Dengan wajah sumringah, Amygdala melajukan motor sportnya ke kosan kekasihnya, seorang mahasiswi di sebuah universitas swasta di Kuningan. Seperti biasa, setiap hari Sabtu dia akan datang ke kota kecil ini untuk menemui kekasihnya. Karena Amygdala sendiri tinggal di kota Bandung. Dia seorang pengusaha muda, yang bergerak di bidang penerbit, percetakan, dan periklanan. Sabtu ini dia sengaja ingin memberikan kejutan, karena kemarin dia memberitahu Ashila kekasihnya, bahwa dia tidak bisa datang Sabtu ini, karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Namun ternyata pekerjaannya bisa selesai lebih awal.
Amygdala sudah sampai di depan gerbang kosan Ashila, dia kemudian memarkirkan motornya di luar gerbang. Amygdala melangkah pasti menuju kamar kos Ashila yang berada tak jauh dari gerbang. Namun langkahnya terhenti di depan kamar kos Ashila. Ada sepasang sepatu laki-laki di depan kamar. Amygdala mendekat dengan perlahan, menepis semua pikiran negatif yang melintas di kepalanya. Tuhan seperti sedang memperlihatkan kuasaNya, dia sedang menunjukkan takdir seorang Amygdala. Pintu yang terbuka sedikit memberi ruang netra Amygdala melihat ke dalam. Dengan jelas, dia bisa melihat Ashila, kekasihnya sedang bercumbu dengan seorang lelaki. Mereka begitu menikmati setiap sentuhan masing-masing. Amygdala membuka sedikit lebar pintu kamar kos kekasihnya. Namun saking asiknya mereka sampai tak mendengar suara derit pintu yang terbuka.
"Shit!" Amygdala mengumpat dia merasa jijik melihat dua orang manusia di depannya.
Brak!
Kedua orang itu menghentikan kegiatannya, mereka terkejut mendengar suara pintu terbuka. Si lelaki bangun dari tubuh Ashila, dan menoleh.
"Cuih...sialan! Tidak bisakah kalian mengunci pintu saat akan berzina seperti ini,Haah!" Amygdala menendang pintu dan keluar menjauh dari kamar kos kekasihnya. Dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
"Daal....Dalaaa! Aaarh! Sial! Kenapa kamu gak kunci pintunya sih!" Ashila mencoba memanggil Amygdala yang sudah menjauh entah kemana.
"Mana ingat, Shil! Aku sudah kebelet! Sudahlah..bagus kan kalau dia lihat kita seperti ini. Kita tak harus mencari alasan untuk menjelaskan kepadanya." Riko kembali mencumbu Ashila.
"Aaarh...sialan kamu! Tapi dia tambang wmas gue anjiir!" Ashila kesal.
"Gue bisa menjamin hidup lu lebih dari dia!"Ujar Riko.
Sementara itu Amygdala terus melajukan motornya di bawah derai hujan. Menembus jalan yang ia sendiri tak tahu ada di mana. Hujan turun tak lama setelah Amygdala menjauh dari kosan Ashila.
"Sialan, kalian! Dasar jalang! Ternyata kabar yang gue terima selama ini bukan cuma omong kosong! Shit! Gue emang bego!" Amygdala memukul stang motornya, merutuki kebodohannya mencintai perempuan yang ternyata berkhianat di belakangnya.
"Kenapa harus Riko, Shil? Kenapa?.Aaarggh!" Amygdala berteriak di balik helm fullfacenya.
Sementara itu, di jalan yang sama namun berlawanan arah. Seorang gadis berjilbab, dengan celana jeans dan kemeja, berjalan gontai sambil menenteng totebagnya. Langkahnya tak bergairah, pandangannya kosong. Dia membiarkan hujan membasahi tubuhnya, membasuh wajahnya, membiaskan air mata yang turun deras di pipinya.
"Dasar lelaki keparat! Dasar Perempuan otaknya di dengkul! Tega-teganya kalian mengkhianati gue! Haidar anj***! Isma biyawak! Gue benci kaliaaaaaan!" Gadis itu menangkup wajahnya dengan kedua tangannya sambil terus berjalan semakin ke tengah. Di saat bersamaan sebuah motor melaju dengan cepat.
"Ngapain tuh cewek malah berjalan ke arah gue? Mau cari mampus! Aaaaarh!" Dengan cepat Amygdala mengerem motornya dengan mendadak. Namun karena hujan, jalanan pun sedikit licin membuat ban motornya sedikit salip. Amygdala pun jatuh menggelusur bersa ma motornya.
Cekiiiiit!
Sreeeeek!
"Awwwh....isshh...!" Amygdala meringis saat lututnya berselanncar di aspal. Namun dia segera berdiri hendak memarahi perempuan itu, pada saat dia berdiri, saat itu pula terlihat sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan dengan gadis itu.
"Oooowwh..shit!" Amygdala berlari kencang di bawah lebatnya hujan, memeluk gadis itu dari belakang, menyelamatkannya dari mobil yang melaju kencang itu.
Seeet!
Bruugh!
Keduanya jatuh berguling ke tepi jalan, gadis itu terselamatkan dari hantaman mobil. Amygdala tertindih gadis berjilbab itu. Dia bisa melihat mata yang mulai memerah gadis yang kini ada di atasnya. Cantik, gadis ini terlihat sangat cantik meski tersirat kecewa dan luka di wajahnya. Basah air hujan semakin membuat gadis itu terlihat menarik.
"Sampai kapan kau akan menindihku? Tubuhmu berat tahu!" Amygdala menyadarkan gadis itu, kalau saat ini dia ada di atas tubuh seorang lelaki.
"Aaaaargh! Sialan! Dasar mesum! Ngapain kamu peluk-peluk saya, dan menarik saya sampai jatuh seperti ini,Hah!" Gadis itu malah memukul helm yang masih terpasang di kepala Amygdala. Lalu memjauh dari badan Amygdala yang terlentang.
"Aww! Sakit woii! Isi helm ini kepala yah bukan kelapa! Bangun lu! Wajah muslimah, kelakuan jahiliyah!" Amygdala mendorong gadis itu agar menjauh darinya.
" Salah sendiri mesum! Ngapain meluk saya tadi!" Gadis itu memasang wajah galak, sambil menatap nyalang lelaki berhelm di hadapannya.
"Gak nafsu buat mesumin cewek macam lu! Gue cuma nyelametin lu, biar gak mati sia-sia ketabrak mobil! Nyesel gue selametin lu! Udah mah bikin gue jatuh lagi!" Amygdala berdiri melangkah tertatih menuju motornya yang tergeletak di pinggir jalan. Untung saja jalanan sepi, sehingga tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Setelah berhasil membuat motornya berdiri tegak, dia mulai menstater motornya. Dia mulai melajukan motornya, lalu berhenti di depan gadis itu.
"Jangan bawa orang lain celaka, gara-gara hatimu yang kecewa! Melamun sambil jalan! Kalau diputusin move on, jangan malah mau mati sia-sia!" Amygdala menutup kembali helmnya setelah berbicara pada gadis itu. Dan melajukan kembali motornya. Gadis itu masih berdiam di tempat semula, mengingat semua yang rangkaian perjalannya yang tanpa sadar sudah berjalan sejauh ini. Dia juga mulai ingat saat melihat ada motor di depannya, namun motor itu menghindar ke sisi lain sampai motor dan pengendaranya terjatuh. Dan tak lama setelah itu, dia merasakan tubuhnya dipeluk dan ditarik ke pinggir jalan sampai terjatuh dan menindih lelaki tadi.
"Heeiii...maaf!" Gadis itu berteriak di bawah gerimis, sambil melambaikan tangan. Lalu kembali duduk karena motor itu tak berhenti.
Amygdala merasa tak tega meninggalkan gadis itu sendirian, apalagi hari sudah mulai gelap.
"Aaah....sial! Bikin repot aja!" Dia lalu memutarbalik motornya.
Cekiiit!
Amygdala menghentikan motornya tepat di depan gadis itu. Gadis itu mendongakkan kepalanya.
"Naik...!" Tanpa basa basi Amygdala menyuruh gadis itu naik ke atas motornya.
" Kok putar balik? Mau nyulik gue yah?" Gadis berjilbab itu berdiri. Pertanyaan gadis itu membuat Amygdala sangat kesal.
"Apa untungnya gue nyulik cewek jahiliyah kayak elu! Yang ada gue rugi! Karena rasa kemanusiaan aja, gue anterin lu pulang! Cepet naik! Mau mati kedinginan lu!" Gadis itu terlihat ragu, namun melihat sekeliling dia juga merasa takut.
"Ck...lama amat, mau gue anterin gak? Gue emang bukan malaikat, tapi gue juga bukan penjahat, tenang saja!" Ucap Amygdala. Akhirnya gadis itu pun naik ke atas motor sport itu dengan sedikit kesusahan.
"Ke arah mana kita?" Gadis ini menunjuk ke arah yang berlawanan saat dia berjalan tadi.
"Pegangan...!" Amygdala menyuruh gadis itu berpegangan.
"Pegangannya kemana?" Dengan polosnya gadis itu bertanya.
" Terserah...!" Jawab Amygdala. Karena tidak tahu harus pegangan kemana, akhirnya gadis itu memutuskan memegang ujung jaket lelaki itu.
Takdir akan mempertemukan dua hati dalam situasi yang tak bisa diprediksi
Motor sport Amygdala melaju dibawah guyuran hujan, di tengah perjalanan Amygdala menepikan motornya, lalu membuka helmnya.
"kenapa berhenti? Kita kan belum sampai?" Gadis itu merasa heran.
" Nih pakai Dulu, hujannya lumayan deras! Apa mau berteduh dulu?" Amygdala memberi pilihan. Dia menyodorkan helmya tanpa menoleh ke belakang.
"Lanjut aja lah...tanggung udah basah! Helmnya kamu saja yang pakai!" Gadis itu menolak helm yang disodorkan Amygdala.
"Pake! Saya gak mau tanggung jawab lagi kalau kepalamu ditabrak nyamuk, terus kamu pingsan! Tambah ngerepotin aja!" Gadis itu mencebikkan bibirnya .
"Kalau gak ikhlas, mending jangan maksain! Dapat pahala enggak, rugi iya!" Sarkas Gadis ini. Sambil menerima helmnya dan memakainya. Amygdala pun kembali melajukan motornya, menembus derasnya hujan.
"Belok kanan, berhenti setelah dua rumah dari depan!" Gadis itu berteriak di samping telinga Amygdala, karena suaranya harus bersaing dengan deras suara hujan. Amygdala pun mengangguk, dan membelokkan motornya, lalu berhenti sesuai instruksi.
Gadis itu pun turun dari motor Amygdala.
"Turunlah dulu, hujannya terlalu deras!" Gadis itu membuka helmnya, lalu menyerahkan pada lelaki yang telah mengantarnya pulang. Namun seketika tubuhnya membeku, bukan karena dinginnya air hujan, namun karena wajah tampan yang ada di hadapannya. Matanya tak berkedip meski dijatuhi tetes air hujan jatuh berkali-kali di bulu mata lentiknya. Amygdala pun menerima helm yang masih berada di tangan gadis yang sedang menatap wajahnya tanpa berkedip.
"Kedip woiii... jangan mati berdiri karena menikmati kegantengan gue!" Amygdala menarik helm dari tangan Gadis itu.
"Lho..Acha, kenapa malah hujan-hujanan? Ini deras banget lho! Ajak masuk juga temannya!" Seorang lelaki paruh baya, keluar dengan memakai sarung.
Amygdala menoleh ke arah suara, lalu menganggukkan kepalanya.
"Ayo, turun dulu!" Ajak gadis itu. Mau tak mau Amygdala pun turun dari motornya, karena sejujurnya dia juga sudah mulai merasa kedinginan, karena hampir seluruh bajunya basah.
"Assalamualaikum..Pak!" Amygdala menyalami lelaki paruh baya itu sembari mencium punggung tangannya sebagai sebuah penghormatan.
"Kenapa berasa lagi ngapelin cewek gue, terus ketemu calon mertua yaa?" Gumam batin Amygdala.
"Waaalaikum salam.Ayo..masuk!" Lelaki paruh baya itu mempersilahkan Amygdala masuk. Namun Amygdala merasa tak enak karena bajunya hampir basah.
"Enggak usah, Pak! Ini baju saya basah semua, saya hanya mengantarkan puteri bapak pulang. Maaf saya malah bawa dia hujan-hujanan!" Entah kenapa Amygdala merasa tak enak sudah membawa gadis itu menerobos hujan.
"Tidak apa-apa, ayolah masuk dulu, setidaknya ganti baju yang kering!" Lelaki paruh baya itu menariknya masuk ke dalam.
Dari dalam, gadis itu menghampirinya dengan membawa handuk yang masih terlipat juga kaos dan celana yang terlipat rapi.
"Nih Bang! Mandi aja sekalian, terus ganti bajunya, walaupun gak baru tapi ini bersih kok." Acha menyerahkan handuk dan baju yang terlipat rapi.
"Hmmm...makasih! Bisa tunjukkan kamar mandinya dimana?" Acha kemudian berjalan mendahului untuk menunjukkan kamar mandinya.
"Ini Bang, kamar mandinya!" Setelahnya, Acha berbalik, dia juga akan mandi di kamar mandi yang ada di kamarnya tentu saja.
"Eh...tunggu! Siapa namamu?" Acha mengernyitkan dahinya, lalu tersenyum.
"Panggil saja Acha, lucu yah kita udah jalan sejauh ini, belum tahu nama masing-masing. Abang namanya siapa?" Acha balik bertanya nama. Rugi dong kalau lelaki itu tahu namanya, dia sendiri gak tahu nama lelaki itu.
"Amygdala...tapi biar gampang panggil Dala aja!" Acha pun mengangguk.
"Ya udah deh Bang, saya juga mau mandi..udah dingin nih!" Acha meninggalkan Amygdala yang kini malah tersenyum. Amygdala pun masuk ke dalam kamar mandi.
Sementara itu di ruang keluarga, Ibunya Acha, baru keluar selesai berganti baju sehabis mandi.
"Ada tamu, Yah?" Tanya Bu Nisa.
"Iya bu, temannya Acha, tolong buatkan kopi atau teh manis hangat, basah kuyup dia nerobos hujan sepertinya." Kata Pak Agung. Bu Nisa pun menuju dapur untuk membuat kopi. Bersamaan dengan Bu Nisa ke dapur, Dala pun keluar dari kamar mandi. Bu Nisa tertegun saat melihat betapa gantengnya lelaki yang keluar dari kamar mandinya.
"Eh..bu, ibunya Acha yah?" Dala pun menyalami perempuan yang usianya sekitar 45 tahunan itu.
"Eh...iya... Masya Allah, ganteng sekali, Aa ini pacarnya Acha?" Bu Nisa dengan santainya bertanya, karena baru kali ini Acha membawa seorang lelaki ke rumahnya, sudah bisa dipastikan kalau lelaki ini spesial. Amygdala bingung menjawabnya, dia hanya tersenyum.
"Ya sudah, tunggu di depan aja sama Ayah, mau dibuatkan kopi atau teh manis hangat?" Ibu mengambil dua gelas di rak tempat menyimpan alat makan.
"Kalau gak ngerepotin, kopi aja deh Bu!" Ucap Dala malu-malu.
"Ashiiaaap! Silahkan ditunggu di depan, pesanan akan seger datang!" Canda Bu Nisa.
" I-iya Bu, terima kasih sebelumnya." Dala pun menuju ruang keluarga.
"Sini duduk, Nak!" Pak Agung menyesap rokoknya. Melihat begitu nikmatnya Pak Agung merokok Dala pun ingin melakukannya, namun dia merasa gak enak.
" Kalau mau ngerokok, ngerokok aja tak usah sungkan! Cuma rokok Ayah, ya ini! Bukan rokok mahal!" Pak Agung menyodorkan rokoknya.
"Terima kasih, Pa! Kebetulan saya ada kok!" Dala mengeluarkan sebuah roko dari saku celananya.
Dua orang lelaki beda generasi itu pun terlibat beberapa percakapan. Bu Nisa masuk membawa dua gelas kopi di atas nampan dan sepiring singkong goreng. Acha juga baru keluar dari kamarnya, sudah segar tentu saja dengan baju kering.
"Waah enak nih hujan-hujan begini, makan singkong goreng!" Acha mengambil sepotong singkong goreng dari piring. Dala menoleh dan memindai penampilan Acha.
"Kenapa cantiknya bertambah sih? Jadi betah lihatnya, walaupun ngomongnya sedikit nyablak, tapi asik orangnya! Eh ..kenapa malah memujinya? Dan harusnya kan gue sakit hati, karena sudah dikhianati Ashila, tapi kenapa biasa saja yah? Padahal tadi lumayan nyesek!" Dala malah bermonolog dalam hatinya.
"Bang..wooiii! Ngedip..ngapain malah bengong lihatin saya? Terpesona yaah? Apa langsung jatuh cinta?" Acha menggerak-gerakkan tangannya.
" Achaaaa....mulutmu itu yaah!" Pak Agung memperingatkan Acha.
Dala langsung berkedip saat tangan Acha melambai-lambai di depan matanya.
" Eh...maaf!" Dala meraih gelas kopi lalu menyeruputnya.
"Kalian sudah pacaran berapa lama?" Tanya Bu Nisa.
Uhuk!Uhuk!
.Dala dan Acha tersedak berbarengan seperi sudah janjian sebelumnya, saat mendapat pertanyaan dari ibunya Acha. Acha meraih air minum yang ada di depannya, begitu juga Dala, dia meraih air putih yang ada di depannya.
"Ya ampun... saking kuatnya Chemistry, tersedak pun jadi kompak!" Kata Bi Nisa.
"Chemistry apa sih, bu? Tersedak ya tersedak aja apa hubungannya sama Chemistry?" Acha melanjutkan kembali makan singkongnya. Melihat Acha yang memakan goreng singkong dengan lahap, Dala pun penasaran, dia mengambil sepotong singkong goreng dan memasukkan ke dalam mulutnya.
"Mmmmmm...enak!" gumam Dala tanpa disadarinya. Dia lalu kembali memasukan singkong ke mulutnya.
"Laper apa doyan bang? Rakus amat,?" Sarkas Acha.
" Karena ini enak, sepertinya aku jadi suka deh!" katanya sambil menoleh pada Acha..
"Lanjut deh Bang kalau enak mah!" Kata Acha.
"Jadi kalian pacaran yaa?" Kali ini Pak Agung yang bertanya.
" Hmmm...iya!" Dala menjawab singkat, tanpa sadar, yang ada dia hanya sedang menikmati Singkong goreng.
"Haaaah!" Kali ini Acha yang berteriak, bersaman dengan kumandang adzan maghrib. Acha menatap Dala seolah minta penjelasan. Namun lelaki itu terlalu asik menikmati singkong goreng.
Rasa enak dan nikmat, memang terkadang melenakan membuat kita lupa akan banyak hal dan rasa lupa terkadang menjadi hal yang menjadi awal sumber permasalahan.
Amygdala masih asik dengan singkongnya, sementara Acha sudah misah misuh.
" Ya ampuuun! Nih orang sadar gak sih dia ngomong apa? Main iya aja! Ketemu aja baru, udah iyain aja kalau kita pacaran! Kapan nembaknya yang ada hampir nabrak sih iya...! Malah asik makan singkong lagi! Ish..gue geplak juga yah mulutnya!" Acha malah mendumel dalam hatinya.
"Sudah maghrib, sebaiknya kita sholat berjamaah di rumah aja yah! Hujannya masih deras." Pak Agung beranjak dari tempat duduknya, diikuti Bu Nisa. Sementara Dala, hanya mengangguk lalu mengikuti langkah Pak Agung.
Ketiga orang itu langsung berjalan ke sebuah ruangan,yang berfungsi sebagai tempat sholat. Sedang Acha, dia masuk ke dalam kamarnya untuk berwudhu. Tak lama kemudian dia keluar dengan memakai mukena, lalu berjalan menuju mushola. Ayah, ibu dan Amygdala sudah bersiap di mushola tinggal menunggu dirinya.
"Nak..Dala, mau jadi imam?" Pak Agung menawari Amygdala untuk menjadi imam, Bukannya Amygdala yang menjawab, tapi Acha.
" Aduuh..gak usah nawarin dia jadi imam, Yah! Gak yakin aku, jangan-jangan niat sholat aja gak bisa! Mendingan ayah aja deh!" Melihat penampilan lelaki bertampang ganteng tapi badboy ini membuat Acha merasa tak yakin. Telinga pake anting, rambut gondrong, jauh dari kata sholih lah.
"Enak aja! Kalau gak bisa niat sholat gimana sholatnya? Bukan gak bisa, Yah. Tapi kan ada yang lebih tua,jadi lebih baik ayah saja yang jadi imam." Amygdala mempersilahkan Pak Agung yang jadi imam.
"Cih..cari alasan! Bilang aja gak bisa!" Timpal Acha.
"Eeh..kalian ini! Kok malah berdebat sih, kapan sholatnya? Udah ayah aja yang jadi imam, Yah!" Bu Nisa melerai perdebatan unfaedah keduanya.Pak Agung pun mengangguk, lalu menyuruh Amygdala untuk iqomah.
Hujan mulai reda saat, mereka sudah selesai sholat maghrib. Ayah dan ibu masih tak beranjak dari mushola,sementara aku dan Amygdala memilih ke ruang keluarga. Masih dengan memakai mukena aku duduk berhadapan dengan Amygdala.
" Bang maksudnya apaan tadi mengiyakan kalau kita pacaran?" Acha sudah tak sabar meminta penjelasan dari Dala.
"Pacaran? Kita pacaran? Gimana mau pacaran kan baru ketemu tadi!" Dala mengernyitkan dahinya. Acha mengerjapkan matanya tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Waaaah.... beneran mabok yah! Sampe gak sadar mengiyakan pertanyaan ibu, kalau kita pacaran!" Acha mengangkat jari telunjuknya ke wajah Dala.
" Mabok apaan? Mabok singkong? Eh...emang tadi saya bilang iya yah?" Dala malah balik bertanya kepada Acha.
"Tahu ah! Gue lupa rekam tadi! Aku gak ikut-ikut, silahkan abang pertanggungjawabkan sendiri sama ayah dan ibu! Malah bikin saya tambah pusing! Saya udah mau bilang enggak, situ malah jawab iya!" Acha kesal dan mempout bibirnya. Dala melihat Acha tak berkedip.
"Cantik...juteknya bikin gemes! Dia juga gak jaim! Gak kaya Ashila, wajahnya topeng berlapis-lapis...cuih!" Dala menggelengkan kepalanya.
"Kenapa geleng kepala? Mau lepas tanggung jawab? Gak bisa yah! Jelasin yang sebenarnya sama ayah dan ibu saya, kalau kita gak pacaran! Sama pacar saya yang udah berkhianat sama saya saja belum putus, ini udah dikira pacaran lagi sama cowok yang baru aja kenal! Gue belum pindah aliran ke penganut poliandri kalii!" Acha melihat tajam kepada Dala.
"Eh...kamu nyindir saya?" Amygdala merasa tersindir saat Acha menyinggung pengkhianatan.
"Siapa yang nyindir? Emang pacarnya selingkuh juga?" Acha malah terlihat penasaran.
"Iya...emang kamu diselingkuhin pacar kamu juga?" Dala malah balik bertanya
"Diih ..ini kenapa malah saling lempar pertanyaan sih! Udah ah..sana pulang! Udah reda hujannya! Harusnya gue kan nangis, melihat pacar selingkuh sama sahabat sendiri. Kenapa ini malah lupa sama sakitnya yaa!" Acha menggaruk kepalanya yang tertutup mukena. Dala mengernyitkan dahinya, mendengar omelan Acha tentang perselingkuhan.
"Jadi dia beneran di selingkuhin pacarnya, makanya dia melamun dan gak sadar jalan di tengah jalan? Haaash...kenapa cerita kita sama yah, Cha?" Dala berkata dalam hatinya.
Amygdala menatap keluar pintu, hujan memang sudah reda. Dia pun memutuskan untuk pulang, badan dan pikirannya sudah merasa lelah. Dia ingin rebahan di atas kasurnya. Amygdala pun pamit pada kedua orang tua Acha.
Bersamaan dengan motor Amygdala meninggalkan halaman rumah Acha, adzan isya berkumandang. Acha yang masih belum batal wudhunya pun langsung melaksanakan sholat isya. Setelah Isya,Acha tidak langsung tidur, dia membawa baju basah di kamarnya untuk dimasukan ke dalam mesin cuci yang ada di kamar mandi luar.
"Laah, baju basahnya si Kampret gak dibawa pulang! Ya udah deh gue cuci sekalian saja." Acha memasukan baju basah Amygdala ke dalam mesin cuci, bersatu dengan baju-bajunya.
"Eh...kenapa berasa jadi isterinya ya...? Ish..ada apa sih ni sama otak gue!" Acha mengetuk pelan kepalanya.
*****
Minggu pagi yang cerah, Acha sudah bersiap dengan training dan kaos panjangnya. Dia memakai sepatu olahraganya, sambil duduk di teras. Pagi ini dia berniat lari pagi di stadion. Semalam saat ada Amygdala dia sama sekali lupa dengan rasa sakitnya melihat perselingkuhan Haidar kekasihnya dengan Isma sahabatnya. Namun pagi ini dia malah ingat kembali bayangan Haidar dan Isma yang berpelukan mesra saat keluar dari hotel. Jadi pagi ini dia memutuskan untuk melupakan semuanya dengan berlari, lari dari kenyataan, eh! Karena masih terlalu pagi, Acha memutuskan untuk berjalan kaki dulu ke stadion yang berjarak kurang lebih 1Km, sambil menikmati segarnya udara pagi. Namun pada kenyataannya bukannya jalan Acha malah lebih memilih mulai berlari, sambil mendengarkan musik melalui earphone yang terpasang di telinganya. Dia berlari tanpa menoleh kanan kiri, hingga tak terasa kini dia sampai di stadion, dia masuk ke dalam stadion, lalu melanjutkan berlari mengitari stadion. Stadion lumayan lari, beberapa orang benar-benar berolah raga seperti dirinya, dan sebagian lagi hanya duduk di tepi sambil makan cemilan menonton kami yang dibanjiri keringat. Dan sebagian lagi berada di lapangan, tapi bukan untuk berolahraga, melainkan mengambil gambar dan videonya sendiri untuk mengisi instastorry.
Sudah hampir lima putaran Acha berlari mengitari lapangan sepak bola ini, kaosnya sudah basah, wajahnya pun sudah dipenuhi butiran keringat. Acha menepi, meluruskan kakinya lalu mengelap keringatnya yang jatuh di pelipisnya.
"Yaah lupa bawa minum lagi!" Acha bergumam sendir. Namun tiba-tiba sebotol air mineral tersodor ke hadapannya. Acha mendongakkan kepalanya, lalu berdiri saat melihat siapa yang ada di belakangnya. Lelaki yang masih menempati hatinya, namun pada sisi yang berbeda. Acha menepuk-nepuk celananya, namun dia tidak menerima botol air mineral yang disodorkan kepadanya.
"Hai...kenapa gak bilang kalau mau joging? Aku kan bisa temenin!" Haidar membuka tutup botol air mineral dan memberikannya pada Acha. Merasa tak enak, Acha pun hanya menerima tanpa berniat meminumnya. Dia menutup kembali botol air mineral itu. Lalu berjalan, Haidar mengernyitkan dahinya melihat sikap Acha yang di mata Haidar masih kekasihnya.
"Sengaja, lagi ingin jalan sendiri aja! Aku gak mau ganggu kesibukan kamu." Acha tak menghiraukan Haidar yang masih mengikutinya di belakang. Melihat sikap Acha, Haidar merasa ada sesuatu yang tak beres.
"Cha...tunggu! Kanu kenapa sih, sinis amat sama aku? Aku bikin salah ya sama kamu?" Haidar menyekal pergelangan tangan Acha. Acha menghentikan langkahnya dan berbalik, dia menelisik wajah kekasihnya yang sudah mengkhianatinya.
" Ya ampuuun, wajahmu itu lho Dar! Watados banget , sampai pengen gue jotos!" Acha hanya menggerutu dibdalam hatinya. Saat melihat tak ada raut rasa bersalah di wajah Haidar.
"Kenapa malah tanya sama aku? Kamu merasa bikin salah gak sama aku?" Acha malah membalikkan pertanyaan. Haidar mengernyitkan keningnya mencoba mengingat tentang kesalahan apa yang sudah dilakukan pada Acha. Tapi dia tak mengingatnya.
"Aku gak tahu,Cha...!" Haidar menyerah, karena dia tak bisa mengingat kesalahannya.
" Ya sudah, kalau kamu tak mengingatnya..!" Acha melanjutkan langkahnya. Dari kejauhan dia melihat Isma sedang duduk sendiri di sebuah bangku. Acha berbalik menoleh kepada Haidar.
"Kamu ke sini, sengaja ketemu aku atau janjian sama orang lain,Dar?" Mendapat pertanyaan seperti itu, jelas membuat Haidar sedikit kikuk. Karena sebenarnya dia memang janjian bertemu dengan orang lain, namun saat dia masuk ke stadion dia melihat Acha yang duduk di tepi lapangan
"Haah ..eh..ya sengaja ketemu kamu lah! Lagi pula janjian sama siapa?" Meskipun berusaha bersikap sewajar mungkin, namun Acha bisa melihat kegugupan Haidar. Acha kemudian tersenyum, dia menarik tangan Haidar dan melingkarkan tangannya di tangan Haidar.
"Ayo kita ke sana...!" Acha berjalan dengan wajah riang, walau hatinya mangkel setengah mati. Mungkin sudah saatnya dia menyudahi hubungan yang memang harus disudahkan. Dan pada hari ini dengan sukarela dia akan menyerahkan Haidar pada sahabatnya.
"Isma, kamu sendirian?" Acha menyapa Isma yang sedang menelpon, dan di saat yang sama nada dering di ponsel Haidar pun berbunyi. Isma mendongakkan kepalanya, dia langsung mematikan ponselnya, dan nada dering di ponsel Haidar pun berhenti. Acha tersenyum smirk.
"Sepertinya Engkau pun meridhoi keputusanku ini, ya Allah! Bismillahirrahmanirrahim...!" Gumam hati Acha.
Baik Haidar maupun Isma, keduanya terlihat gugup dan salah tingkah. Acha malah melebarkan senyumnya, menatap Isma kemudian bergantian menatap Haidar.
"Oooh...ya ampuun! Kalian berdua kenapa sih? kenapa gugup begini, seperti dua orang yang ke gap selingkuh sama salah satu pasangannya! Apa jangan-jangan begitu yah?" Acha mendekatkan wajahnya pada Isma.
" Kamu selingkuh sama Haidar, Ima?" Wajah Isma memucat seketika.
"E-enggak kok...masa aku selingkuh sama pacar sahabat aku sendiri sih!" Suara Isma sedikit bergetar, pun ia tak berani memandang wajah Acha.
"Santai aja, Ma! Kalau emang gak selingkuh mah. Kamu mungkin yang selingkuh,Dar?" Kali ini Acha menatap Haidar dengan lekat, menatap mata yang dia yakin akan meluncurkan kebohongan untuk menyangkal.
"Apa sih, Cha! Gak usah mikir yang aneh-aneh deh!" Haidar menyugar rambutnya. Kelakuan dua orang di hadapannya benar-benar membuatnya muak. Acha menarik nafas panjang.
" Sudahlah...kalian jangan mempersulit diri kalian dengan kemunafikan, gak capek emang menyembunyikan hubungan kalian? Gak usah bersembunyi lagi, gue udah tahu! Kemarin gue lihat kalian berdua keluar dari sebuah hotel, mesra lagi! Kenapa sekarang jauh-jauhan begini?" Acha bersidekap, sambil menyaksikan wajah penuh keterkejutan dari dua orang munafik di depannya. Dia lalu menghadapkan wajahnya pada Haidar.
"Ish...Dar der dor...mulai hari ini, lu gue end!" Ujar Acha santai. Kini dia membalikkan badannya menghadap Isma.
"Dan untukmu Ima, kamu sahabat terbaikku, jadi untukmu kurelakan dia untuk menjadi milikmu seutuhnya! Buruan tobat deh kalian berdua, urus berkas kemudian daftar ke KUA, nanti keburu tekdung, kan kasihan anak kalian nantinya! Udah yah kita selesai, dan kalian berdua silahkan mulai!" Acha berjalan ke depan menuju tukang bubur ayam yang ada di depannya.
"Cha...tunggu!" Haidar memanggil Acha. Namun Acha mengabaikan dia langsung duduk di penjual bubur, di depan seorang lelaki bertopi yang sedang tersenyum.
Melepaskan yang memang tak seharusnya digenggam, akan lebih memudahkan hati untuk rela, meski awalnya terpaksa dan tetap terluka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!