Rina menatap pantulan wajahnya di cermin. Dia meringis mendapati bayangan dirinya sendiri di cermin.
Jelek banget...., keluhnya dalam hati dengan wajah kesal.
Wajah itu tampak kusam, kucel, berjerawat dan pori-pori wajah yang besar. Terlihat sekali bahwa wajah yang ada di dalam cermin itu tak pernah tersentuh perawatan.
Rina kembali menatap nelangsa ke cermin dengan wajah sedih Kesal pada nasibnya sendiri. Bagaimana mau merawat wajah dan membeli skin care yang kata teman - temannya ( itupun kalo mereka mau menganggap dia teman mereka), harganya selangit.
Baru minta uang buat beli lipstik saja suaminya langsung membentak dan mengejeknya sembari mencibir.
"buat apa beli lipstik, kalo wajah sudah jelek mau pake apa aja, tetap saja jelek!" kata Bramantyo, suaminya suatu ketika, saat Rina merengek minta dibelikan lipstik.
Kala itu sedang ada demo kecantikan di rumahnya.
Rina sungguh malu sekali saat itu. Terlebih ucapan suaminya itu di dengar juga oleh tetangga dan wanita cantik yang mendemokan produknya di hadapan rumah tetangganya.
Ingin rasanya saat itu Rina membenamkan wajah ke dasar lautan yang ada di belakang rumahnya saat itu juga.
Sejak saat itu Rina kapok dan tak pernah lagi merengek pada Bramantyo untuk minta dibelikan apapun.
Untuk makan sehari-hari Rina hanya di beri jatah suaminya sebesar dua puluh lima ribu rupiah saja. Itu pun sudah termasuk uang saku untuk kedua anaknya. Satu anaknya sudah duduk di bangku Sekolah Dasar kelas satu.
Rina menghela napas panjang. Suaminya itu memberikan dia jatah dua puluh lima ribu per hari untuk makan mereka berempat. Dan itu harus cukup.
Astaga....Rina kadang tak habis pikir, apa suaminya itu tidak tahu. Berapa harga beras sekilo yang hanya cukup untuk mereka makan sehari, berapa harga ikan...lombok tomat dan juga sayur-mayur.
Apa cukup itu semua hanya dengan uang dua puluh lima ribu rupiah. Sedangkan suaminya itu tidak mau makan dengan cuma lauk tumis kangkung atau sayur bening. Karena hanya kedua jenis sayuran itu yang bisa terjangkau dengan uang belanja mereka.
Jika harga beras yang paling murah saja tiga belas ribu rupiah perkilo, maka sisanya yang dua belas ribu paling hanya cukup untuk membeli tempe atau tahu saja seharga enam ribu rupiah. Sedangkan sisanya kadang untuk membeli lombok dan tomat buat sambal.
Untung saja, kadang di pasar Rina membantu para pedagang di pasar untuk memilah-milah sayuran dengan imbalan sayur - sayuran sisa atau yang tak laku.
Sayuran itulah yang kemudian dia masak menjadi aneka olahan sayuran untuk kemudian dijual kembali. Hasilnya lumayan buat jajan dan uang saku anaknya.
Kadang putranya Rehan sama sekali tak membawa uang saku ke sekolah. Namun anak itu tak pernah mengeluh sedikitpun.
Di usianya yang masih sangat belia itu dia sudah faham akan penderitaan ibunya. Sehingga dia tak banyak menuntut.
Namun justru hal itulah yang membuat Rina miris. Dadanya sesak dan sedih melihat nasib anak - anaknya.
Tubuh Rina kurus dan kurang terawat. Demikian juga tubuh kedua anak - anaknya. Karena mereka kadang hanya makan sekali sehari saja dengan lauk seadanya.
Syukur - syukur jika ada tetangga yang mau berbaik hati memberi mereka ikan segar hasil tangkapan dari laut. Tempat tinggal kami di daerah pesisir, sehingga sebagian besar tetangga mereka hidup dengan menggantungkan hasil laut.
Jika ada tetangga yang memberi mereka ikan, walaupun jumlahnya tidak banyak, Rina sangat bersyukur. Karena uang belanja yang diberikan suaminya bisa di pakai untuk membeli kebutuhan yang lain.
Kadang suaminya mengeluh karena dia jarang sekali membuatkannya minuman di pagi hari. Tyo memang suka sekali minum teh manis hangat di pagi hari plus 'temannya' katanya.
Itu adalah kode keras dari suaminya agar Rina membeli barang satu dua kue jajanan sebagai teman minum teh.
"Aku lihat kalo pagi hari itu istrinya orang bikinin teh hangat atau kopi susu dan juga jajanan untuk suaminya, nah kami, jangankan jajanan dan kopi susu, teh hangat saja jarang. Beli gorengan atau jajanan apa kek, Rin. Aku mau sarapan!" protes suaminya di suatu pagi.
Saat itu pagi hari dan ketika dia bangun tak ada satupun yang bisa ku siapkan untuknya karena aku sama sekali tak memiliki uang sepeser pun untuk membeli gula atau pun kopi sachet, apalagi untuk membeli jajanan..
Rina mengelus dada yang terasa sesak. Jangankan untuk membeli susu, membeli gula setengah kilogram saja yang harganya delapan ribu rupiah dia harus berpikir dua kali.
Maka dengan kesal Rina membuatkan suaminya kopi susu instan yang dia dapat dengan cara ngutang di warung tetangga sebelah.
Belum lagi jika persediaan gas habis. Maka dia harus mati-matian minta tambahan uang belanja pada suaminya supaya bisa cukup buat beli beras dan gas.
"Mas, minta uang buat beli gas! gasnya habis, aku nggak bisa masak, mana anak-anak sebentar lagi pulang. Pasti nanti mereka kelaparan." kata. Rina pada Tyo yang sedang sibuk memainkan gadget miliknya.
Anak-anaknya adalah anak -anak yang baik. Mereka mau mengerti keadaan orang tuanya hingga mereka tak pernah sekalipun mereka meminta uang saku atau uang jajan padanya.
Hatiku perih teriris ketika kulihat tatapan putri kecilku yang menatap penuh damba pada sebutir permen milik temannya atau tatapan iri putraku saat melihat mainan baru milik temannya yang dipamerkan di hadapannya.
"Kamu pake gas boros sekali. Itu kata si Tati, dia pake gas satu tabung untuk dua minggu. Nah, kamu baru beberapa hari sudah habis. Sudah... lebih baik kamu masak pake kayu bakar saja.!" bentak suamiku seraya melempar beberapa lembar lima ribuan ke arahku.
Rina memungut lembaran rupiah itu dengan gusar.
" Yang, kurang sepuluh ribu !" sodornya pada Tyo saat dia selesai menghitung lembaran lima ribuan yang dia lempar tadi.
"Memang berapa harga satu tabung gas isi ulang? tanya Tyo sembari menoleh dengan sebal.
"Harganya dua puluh sembilan ribu, yang! " jawab Rina.
Tyo mendengus kesal sambil kembali membuka dompet dan mengeluarkan pecahan sepuluh ribu rupiah, dan menyodorkan pada Rina.
"Ambil saja kembalinya! " kata Mas Tyo.
Astaga.....suamiku itu matematika nya saat masih sekolah dapat nilai berapa? Uang yang dia berikan padaku jumlahnya sebesar tiga puluh ribu rupiah. Sedangkan harga gas saja dua puluh sembilan ribu rupiah. Berarti sisanya hanya seribu rupiah saja. Dan itu juga masih di perhitungkan oleh Mas Tyo. Rina mengelus dada. Sabar, Rina..., katanya dalam hati.
Tahu apa yang terjadi kemudian, suatu hari Tyo pulang ke rumah sambil membawa sebuah tungku kayu hasil buatan tangannya sendiri.
"Sekarang kamu tak perlu mengeluh lagi karena tidak bisa membeli gas. Masak saja pake kayu bakar! "kata Tyo sambil berlalu dengan muka masam.
Satu hal lagi selama menikah dengan Rina tak pernah sekali pun Tyo bermuka manis pada Rina.
Seakan - akan melihat Rina seperti melihat musuh.
Kadang Rina heran, apa yang telah dia lakukan pada Tyo. Apa salahnya pada suaminya itu, sehingga suaminya itu bersikap demikian..
.
Pernah terlontar dari mulutnya, bahwa dia sangat eneq melihat wajah Rina. Katanya wajah Rina dari hari ke hari makin jelek saja. Kusam dan tak menarik sama sekali.
Dia bahkan membandingkan Rina dengan salah satu istri temannya yang katanya jauh lebih cantik walaupun usianya terbilang lebih tua darinya.
Hati Rina sakit sekali saat mendengar ucapan Tyo. Diam - diam dia menangis sendiri di kamar.
Cacian dan bentakan puas Karina terima setiap hari.
Dia hanya bisa terdiam sambil menyusut air mata, menahan rasa perih di dada setiap mendengar kata - kata kasar dan makian, juga bentakan kasar suaminya.
Tyo adalah tipikal laki-laki kasar dan pemarah. Setidaknya itulah yang bisa dia tangkap dari sikap Tyo padanya selama masa pernikahan mereka yang hampir menginjak usia delapan tahun.
Namun sikapnya berbanding terbalik saat bersama dengan teman - temannya. Dia menjelma menjadi lelaki yang santun dan baik hati. Dia juga disukai oleh banyak orang karena dia suka membantu teman - temannya.
Tapi anehnya jika di rumah seberat apapun pekerjaan Rina , Tyo tak pernah mau membantunya.
"Kerjakan sendiri, matamu buta ya aku baru pulang kerja, aku capek..!" bentak Tyo sewaktu minta tolong untuk mengangkatkan air karena air di rumah sedang mati, sehingga dia terpaksa harus mengangkat air dari sumur tetangga untuk mandi anak - anaknya dan juga Tyo.
Memang pernikahan Rina dengan Tyo bukan karena cinta melainkan atas perjodohan kedua orang tua kami.
Tapi Rina tak mengerti mengapa Tyo masih mau menyentuhnya meskipun Rina tahu sejak awal bahwa Tyo tidak mencintainya.
Bahkan hingga saat ini, pernikahan mereka yang sudah menginjak usia delapan tahun, tapi Rina masih merasa tak berdaya dan tersakiti karena cinta yang tak pernah Tyo berikan padanya.
Meskipun begitu Tyo juga tak pernah berniat untuk menceraikan dirinya.
Satu hal yang Rina syukuri adalah meskipun sikap Tyo yang selalu dingin dan kasar padanya tetapi lelaki itu masih setia padanya meskipun dia tak selalu bisa menjadi yang terbaik .
Entahlah, Rina tak tahu apakah dia mesti bersyukur atau malah sebaliknya.
Hari ini seperti biasa, pagi - pagi sekali Rina sudah bangun dan langsung berkutat dengan pekerjaan dapur.
Dia menyiapkan sarapan ala kadarnya untuk suami dan anaknya.
Beruntung karena semenjak wabah corona yang melanda negeri ini, kegiatan sekolah anak - anak sebagian besar hanya melalui online. Kalau pun ada kegiatan belajar dan mengajar, jumlah waktunya di batasi.
Hari ini, kebetulan anak sekolah disuruh belajar online. Jadi dia tak perlu repot - repot untuk mengantar putranya Rehan ke sekolah.
Tyo sudah sejak tadi berangkat ke tempat kerja. Tinggal dia hanya berdua saja dengan putri bungsunya Arsy yang baru berusia lima tahun. Sedangkan Rehan bermain di luar.
Rina sedang membereskan kamar tidur yang hanya berukuran dua kali tiga meter. Di kamar inilah, mereka harus tidur berdesak-desakan.
Kadang-kadang anak - anaknya lebih memilih untuk tidur di ruang tamu yang juga sekaligus berfungsi sebagai ruang makan dan juga dapur daripada tidur di kamar ini.
Maklum rumah yang mereka tempati hanyalah rumah petakan yang terdiri dari satu ruang tamu merangkap dapur dan satu kamar tidur.
Sudah delapan tahun berumah tangga dengan Bramantyo, belum ada terbersit sedikit pun keinginannya untuk membuatkan sebuah rumah untuk Rina dan juga anak-anaknya.
Jika di tanya soal itu, jawabannya selalu sama, belum ada dana untuk membeli tanah dan membangun rumah, ucapnya.
Padahal, menurut teman - teman Tyo yang sama - sama bekerja dengan suamiku itu, setiap bulannya, Tyo bisa terima sampai sepuluh hingga dua belas juta rupiah. Itu juga belum terhitung bonus dan lemburan.
Rina hanya bisa mengelus dada menghadapi perlakuan suaminya itu.
Tangannya menyentuh sesuatu. Sebuah benda berbentuk segi empat dan pipih tergeletak di bawah bantal tidur yang di pakai oleh Tyo semalam.
" Oh, ini hape Mas Tyo. Sepertinya mas Tyo lupa membawa hapenya karena tadi buru-buru berangkat kerja." ucapnya dalam hati.
Rina meletakkan sembarangan handphone suaminya itu. Dia tak terlalu memperdulikan handphone suaminya yang tertinggal karena berpikir paling juga sebentar lagi dia akan kembali untuk mengambil handphonenya yang tertinggal tadi.
"Mah, handphone papah ketinggalan." kata Arsy sambil menunjuk ke handphone yang kini sudah berpindah di atas kasur.
"Iya, sayang. Biarkan saja. Paling juga sebentar lagi papah Arsy pulang untuk mengambil hapenya yang ketinggalan." ucapnya pada putrinya itu.
Sebuah panggilan whatsapp mendadak masuk melalui handphone suaminya.
Rina kaget sekaligus juga bingung harus bagaimana.. Apa dia harus mengangkatnya.
Tertulis sebuah nama ' Rindu'' di sana. Siapa Rindu..? Apa dia teman suaminya. Tapi masa teman kerja Tyo ada yang cewek. Karena setahunya Tyo kerja di proyek. Yang jelas jarang sekali ada pekerja proyek untuk cewek. Jadi sudah dapat di pastikan Rindu itu bukan teman kerja suaminya.
Dengan tangan gemetar, dia menekan tombol berwarna hijau di layar handphone suaminya.
Sebuah suara wanita yang tak dikenal terdengar marah - marah saat Rina mengangkat telepon.
"Mas, kamunya kapan mau ke rumah aku. Dari kemarin bilangnya mau ngelamar aku. Tapi sampai sekarang kamu belum datang - datang juga. Aku capek mas.... orangtuaku nanyain masalah ini terus....!"
Rina terdiam tak tahu harus bagaimana. Dia juga bingung harus menjawab apa. Rina tak berani menjawab perkataan wanita itu di telepon karena takut ketahuan.
" Mas, kamu kok diam saja? jawab dong mas, .... mas.! " karena kesal tak di jawab juga olehku, wanita yang bernama Rindu itu akhirnya menutup telepon dengan kesal.
Rina menarik nafas, lega. Tidak ... bukan lega. Lebih tepatnya terkejut dan juga kecewa. Tapi dia masih belum sepenuhnya percaya. Ini kenyataan atau cuma mimpi.
Lelaki itu ternyata sudah mengkhianati dirinya. Ada sebongkah perih yang menohok hatinya. Itulah yang dinamakan kecewa. Ya.. Rina kecewa karena merasa sudah di khianati, di bohongin mentah - mentah suaminya.
Tadinya Rina berpikir masih beruntung walaupun perlakuan Bramantyo padanya demikian buruk, tapi Bramantyo masih lagi setia dan tidak selingkuh.
Tapi nyatanya, lelaki itu juga tega berkhianat. Dia selingkuh dengan wanita lain. Rina menangis diam- diam sambil tangannya sibuk merapikan seprai tempat tidur.
Sayup-sayup terdengar suara motor Bramantyo berhenti di depan rumah. Tepat seperti dugaannya, Tyo pasti kembali lagi untuk mengambil handponenya yang tadi ketinggalan di bawah bantal.
Cepat - cepat Rina menyeka air mata dan meletakkan handphone suaminya di atas lemari. Lalu buru - buru mengambil sapu dan pura-pura terlihat seperti sedang sibuk menyapu dan membersihkan rumah.
"Rin, Rina. Kmu tadi liat handphone aku, nggak? "
"Oh ya, itu. Hape mas ada di atas lemari. Tadi ada panggilan masuk, tapi aku tak tahu dari siapa. Soalnya saat mau ku angkat sudah keburu di matiin." jawabku.
Diam-diam Rina menyapu sisa air mata di pipi. Lalu beranjak pergi ke dapur.
Sejenak wajah Tyo berubah. Rina dapat melihat melalui ekor matanya ada kecemasan yang tertangkap di wajah Tyo. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
"Panggilan dari siapa, Rin? " tanya Tyo dengan wajah cemas. Mungkin dia curiga jika Rina sudah mengangkat telepon dari wanita yang bernama Rindu itu.
"Ehh, kurang tau, mas. Habisnya tadi Rina buru - buru lagi masak nasi. Jadi nggak terlalu memperhatikan siapa yang melakukan panggilan." Bohong Rina.
Entah dapat ilham dari mana, ketika itu Rina dengan lancarnya berkata bahwa dia tidak tahu siapa yang telah menelpon Tyo.
Sekali lagi, Tyo membuka panggilan telepon. Ada sebuah panggilan masuk dari nomor yang sangat dikenalnya melalui whatsapp. Keningnya mendadak berkerut.
"Tapi panggilan ini agak lama. berarti kamu sudah menerima telpon dari wanita, eh.... orang ini. Itu artinya kalian sudah saling ngobrol, dong.! " Kata Tyo lagi.
Apa tadi... dia kelepasan menyebutkan wanita lalu berubah menjadi kata 'orang', pikir Rina.
"Oh, jadi yang nelpon tadi itu seorang wanita, ya? "tanya Rina iseng memancing reaksi suaminya.
" Eh, bukan. Ini Reno. Iya ini telepon Reno, teman aku. Biasa ada bisnis kecil - kecilan." kilah Tyo, wajahnya memerah mungkin takut ketahuan bohong atau salah tingkah.
"Ooh, pantesan waktu di angkat, dia nggak menjawab, ....diam aja. Mungkin dia kira salah sambung kali, Mas!" kata Rina sambil kembali meneruskan pekerjaan di dapur.
Rina tersenyum tipis, hatinya sakit.. tega kamu mas. Selama ini kamu sudah bohongin aku, keluh Rina dalam hati.
" Ya, udah. Mas kembali dulu ke kantor. Oh, ya... ini uang belanja kamu. Mas tadi juga kelupaan ngasih ke kamu." Lelaki itu kemudian menyodorkan selembar pecahan dua puluh dan lima ribuan.
Seperti biasa, Rina tak menolak pemberian nafkah dari suaminya itu. Dia tak mau dibilang istri yang tidak pandai bersyukur, karena masih untung di beri jatah uang belanja.
Walaupun kecil tapi yang pasti, bisa di gunakan untuk menopang isi perutnya dan anak-anak.
Selepas kepergian Tyo, Rina menutup pintu dan menangis sepuasnya di bawah bantal. Kata-kata wanita itu masih terngiang jelas di telinganya.
Ada hubungan apa suaminya dengan wanita itu. Mengapa wanita itu sampai bisa berkata seperti itu
Benarkah semua perkataan wanita yang bernama Rindu itu bahwa suaminya sudah berjanji ingin menikahi wanita itu.
Rina benar-benar bingung dan juga sedih. Jika benar perkataan wanita itu. Itu berarti selama ini suaminya itu telah berselingkuh dan mengkhianati dirinya.
Rina mengurut dada yang terasa perih menyadari kalau selama ini dia telah dibutakan oleh cinta dan pengabdian yang bodoh. Suaminya telah berkhianat dan menzhalimi dirinya. Dan baru sekarang dia mengetahuinya. Sungguh Rina sangat terpukul dengan kenyataan itu.
Hatinya seperti m di remas-remas. Terasa sakit walaupun tak berdarah. Puas menangis seorang diri di kamar sampai dia lelah sendiri. Cukup lama Rina menangis sampai dia mendengar tangisan Arsy. Sepertinya putri kecilnya itu baru saja berantem dengan teman sepermainannya.
Buru - buru Rina bangkit dari kasur dan melangkah ke kamar mandi untuk menyeka wajahnya yang terlihat sembab dengan air.
Sekilas Rina sempat melirik pantulan wajahnya di cermin. Wajah itu terlihat kuyu dan kusam. Ditambah sembab karena habis menangis, benar-benar tidak sesuai dengan peribahasa istri adalah perhiasan suami.
Perhiasan apa yang bentuknya kusam, kucel, sembab, dan tak terawat seperti ini, keluhku dalam hati. Lalu diapun mendatangi Arsy yang masih saja menangis.
“Adek, kenapa nangis…? ” Tanya Rina pada putri kecilnya itu.
“Anies, Mah. Anies nggak mau teman sama Arsy " Jawab Arsy
“Kenapa Anies nggak mau temanan sama Arsy..?” Tanya Rina lagi.
“Karena kata Anies Arsy itu orang miskin dan bajunya jelek ”Jawab Arsy dengan lugunya.
Masya Allah, mereka jahat sekali. Arsy yang malang harus juga merasakan hinaan karena keadaan kami yang miskin, rintih Rina dalam hati.
Rina memeluk Arsy dan membujuknya agar berhenti menangis. Setelah itu dia mengajaknya pergi ke pasar. Seperti biasa siapa tahu saja dia bisa dapat rezeki dengan mengais sisa sayuran untuk dijadikan olahan sayur matang.
Pukul 10.30, seperti biasa Rina sudah pulang dari pasar. Rina pulang sekalian menyempatkan diri untuk menjemput Rehan di sekolahnya.
Sesampainya di rumah Rina pun bergegas beranjak ke dapur untuk memasak dan menyiapkan makan siang untuk mereka semua.
Saat ini Rina masih bersabar dan menahan diri. Dia mencoba untuk bersikap biasa saja terhadap Tyo, terutama di depan anak - anak walaupun kini dia tahu bahwa Tyo memiliki hubungan dengan wanita lain di luar sana.
Selesai memasak dan memberi makan Rehan dan Arsy. Tak lupa juga dia menyiapkan makan siang untuk Tyo. Biarpun marah dan kecewa dengan perlakuan Tyo, namun dia tak ingin melalaikan kewajiban sebagai istri.
Kurang dari pukul 12.00 Bramantyo pulang. Seperti biasa, Rina tetap melayani suaminya itu selayaknya seorang istri.
Rina menyambut Tyo dan membukakan pintu untuk suaminya tersebut. Dia juga masih menyiapkan makan siang untuk Bramantyo.
Dengan sabar Rina mengambilkan nasi beserta lauk pauknya untuk Tyo. Hanya saja, kali ini dia melakukan semua itu tanpa banyak bicara lagi seperti biasanya. Juga tanpa senyum.
Sikap dinginnya itu sedikit membuat Tyo heran. Menyadari tak seperti biasanya Rina diam seperti ini membuat Tyo langsung bertanya.
“Ada apa..?” Tanya Tyo dengan wajah kaku.
“Ngak ada apa - apa, Mas. Aku hanya sedikit lelah saja.” Jawab Rina.
Tyo mencibir mendengar jawaban Rina.
“Lelah apa.? Orang kamu kerjanya di rumah hanya masak dan ngurus anak. Banyak wanita di luar sana yang harus bekerja dan mengurus rumah tangga serta anak - anaknya, tapi mereka tak pernah mengeluh. Kamu saja yang tidak becus dan lembek. Dasar perempuan tak berguna. Begitu saja sudah mengeluh…” gerutu Tyo sambil berlalu dari hadapan Rina.
Rina hanya bisa menggeleng kepala dan mengurut dada menahan perih yang menusuk di hatinya.
Begitulah Tyo, tak pernah bermulut manis kepada Rina. Dimatanya apapun yang Rina lakukan selalu salah dan selalu saja tak pernah baik.
Sakit rasanya karena selalu di banding - bandingkan dengan perempuan lain. Dikatakan perempuan tak berguna. Jika memang tak berguna mengapa Mas Tyo masih mempertahankan hubungan ini. Apa maksud Mas Tyo sebenarnya, itulah pertanyaan yang sering muncul di dalam hati Rina.
Sejak menemukan fakta bahwa Tyo berselingkuh di belakangku, aku mulai bersikap dingin terhadap Tyo.
Dan sikap Tyo pun juga semakin kasar saja padaku dan juga kepada anak-anak.
Biasanya walaupun marah padaku, tapi dia tak pernah kasar pada anak-anak kami. Tapi sekarang, sikap Mas Tyo sudah berubah. Kini sikap kasar Mas Tyo juga ditujukan pada anak-anak kami terutama pada Rehan, putra tertua kami.
Pernah suatu hari, Mas Tyo marah besar karena dia harus dipanggil menghadap ke sekolah Rehan sebab putraku itu terlibat perkelahian dengan teman - temannya.
Mas Tyo marah besar. Dia memukuli putraku itu habis - habisan. Aku pun mati - matian membela putraku itu walaupun tubuhku harus babak belur karena jadi tameng untuk melindungi putraku dari kemarahan Mas Tyo yang kalap.
Itulah kali pertama Mas Tyo menjatuhkan tangan kepada anak-anak. Rasanya aku tak percaya bahwa Mas Tyo akan setega itu pada darah dagingnya sendiri.
Padahal dia sudah mendengar sendiri alasan mengapa putraku itu sampai berkelahi dengan temannya.
***
"Kamu, ….kenapa lagi..Sejak tadi kok diam saja...? Apa ada masalah sama anak - anak. Rehan berkelahi lagi di sekolah...?" Tanya Tyo ketus dengan mata melotot menatap Rina. Dia bertanya seperti itu karena melihat sikap Rina yang sejak tadi tak ada suara dan berdiam diri saja ketika melayaninya di meja makan.
Rina menjawab dengan lesu.
"Nggak, Mas. Nggak ada apa - apa. Mas Tyo kan tahu kalau Rehan itu anak yang sabar. Kemarin itu dia sampai berantem dengan temannya karena tak terima di ejek." jawabku.
Baru saja diejek begitu saja sudah marah, Dasar anak kamu saja yang pemarah.…? sentak Tyo dengan nada tinggi.
“Mas bukan aku ingin membela putraku Tapi jika di ejek seperti itu siapapun orangnya pasti marah " Ucap Rina.
"Memangnya di ejek apa sih anak kamu itu sampai segitu marahnya..? Tanya Tyo seraya mencibir.
Rina menggelengkan kepala.Ternyata Tyo tak menyimak ucapan Rehan saat di tanya oleh kepala sekolahnya kemarin.
“Mas Tyo, Rehan itu tak terima di ejek temannya yang mengatakan bahwa dia gembel dan tak pantas sekolah di sana.”
Tyo berdiri dan beranjak pergi meninggalkan meja makan karena sudah selesai makan. Terdengar gerutuan kesal dari Tyo. "Anak sama ibunya sama saja. Sama - sama tak berguna..."
Astaghfirullah, tega banget Mas Tyo ngomong seperti itu. Apalagi saat itu Rehan juga ada di sana. Putraku itu sedang mengerjakan tugas sekolahnya. Rina mengelus dadanya mendengar ucapan suaminya.
"Kamu itu tak becus mendidik anak.. Lihat anak - anak kamu, kurus dan lusuh seperti gembel. Wajar saja mereka mengatakan anak kamu seperti gembel. Apa saja kerjamu di rumah, cuma makan tidur saja, anak - anak nggak diurus..?"
"Mas, kamu kok ngomong seperti itu. Aku mengurus semua anak - anakku dengan baik. Pakaian mereka lusuh karena memang mereka tak punya pakaian yang layak. Mas tak pernah memberi uang lebih untuk membeli pakaian anak - anak kecuali lebaran." ucapku.
Tyo terdiam mendengar ucapan Rina. Tumben banget hari ini Rina membalas ucapan Tyo yang menyakitkan hati. Padahal biasanya dia hanya diam saja.
Memang benar apa yang aku katakan. Semenjak menikah, Mas Tyo tidak pernah membelikan aku dan anak - anak kami pakaian kecuali lebaran. Itupun hanya pakaian anak - anak saja yang dia belikan saat lebaran. Untuk aku, Mas Tyo tak pernah membelikan pakaian. Alasannya, baju lama aku masih banyak dan masih layak pakai. Lagi pula, kata Mas Tyo aku juga nggak kemana-mana selain hanya di rumah.
Padahal, baju yang kupakai itu adalah baju - baju bekas pemberian tetangga yang iba melihat kami. Juga baju - baju yang di pakai oleh anak-anak. Semua itu adalah baju - baju bekas pemberian tetangga kami.
"alahhhh, banyak alasan.. jangan menjelekkan aku di depan anak - anak, Rina. Masih untung aku membelikan mereka pakaian. Kamu memang perempuan yang tak tahu diri. Sudah di kasih makan dan uang belanja masih saja tak berterima kasih." bentak Tyo.
Dia lalu menyambar sepatu dan tasnya lalu bersiap - siap untuk kembali bekerja.
"Sudahlah, aku mau kembali kerja. Pusing kepalaku jika di rumah. Lihat mukamu aku jadi malas untuk istirahat di rumah." Kata Tyo. Dia pun bergegas pergi. Entah mau kembali ke kantor atau kemana. Karena jam istirahat kerja masih lama.
Sepeninggal Mas Tyo, aku hanya bisa mengurut dada. Sakit hatiku diperlakukan seperti ini oleh suamiku sendiri.
Di caci maki aku puas dan terima. Di salahkan karena nggak becus jadi istri aku juga terima. Karena aku menyadari, aku wanita bodoh. Tak punya sekolah yang tinggi. Aku sekolah hanya sampai bangku SMA saja. Tapi ketika aku di khianati, aku tak bisa terima. Hatiku sakit. Seperti luka yang siram cuka.
Aku tak tahu bagaimana caranya agar hati ini bisa tenang kembali. Rasanya serba salah. Tubuhku bergetar, jika mengingat perkataan wanita itu. Semakin sakit saja ketika aku mengingat kembali semua perlakuan kasar Mas Tyo padaku.
Apa salahku, mengapa Mas Tyo tega memperlakukan aku seperti ini. Jika memang dia tak menginginkan pernikahan ini, kenapa dia tidak menolakku saja.
Dia tega mengkhianati aku setelah sekian lama memperlakukan diriku dengan kasar seperti pembantu. Ternyata ini yang aku terima setelah sekian lama menjadi istri yang tak pernah dihargai.
***
Hari ini seperti biasa Rina pergi ke pasar untuk menjual sayur olahan dan juga membantu orang - orang di pasar.
Sepulang dari pasar dia menjemput Rehan. Sebelum pulang ke rumah Rina singgah dulu ke rumah Amel, tetangganya.
Anak-anaknya dia biarkan saja bermain, sementara dia membantu Amel membereskan beberapa pekerjaan rumah dan mencuci beberapa lembar pakaian Amel, suami, dan Tasya, bayi mereka.
Lalu saat pulang, biasanya Amel akan memberinya sejumlah uang. Kadang lima puluh ribu rupiah kadang juga kurang. Tergantung banyak sedikitnya pekerjaan yang dia kerjakan. Kata Amel uang itu sebagai pengganti uang lelahku.
Aku bersyukur sekali atas pemberian itu. Lumayan.... buat jajan anakku. Sebagian kusimpan buat cadangan jika ada keperluan yang mendadak.
"Rina, kemana saja kamu seharian? Rumah di biarkan berantakan, nggak diurus. Kerjamu hanya keluyuran saja, nggak jelas. Dasar istri nggak berguna!" bentak Tyo sesampainya Rina dan anak-anak di rumah.
Rupanya suami Rina itu sudah pulang sejak tadi. Rina heran, mengapa Tyo marah - marah dan mengatakan kalau rumah berantakan karena tak keurus, padahal tadi saat keluar rumah dia sudah membereskan semua pekerjaan rumah dan memasak makanan.
Rina buru - buru melangkah masuk ke kamar. Ya ampun.. pantas saja mas Tyo marah - marah. Karena kamar tidur mereka lebih mirip kapal pecah. Kasur yang tadinya tertata rapi, kini berantakan dengan bantal guling kesana kemari.
Rina bergegas merapikan kembali tempat tidur mereka yang berantakan. Dia memungut bantal guling yang berhamburan di lantai. Tanpa sengaja netranya menangkap sesuatu yang teronggok di lantai di dekat kasur tempat tidur mereka.
" Apa ini?" pikirnya seraya memungut benda kecil itu.
"Astaghfirullahalazim!" Pekik Rina seraya menutup mulut. Matanya berkaca - kaca menatap benda berbentuk segitiga itu dengan tatapan tak percaya dan juga hati yang terluka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!