Velina, istri dari Reydan Derwaga, lelaki yang pernah menolongnya, dan kini telah menjadi suaminya karena sebuah insiden saat terjebak hujan deras, dan berteduh ketika menempuh perjalanan menuju kampung halaman mendiang orang tuanya Velin.
Siapa sangka, jika mereka akhirnya menjadi suami-istri karena kesalahpahaman warga, dan penjelasan atau bukti yang diberikan tertolak. Jadi, mau tidak mau, Reydan dan Velin dinikahkan oleh warga setempat.
Setelah menjadi suami-istri, perjalanan rumah tangga mereka tidak semulus pipi glowing. Masalah demi masalah tengah menguji hubungan pernikahan mereka berdua.
Kini, Velin tengah terbaring lemas di ruang rawat pasien setelah dilakukan penanganan oleh Dokter. Keadaannya yang sangat memprihatinkan mengenai luka di wajahnya, Velin belum juga sadarkan diri dari komanya, benar-benar memprihatinkan kondisinya saat ini.
Reydan selaku suaminya yang tengah bersedih mendapati sang istri telah mengalami insiden kecelakaan, merasa bersalah besar karena tidak mampu menjaganya dengan baik sesuai janjinya.
Sedangkan Nyonya Weni selaku ibunya yang melihat putranya bersedih, ikut duduk disampingnya.
"Kamu yang sabar ya, semoga Velin segera siuman, dan tidak ada sesuatu yang dikhawatirkan pada istri kamu. Maafkan Mama sama Papa yang sudah mengizinkan kalian datang. Tidak seharusnya Velin ikut, dan mungkin tidak akan terjadi hal seperti ini," ucap ibunya, Reydan masih diam.
"Papa percaya kalau istrimu pasti bisa melewati semua ini, Velin bukan seseorang yang lemah, dia pasti akan segera sadarkan diri, dan dengan keadaan baik-baik saja." Timpal Tuan Praja berusaha untuk meyakinkan putranya.
"Yang dikatakan sama Papa kamu itu benar, Nak, kamu jangan putus doanya, semoga istrimu segera sadarkan diri dari koma. Mama yakin, semua akan baik-baik saja. O iya, ini, kamu makan dulu, biar gak sakit perut kamu. Kalau sampai kamu sakit, siapa yang akan menjaga Velin, ini, makanlah, setidaknya kamu ada tenaga. Mama mau menemani Nyonya Merlyn dulu, kamu makanlah, jangan menyakiti diri sendiri, ini ambil."
Reydan yang sebenarnya tidak berselera makan, dirinya tidak bisa menolak, dan tetap makan meski rasanya begitu hambar dan susah untuk ditelan.
Baru aja makan satu suapan, dan mau lanjut mengunyah, tiba-tiba Gezan menghampirinya.
"Masih bisa-bisanya ya, istri sakit masih punya selera makan." Tiba-tiba Gezan selaku mantan suaminya Velin berkomentar disaat Reydan tengah makan.
Saat itu juga, Reydan membuang makanan yang ada di tangannya, dilempar jauh entah kemana. Cepat kilat langsung mencengkram kerah baju miliknya Gezan.
"Kamu bilang apa tadi? aku masih punya selera makan, katamu? kalau bukan butuh kesehatan untuk menjaga Velin, sebutir nasi saja tidak akan aku telan, ngerti kamu! aku tahu dia mantan istrimu, tapi kamu sendiri yang sudah menceraikannya, dan kamu sendiri yang bilang, kalau perempuan tidak hanya Velin saja, lantas, apa salahku menikahinya, dan atas dasar apa kamu menghakimi ku, ha!" bentak Reydan yang sudah dikuasai emosinya.
Merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab saja, Reydan ingin rasanya menghukum dirinya sendiri. Tapi, dirinya bisa apa dengan kondisi istrinya yang belum juga sadarkan diri.
"Asal kamu tahu, kalau bukan hasutan keluarga ku, tidak mungkin aku menceraikan istriku. Aku tahu aku salah, tapi itu murni bukan kesalahan ku, ngerti!" Gezan balik membentak Reydan saat menjawab ucapan darinya.
Cuih!
Reydan melu-dah ke sembarang arah, dan tak lepas dengan seringainya penuh tatapan membenci.
Saat itu juga Gezan langsung melayangkan sebuah tinjuan yang mengarah sasaran di bagian sudut bibir miliknya Reydan. Sayangnya Reydan lebih sigap untuk menghalanginya.
Kini sebaliknya, justru Reydan balik melayangkan sebuah tinjuan yang langsung mengenai sasaran, yakni bagian rahangnya Gezan berulang kali hingga babak belur dan mengeluarkan dar-ah segar di bagian sudut bibirnya.
"Hentikan! kalian ini bukan lagi anak kecil yang saling menyerang, dan marah-marah tidak jelas. Tapi, kalian berdua ini udah dewasa, bukan anak kemarin sore, seharusnya kalian itu bisa berpikir lebih jernih lagi, ngerti kalian!" bentak Tuan Dion yang merasa terganggu atas keributan yang dibuat oleh mereka berdua, entah siapa yang memulainya, Tuan Dion merasa geram mendengarnya.
Memikirkan kondisi putrinya saja sudah tidak bisa tenang, ini malah ada keributan, pikir Tuan Dion.
"Dia yang mulai,"
"Dia!"
"Dia!"
"Bukan!"
" Iya!"
Reydan maupun Gezan sama-sama saling menuding satu sama lain, diantara mereka tidak ada yang mau disalahkan, dan merasa paling benar keduanya.
"Diam! kalian!" bentak Tuan Praja ikut memaki keduanya.
Reydan maupun Gezan sama-sama diam setelah mendapat bentakan dari Tuan Praja.
"Kalian itu sudah dewasa, tidak seharusnya kalian berantem disaat Velin belum sadarkan diri. Velin sedang berjuang untuk hidup, sedangkan kalian malah berantem. Semua tahu status kalian, satu mantan suami, dan yang satu suaminya. Tapi bukan seperti ini menyelesaikan masalah, bukan adu kehebatan, atau adu paling bagus tanya jawabnya, tapi sikap dari kalian. Apa kalian tidak malu berantem seperti ini di hadapan Tuan Dion dan Kakek Adjimala, juga Nyonya Merlyn, ha! tidak malu kalian, iya!" bentak Tuan Praja merasa geram.
Gezan maupun Reydan sama-sama menunduk, keduanya memang mempunyai hubungan pertemanan yang baik dulunya, karena sesuatu yang tidak diketahui, kini mereka menjadi persaingan sengit soal asmara.
"Saya mohon jangan ada lagi pertengkaran di rumah sakit ini mengenai Velin putri kami. Karena kami tahu kalian sedang merebutkan wanita yang sama, tapi saya mohon, jangan mengulangi keributan lagi. Kalian sudah dewasa, pasti kalian tahu bagaimana menyikapinya. Yang merasa bersedih tidak hanya kalian, tapi kami yang sudah kehilangan dari bayi. Jadi, tolong jangan membuat keributan lagi." Pinta Tuan Dion.
Reydan maupun Gezan masih menunduk, keduanya mengangguk, kemudian mendongak.
"Maafkan saya, Tuan, maafkan atas kesalahan yang sudah membuat keributan di rumah sakit ini, saya tidak akan mengulanginya lagi," ucap Gezan merasa bersalah.
"Saya juga minta maaf, Tuan, kalau saya sudah membuat keributan, dan saya tidak akan mengulanginya lagi. Saya akan fokus dengan kesembuhan Velin, hanya itu. Karena saya sudah berjanji untuk menjaganya, dan memberi perhatian penuh padanya." Timpal Reydan yang juga meminta maaf.
"Kami percaya kalau kalian berdua ini adalah orang yang tulus, dan sebaiknya kalian baikan, jangan ada permusuhan di antara kalian. Juga, kami tahu, bahwa kalian awalnya mempunyai pertemanan yang baik satu sama lain, dan kami minta, jangan saling membenci. Siapa orangnya yang mau menerima kenyataan pahit, tidak ada. Kami pun tidak ingin berpisah dengan putri kami, tapi apa daya, kenyataannya kami harus berpisah puluhan tahun lamanya. Ketika dipertemukan, kami masih diuji, meski kenyataannya entah akan seperti apa kehilangan atau memiliki." Tuan Dion berhenti sejenak ketika memberi penjelasan kepada Reydan dan juga Gezan.
Mereka berdua masih diam, keduanya merasa bersalah atas keributan yang dibuatnya.
"Tidak mendapatkan cinta dari orang yang kita cintai itu belum seberapa, lebih menyakitkan lagi, orang yang kita cintai tetapi telah pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Tidak mendapatkan cinta, kita bisa mencari pengganti, tetapi ketika kita kehilangan orang yang kita rindukan dan pergi untuk selama-lamanya, apa yang mau diganti? tidak ada, itulah yang kami pikirkan atas keselamatan putri kami. Jika kalian belum berjodoh, kalian bisa mencari penggantinya, tapi kami?"
"Saya mengerti, Tuan, maafkan saya," ucap Reydan yang mencoba untuk memahami di setiap kalimat yang diucapkan oleh Tuan Dion.
"Terima kasih atas nasehatnya, Tuan," timpal Gezan yang tidak tahu harus bicara apalagi, dirinya benar-benar kehabisan kata-kata.
Karena Velin masih belum juga sadarkan diri, Tuan Praja mendekati Reydan dan Gezan yang tengah bersama Tuan Dion. Kemudian, mengajak mereka untuk makan, yakni agar tidak ada keributan lagi seperti yang dilihat.
Sedangkan Nyonya Weni tengah menemani Nyonya Merlyn untuk menghibur, yakni agar tidak bertambah penat memikirkan keadaan Velin.
Waktu yang dilewati sudah beberapa hari, Velin belum juga sadarkan diri dari koma. Reydan yang tidak pernah lengah ketika menunggu istrinya di rumah sakit, berharap segera sadarkan diri dari koma, dan berharap semua akan baik-baik saja, kesehatan fisiknya, juga mentalnya.
Gezan yang tengah berdiri diambang pintu ditemani Tuan Dion dibelakangnya, hatinya Gezan begitu hancur ketika melihat kondisi mantan istrinya yang sangat memprihatinkan.
Tanpa disadari, Gezan menitikkan air matanya, dan teringat perjuangan Velin untuk bertahan hidup disaat mengalami insiden yang dibuang di jurang dan terluka parah. Bahkan, Velin harus kehilangan ingatannya. Kini, Velin mengalami hal yang sama, hanya saja berbeda kejadiannya. Entah akan kehilangan ingatannya, atau tidak, Velin masih belum sadarkan diri.
"Maafkan aku, Velin, maafkan aku yang sudah membuatmu menderita seperti ini. Andai saja aku lebih percaya denganmu, kamu gak akan mengalami penderitaan yang kedua kalinya. Velin, dengan cara apa aku menebus kesalahan ku, agar kamu tidak menderita seperti ini." Gumam Gezan yang tanpa disadari ada Tuan Dion dibelakangnya.
"Ini bukan kesalahan kamu, tapi Leya putri angkat kami. Kalau Leya tidak dikuasai emosinya, tidak mungkin Velin akan mengalami kecelakaan. Kamu jangan terus-terusan menyalahkan diri kamu sendiri, karena kamu tidak sepenuhnya salah atas kejadian yang menimpa Velin di rumah kami." Timpal Tuan Dion yang langsung menyahut.
Gezan langsung menoleh ke belakang, dan memutarbalikkan badan.
"Maafkan saya, Tuan, dulu saya sudah menyia-nyiakan Velin. Saya dulu tidak mau mempercayai penjelasan dari Velin, dan lebih memilih percaya dengan keluarga saya sendiri yang rupanya adalah dalang dari insiden yang menimpa Velin waktu dibuang di jurang. Memang saya yang salah waktu itu, tidak mencari bukti yang akurat, melainkan langsung percaya dengan keluarga. Meski mereka sudah saya jebloskan ke penjara, tetap saja saya tidak bisa memiliki Velin. Sekarang saya sadar, cinta tidak harus memiliki, meski rasanya sangat sakit, saya akan berusaha merelakan, asal Velin bahagia, itu sudah lebih dari cukup."
"Kami bangga sama kamu, rupanya kamu orang yang bertanggung jawab, dan tidak memandang siapa pelakunya. Terima kasih sudah memberi keadilan untuk putri kami, meski kamu harus merelakan keluarga kamu sendiri."
"Sama-sama, Tuan, saya tidak dibenci oleh keluarga Velin saja, saya sudah sangat bersyukur. Karena saya sadar, karena keluarga saya sudah melakukan kesalahan yang fatal, termasuk saya yang gagal menjadi suami yang baik."
"Masih banyak waktu untuk memulai dari nol, kamu pasti bisa. Ayo, kita duduk di sana, biar lebih enak ngobrolnya. Takutnya kalau disini nanti mengganggu Reydan, ayo."
Tuan Dion berusaha untuk menyemangati Gezan, meski orangnya masih saja tidak bersemangat, tetap memberi suport padanya.
Lain lagi dengan Reydan, dirinya rela tidak masuk kantor demi menunggu istrinya yang dirawat di rumah sakit, dan lebih mementingkan keselamatan istrinya ketimbang karirnya.
Merasa bersalah besar karena tidak bisa menjaga istrinya dengan baik, Reydan terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Hampir saja frustrasi karena istrinya tidak juga sadar sudah beberapa hari lamanya, keluarganya maupun keluarga istrinya selalu menyemangati, meski hampir saja menyerah.
Reydan yang tengah ketiduran karena jarang istirahat, tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu yang menyenggol jari jemarinya.
Reydan sontak kaget dan terbangun dari tidurnya.
"Velin, Velin, ini beneran tangan kamu yang bergerak?"
Reydan yang serasa seperti mimpi, dan seperti tidak percaya jika istrinya menggerakkan jari jemarinya, langsung menakan tombol agar Dokter segera datang dan memeriksa kondisi istrinya.
Velin masih menggerakkan jari jemarinya secara perlahan, sedangkan kedua matanya masih terpejam. Reydan yang benar-benar menyadari tidak sedang bermimpi, pun mengusap lembut jari jemarinya untuk memberinya respon. Benar saja, Velin seperti mendapat sinyal ketika tangannya disentuh oleh suaminya.
Tidak lama kemudian, Dokter pun datang. Velin masih menggerakkan bagian anggota tubuhnya seperti ujung kaki, dan jari jemari tangannya. Juga, perlahan-lahan mencoba membuka kedua matanya.
Dokter yang sudah melihat perkembangan dari Velin yang sudah dapat menggerakkan bagian anggota tubuhnya, pun dapat bernapas lega, lantaran pasiennya sudah sadarkan diri dari koma. Karena harus dilakukan pemeriksaan, Reydan diminta untuk keluar.
Di luar ruangan rupanya sudah ada Gezan, kedua orang tuanya Velin, juga kedua orang tuanya Reydan sendiri.
"Gimana dengan Velin, udah sadar?" tanya Nyonya Merlyn yang begitu cemas memikirkan kondisi putrinya.
Reydan mengangguk.
"Iya, Nyonya, Velin sudah sadar, dan tadi saya lihat sudah membuka matanya, semoga beneran sadar dari koma," jawab Reydan meyakinkan ibu mertuanya.
"Syukurlah kalau sudah ada perubahan pada cucuku, maafkan Kakek mu ini, Nak, gak bisa menjadi Kakek yang baik, dan gagal menjagamu dari bayi," timpal Kakek Adjimala tampak bersedih.
Kakek Derwaga yang melihat teman akrabnya dikala masih muda, pun mengajaknya duduk dan menghiburnya.
Dengan jarak yang dekat, Gezan hanya menjadi pendengar setia. Mendengar Velin ada perubahan, Gezan ada rasa sedikit senang, meski belum tahu hasilnya nanti. Sedangkan Reydan sudah masuk kedalam ruangan untuk melihat kondisi istrinya, yang lainnya menunggu diluar agar tidak mengganggu pasien yang baru saja sadarkan diri dari koma.
Didalam ruangan, Velin yang sudah sadarkan diri dari komanya, Velin celingukan seperti orang kebingungan.
"Saya dimana?" tanya Velin sambil menahan rasa sakit di bagian kepalanya, Velin berusaha memeganginya agar tidak teramat sakit.
Reydan yang melihat kondisi Velin, sungguh sangat memprihatinkan, wajah yang cantik, kini penuh luka gores, dan lumayan sedikit menyedihkan. Tanpa disadari, Rey menitikkan air matanya, dirinya benar-benar menangis melihat kondisi istrinya. Berkali-kali Rey menyeka air matanya, berusaha untuk tidak ketahuan menangis. Tetap saja, Rey menangis sesenggukan.
"Dia siapa? kok dia menangis?"
Deg!
Detak jantung Rey seakan mendadak berhenti ketika istrinya tidak mengenali suaminya. Kemudian, Rey mendekatinya.
"Aku suami kamu, sayang, aku Reydan suami kamu. Kamu gak lagi bercanda, 'kan? Velin, jangan melucu didepan ku, aku ini suami kamu, sayang," ucap Reydan sambil menyeka air matanya.
Setelah itu, Rey duduk didekatnya, dan meraih tangannya.
"Kamu tidak sedang mengerjai ku, 'kan? aku Reydan, suami kamu, kamu ingat aku, 'kan?"
Velin menggelengkan kepalanya, dirinya benar-benar tidak tahu apa-apa, juga pandangannya terlihat kosong.
"Sudah dulu menjelaskannya, pasien butuh istirahat yang cukup, soalnya istri Tuan baru aja sadar dari koma. Doakan saja, semoga pasien hanya sedang lupa, bukan lupa ingatan. Tuan boleh keluar, biar perawat yang akan menjaganya, sesuai permintaan keluarga demi menjaga kesehatan pasien, silakan."
"Baik, Dok, tolong sembuhkan istri saya, Dok, saya takut masa lalu dia akan terulang kembali, saya tidak mau itu terjadi kepada istri saya," jawab Reydan dengan lesu ketika mendapati istrinya tidak lagi mengenal dirinya.
Mendapat pesan dari Dokter untuk tidak mengganggu jam istirahat, Rey diminta untuk menunggu diluar. Mau tidak mau, Rey mengiyakan, meski terasa berat untuk jauh dari istrinya. Namun, demi kesehatan istrinya, Rey menurutinya.
"Gimana keadaannya Velin, Nak?" tanya Nyonya Merlyn yang begitu khawatir dengan Kondisi putrinya.
"Keadaannya Velin sudah sadarkan diri dari koma, hanya saja-" tiba-tiba Rey tercekat untuk menjawab pertanyaan dari ibu mertuanya, rasanya begitu berat untuk mengatakan dengan jujur.
"Hanya saja kenapa, Rey?" tanya ibunya menimpali karena penasaran dengan apa yang akan Rey katakan.
"Velin kehilangan ingatannya, dan dia belum bisa mengenaliku, Ma, Nyonya, Tuan, dan Kakek," jawab Rey tak bersemangat.
Gezan yang mendengar jawaban dari Reydan, serasa kesal dan juga terasa dongkol, dirinya langsung bangkit dari posisinya dan dengan berani, Rey mencengkram kerah baju miliknya Reydan.
"Apa katamu? Velin hilang ingatan?"
Hampir saja mendapat serangan dari Gezan, dengan sigap Rey menangkisnya.
"Dulu aja, aku gak pernah menyalahkan kamu soal Velin yang hampir saja kehilangan nyawanya karena perbuatan keluarga mu. Bahkan, aku pun tahu pelakunya sejak awal, dan aku pun tidak melaporkan keluarga mu. Hanya saja aku menolak perjodohan dengan adikmu, ngerti! Kamu pikir, siapa yang bertanggung jawab atas keselamatan Velin, siapa? ha! siapa? kamu? iya! kamu?"
Gezan langsung terdiam, dirinya seperti terpojok dengan ucapan yang dilontarkan oleh Reydan.
"Kenapa diam? baru ingat kamu. Aku tahu aku memang salah karena telah mengajak Velin ke rumah Tuan Dion, tapi aku tidak ada punya niat untuk mencelakainya, ngerti kamu. Aku membawa Velin ke kediaman keluarga Adjimala tidak lain hanya ingin memberi mereka bukti dan penjelasan bahwa aku sudah menikah dengan Velin, dan aku menolak perjodohan dengan Leya, paham!"
Gezan masih diam, apa yang dikatakan Reydan menurutnya memang tidak ada yang salah pada diri Reydan.
"Sudah sudah, kalian jangan berantem lagi, malu di hadapan keluarga Adjimala. Jangan saling menyalahkan maupun saling menuding, kalian berdua tidak bersalah, keadaan lah yang tidak bisa diprediksi akan seperti apa kejadiannya. Lebih baik sekarang kita fokus untuk kesembuhan Velin, bukan untuk saling berdebat, ngerti kalian?"
Gezan maupun Rey sama-sama mengangguk, keduanya sama sekali tidak berucap dan memilih tempat untuk duduk masing-masing.
Tuan Praja dan istrinya yang memang mempunyai kesibukan, datang ke rumah sakit ketika ada waktu luang. Sedangkan Reydan sama sekali tidak pernah meninggalkan rumah sakit, begitu setianya menunggu istrinya yang tidak kunjung sadarkan diri hingga sadar dari koma meski harus kehilangan ingatannya.
Tidak menyerah sampai disitu saja, Reydan tetap akan menjaga istrinya hingga sembuh. Bahkan, dirinya tidak peduli dengan karirnya. Untuk saat ini semua dipegang kendali oleh orang tuanya, juga oleh Randi orang kepercayaannya, serta kepercayaan keluarga Derwaga.
Berbeda dengan Gezan, lelaki yang berstatus mantan suami Velin, datang ke rumah sakit setelah pulang dari jam kerja, lantaran dirinya bukan lagi suaminya, dan bukan siapa-siapanya. Menyakitkan memang, tapi mau bagaimana lagi, Velin bukan lagi istrinya, melainkan hanya mantan istri.
.
.
.
Waktu yang dilewati mereka semua rupanya sudah beberapa hari lamanya sejak Velin sadarkan diri dari koma. Tetap saja, Velin masih belum bisa mengingat memorinya. Juga, sikapnya kepada sang suami belum juga ada kedekatan, justru si Velin merasa tidak nyaman saat berdekatan dengan suaminya. Seringkali Rey diusir dan dilarang untuk menemui dirinya dengan alasan takut.
Rey hampir saja frustrasi, dan dirinya tetap saja berusaha untuk mencoba untuk memberi respon dengan apa saja yang pernah menjadi kenangannya. Tetap saja tidak ada respon maupun perubahan kepada Velin, dan masih saja belum mengingatnya.
Selain itu, Gezan juga tidak mau menyerah untuk membantu Velin agar ingatannya kembali meski hasilnya pun tetap nihil. Keduanya bahkan masih berdebat soal kesembuhan Velin, mereka berdua masih saja saling menyalahkan satu sama lain, meski kasusnya yang awal telah berlalu.
Benar saja, kini keduanya sudah berada di depan pintu masuk ruang pasien, yakni seperti biasa merebutkan waktu untuk pertama masuk, yaitu mencoba membantu Velin untuk mengingat kembali soal kenangan mereka masing-masing.
"Aku suaminya, dan aku berhak yang masuk, bukan kamu, ngerti!"
Gezan menyeringai.
"Kamu memang suaminya, tapi kenangan yang aku punya lebih banyak darimu. Jadi, biarkan aku masuk duluan."
"Enak aja, aku ini suaminya Velin. Mana bisa kamu masuk duluan, dan atas dasar apa kamu mau masuk? ha!"
Saat mau adu tonjok, Tuan Dion langsung menyambar tangan mereka satu-satu.
"Sekarang juga kalian pergi,
Tuan Dion makin lama makin geram ketika putrinya dijadikan bahan rebutan. Juga, ada perasaan takut dengan keselamatan putrinya dan takut kenapa-napa.
Namanya juga persaingan sengit, Tuan Dion dipenuhi kekhawatiran mengenai kesembuhan dan keselamatan putrinya. Dengan terpaksa, Tuan Dion harus mengusir menantunya.
"Sebaiknya kalian pulang, disini ada kami keluarganya Velin yang akan bertanggung jawab atas kesembuhannya. Kalian tidak perlu khawatir soal Velin, dia aman bersama kami. Lagi pula percuma dengan cara kalian yang selalu berebutan untuk masuk, dan kalian hanya mengganggunya saja."
Rey maupun Gezan masih diam, Reydan merasa tidak adil karena diperlakukan sama dengan Gezan, yang jelas-jelas dirinya adalah suaminya. Sedangkan yang dipikirkan oleh Tuan Dion tidak lain hanya khawatir jika akan ada persaingan sengit antara Rey dengan Gezan.
Tidak ada pilihan lain, Tuan Dion lebih mementingkan keselamatan putrinya, dan bagaimanapun caranya akan dilakukan, sekalipun harus memberi jadwal ketat kepada Reydan menantunya.
"Tuan, saya ini suaminya Velin, dan saya punya hak untuk berada disisinya. Saya mohon jangan usir saya, karena saya tidak bisa jauh dari Velin."
Tuan Dion menggelengkan kepalanya, yakni tanda menolak.
"Baik, jika ini kemauan Tuan dan demi kesembuhan Velin, akan saya turuti. Tapi saya mohon, izinkan saya untuk menemui Velin saat saya mendatangi rumah sakit ini," ucap Reydan.
"Bukan kami tidak mengizinkan, tapi kami lebih mengutamakan kesembuhannya Velin. Kami tahu kalau kamu Reydan suaminya Velin, dan kamu Gezan mantan suaminya Velin, tapi bukan begini caranya kalian membantu mengembalikan ingatannya Velin. Untuk Reydan, kamu berhak menemui Velin kapanpun, sedangkan untuk Gezan, datanglah sebagaimana kamu menjenguk orang di rumah sakit."
"Baik, Tuan, saya mengerti dengan posisi saya saat ini, yaitu hanya mantan suami. Saya do'akan, semoga ingatan Velin segera sembuh, dan dapat mengingat lagi. Maaf, jika saya sudah membuat Tuan tidak nyaman karena kehadiran saya di rumah sakit ini, dan saya janji akan bersikap lebih baik lagi," ucap Gezan yang masih sulit untuk melupakan mantan istrinya.
Meski sering menyesali, tetap saja baginya tidak mudah untuk melupakannya, dan terkadang dirinya lupa untuk tidak menggangu rumah tangganya Reydan dengan Velin.
Sedangkan Reydan yang tidak mau ribut dengan ayah mertuanya, dirinya lebih memilih untuk nurut. Setidaknya masih diberi kebebasan untuk menemui istrinya, itu sudah lebih dari cukup, dan tidak perlu pakai jadwal, pikirnya.
Sudah begitu lama tidak pulang ke rumah, kini Reydan maupun Gezan tengah meninggalkan rumah sakit walau terpaksa. Meski terasa berat, Reydan tidak mempunyai pilihan lain selain menuruti apa maunya mertua, setidaknya dirinya masih diberi kebebasan untuk menemui istrinya, pikirnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!