Tumbuh tanpa sosok seorang Ayah menjadikan Safira sosok gadis yang kuat dan pantang menyerah. Membangun mental baja sejak dini telah diajarkan oleh sang ibu agar dirinya mampu menghadapi setiap cobaan yang akan ia lewati.
Jika ditanya apa Safira tidak memiliki seorang laki - laki yang disebut sebagai Ayah. Maka jawabannya tentu saja punya.
Atau jika ada yang bertanya apa ia hadir dari sebuah perbuatan yang terlarang ? Jawabannya tentu saja tidak.
Safira hadir karena sebuah ikatan antara sepasang makhluk Tuhan yang memiliki rasa yang sama. Hanya keadaan yang membuat dirinya harus mengalami sakitnya rasa tak dianggap oleh orang yang ikut andil dalam menghadirkannya.
Belasan tahun membiasakan diri tanpa sosok Ayah, tak membuat Safira lupa bagaimana rupa ayah biologisnya. Meski sekarang ia telah memiliki keluarga baru yang lengkap, namun sosok ayahnya tetap memiliki ruang tersendiri dihatinya.
"Ngelamun mulu anak gadis"
Suara lembut yang selama ini menemaninya tumbuh menjadi remaja cantik terdengar ditelinganya. Safira mengulas senyum manis pada sosok wanita yang telah melahirkannya itu.
"Cuma lagi inget sama beberapa tugas aja, Bun. Kemaren kayaknya udah aku kerjain semua, sih sebelum pulang. Tapi tetep aja rasanya ada yang kurang", ucap gadis cantik itu sambil merangkul lengan sang ibu yang sudah duduk tepat disebelahnya.
Ibu dari tiga anak itu mengusap lembut lengan putri semata wayangnya. "Nanti kamu tanya aja lagi sama temen kamu. Biar kamunya bisa lega. Kamu pulang 'kan buat liburan. Bukan buat melamun kayak gini. Bunda gak suka ngeliatnya", ujarnya sambil menjawil dagu putrinya.
Safira terkekeh pelan. Perlakuan sang ibu padanya tidak pernah berubah sejak dulu. Meski sekarang ia bukanlah anak satu - satunya dari wanita itu. Namun kasih sayang yang wanita itu berikan padanya tak pernah berubah.
"Sayang banget, deh, sama Bunda. Kalo udah balik kesana mana bisa Fia kayak gini", cicit gadis cantik itu semakin mengeratkan pelukannya dilengan sang ibu.
"Gak pengen ketemu ayah ?", tanya sang ibu membuat gadis itu mengurai tangannya.
Safira menghela nafas pelan. Sejujurnya ia malas untuk bertemu dengan ayahnya. Namun kejadian dihari ulang tahunnya itu membuatnya harus berpikir ulang untuk menemui mantan suami ibunya.
"Nanti Fia pikir - pikir lagi, deh, Bun. Fia masih kesel sama ayah", sahutnya dengan wajah yang mulai cemberut.
"Wajar kalo kesel. Tapi jangan lama - lama. Nanti kamu malah lupa untuk ngomongnya", ucap Risa mengingatkan putrinya.
"Trus kalo soal Arsena gimana, Bun ? Apa tanya ke ayah juga ?"
Gadis cantik itu menatap sang ibu penuh tanya. Satu fakta lagi yang baru ia ketahui. Ternyata selain merahasiakan dirinya dari pihak keluarga sang ayah, keluarga tersebut juga memiliki anak yang dirahasiakan juga.
"Bunda gak tahu pasti, sih. Tapi yang jelas, Arsena itu masih ada hubungannya dengan Ayah. Entah itu adiknya atau sepupunya", jelas Risa yang memang belum sepenuhnya tahu tentang keluarga mantan suaminya itu.
Safira menghela nafas pelan. Terlalu rumit hubungan keluarga yang dimiliki sang ayah. Entah berapa pria lagi yang akan ia temui yang masih memiliki hubungan dengan sang ayah. Yang jelas mulai saat ini ia harus mulai menjaga jarak dengan dua pria yang telah hadir dalam hidupnya.
"Jangan terlalu dipikirkan. Semua pasti ada jalan keluarnya", ucap Risa kembali mengingatkan putrinya.
Safira tersenyum hangat pada sang ibu. Tentu ia percaya ucapan ibunya itu. Biar bagaimana pun sampai ia sebesar ini, Ibunyalah yang selalu memberinya kasih sayang dan perlindungan.
Safira menatap pantulan dirinya melalui cermin. Ia memakai kaos oversize warna pink dengan celana bahan warna hitam. Tak lupa membalut kakinya dengan sneakers warna putih. Wajahnya hanya dihias dengan make up tipis dengan sebagian rambutnya yang di cepol.
Hari ini gadis cantik itu akan berkunjung ke Toko Roti untuk menggantikan ibunya. Membiarkan wanita yang telah melahirkannya itu untuk beristirahat dirumah bersama dengan para adiknya.
"Bunda... Fia berangkat sekarang, ya", ucap gadis cantik itu seraya menuruni anak tangga.
"Kak Fia mau kemana ?", tanya si bungsu yang langsung mendekati kakaknya.
"Kakak mau ke toko. Sekalian mau bikin kue disana bareng Tante Lisa", jelasnya sambil menjawil kedua pipi gembul bocah laki - laki tersebut.
"Kay boleh ikut ? Boleh, ya, Kak ?", rengek Skye dengan wajah melasnya.
Safira menatap sang ibu untuk meminta persetujuan. Setelah mendapat anggukan dari ibunya, kini pandangan gadis cantik itu beralih pasa bocah laki - laki yang ada disebelah sang ibu.
Bocah laki - laki itu menghela nafas pelan. "Yaudah, sih kalo Skye mau ikut. Abang dirumah aja sama Bunda. Lagian nanti ada Shafiq yang mau kesini. Jadi abang punya temen," ucapnya santai.
Safira mengulas senyum manisnya. Ia menggamit tangan mungil adik bungsunya dan berjalan mendekati ibu dan adiknya.
Cup.
Safira mencium kedua pipi adiknya.
"Baik banget abang Sean. Padahal Kak Fia mau ajak abang ikut tadi," ucap gadis itu menggoda.
"Gak usah, deh, Kak. Abang dirumah aja sama Bunda. Mending Skye aja yang ikut. Skye 'kan suka makan kue. Abang gak apa - apa, kok dirumah sama Bunda", sahut anak laki - laki yang baru saja merayakan ulang tahun kelimanya itu.
Safira mengacak rambut sang adik gemas. Lalu ia mengulurkan tangannya pada sang ibu untuk berpamitan. "Fia pergi dulu, ya, Bun. Skye salim Bunda juga, dong."
Dengan patuh bocah tiga tahun itu meraih tangan sang ibu dan mencium punggung tangannya. "Kay pergi dulu, ya, Bun"
Risa mengusap lembut pucuk kepala anak bungsunya. "Iya, sayang. Jadi anak baik, ya. Nurut apa kata Kakak. Oke ?"
"Oke, Bunda", sahut si kecil Skye dengan penuh semangat.
"Pergi sama Pak Alif 'kan ?", tanya Risa memastikan.
Safira menganggukan kepalanya. "Iya, Bun. Fia 'kan belum punya SIM untuk nyetir sendiri", ucapnya sambil menerbitkan senyum manisnya.
"Yaudah. Kalian hati - hati, ya. Kabari Bunda kalo ada apa - apa," ucap Risa.
Ia mengantarkan kedua anaknya sampai keluar. Setelah memastikan keduanya masuk kedalam mobil dan melesat pergi, barulah Risa kembali masuk ke rumahnya.
***
"Hai. Kamu Sean 'kan ?"
Merasa diajak bicara, bocah laki - laki yang tengah menikmati cheesecake tersebut lantas mendongak. Ia menatap lekat pria yang mengenakan seragam putih abu-abu tersebut. Wajahnya begitu asing untuknya.
"Bukan," sahut bocah itu acuh. Ia kembali menikmati kuenya sambil sesekali melirik kearah pria dihadapannya.
"Masa, sih, bukan ? Kita pernah ketemu loh dirumah kamu. Masa kamu lupa. Ini Mas Adit, loh", ucap pria itu membuat bocah laki - laki itu melayangkan bombastis side eyes nya.
"Dikasih tau, kok ngeyel," gumam bocah laki - laki itu dengan wajah tak sukanya.
Adit tertegun sejenak. Ia memperhatikan lagi wajah anak laki - laki dihadapannya. "Iya, kok, bener," gumamnya pelan.
"Kamu adiknya Fia 'kan ?", tanya Adit memastikan.
Memang baik Adit, Aqilah dan juga keluarganya tak tahu mengenai adik bungsu Safira. Mereka hanya tahu jika gadis itu memiliki satu adik, yaitu Sean.
"Hm"
Adit sedikit terkejut dengan jawaban anak laki - laki tersebut. Sangat dingin dan ketus. Ia menghela nafas pelan lalu mencoba mengulas senyuman.
"Nama kamu siapa ?"
Belum sempat bocah laki - laki itu menjawab, terdengar suara sapaan dari arah samping mereka.
"Loh. Adek sama siapa, nih ?"
Kedua laki - laki beda generasi itu lantas menoleh saat sebuah suara yang begitu lembut menyapa mereka.
"Fia...," panggil Adit dengan mata yang berbinar cerah.
"Oh, hai, Adit. Lagi disini juga ?", tanya Safira sedikit canggung.
Bibi pria itu melengkung sempurna. "Iya. Kebetulan banget, ya, kita ketemu disini. Kamu mau beli kue juga ?"
"Ha ?"
Safira sedikit kaget dengan pertanyaan Adit hingga ia terlihat bingung harus menjawabnya.
"Mau beli kue ? Kak Fia mau buat kue disinilah. Apaan, sih ?"
Skye yang kesal langsung menyahuti Adit dengan ketus. Entah kenapa anak laki - laki tampak tak suka dengan keberadaan Adit disana.
"Mau buat kue ? Emang kamu kerja disini, Fi ?", tanya Adit yang bingung.
Skye berdecak kesal. Ia meletakkan asal sendok kuenya ke piring hingga bunyi dentingan.
"Kamu gak tau, ya kalo toko kue ini punya Bunda ? Ngapain juga Kak Fia kerja disini. Kak Fia disini lagi belajar resep baru, tauk"
"Dek...," tegur Safira sambil mendekat pada sang adik. "Gak boleh gitu, ih. Gak sopan namanya"
Safira mencoba memberi pengertian pada sang adik. Ia dapat melihat jika adik bungsunya itu tampak tak suka dengan Adit.
"Maaf," cicit bocah tiga tahun itu seraya menatap Adit.
Adit tersenyum lembut lantas mengangguk. "Iya gak papa. Tadi namanya siapa ?"
Skye melirik sekilas sang kakak, lalu menatap pria yang ada dihadapannya. "Cekay"
"Oh, namanya Cekay." ucap Adit mengulangi.
Skye mendengus kesal. "Cekay cekay", gerutunya pelan.
"Namanya Skye, Dit," ucap Safira membenarkan nama sang adik.
"Oo. Namanya Skye. Maaf, ya. Mas Adit salah sebut," ucapnya tulus. Ia kemudian beralih pada Safira. "Oh, iya, Fi. Kamu udah siap buat kuenya ? Mau ngafe bareng aku, gak ?"
"Kay mau pulang"
Safira menoleh pada sang adik. Dilihatnya wajah Skye yang tampak lesu. Lalu pandangannya beralih pada pria dihadapannya. "Maaf, ya, Dit. Kayaknya gak bisa, deh. Soalnya ini waktunya Skye tidur. Aku harus bawa dia pulang." ucapnya.
Adit memaksa senyumnya. Sejujurnya ia merasa kecewa dengan penolakan yang diberikan oleh Safira. "Yaudah, gak papa. Tapi lain kali harus mau, ya ?"
Safira hanya mengulas senyum. Ia enggan memberikan jawaban pada adik seayahnya itu. Biar bagaimanapun sikap Adit padanya bukan sikap seorang adik pada kakaknya. Melainkan sikap seorang pria terhadap wanita yang disukanya.
"Aku gak janji, ya, Dit."
Senyum Adit memudar perlahan. Namun ia tetap menganggukkan kepalanya untuk memaklumi.
"Kalo gitu aku pamit dulu, ya."
Safira langsung membawa Skye dalam gendongannya. Lalu berjalan keluar menuju parkiran tempat dimana Pak Alif berada.
Adit hanya memandangi punggung gadis yang ia sukai sejak kecil. Rasa sukanya telah berubah menjadi sayang seiring berjalannya waktu. Ia bahkan sudah sering mengungkapkan perasaannya itu pada Safira meski tak pernah mendapat jawaban dari gadis cantik itu.
"Aku akan berjuang lebih keras lagi, Fi"
Sudah hampir dua minggu Safira berada di rumah. Gadis yang baru saja menginjak usia tujuh belas tahun itu selalu menyempatkan diri untuk ke Kafe, Toko Roti, bahkan ke Resto milik ayah sambungnya untuk sekedar memeriksa laporan ataupun menyapa para karyawan yang telah lama bekerja disana.
Dan hari ini, untuk pertama kalinya, Safira menghubungi ayah biologisnya untuk bertemu. Ia harus bisa menuntaskan rasa penasarannya tentang seluk beluk keluarga dari pihak ayahnya.
Beberapa kali Safira menghubungi pria itu namun tak kunjung mendapat jawaban. Padahal ia sudah menyemangati dirinya sendiri untuk bisa bertemu dengan ayah kandungnya.
"Selalu aja kayak gini. Harusnya aku gak perlu menaruh harapan terlalu tinggi ke Ayah."
Safira memandangi layar ponselnya yang menunjukkan panggilan dengan nama sang Ayah tertera disana.
"Apa aku dateng aja, ya ke rumah Aqilah." ucapnya bermonolog. Namun sedetik kemudian ia menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak, enggak. Nanti aku bisa ketemu Adit dan dia langsung ke Ge-eran. Itu gak boleh terjadi."
Safira mengedarkan pandangannya. Saat ini ia tengah berada di salah satu Kafe yang ada di mall. Sengaja memilih tempat itu karena ia juga ingin membeli sesuatu untuk kedua adiknya.
Matanya memicing saat melihat sosok yang sangat dikenalnya. Ia mengerjap beberapa ki untuk memastikan bahwa yang dilihatnya tidaklah salah.
"Ayah ? Sama siapa ?"
Gadis itu lantas kembali melakukan panggilan pada sang Ayah. Sambil menunggu panggilan itu tersambung, Safira memperhatikan interaksi kedua orang tersebut. Disana tampak pria yang ia yakini sebagai ayahnya tengah meraih ponselnya. Lalu pandangan Safira beralih pada ponselnya.
"Direjek ?"
Ia menggelengkan kepalanya tak percaya. Lantas jemarinya bergerak lincah diatas layar ponselnya.
[Safira : Ayah. Ini Fia. Bisa kita bertemu ? Ada yang ingin Fia bicarakan pada Ayah]
Send.
Pesan terkirim. Dan saat itu juga Safira kembali menegakkan kepalanya untuk melihat respon dari sang Ayah. Ia mengetuk - ngetukkan jarinya ke atas meja karena tak sabaran.
Ting.
Ponselnya berbunyi dan dengan sangat cepat Safira melihat notifikasi tersebut.
[Ayah : Maaf Fira. Hari ini ayah sibuk. Gimana kalau besok ?]
"Selalu aja begitu."
Safira mendengus kesal. Ayahnya itu, sungguh tak bisa menyenangkan hatinya barang sejenak. Selalu saja menomor sekiankan dirinya.
[Safira : Oke. Janji, ya ?]
Send.
Safira kembali mendongakkan kepalanya. Namun ia tak lagi menemukan keberadaan sang ayah disana. Pandangannya terus mengedar mencari sosok sang ayah.
"Tadi itu bukan Aqilah. Trus siapa ? Masa iya keponakan Ayah ? Tapi kok... Gak wajar banget sikapnya."
Gadis itu terus bermonolog. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk beranjak mencari sang ayah.
Sepertinya nasib baik tengah berpihak padanya. Saat gadis itu menyusuri stand penjual pakaian, ia menemukan ayahnya baru keluar dari sana. Kedua mata Safira terkunci pada lengan sang ayah.
"Mesra banget."
Safira bergumam dari balik persembunyiannya. Ia kembali bergerak secara perlahan sembari berbaur dengan pengunjung yang lain. Matanya tetap awas memantau keberadaan sang Ayah.
"Lah, kok ?"
Safira terperanga saat melihat ayahnya malah kembali memasuki stand penjualan.
"Pakaian dalam wanita ? Ngapain coba ?"
Pikiran Safira mulai menjurus ke arah yang tidak - tidak. Apalagi saat wajah orang yang bersama Ayahnya terlihat tak asing baginya. Kakinya ingin sekali melangkah menghampiri keduanya. Namun sebisa mungkin ia menguasai diri sebelum menemukan bukti yang cukup.
Setelah beberapa saat berada di stand itu dan keluar dengan beberapa paper bag ditangan sang gadis, Ayahnya tampak begitu ceria sambil terus berceloteh ria dengan gadisnya. Safira terus mengikuti keduanya hingga memasuki area parkiran. Dengan sigap, Safira memberhentikan mobil taxi yang lewat didekatnya.
"Pak, ikuti mobil hitam yang ada di depan, ya." ucap Safira setelah duduk di kursi penumpang.
"Baik, Nona."
Taxi yang membawa Safira terus mengikuti mobil sang ayah dengan jarak aman. Hampir dua puluh menit berkendara, mobil mereka berhenti tepat di sebuah gedung yang menjulang tinggi.
"Hotel ?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!