bisa ngelawan restu Ibu lo? Enggak kan? Buktinya lo bersedia nikah sama orang yang gak lo sukai. Tapi gue penasaran sama istri lo. Kenapa nyokap lo ngotot nikahin lo sama dia."

"Ahhh pokoknya lo jangan ketemu deh. Nanti malah gue yang malu."

"Lah emang sejelek itu?"

"Yaa enggak jelek-jelek amat sih. Tapi kalau dibawa keluar, pasti malu-maluin."

"Makin penasaran gue."

Alvan tak menanggapi celotehan Dikta yang menurutnya tidak penting itu. Ia mendelik kemudian fokus pada layar ponselnya. Dahinya mengkerut mendapati pesan singkat masuk dari Istrinya.

[Mas, aku pulang sore ya, maaf.] Begitu isi pesan yang Ralia kirim. Alvan penasaran kemana gadis itu akan pergi, dan mengapa repot-repot memberitahunya. Ia masih merasa tak peduli meski sebenarnya ingin tahu kemana perginya Ralia.

[Mau kemana?] Balas Alvan tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

[Cari kerja.] Hanya begitu balasan dari Ralia. Mungkin Ralia merasa kesal karena tadi pagi Alvan membentaknya dan pergi begitu saja. Alvan tidak membalasnya, ia memilih untuk mengabaikan pesan terakhir Ralia karena Ia tak tahu harus bersikap bagaimana.

"Sial." Cetus Alvan mulai menyadari jika Ralia belum tahu kawasan tempat mereka tinggal. Bahkan Ralia belum tahu jalan mana yang harus dilewati saat pulang.

"Mau kemana Van?" Tanya Dikta saat Alvan tiba-tiba beranjak dan berlalu pergi dari ruangannya.

"Ada urusan." Jawab Alvan tanpa menoleh sedikitpun pada Dikta. Ia terus berjalan menuju tempat parkir, wajahnya hari ini datar karena terus terpikirkan kemana dan sudah dimana Ralia sekarang. Beberapa karyawan menyapanya dengan ramah, dan Ia hanya mengangguk tanda membalas sapaan mereka. Alvan masih dikenal sebagai pria lajang karena Ia tak memberitahu siapapun bahwa Ia menikah saat cuti kemarin. Hanya bos besarnya dan Dikta saja yang mengetahuinya, sebab Ia ingin menyembunyikan statusnya agar tidak mendapat ejekan rekan kerjanya.

Sebelum memasuki mobil, Alvan mencoba menghubungi Ralia sebelum Ia pusing mencarinya kalau Ralia tersesat.

"Kamu dimana?" Tanya Alvan setelah sambungan telepon terhubung.

"Aku... di depan lobby apartemen. Kenapa Mas?" Ralia balik bertanya karena Ia terheran mengapa Alvan menelepon dan menanyakan posisinya.

"Diam di sana, dan jangan kemana-mana!" Tegas Alvan kemudian memutus sambungan telepon. Hal itu membuat Ralia semakin penasaran akan sikap Alvan.

Hampir setengah jam Ralia menunggu, Ia melihat Alvan memasuki lobby dengan langkah yang tergesa. Alvan menghampiri Ralia yang sedari tadi duduk di sofa menunggu dirinya datang. Sebenarnya Ia tak tahu alasan kenapa Alvan menyuruhnya diam, namun Ia juga tak ingin Alvan kembali marah karena Ia tak menuruti keinginan Alvan.

"Mas. Kenapa ke sini? Bukannya kamu kerja?" Tanya Ralia semakin heran. Pikirannya langsung menangkap sinyal jika Alvan melarangnya pergi. Belum sempat melangkah, Alvan dikejutkan dengan kedatangan Nidia dan Theo dari depan pintu lobby. Alvan menghela nafas lega dan ia tersenyum melihat Nidia tampak berseri hari ini.

"Bu..." sapa Alvan langsung mencium punggung tangan Nidia.

"Kalian mau pergi?" Tanya Nidia menebak kemungkinan keduanya akan pergi karena mereka berada di lobby.

"Ohh emmm enggak Bu--"

"Iya bu. Kita akan pergi." Ucap Alvan menyela cepat jawaban Ralia dan langsung merangkul Ralia sehingga gadis itu terdiam seketika.

"Ya sudah. Ibu tunggu di apartemen kamu aja. Gapapa kan?"

"Gapapa Bu. Sandi kuncinya sudah aku kasih tahu ke Ibu kan?"

"Sudah." Nidia masih tersenyum melihat anak dan menantunya yang terlihat sangat dekat. Ia tak merasa khawatir akan keduanya yang mungkin menolak pernikahan ini. "Alvan..." lirih Nidia berubah sendu. "Alvan bahagia kan nikah sama Lia? Lia juga bahagia kan nikah sama anak Ibu?" Nidia langsung bertanya pada keduanya.

Ralia cepat mengangguk lalu menggandeng tangan Alvan untuk meyakinkan Nidia jika Ia bahagia. Hati kecilnya berteriak jika Ia hanya bahagia sendirian. Alvan tidak menerimanya. Ia hanya berpura-pura didepan Ibunya saja.

"Syukurlah." Lirih Nidia kembali tersenyum penuh kelegaan.

Setelahnya, Alvan dan Ralia berlalu tanpa tujuan yang pasti. Yang jelas, mereka menghindari Nidia dan berpergian hanya untuk memenuhi ucapannya agar tidak berbohong. Sampai di sebuah taman, Alvan terdiam di tempatnya menatap kosong pada objek di depan. Ralia pun sama, ia tak ingin berucap sepatah katapun. Niat hati ingin mencari pekerjaan, namun Ia malah terjebak pada situasi rumit seperti ini. Kalau Alvan di sampingnya, Ralia tak akan bisa mencari pekerjaan dengan leluasa. Tiba-tiba, ponsel Alvan berdering dan menampilkan nama Dikta. Sontak saja Ralia semakin enggan berbicara karena tak mau menambah situasi menjadi rumit.

"Lo dimana Van? Ini owner udah nungguin buat rapat." Ucap Dikta yang samar terdengar oleh Ralia.

"Astagfirullah. Oke oke gue ke toko sekarang."

"Bukan di toko Van. Tapi di kantor." Geram Dikta yang mungkin tengah menahan kesal karena Alvan tiba-tiba pergi dan belum juga kembali.

"Mas mau ke tempat kerja lagi?"

"Nganterin kamu dulu ke apartemen."

"Nggak. Gapapa Mas. Mas kerja aja kalau sibuk. Aku bisa naik taksi."

"Bener kamu bisa? Kalau nyasar gimana?"

"Enggak Mas. Asalkan ada alamat lengkap, aku gak akan nyasar."

"Bener ya! Nanti aku kirim ke nomor kamu alamat lengkapnya." Ralia mengangguk kemudian keluar dari mobil Alvan. Setelahnya, Alvan berlalu menembus jalanan yang lumayan padat meninggalkan Ralia yang tak tahu harus kemana.

Siang telah bergulir menuju waktu sore, Alvan keluar dari ruangannya dengan buru-buru tanpa melihat ponsel. Ia tak tahu apa yang sedang ia buru di apartemennya. Namun, sedari tadi Ia merasakan jika ponselnya terus berdering. Mungkin itu Ibunya yang ingin menanyakan kapan Ia pulang. Namun, diluar dugaan, sesampainya Alvan di apartemen, Nidia tiba-tiba memarahinya karena Ralia belum juga kembali ke apartemen. Saat Alvan melihat ponselnya, Ia memaki dirinya sendiri karena alamat yang susah Ia ketik ternyata belum terkirim juga. Sepertinya karena sibuk dan kalap sehingga Ia merasa kacau tak karuan.

Perasaannya kian kacau saat menghubungi Ralia namun ponselnya tak bisa dihubungi, dan Alvan tak ada akses GPS pada ponsel Ralia.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!