Gadis bernama Vanilla Emeralda Vidyatmaka harus menahan kepahitan hidupnya setelah mengalami kecelakaan hebat yang mengakibatkan kedua matanya tak bisa lagi berfungsi dengan normal seperti dulu.
Mata yang biasanya menatap semua orang dengan rendah, kini hanya bisa memandang kosong. Gadis dengan segala keangkuhannya mulai meremang setelah mengalami peristiwa menyakitkan dalam hidupnya. Ia merasa tidak ada lagi sesuatu yang bisa dibanggakan dalam dirinya. Tidak ada lagi sesuatu yang pantas untuk orang lain lihat. Kekurangan, dirinya sudah dipenuhi dengan itu.
Hal tersebut yang menjadikan Vanilla sampai detik ini menolak lamaran seorang pria yang baru dua kali bertemu dengannya. Dia akan memperlakukan Vanilla dengan lembut hingga membuat Vanilla seolah lupa dengan semua kekurangan dalam dirinya.
Raihan berpikir, mungkin dengan kehadiran seorang pria dalam hidup Vanilla, Vanilla bisa menjadi lebih baik. Sehingga apapun akan dilakukan Raihan asalkan anak perempuannya tidak lagi hidup dalam kesendirian tanpa cinta sejati.
"Papa tidak bisa lagi menolak kebaikan dia, Vanilla."
Vanilla menggeleng dengan air matanya.
"Pa, lebih baik aku menikah dengan Renald. Walaupun dia tidak terpandang seperti kita, tapi setidaknya aku masih percaya diri,"
Raihan mendekati anaknya yang terdiam. Ia memeluk putri kesayangannya. Raihan mengecup puncak kepala Vanilla.
"Kamu tidak perlu merasa serendah itu. Karena Jhico pun tidak memandangmu seperti itu. Kamu berharga untuknya, Vanilla. Papa bisa melihatnya sendiri,"
Jika Renald meminangnya maka Vanilla akan lebih memilih Renald daripada Jhico, putra tunggal keluarga Thanatan. Karena Renald masih menempatkan posisi paling penting dalam hatinya.
Vanilla menatap Raihan bingung.
"Dulu Papa mendukung aku dengan Renald. Sekarang kenapa Papa berubah pikiran. Ini bukan karena Thanatan adalah rekan bisnis papa?"
Raihan membulatkan matanya. Sungguh Ia tidak pernah memikirkan kalimat itu akan keluar dari mulut putrinya. Apakah Vanilla berpikir kalau Raihan menjualnya kepada Thanatan?
"Kamu lebih berharga dari apapun. Lebih baik perusahaan Papa jatuh daripada harus mengorbankan kamu. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan mengenai kondisi perusahaan. Papa dan Devan tidak akan membiarkan sesuatu terjadi,"
Raihan menggenggam tangan Vanilla yang terasa dingin. Ia berusaha mengusir rasa tidak tenang Vanillanya yang kini jauh berbeda setelah kecelakaannya bersama Renald dan Joana merenggut kesempurnaan yang dimilikinya.
"Nanti malam Thanatan dan keluarganya akan datang,"
Vanilla merasa hatinya tidak menentu. Ia mulai menaruh rasa pada Renald, cleaning service yang beberapa kali terlibat adu mulut dengannya. Tetapi keadaannya saat ini benar-benar membingungkan. Raihan dan keluarganya menyetujui Ia bersama dengan Jhico. Sementara Vanilla dan Renald sudah menyatakan perasaan cinta masing-masing. Walaupun status mereka belumlah menjadi sepasang kekasih, tapi apa yang harus Vanilla katakan pada Renald? Apakah lelaki itu akan terluka?
"Jicho juga akan menemuimu. Pikirkan lagi semuanya. Papa tidak akan membiarkan kamu jatuh pada pria yang salah. Dan Papa rasa Jhico adalah pria yang tepat,"
Raihan diam berusaha mencari kalimat yang tepat untuk kembali dikeluarkannya.
"Papa ingin kamu bahagia, Sayang. Omong kosong kalau Papa mengatakan kebahagiaan bukan dari harta. Nyatanya Papa tidak ingin Kamu merasa kekurangan sedikitpun, dalam semua hal tak terkecuali materi. Kamu pasti mengerti maksud Papa,"
Vanilla menelan ludahnya pahit. Hidup di tengah keluarga sempurna dengan kekayaan berlimpah juga mempunyai risiko sebelum memilih pasangan hidup. Ia tahu makna apa yang tersirat dari ucapan Raihan. Ia paham betul kalau Raihan selaku penguasa bisnis di negara ini tengah membandingkan Renald dan Jicho, kedua lelaki dengan latar belakang ekonomi yang sangat berbeda.
Sekarang Vanilla tidak bisa lagi melakukan apapun ketika keluarganya menginginkan Ia dan Jicho bersatu. Seperti yang dikatakan Raihan, Jicho adalah lelaki yang tepat untuk Vanilla, dan tentunya mempunyai latar belakang sepadan dengan keluarga besarnya.
"Papa tidak merendahkan siapapun. Kamu dan Renald tetap bisa berteman. Tapi untuk jenjang yang lebih serius, maaf, Papa tidak akan pernah menyetujui kalian bersatu,"
Raihan menghapus air mata Vanilla. Ia mengecup kening anaknya dalam.
"Kamu dilahirkan untuk merasakan kebahagiaan,"
****
Adrian memasuki mansion dengan langkah riangnya. Hari ini Ia tidak dijemput oleh orangtuanya karena Lovi disibukkan dengan pelaunchingan clothing model baru dari butiknya sementara Devan belum pulang dari perjalanan bisnisnya.
Sejak dua Minggu yang lalu Lovi resmi mendirikan sebuah butik. Tadinya banyak perdebatan di antara Ia dan Devan mengingat lelaki itu sangat tidak suka kalau Lovi sibuk dengan kegiatannya daripada meluangkan waktu untuknya dan kedua anak mereka.
Namun Lovi meyakinkan kalau Ia bisa membagi waktu. Dan lagi butik tersebut tidak dikelola secara langsung olehnya. Ia hanya berkunjung sesekali untuk memeriksa keadaan di sana.
Sehingga tepat di ulang tahun pernikahan mereka yang ke tujuh tahun, butik itu berhasil didirikan atas nama Lovi. Devan mempersiapkan semuanya dengan baik. Ia membantu sang Istri dengan senang hati walau di awal sempat menolak tegas akan bisnis baru Istrinya tersebut.
"Aunty, mau kemana?"
Vanilla tersentak kaget saat suara Adrian menyapanya yang ingin pergi ke dapur. Ia menoleh ke sana kemari untuk mengetahui keberadaan anak itu.
Adrian segera mendekat lalu menyentuh lengan Vanilla. Ia menatap gadis yang jauh lebih tinggi darinya itu.
"Minum, Aunty haus. Kamu pulang cepat hari ini?"
Adrian mengangguk cepat menjawab pertanyaan Vanilla walaupun Vanilla tidak bisa melihatnya.
"Andrean dimana?"
"Masih ada latihan sepak bola. Adrian tidak ikut karena bosan. Kemarin sudah berlatih, Andrean terlalu rajin. Huh!"
Ia membantu Vanilla untuk pergi ke dapur. Baik Ia dan Andrean mengerti kalau kondisi Vanilla tidak lagi seperti dulu. Sehingga bila Vanilla membutuhkan sesuatu, mereka akan dengan senang hati membantu.
Dan Devan pun pernah memperingati kedua anaknya dengan tegas.
"Aunty sedang sakit. Jadi jangan macam-macam ya. Terutama kamu, Adrian. Aunty Vanilla belum bisa pergi ke salon seperti apa yang kamu ributkan selama ini. Kalau dia sudah sembuh, nanti kalian bisa pergi ke sana,"
***
Setelah semalaman Jhico menghabiskan waktunya di rumah sakit untuk bertugas, pagi ini Ia pulang ke apartemennya.
Ponsel lelaki itu berdering. Nama sang Ibu terlihat kembali menghampiri layarnya. Jhico mengapit ponsel di antara lengan dan telinga lalu mulai melajukan mobilnya.
"Ada apa, Ma?"
"Kamu sudah pulang?"
Jhico mengangguk pada bagian keamanan rumah sakit yang kenal dekat dengannya. Ia memang akan selalu seperti itu.
"Sudah, Ma. Aku langsung ke apartemen,"
Kecepatan mobil yang dikendarai lelaki itu sangatlah tenang. Jhico menikmati perjalanannya walaupun rasa lelah sudah menggerayangi tubuhnya sejak tadi.
"Ke rumah dulu. Papa ingin bicara,"
"Apa lagi? pertemuan nanti malam sudah dibahas bukan?"
Jhico memang tidak terlalu dekat dengan kedua orangtuanya. Ia terbiasa hidup sendiri. Sedari kecil Jhico diasuh oleh neneknya. Karena kedua orangtuanya begitu sibuk dengan pekerjaan. Dan cara mereka dalam mendidik Jhico pun terbilang cukup keras. Ditambah lagi saat Jhico memutuskan untuk berdiri sendiri di atas keinginannya yang menjadi seorang dokter. Papa dan Mamanya sangat menentang. Mereka ingin Jhico mengambil alih anak perusahaan keluarga Jhico.
****
Jhico tetap datang ke rumah keluarganya. Ia selalu menghindari ini. Namun karena ucapan penuh permohonan dari Mamanya tadi, Jhico tidak bisa menolak. Akhirnya lelaki itu kembali menginjak bangunan yang sangat jarang disisi dengan kehangatan itu.
"Cucu nenek yang mau nikah ini kenapa badannya semakin berisi ya?"
Jhico mengecup wajah senja milik sang nenek. Wajah yang selalu menggambarkan kasih sayangnya, memandangnya dengan lembut, dan menghargainya sebagai seorang anak yang mempunyai pilihan dalam hidupnya.
"Bagaimana kabar Nenek? maaf aku jarang ke sini,"
Jhico menggenggam tangan Hawra, Ibu dari Mamanya itu untuk masuk ke dalam. Menghampiri kedua orangtuanya yang sudah menunggu di meja makan.
"Kalau tidak menjadi dokter, belum tentu kamu sesibuk ini sampai lupa dengan keluarga,"
"Lalu kalau menjadi pengusaha aku akan memiliki waktu luang yang banyak? tidak, Papa saja selalu pulang tengah malam setiap harinya,"
Kalimat itu tidak bisa Ia keluarkan secara langsung. Hanya sampai pada lidahnya. Jhico tidak mau pertemuan mereka yang sangat jarang ini malah rusak karena perdebatannya dengan sang ayah, Thanatan.
"Nanti kalau sudah menikah, jangan seperti ini. Ingatlah untuk pulang ke rumah. Kamu selalu saja menempati apartemenmu. Padahal ada keluarga yang menantikanmu untuk pulang,"
Jhico memilih diam. Ia berdecih dalam hati. Dulu sewaktu Ia kecil menunggu adalah hal yang sudah biasa Ia lakukan. Pengalaman paling membekas adalah saat Jhico akan melaksanakan pementasan di sekolahnya. Thanatan dan Karina berjanji untuk datang memberi dukungan, tapi nyatanya hanya Hawra yang melakukan itu. Dan pada saat Jhico mengalami kecelakaan saat usianya menginjak sepuluh tahun, Ia menangis dan selalu memanggil 'Mama' namun yang terjadi selanjutnya hanyalah Hawra yang memeluknya, memberi pengertian bahwa Thanatan dan Karina bukan tidak peduli dengan kesakitannya, mereka sibuk, dan masih banyak lagi kalimat-kalimat penenang yang diberikan oleh Hawra untuk cucu semata wayangnya.
"Gadis yang kau nikahi bukan orang sembarangan, Jhico. Papa sudah mengingatkan ini sejak awal,"
Jhico masih fokus dengan makanannya. Namun telinga itu akan mendengarkan apapun yang dikatakan oleh Thanatan.
"Dia buta..."
Jhico menghentikan gerakan mulutnya. Ia menatap lurus ke arah Thanatan. Papanya itu meneguk air minum sebelum melanjutkan.
"Dia tidak sekuat apa yang kamu kira,"
"Papa malu bila aku menikahi dia?"
Tahanatan terkekeh lalu membalas tatapan putranya. Ia tidak merasakan apa yang dikatakan Jhico tadi. Kesempurnaan hanya milik Tuhan. Dan lagi, itu tidak terjadi untuk selamanya.
"Tidak, Papa justru senang. Kamu adalah lelaki yang tidak mencintai fisik seorang perempuan. Kamu berani mengajaknya untuk melangkah ke jenjang pernikahan padahal kalian baru saja bertemu sebanyak dua kali. Itu patut Papa beri apresiasi. Kamu pantang menyerah walaupun sempat ditolak," ada nada geli di akhir kalimatnya. Thanatan berusaha memberi kemungkinan terburuk pada anaknya. Apakah Ia akan tetap seperti ini kalau mendapat penolakan kedua?
Karina dan Hawra mengangguk setuju. Jhico memanglah lelaki yang sangat menghargai perempuan. Dikhianati mantan kekasih bukanlah alasan untuk membenci perempuan lain di dunia ini. Ia sadar kalau tidak semua perempuan bisa disama ratakan.
"Tetaplah menjadi anak Papa yang baik, Jhico. Sekalipun kamu ditolak nantinya,"
Thanatan memandang anaknya dengan remeh. Namun ada sorot jahil di maniknya. Tahu betul bagaimana perasaan gadis yang dicintai anak lelakinya itu. Ketika mereka bertemu saja, tanggapan gadis itu sangatlah dingin. Terlihat sekali kalau Ia belum membuka hatinya untuk siapapun.
"Aku tidak mungkin ditolak, Pa. Karena aku punya cara sendiri untuk menaklukannya,"
--------
Jd ini kisahnya Si Vanill Sm tokoh baru yaa. Nah Deni blm keluar nih, Renald juga. Sabarrr... Jd trs pantengin kisah mereka yaaa. JGN LUPA KLIK LIKE, BERI VOTE SEIKHLASNYA, KETIK KOMEN, KASI BINTANG 5, DAN FOLLOW AKU JG DENG😂 THANKISS😘💙
Adrian menutup pintu mobil dengan kencang. Lovi yang ingin keluar dari pintu mobil yang sama dengannya pun langsung mengurungkan niatnya itu. Beruntung tubuhnya belum berada di sela pintu.
"Ups, sorry." gumamnya dengan santai lalu berjalan memasuki mansion kakek dan neneknya dengan langkah riang.
Sementara Devan sudah menghela napas kesal. Ia menyiapkan pita suaranya untuk mengeluarkan seruan memperingati anak itu.
"ADRIAN, KALAU MOMMY TERSANGKUT DI PINTU, KAMU MAU TANGGUNG JAWAB?!"
Adrian tetap saja melanjutkan langkahnya. Sementara Devan sudah belingsatan. Sepertinya Adrian masih menyimpan kesal pada kedua orangtuanya karena tadi tidak diizinkan untuk ikut ke mansion.
"Adrian mau ikut. Kenapa tidak boleh?!"
"Ini urusan orang dewasa. Adrian tinggal bersama Grandma Senata saja. Andrean juga tinggal di rumah sama seperti kamu,"
"Tidak mau, Daddy!"
Berbeda dengan sang kakak yang tampak terima saja ketika Devan memutuskan itu, Adrian justru menampilkan reaksi yang berbeda.
"Aunty Vanilla akan bertemu dengan calon pangerannya. Nanti kamu jadi perusuh,"
Amarahnya semakin menggebu. Ia tidak terima disebut sebagai perusuh oleh ayahnya sendiri. Dan Lovi tidak membelanya sama sekali malah sekarang terkekeh.
Anak itu menghentak kakinya ke lantai seraya bersedekap dada. Ia juga menatap Devan dengan sinis.
"Adrian ikut! mau ketemu juga dengan calon pangeran Aunty Vanilla,"
Dan akhirnya Devan tidak bisa menolak permintaan raja kecilnya. Devan membawa anak dan istri ke mansion karena akan ada pertemuan dengan keluarga Thanatan.
***
"Vanilla, kekasihmu dan keluarganya sudah datang,"
Suara Devan dan ketukan pintu berhasil membuat Vanilla terperanjat. Ia yang sedang menangisi kisah percintaannya dengan Renald pun langsung mematikan shower dan menjawab kakaknya dengan berteriak.
"Aku akan segera turun. Dan jangan katakan kalau dia adalah kekasihku," suaranya kian melengking ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.
Ia mendengus saat mendengar Devan yang tergelak. Sekali lagi Devan mengetuk pintu kamarnya.
"Cepatlah! Jangan lagi bersikap menyedihkan. Kalian akan bahagia, aku yakin,"
"Pergi, Devan! Aku tidak ingin lagi mendengar omong kosongmu!"
Devan menghela napas di luar sana. Ia menyesal telah menuruti ucapan Rena yang memintanya untuk memanggil Vanilla. Gadis itu keras kepala hingga membuat Devan kesal. Ia diusir? Yang benar saja. Hanya Vanilla dan Lovi yang bisa melakukannya hingga saat ini.
Sebelum turun ke lantai dasar, Devan menyempatkan waktu untuk melihat keadaan anaknya yang sudah tertidur padahal katanya ingin berkenalan dengan calon pangeran Vanilla.
Baru sampai setengah jam, mereka sudah masuk ke dalam kamar yang biasa digunakan sebagai tempat mereka beristirahat selama di mansion.
*********
Vanilla turun dengan pakaian tidurnya membuat Rena dan Raihan terlihat jengkel. Terutama Rena, yang langsung melayangkan tatapan tajam pada anak gadisnya. Devan dan Lovi terpaku beberapa saat dan bingung ingin bereaksi seperti apa.
Berbeda dengan Raihan dan Rena, Thanatan dengan Karina justru tersenyum melihat Vanilla yang begitu polos namun tetap memesona walaupun mungkin menurut sebagian orang pajamas bukanlah pakaian yang pantas untuk dikenakan ketika pertemuan keluarga seperti ini.
Sama halnya dengan Thanatan dan Karina, Jhico pun tak henti menatap gadis yang kini duduk di hadapannya dengan wajah datar.
Rena menyenggol lengan anaknya kemudian bergumam dengan emosi yang terasa mencekik di lehernya.
"Pakaian yang harus kamu pakai malam ini sudah Mama siapkan. Kenapa malah menggunakan pajamas, Vanilla? Kamu sengaja membuat Papa dan Mama malu?"
Bagaimana tidak emosi? Gaun mahal dengan model elegan sudah disiapkan Rena khusus untuk Vanilla yang malam ini akan bertemu dengan calon keluarga barunya. Ia berusaha menjadikan penampilan anaknya sempurna malam ini. Lalu yang didapatinya sekarang malah sebaliknya. Vanilla seolah sengaja menurunkan harga dirinya sendiri. Tidak cukupkah Ia menjadi buta sampai harus menjadikan dirinya lebih rendah daripada ini?
Vanilla tidak menjawab Rena. Ia malah meletakkan tongkatnya di bawah meja dengan posisi tubuh sedikit menunduk lalu kembali pada posisi semula. Ia tidak tahu kalau di hadapannya saat ini ada Jhico yang langsung terkejut begitu tongkat untuk Vanilla berjalan terasa menusuk mata kakinya.
Sial!
Rasanya Jhico sangat ingin menegur Vanilla yang seolah sengaja menjadikan tongkatnya sebagai senjata untuk membuat kakinya yang ada bawah meja makan terasa sakit.
"Kamu kenapa, Jhico?"
Lelaki itu gugup begitu ditanya. Ia hanya tersenyum tanpa memberi jawaban.
Namun Raihan tahu kalau Jhico tengah menatap putrinya. Ia yakin Vanilla telah melakukan sesuatu pada Jhico.
"Vanilla, jangan seperti anak kecil!"
Vanilla tahu suara siapa itu. Devan yang sampai kapanpun akan menjadi musuh abadinya.
"Diam kamu--"
"Bisa kita lanjutkan makan malamnya? Kenapa saat kamu datang suasana menjadi ricuh seperti ini?"
Vanilla menelan kembali ucapan bernada kesalnya. Suara tegas Raihan membuat Ia merinding. Saat ini Raihan kembali menjadi sosok yang mampu menaklukan Vanilla.
"Maaf, Thanatan. Kedua anakku memang seperti ini. Aku harap kau mengerti,"
Thanatan tertawa ringan seolah semua itu tidak masalah baginya. Karina pun tersenyum pada Rena.
"Kami tahu hal ini sering terjadi pada kakak beradik. Walaupun Jhico adalah satu-satunya, namun kami sudah sering menyaksikan hal semacam ini. Jhico suka bertengkar dengan para sepupunya saat Ia masih kecil,"
Semuanya terkekeh tak terkecuali Jhico. Vanilla tak habis pikir dengan lelaki itu. Ia sedang menjadi bahan tertawaan orang-orang namun bisa-bisanya ikut larut dalam tawa tersebut.
Jhico tertawa untuk menutupi kepedihannya. Thanatan mengatakan sesuatu yang berbanding terbalik dengan kenyataan di masa lalu. Thanatan dan Karina tidak benar-benar maksimal dalam mendampingi tumbuh kembang putranya.
Berkumpulnya Jhico dengan sepupu lalu pertengkaran kecil mereka, tidak pernah disaksikan oleh kedua orangtuanya yang
tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
"Dasar gila!"
Kalau Vanilla masih seperti dulu, mungkin Ia akan berani mengatakannya secara terang-terangan. Tapi sekarang, kalau Ia menyebut Jhico seperti itu apa kata semua orang di sana? Mungkin saja mereka akan menyakiti Vaniilla dengan menyebutkan kekurangan gadis itu.
-------
SELAMAT SIANG MANTEMAN. TERIMA KASIH UDH MAU MAMPIR+KASIH DUKUNGAN.
"Masakannya enak sekali. Aku berharap Vanilla turut andil dalam pembuatannya. Kalau benar begitu, aku sangat bahagia karena calon menantuku ternyata pandai dalam memanjakan lidah,"
Rena terkekeh. Ia tidak sadar kalau Vanilla sekarang merasa terpuruk. Apakah Karina lupa kalau Ia buta? Bagaimana bisa Vanilla memasak itu semua?
Vanilla tersenyum pedih. Omong kosong apa itu?!
Ia berkata dengan lirih hingga semua orang di sana menatapnya.
"Aku tidak bisa memasak. Saat tidak buta saja aku sangat payah dalam hal itu. Apalagi dengan kondisiku yang seperti ini. Apapun tidak akan bisa aku lakukan,"
Karina mengerjap terkejut. Ia telah salah bicara. Ia bersumpah tidak ada niat sedikitpun untuk membuat Vanilla sedih. Ia tidak menyangka kalau Vanilla menangkap kalimatnya dengan makna yang berbeda.
Vanilla beranjak dari kursinya. Bahkan baru tiga sendok nasi yang masuk ke dalam mulutnya tapi kenapa orang-orang di sana membuatnya ingin segera pergi.
"Aku sudah kenyang. Permisi dan selamat malam,"
Vanilla mengambil tongkatnya dan meninggalkan ruang makan yang tadinya dipenuhi dengan suasana kebahagiaan itu.
Devan ingin mengikuti adiknya seraya berseru,
"Vanilla! Vanilla, tunggu!"
"Biar aku saja, Dev."
Devan menoleh saat Jhico berkata demikian. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya membiarkan Jhico untuk menyusul adik kesayangannya.
Vanilla berjalan tertatih. Ia menyadari kalau ada seseorang yang mengikutinya di belakang. Dan Ia juga bisa mendengar jelas kalau Jhico menghalangi kakaknya untuk menyusul.
"Vanilla, tunggu dulu. Aku ingin bicara,"
Jhico meraih tangan Vanilla yang segera dihempas gadis itu. Jhico adalah lelaki yang tidak mudah menyerah. Ia masih berjalan berusaha menyamakan langkahnya dengan Vanilla.
"Lepaskan aku!" Hentakkannya kasar namun kali ini tidak berhasil membuat tangan Jhico lepas dari pergelangan tangannya.
"Maaf, maafkan Mamaku sudah melukai perasaanmu. Mama tidak bermaksud seperti itu. Ia hanya--"
"Ya, aku mengerti. Beliau memang tidak menyakitiku. Jadi bisa lepaskan aku sekarang?" Vanilla berujar malas. Enggan menatap ke depannya. Ia tahu kalau Jhico ada di sana. Ia juga merasa Jhico tengah memandangnya dalam diam dengan tangannya yang masih bertautan.
"Vanilla, aku tahu kamu orang baik. Kamu tidak mungkin merasa tersinggung hanya karena itu 'kan? Mama hanya berharap menantunya bisa memasak. Jadi---"
Vanilla dengan mata butanya menampilkan aura tajam. Ia menarik lengannya dari Jhico.
"Dan aku bukan menantunya!"
Jhico menunduk, Ia salah bicara. Tidak seharusnya Ia mengatakan itu secara gamblang. Ia terlalu percaya diri, merasa bahwa Vanilla akan senang ketika Ia mengatakan itu.
"Akan! Kamu akan menjadi menantunya. Kamu akan menjadi bagian dari keluargaku,"
Vanilla terkekeh ringan. Gadis itu merasa bualan Jhico adalah hal terlucu yang pernah didengarnya.
"Teruslah bermimpi, Tuan terhormat. Sampai kapanpun aku tidak akan menikah dengamu. Memangnya aku ini siapa sampai kamu mau menjadikanku bagian dari keluargamu? Aku hanya gadis buta--"
Tanpa mendengar kalimat selanjutnya dari Vanilla, Jhico langsung ******* bibir gadis di hadapannya ini yang sedang berusaha membangun benteng untuknya mempertahankan diri. Jhico tahu kalau saat ini Vanilla merasa tidak percaya diri.
Vanilla memberontak tapi Jhico memang pencium handal. Ia tidak akan membiarkan gadis itu lepas dari kekuasaannya sebelum Ia merasa puas.
Vanilla menangis. Air matanya yang hangat berhasil membuat Jhico membeku. Ia segera menyelesaikan kegiatannya. Ia melihat mata kosong gadis itu yang terlihat semakin terluka setelah Ia menciumnya.
"Kurang menyedihkan apa lagi hidupku ini? buta, dan sekarang dilecehkan oleh orang yang mengatakan kalau dia akan menjadikanku sebagai menantu Mamanya dan bagian dari keluarganya,"
*********
Devan kembali duduk di ruang makan dengan wajah kusutnya. Ia tetap menyusul sang adik dan juga Jhico. Namun yang dilihatnya tadi malah membuatnya menginginkan hal serupa dari Lovi. Otaknya benar-benar tidak waras.
Double shit! baru saja Ia mendapati Vanilla bersama dengan Jhico sedang bertukar saliva. Sialan! Ia merindukan kecupannya bersama Lovi.
"Bagaimana? Apa mereka bertengkar?" Karina langsung menyerbu Devan dengan pertanyaan bernada khawatir. Kalau sampai Jhico dan Vanilla bertengkar, maka Karina benar-benar merasa bersalah.
"Ya bertengkar,"
"Apa? Kamu serius, Devan?!"
Karina langsung bangkit dari kursi. Dan bersiap untuk melangkahkan kakinya meninggalkan ruang makan yang kini semakin dipenuhi dengan suasana panik.
"Bibir, lidah, dan gigi mereka bertengkar,"
"Devan, maksudmu apa? Tolong perjelas!"
Devan memutar bola matanya kesal. Ternyata Raihan bodoh dalam hal ini. Begini saja ayahnya tidak mengerti.
"Om juga tidak mengerti," sambung Thanatan yang semakin membuat Ia naik darah. Kenapa kedua lelaki tua itu bisa merajai bisnis dan mengerti semua hal di dalamnya tapi untuk masalah seperti ini keduanya kompak menjadi orang bodoh.
"Mereka berciuman! Jelas? Apa perlu aku perjelas lagi dengan mencontohkannya pada kalian? Dengan apa aku memberi contoh? Dengan meja ini?" Semburnya yang sudah terlampau kesal. Walaupun demikian, Devan tetap mengatakannya dengan wajah datar dan benar-benar melirik meja makan di depannya.
"Atau dengan Istriku? baiklah..."
Devan yang sinting menarik kepala Lovi secara sepihak tanpa aba-aba.
"Ayo, Sayang." Dan Ia benar-benar mengecup Lovi!
Semua orang di sana dibuat terperangah. Antara tidak punya otak, atau memang malunya sudah hilang? entahlah, Devan sulit untuk dipahami. Baik sikapnya maupun isi pikirannya bukanlah hal mudah untuk ditembus.
"Seperti itu. Sekarang sudah mengerti?"
Oh Ya Tuhan. Devan dengan santainya melakukan itu sementara jantung Lovi hampir merosot jatuh dari tempatnya. Ini benar-benar memalukan untuk Lovi. Ia tidak terbiasa menampilkan kemesraan di depan orang lain.
Dengan kesal Ia mencubit kencang paha suaminya. Devan patut diberi pelajaran agar tidak berkelakuan sesuka hati lagi.
Karina langsung kembali pada posisinya. Kini Ia menatap Devan. Fokus pada lelaki beranak dua itu.
"Kamu mengatakan kejujuran bukan?"
"Aku tidak pernah berbohong," suaranya dingin membuat Karina mengangguk paham. Aura lelaki itu memang membuat siapapun merasa segan.
"Halah! Berbohong itu hal yang kamu sukai sejak dulu, Hei anak muda!"
Devan menatap Rena tidak terima.
"Kapan aku melakukannya?"
Rena terdenyum mengejek pada putranya.
"Kamu pikir kenapa dulu Lovi meninggalkanmu? Karena kamu sering berbohong!"
Devan berdecak. Masa lalu memang akan selalu mengiringi langkahnya. Dan tak bisa dipungkiri kalau Lovi adalah tokoh utama selain Devan dalam masa lalu pernikahan mereka. Bahkan dimata semua orang pun demikian.
"Tidak masalah, Devan! Namanya juga jiwa anak muda. Kalau sudah tua, tidak begitu lagi,"
Thanatan merasa kulit lengannya dipiting. Ia tersenyum manis menatap sang Istri yang kini menampilkan raut kesal.
-------
AKU DOUBLE UP HR INI. SEBAGAI BENTUK RASA TERIMA KASIH AKU BUAT KALIAN YG UDH MAU MAMPIR. AKU SENENG KRN DLM 2 HARI PEMBACA NILLAKU TEMBUS SERIBU LEBIH. TERIMA KASIH UNTUK DUKUNGAN KALIAN. I WUP YU GAYSSS😘💙
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!