Mungkin, di dalam pikiranku serta pikiranmu hujan hanyalah penghalang dalam gerak. Bisa jadi,hujan menurutmu hanya mampu membuat bajumu basah dan kamu kedinginan sebab ulahnya. Membuatmu tidak nyaman, mengekangmu untuk tetap tinggal di tempat itu.Membuatmu kehilangan setumpuk momentum dalam satu waktu, atau bahkan menghilangkan segala hal-hal indah dalam duniamu Andira. Namun, bagiku hujan mendatangkan keberkahan, untuk semua makhluk yang ada di bumi. Hujan jugaselalu menjadi teman setia, saat hatiku mulai gusar mengingatmu dan hujanlah yang selalu membawa kenangan itu, bersama rintik-rintik yang akan bermuara diberbagai tempat air itu terhenti Andira.
Hujan tidak semestinya begitu, meskipun ia datang lalu pergi. Tidak seperti kamu, yang sempat datang lalu pergi seenaknya saja. Aku tidak pernah sekalipun membenci hujan, meskipun ia berkali-kali pergi. Hujan pasti kembali untukku, tidak seperti kamu pergi dan tak pernah ingin menoleh kembali. Hari itu adalah hari penyesalanku mengenalmu, Andira. Kenapa, kamu suguhkan aku secangkir kopi yang di dalamnya terdapat pecahan-pecahan kaca, kamu tak semestinya begitu terhadapku Andira.Apa benar ini adalah serangkaian perpisahan, yang sengaja kamu siapkan untuk melukaiku secara perlahan Andira. Kamu beranjak pergi, meninggalkan aku disudut kota Lampung ini sendirian tanpa ada rasa bersalahmu.
“Andira, kenapa kamu mengajakku ke tempat ini malam-malam?” tanyaku, penasaran melihat tingkah Andira yang aneh.
“Ada yang mau aku omongin, Han. Menyangkut hubungan kita,” balas Andira, meraih tanganku memegang dengan erat dan menatapku dengan tatapan serius.
“Iya, kamu mau ngomong apa, Sayang?” tanyaku penasaran, karena sejak tadi memuncak ingin tahu.
“Jadi begini, Han. Aku mau ....,” lirih Andira dengan mata berkaca-kaca.
“Mau apa Andira? Kamu jangan bikin aku makin bingung dong, Sayang,” balasku mendesak Andira, untuk melanjutkan ucapannya tadi.
“Aku mau ki—kita putus,Han,” balas Andira, melanjutkan ucapannya tadi kepadaku.
“Ini maksudnya apa Andira? Malam-malam hujan begini, kamu memaksa aku untuk nemuin kamu dan tiba-tiba kamu ngajak putus, sebenarnya ada apa dengan kamu?” tanyaku sambil menatap wajahmu dan lalu mendongakkan kepalaku ke atas langit yang mendung.
“Aku udah enggak nyaman lagi sama kamu, Han,” balas Andira, seakan-akan tidak mengerti perasaanku samasekali.
“Hah ... selama dua tahun pacaran? Kamu baru bilang enggak nyaman, Andira. Aku kurang apa?” tanyaku heran, dengan sikap Andira.
“Kamu enggak ada kekurangan apa pun kok, Han. Hanya saja, aku sudah punya lelaki lain. Dialah yang membuatku nyaman selama ini,” balas Andira, menundukkan kepalanya.
“Apa kamu gi—gila selama ini, segala sesuatu yang kamu mau aku kabulkan, Andira. Kenapa kamu mengabaikan perasaanku? Hanya demi pria yang jauh lebih menarik dariku. Tolonglah jangan bersikap seenaknya!” ketusku sambil menggebrak meja, semua pengunjung Cafe memperhatikan kita.
“Maafkan aku, Han. Cinta tidak pernah bisa dipaksakan, seiring berjalannya waktu rasa seseorang akan berubah,” ucap Andira, seakan itu kata-katanya dari mulutnya ialah mutiara,padahal semua adalah sayatan luka.
“Baiklah, Andira. Jika itu keputusan terbaik bagimu, aku bersedia melepaskanmu. Walaupun, sebenarnya berat untuk kuterima,” balasku sambil memegang kepalaku seakan tidak percaya atas apa yang telah terjadi.
“Terima kasih, Han. Kamu sudah mengerti arah pembicaraanku, semoga kelak kamu mendapatkan wanita baik nantinya,” ucap Andira, menatapku dengan wajah penuh keyakinan.
“Apa kamu kira, aku menganggapmu dari dulu wanita buruk, Andira? Aku tidak pernah berpikiran seburuk itu, kamu tidak berhak menyakitiku lebih dalam lagi dan cukup aku tidak ingin mendengarkan penjelasanmu lagi!”
“Bu—bukan itu maksudku,Han. Aku mohon kamu jangan pernah hubungi aku lagi, Han,” tukas Andira, sambil beranjak dari duduknya.
“Baiklah Andira jika itu maumu, akan tetapi kamu harus tahu komitmen tidak boleh dilakukan bersifat temporer, kamu lakukan dengan moodmu dan juga sesuai keinginanmu pula. Kamu Boleh menyakitiku kali ini, aku harap jangan ada lagi hati lain yang kamu korbankan,” balasku dengan hati yang lapang menasihati Andira.
“Kamu jangan khawatir,Han. Lagi pula, aku nyaman dengannya. Kalau begitu aku pamit pulang! Lagipula,hujan mulai reda,” balas Andira, meninggalkanku di Cafe Holding Lampung seorang diri.
“Baiklah, Andira.Silahkan!” balasku mempersilahkan Andira untuk pergi.
***
Aku pun duduk termenung dengan pikiran kosong di Cafe Holding Lampung. Dalam lamunanku lagi-lagi kembali dipatahkan wanita yang kusebut ia cinta, mencintai Andira adalah patah hati yang kuperbuat dengan sengaja. Hampir setiap kenyataan terlalu ironis untuk aku dengar dan terlalu kejam untuk disampaikan. Tapi, jatuh cinta memang selalu punya alasan untuk tidak percaya Andira. Aku pun menyusuri jalan-jalan di Kota Lampung, yang kini sedang bersedih seakan-akan simpati dengan segala lara yang aku alami saat ini. Lantas, aku mengambil sebatang rokok, di dalam sakuku. Laluku Hisap dengan perlahan-lahan dan membuang asap itu, bersama dengan kepulan penyesalan.
Aku duduk di halte bus sambil meratapi kesepian serta menendang apa saja yang ada di depanku. Orang Bilang cinta dapat memuliakan, tetapi cinta justru bagiku menyesakkan. Aku Bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa semua wanita sama saja di dunia ini.Dia meminta pria setia dan anehnya setelah mendapatkan itu, dia malah meninggalkan pria tersebut dan memilih pria yang hanya mempermainkan hatinya.Namun, di saat dia terluka karena ulah pria, dia langsung menyalahkan semua pria tabiatnya sama saja. Cinta serumit itu, untukku miliki seutuhnya, terkadang cinta membuatku terus kehilangan-kehilangan. Aku semakin tidak peduli dengan itu, persetan cinta bagiku adalah pembodohan, banyak orang dikemudikan perasaannya sendiri. Maka jangan heran, jika banyak orang patah hati dan gilanya sampai bunuh diri.
Namun, aku tidak termasuk golongan orang seperti itu, aku tidak akan pernah melakukan tindakan sedangkal itu Andira. Aku masih memiliki Tuhan, aku percaya perpisahanku denganmu Andira Adalah bagian dari menemukan cinta sejati juga nantinya. Entahlah cinta seperti apa yang aku inginkan nantinya Andira. Sedangkan keadaan hati dan otak saling berlawanan satu sama lain, seperti halnya kamu Andira menolak keberadaanku. Aku Tidak pernah percaya bila akhirnya, hubunganku dengan Andira berakhir juga.Sebelumnya, aku terlalu percaya diri bahwa kamulah orang terakhir, tetapi justru kamu meninggalkanku tanpa ucapan terakhir Andira.
***
Pagi-pagi buta aku terbangun dari lelapnya rasa kantuk menggelayuti mataku, sambil melupakan kejadian tadi malam yang cukup menguras emosi dan kesabaran. Aku langsung meraih ponselku yang berada di meja, sambil mendengarkan musik kesukaanku berjudul ‘sang badut', penyanyinya adalah Raim Laode. Cukup aneh memang keadaan hati sedang galau malah mendengarkan lagu sendu. Saat aku sedang menikmati musik galau dan membaca beberapa novel kisah sebuah usaha melupakan seseorang, tiba-tiba Mama memanggilku untuk sarapan pagi.
“Han ... Raihan. A—ayo segera Ke meja makan! Kita semua nungguin kamu,” titah Mama memberi isyarat, agar aku segera menuju ke meja makan.
“Baik, Ma. Tunggu Sebentar! Raihan gosok gigi dan cuci muka dulu, Ma,” sahutku dan segera beranjak dari kasur dan sebenarnya aku tidak nafsu makan sama sekali pagi ini.
Setelah ganti baju dan gosok gigi, aku pun bercermin melihat wajahku. Apakah wajahku tidak masuk dalam akalnya, sampai-sampai Andira tak betah lebih lama tinggal, hingga kenangan sulit untuk ku—tanggalkan. Sungguh sangat disayangkan, rupanya wajah Andira Masih saja menguasai kepalaku. Karena takut terbayang-bayang dengan wajahnya,aku memutuskan untuk menuju ke meja makan. Rupanya kegiatan menambah gizi jauh lebih penting, daripada mengisi kenangan-kenangan, yang pada kenyataannya aku tidak lagi bersama denganmu Andira.
Sungguh, betapa sulitnya melupakan seseorang dengan waktu singkat, Andira pergilah dari otak dan sanubariku. Memang benar kata seorang pujangga ‘kepala kita tidak akan pernah sanggup melupakan, atas apa-apa hati yang kita ingat. Aku tidak fokus melakukan kegiatan apa pun, bahkan saat ingin kuliah. Aku sengaja untuk tidak masuk, agar tidak bertemu denganmu hari ini Andira. Bahkan aku berniat ingin pindah ke Universitas lain, tujuannya jelas agar aku bisa melupakanmu sepenuhnya.Meskipun, melupakan seseorang yang sempat hadir itu mustahil, meski rambutku sampai memutih.
“Sebagian orang yang pergi tidak selalu didasari dengan kendali hati dan pikirannya. Kadang dia memutuskan melangkah pergi, hanya karena alasan aku memang tak pantas dipertahankan.”
-Rohid Bachtiar
Cuaca yang cukup panas di bulan ini, hampir menjilat sebagian dari kulitku yang kuning langsat. Mencoba untuk tidak mengingat, malah namamu masih saja tersemat. Memang begitulah kenyataannya memang sudah satu bulan kita tak bercengkrama, tak bertegur sapa sedikitpun Andira. Aku tetap menghindar darimu, walau sebenarnya kamu ingin sekali diajak bertemu.
Jujur aku ingin keluar dari zona ini, mencoba mendamaikan diri dan tak lagi mempermasalahkan soal waktu lalu. Mau kamu dengan siapa pergi ke mana pun tanpa kuantar lagi. Aku Tidak peduli sedikitpun Andira. Rasa sesakku masih membekas, bolehkah sekarang aku boleh tertawa atas pilihanmu sendiri. Aku tahu sebenarnya pria itu mematahkan hatimu. Tentunya ada rasa iba dan juga puas juga. Bukannya aku pendendam,bukannya rasa kesal pun tak baik jika ditahan-tahan Andira, sejak awal aku sudah mengingatkan bahwasanya komitmen, tidak baik jika dilakukan hanya sepihak.
Beberapa kali aku sempat mendengar, bahwa kamu sering menanyakan kabarku lewat teman-teman nongkrongku. Dan Lagi-lagi aku menyuruh temanku untuk bungkam soal keberadaanku. Sengaja Andira,agar kamu paham mengejar sesuatu yang fana hasilnya pasti juga tak sama.Ekspektasimu boleh saja tinggi, lihatlah pria itu justru membuatmu sakit hati bukan. Hingga pertemuan itu tak disengaja, saat aku duduk di Cafe HoldingLampung dan menghampiriku.
"Raihan, kamu kemana aja?" tanya Andira mengejutkanku, saat aku sedang sibuk memandangilaptopku.
"Eh kamu, Andira.Kok kamu bisa tahu aku di sini?" balasku keheranan, di depan sudah ada orang yang sedang berusaha aku lupakan.
"Berminggu-minggu aku cariin kamu, Han. Kamu ke mana aja?" ucap Andira sambil menatapku dengan wajah sendu dan duduk tepat di sampingku.
"Kenapa kamu nyariin aku, Andira? Bukannya waktu itu, kamu memintaku untuk tidak menghubungi dan mencari mu lagi," balasku fokus menatap layar laptop, sambil mengerjakan tugas kuliah.
"Maafkan aku, Han.A—aku menyesal telah meninggalkanmu waktu itu," sahut Andira, sambil memegang jari-jemariku dengan erat.
"Sudah jangan dibahas, Andira. Aku juga sudah memaafkanmu dan mulai mendamaikan dirikusendiri,” balasku lalu melepaskan kembali genggaman tangan Andira.
"Raihan, aku kangensama kamu. Aku menyesal telah meninggalkanmu waktu itu," timpal Andira,dengan wajah sendu dan mata mulai berkaca-kaca.
"Lalu ... kamu mauapa, Andira?" tanyaku dengan bingung, sambil menutup laptopkuperlahan-lahan.
"A—aku mau kitaseperti dulu lagi, Han. Aku kangen suaramu dan kangen saat kita ke manapunselalu bersama," ujar Andira, telempap tangannya menyentuh pipiku denganlembut.
"Kamu ke mana aja?Bukannya sebulan ini, kamu sudah terbiasa tanpa kehadiranku. Maaf aku enggakbisa!" celetukku, melepaskan telempap tangannya di pipiku.
"Raihan, to—tolongberi aku kesempatan sekali lagi! Aku ingin menebus kesalahankuterhadapmu," ucap Andira sambil menangis sesenggukan di sampingku.
"Andira, kamu janganmenangis! Aku merasa tidak enak, orang-orang di sekitar kita kini mulaimemperhatikanmu," lirihku sambil menenangkan hatinya dan merangkulnya.
"Aku enggak peduli,Han. Aku tidak peduli sedikitpun, yang terpenting kamu mau menerimakukembali," balas Andira, meletakkan kepalanya di pundakku.
"Ta—tapi Andira, akubelum bisa mengabulkan permintaanmu. Jujur Andira aku masih kecewa beratdenganmu," ucapku sambil melepaskan pelukanku perlahan-lahan.
"Kenapa, Han? Apati—tidak ada tempat lagi di hatimu," timpal Andira memegang jari-jemarikudengan kuat.
"Andira, dengarkanaku baik-baik! Dahulu ruang hati ini kosong sebab sepeninggalmu, Andira. Tapi,sekarang hatiku penuh. Kamu tahu penuh apa? Iya, penuh dengan kekecewaan,"lirihku menatap matanya, dengan tatapanku yang kosong.
"Raihan beri akukesempatan sekali lagi. Aku bakal berubah demi kamu, please aku mohon! Terimaaku kembali, Han," balas Andira, memohon dan memegang tanganku denganerat.
"Ba—baiklah, Andira.Tapi, setelah ini aku tidak ingin mengulang kembali dengan orang yang sama. Akubakal kasih kesempatan kamu untuk kedua kalinya," balasku dengan keadaanpenuh dilema.
"Terima kasih,Sayang. Aku janji akan berubah dan enggak akan sia-siakan kesempatan darimu,Han,” lirih Andira, memelukku dengan erat.
“O—oke, Andira. Sekarang lepaskanpelukanmu! Aku tidak enak orang-orang sedari tadi memperhatikan kita.”
Hingga pada akhirnya,rasa sayang mengalahkan sebuah rasa cinta. Aku tak berdaya menolak perasaankuterhadap Andira. Sore itu pun kita resmi balikan dan memulai komitmen dariawal. Entahlah, meskipun bibir menolak, tetapi hati selalu jujur bahwa mengulangdengan orang sama. Jauh lebih realistis daripada memulai dengan orang baru. Akupun membatalkan niatku untuk pindah kampus, karena memang Andira jelas tidakmau jauh-jauh dariku. Semakin hari Andira bucin sekali. Padahal dulu, aku yangterlalu bucin kepadanya ataukah mungkin Andira benar-benar takut kehilanganku.
Aku kini sedang disibukkanujian tengah semester, aku dan Andira kuliah di Universitas Lampung, tetapi akudengannya hanya beda jurusan saja. Andira memilih jurusan akuntansi dansedangkan aku mengambil jurusan agribisnis ternak. Memang kita pacaran lumayancukup lama dua tahun sudah kita lewati suka dan duka. Meskipun waktu lalu,Andira melakukan kesalahan fatal. Aku memilih untuk melupakan kejadian itu,mungkin inilah fase-fase di mana komitmen kita benar-benar diuji. Semesta tahudua anak manusia sedang bertaruh perasaan, entah berujung bahagia ataupunpenyesalan.
***
Pagi yang cerah hari ini,aku dengan teman-teman akan kumpul-kumpul di tempat biasa kita nongkrong. Kitabiasa nongkrong di warung kopi Bang Pendi, biasanya sepulang kuliah kita selalumenyempatkan waktu untuk saling bersenda gurau bersama. Iya mereka adalahtemanku yang gokil dan kocak si Rohid dan Raka. Merekalah yang telah mengisijurnal kehidupanku selama ini. Barangkali, tanpa adanya mereka hidupku akanterasa monoton dan sangat membosankan jadinya.
"Bro ...denger-denger lu balikan lagi sama, Andira?" ujar Rohid, melemparkansebuah pertanyaan kepadaku.
"Iya, kok lu enggakbilang sama kita, Han?" timpal Raka, mulai menginterogasiku.
"I—iya, Bro. Guabalikan lagi sama, Andira. Memangnya kenapa Hid, Ka?" balasku menjawabpertanyaan mereka tadi.
"Kok lu mau sih,Han? Padahal dulu jelas-jelas, dia ninggalin lu sama cowok lain," potongRohid heran dengan sikapku.
"Ya, bener banget,Hid. Gua heran sama si Raihan, gampang banget luluh. Emang lu kagak takutdisakitin lagi sama, Andira?" timpal Raka, setuju dengan pendapat Rohid.
"Sebenarnya gua waswas juga sih, Hid, Ka. Ya, mau gimana lagi? Gua masih sayang banget sama,Andira," balasku dengan mimik wajah serius.
"Hadeh, mode bucinlu mah ha-ha-ha," kelakar Rohid meledekku.
"Iya, parah bangetsahabat kita satu ini. Beginilah orang jatuh cinta, susah amatdibilangin!" ucap Raka, ikut serta mengejekku.
"Sialan ... lu padaha-ha-ha. Kagak gitu juga, konsepnya pe’a!" tukasku membela diri.
"Abis lu kalau udah cinta parah banget, Han. Oh, ya, kalian mau pesan apa? Hari ini gua yang traktir, soalnya gua abis dapat rezeki hasil joki game Mobile Legends,"sahut Rohid, sambil menepuk bahuku.
"Widih mantap benersahabat kita, Han. Gua pesan kopi aja sama gorengan, Hid," timpal Raka,sambil memijit bahu Rohid.
"Namanya anak muda,Bro. Kagak bucin kagak asyik ha-ha-ha. Mantap bener nih lancar orderannya, Hid.Kalau begitu, gua pesan kopi juga disamain aja kita," balasku sambilsenyum-senyum syukurlah hari ini, pengeluaranku hari ini berkurang.
"Si—siap deh! Kalaubegitu gua pesan dulu sama Bang Pendi," ucap Rohid, beranjak dari tempatduduknya.
Aku bersyukur memilikisahabat seperti Rohid dan Raka, merekalah tempat aku mencurahkan perasaanku disaat, aku mempunyai banyak masalah. Mereka yang selalu men—support aku di kalahidupku sedang terpuruk. Semoga Tuhan senantiasa, menjaga hubungan kita sampaikapan pun dan di mana pun. Aku akan kebingungan jika mereka membisu dan tidaklagi cerewet menasihatiku.
"Di hatiku kamusumber dari api dan di hatimu akulah pemicunya. Sementara bertahan menghasilkanperdebatan saja dan berpisah tidak pernah cukup menuntaskan kita."
-Rohid Bachtiar
Libur akhir semester banyak sekali, aku habiskan di rumah dengan kegiatan yang sangat membosankan bagiku. Saat ini aku dan Andira harus berhubungan jarak jauh dikarenakan Andira pulang ke kota asalnya Tangerang mengunjungi saudaranya. Karena memang di sini dia belum lama tinggal di Lampung. Sebenarnya, aku sedikit kecewa dengan situasi ini, padahal hari ini aku sedang berulang tahun. Tapi, sayang sekali Andira tidak bisa menemuiku dan merayakan ulang tahunku yang kedua puluh dua tahun.
Sungguh hari-hari yang membosankan untukku, tidak masuk kuliah dan bingung mau ke mana. Kawan-kawan kuliah sebagian pulang ke kampung halamannya masing-masing. Terlebih Andira jauh dariku, orang tuaku sedang pulang ke kampung karena ada acara keluarga, aku di rumah sendirian sangat bingung ingin melakukan hal apa pun. Barangkali, memang benar adanya sulit jauh dari orang terdekat kita. Aku harus mandiri masak sendiri, tidur sendiri dan mencuci baju pun sendiri. Jelas aku bakal kerepotan satu minggu jauh dari orang tua.
Pada akhirnya, aku masak andalanku indomie dengan sambal ijo dengan toping telur mata sapi. Kalau begini terus dalam satu minggu makan mie terus, gemuk kagak yang ada tifus. Mungkin, bisa jadi aku bisa memakai opsi lain untuk menu masak berikutnya dan yang terpenting bisa masak nasi adalah jalan ninjaku. Orang tuaku menyarankan, untuk membeli lauk pauk di warung makan depan rumah. Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, hendaknya aku tumbuh menjadi anak mandiri dan tidak selalu merepotkan mereka, tetapi namanya juga anak selalu saja merepotkan. Saat aku di dapur asyik memasak mie instan, tiba-tiba ponselku berdering. Aku pun segera meraih ponselku di meja ruang tamu dan mematikan kompor.
"Halo selamat pagi, Sayang," sapa Andira, dengan suaranya yang lembut.
"Pa—pagi kembali, Sayang," balasku dengan nada sumbang.
"Apa kabar, Sayang?" tanya Andira dengan suara khasnya.
"Aku baik kok, Sayang. Tapi, aku sedikit merindukanmu," ujarku mencoba mencairkan obrolan di balik telepon.
"Syukurlah, Han. Aku pun juga merindukanmu, Han. Tunggu, ya! Aku pasti ke sana beberapa hari lagi menemuimu," balas Andira seakan paham arah ucapanku tadi, sebab aku merindukannya.
"Baiklah, Andira aku bakal tunggu! Oh, iya kalau begitu nanti lagi, Andira. Aku mau mandi dulu!" timpalku, karena memang pagi ini aku belum sempat mandi.
"Baiklah, Han. Aku juga mau antar Mama ke tempat saudara. Nanti, kita sambung lagi! I love you."
"Ya Sayang. I love you too."
Sejauh ini hubungan kita tetap baik-baik saja. Aku harap terkendali, meskipun nantinya banyak sekali kendala. Andira berjanjilah bahwa paru-parumu tetap sehat, walaupun nantinya kita pura-pura saling melengkapi dan pada akhirnya kita saling menyakiti. Setidaknya hubungan kita sejauh ini, masih romantis yang normal dan tidak se—alay anak baru kenal cinta dan seharusnya memang seperti sebagai pasangan yang ideal pada umumnya
***
Aku pun langsung bergegas mandi, agar badanku lebih fresh. Beberapa menit kelar mandi, aku pun langsung menyantap mie sambal ijoku yang semakin dingin. Aku nikmati semangkuk mie, dengan perasaan bingung. Kenapa hari ini ada yang kurang, padahal aku sedang berulang tahun. Bagaimana bisa orang terdekatku, malah cenderung cuek dengan hari lahirku. Jujur kesal, kecewa dan marah bercampur aduk, tetapi rasanya kuurungkan niat itu. Mungkin, mereka sedang merencanakan sesuatu untuk hari spesialku, daripada bingung harus mau ngapain. Aku pun memutuskan melanjutkan bacaan novelku karangan Bang Boy Candra berjudul 'sepasang kekasih belum bertemu' dan enggak tahu kenapa novel ini jadi opsi pilihan terbaik bacaanku di rak buku kali ini. Selama dua puluh menit, aku membaca sampai beberapa bab. Tiba-tiba ponselku berbunyi, mendapatkan notifikasi pesan suara dari Raka dan Rohid. Tanpa, berlama-lama aku langsung mengecek chat voice note dari mereka berdua.
"Selamat ulang tahun, Bro. Maaf belum bisa kasih kado. Nanti, kalau kumpul gua ajak ke toko buku. Gua yakin lu lagi mau beli novel Boy Candra terbaru," ucap Raka memberikan selamat kepadaku melalui voice note.
"Wah nambah tua lu, Han. Gua harap lu cepet sadar! Lu bukan bocah belasan tahun lagi. Gua harap lu sukses dan segera kelarin novel terbaru lu. Panjang semuanya ... Bro ha-ha-ha. Maksud gua panjang umur, Han. Nanti, kado nyusul-nyusul di tahun berikutnya!" kelakar Rohid melalui voice note.
***
Jujur aku terharu dan agak ketawa terpingkal-pingkal mendengar pesan suara dari si Rohid. Dia memang sahabat terkocakku, dari kecil sampai sekarang, kita selalu bareng ke manapun pergi. Si Raka juga kawanku cenderung pendiam, cuma kalau sudah kenal dengan seseorang banyak omong dan ngeselin anaknya. Aku senang bisa kenal dengan mereka, mungkin kalau enggak kenal mereka hidupku bakal monoton sekali. Tanpa pikir panjang, aku pun menelepon Rohid dan Raka. Aku ingin curhat dengan mereka soal kegabutanku di rumah.
"Halo, Bro. Lagi pada ngapain?" ucapku lewat via telepon menyapa mereka berdua.
"Walaikumsalam, Han. Lu mah pe'a banget, bukannya salam dulu! Kagak ada tata kramanya lu, Han." celetuk Rohid menegurku sebab lupa memberi salam.
"Emang kebiasaan nih anak, Hid. Dia ini ibarat hero Mobile Legends itu Clint, ucapannya begini 'sopan santun telah hilang' kebanyakan pikiran kali, ya. Sampe salam aja lupa," sela Raka ikut meledek kecerobohanku.
"Yaelah ... maaf, Bro. Namanya orang lupa, ha-ha-ha. Efek kebingungan di rumah sendirian dan galau banget hari ini, Bro," balasku atas ledekan mereka kepadaku.
"Yaelah, bujang apaan lu, Han. Perasaan hidup lu merana amat, kagak usah jadi manusia lu! Mending jadi eceng gondok aja, ha-ha-ha," kelakar Rohid meledekku dengan penuh semangat.
"Ha-ha-ha, si Rohid jahat banget kalau ngomong, asal mangap bae mulutnya. Emang lu, Han. Jadi cowok sadboy amat, emang lu ada masalah apa?" tanya Raka mulai penasaran dan lagi-lagi meledekku.
"Ah ... sialan lu pada! Dengerin kenapa, kalau kawannya mau curhat. Iya, udah kagak jadi."
"Dihh ... si Raihan segala begitu bae ngambek! Baperan lu mah, kaya cewek datang bulan. I—iya udah maafin gua sama Raka, emangnya lu ada masalah apa sih kawan?" timpal Rohid merasa tidak enak dan mulai ingin tahu masalahku.
"He he, iya gua juga minta maaf, Han. Cerita sini sama kita!" balas Raka, ikut simpati dengan masalahku.
"Nah, dari tadi kek, Bro. Begini gua di rumah sendirian, selama seminggu ke depan. Terus ... si Andira kayanya cuek dan enggak peduli sama hari ulang tahun gua dah."
"Lah emang Bokap, Nyokap dan Adek lu si Rina ke mana, Han? Terus lu jangan mikirin aneh-aneh dulu. Barangkali pagi ini, dia lagi sibuk dan udah nyiapin kejutan buat lu nanti malam," ucap Rohid, mencoba meyakinkanku untuk berpikiran positif.
"I—iya pada ke mana keluarga lu, Han? Dengerin tuh, apa kata, Rohid!" sahut Raka ikut masuk dalam topik pembicaraan kita.
"Mereka lagi pada pulang kampung, Bro. Soalnya ada acara keluarga dan gua enggak ikut karena jaga rumah. Hmmm ... ada benernya sih omongan kalian, Bro."
"Lah, ngapa lu kagak ikut Panjul? Segala rumah dijagain, kalau mau jaga mah di pos ronda sana! Emang kagak jelas lu, Han. Segala rumah dijagain, kaya rumah lu bisa lari aja," kelakar Rohid mulai usil meledekku habis-habisan.
"Ha-ha-ha, emang pe'a si Rohid. Kagak usah dengerin dia, Han. Bocah kurang ngopi begitu, jadi setengah sadar kalau kasih masukan ke kawannya," timpal Raka memihak ku.
"Bocah kagak jelas lu, Hid. Lah tumben si Raka belain, curiga ada maunya."
"Suek, banget lu pada. Biar gua somplak begini, gua kawan yang selalu ada buat lu semua," timpal Rohid, merespons candaan kita.
"Ha-ha-ha tahu aja lu, Han. Kode keras minta traktiran lu, kita berdua ini masak kagak peka? Kalau enggak ada Rohid, tongkrongan kita sepi kaya kuburan," balas Raka sambil tertawa terbahak-bahak.
"Wah, pokoknya makasih banyak, Bro. Kalian sahabat terbaikku. Pokoknya tenang aja, kalau kalian balik ke sini lagi. Nanti, aku traktir di warung Bang Pendi."
"Mantap bener ini mah, Han. Gua sama Raka mau pesan kopi dan gorengan sepuasnya. Oh, ya, gua tutup dulu teleponnya, Bro. Gua mau lanjut push rank, soalnya abis turun season. Parah bener, gua jadi epic lagi. Ya, udah assalamualaikum," balas Rohid menutup percakapan kita
"Kalau begitu gua juga, Han. Makasih juga, kalau begitu gua pamit dulu! Gua mau nyuci motor. Nanti, kalau kagak gua cuci, diomelin Bokap gua lagi, assalamualaikum," balas Raka, ikut menutup telepon.
"O—oke, walaikumsalam, Bro."
***
Lumayan lama mengobrol dengan mereka, aku pun mengambil gitar di kamarku. Aku memainkan gitar, di ruang tamu. Aku mulai memetik gitar dan menyanyikan lagu Hindi berjudul 'tu hi haqeeqat', lagu ini romantis sekali serta diksinya pun indah. Aku sampai kebawa perasaan dan menghayati lagu ini. Berjam-jam aku bermain gitar menghilangkan suntukku, aku pun mencoba mengecek ponselku. Berharap dapat notifikasi dari Andira kekasihku. Berulang-ulang aku cek, tetapi belum ada juga. Sekalinya, aku dapat notifikasi, aku periksa dengan hati senang berharap dari Andira malah pesan dari operator.
Tidak terasa pukul menunjukkan 12:00 WIB, tetapi belum juga ada pesan dari Andira. Aku sempat berpikir, apa kekasihku lupa sama ulang tahunku. Sedangkan, katanya aku orang spesial dalam hidupnya. Namun, aku berpikir lagi kalau dia enggak bakal melewatkan hari spesialku, tetapi kenyataan dia benar-benar lupa. Jujur aku marah dan kecewa dengan Andira, aku memutuskan untuk me—mode pesawat ponselku. Biar nanti, Andira menghubungiku sulit dan berpikir, bahwa dia telah mengecewakan kekasihnya hari ini. Supaya, dia paham rasanya diabaikan itu, enggak mengenakan sama sekali.
Aku pun memutuskan untuk tidur siang. Supaya, rasa badmood dan kecewa bercampur menjadi satu segera hilang. Karena aku butuh ucapan orang terkasih, meskipun cueknya terlanjur dia pilih. Dia mungkin sibuk dengan dunianya, sampai-sampai lupa dengan hari lahirku. Beberapa menit mencoba memejamkan mata, tetapi nihil hasilnya. Aku pun mencoba meraih ponselku di meja tempatku belajar dan membaca buku. Baru membuka mode pesawat, ada banyak notifikasi pesan bermunculan di ponselku dan ternyata dari orang tuaku, Adiku dan juga Andira kekasihku.
Aku pun senyum-senyum sendiri dibuatnya, aku tertawa melihat video konyol keluargaku. Mereka mengucapkan, selamat ulang tahun dengan tingkah jenaka di saat acara hajatan keluarga. Bapak, ibu dan Rina, mengucapkan kalimat yang penuh makna, walaupun dibalut dengan candaan khas mereka. Jujur air mataku menetes terharu dibuatnya. Aku berjanji jika suatu saat nanti, aku akan membahagiakan mereka. Mungkin, tidak semudah dengan kata-kata. Tapi, dari kata-katalah menjadi doa yang nantinya akan segera terlaksana juga. Fokus melamun dan mengulang-ulang video mereka. Tiba-tiba ponselku berbunyi, ternyata telepon dari Andira sudah beberapa kali panggilannya tak terjawab.
"Kamu marah sama aku, Han?" ucap Andira melemparkan pertanyaan saat aku ingin mengucapkan salam.
"Hmmm ... tidak, Andira. Mungkin perasaanmu saja."
"Bohong banget kamu lagi marahkan, Han? Kenapa Berkali-kali, aku menghubungimu nomormu sulit buat dihubungi, Han," balas Andira mulai paham atas sikapmu yang dingin.
"Benaran aku serius, Andira. Tadi ponselku lowbet kok. Kamu kenapa nelepon enggak mengucapkan salam dulu?"
"Maaf, Han. Aku tadi pagi sibuk, ada acara keluarga. Aku enggak ada maksud mengabaikan dan lupa dengan hari lahirmu. Aku cuma mau bilang ke kamu, semoga kamu bahagia bersamaku. Selamat ulang tahun ke—22 tahun, Sayang. Semoga, yang kamu dambakan cepat terlaksana. You're the best in my life, Han," lirih Andira meyakinkanku untuk tidak salah paham dan mau mendengarkan penjelasannya.
"Iya, Sayang. Makasih banyak sudah berkenan berkomitmen denganku. Semoga nanti, hubungan kita selalu kuat seperti baja. Meskipun rintangan itu ada, aku enggak minta hadiah apa pun darimu. Aku cuma ingin kamu, selalu ada bersamaku di saat dunia tidak pernah menjanjikan bahagia. Dan terima kasih, masih sanggup bertahan."
Hari ini adalah hari yang membuatku semakin paham, segala kesenangan itu bukan karena aku diberi hadiah sebagai kenang-kenangan. Tapi, justru kesenangan itu hadir di saat, ucapan dan doa yang tulus dipanjatkan oleh orang-orang yang kusayang. Andira kamu adalah alasan mengapa kehidupan terasa lebih hidup dan juga jantungku masih sanggup berdegup. Kamu juga seperti bantal dan aku bukan ilernya tetapi gulingnya. Kita ada saling melengkapi dan kita bertemu tentu ada keterikatan hati.
"Kebahagiaan ibarat seperti ketinggian. Kemudian, jatuh hati itu seperti terjatuh. Memilikimu membuat perasaanku menyeluruh, bahkan sebelum kamu sempat menyatakan."
-Rohid Bachtiar
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!