"Tuan, anda ingin kemana lagi." ujar braman, tangan kanan yang sangat setia pada tuan-nya.
"Hanya mencari beberapa mangsa." jawab pria itu dengan santainya.
Braman sang asisten hanya bisa bergeleng kepala dibuatnya. Dia sudah berumur, tapi selalu dihadapkan dengan anak muda minim otak seperti ini.
Tapi walaupun dengan berat hati, Braman tetap menuruti semua perkataan yang keluar dari mulutnya itu. Semacam tertarik sihir penurut, sebut saja begitu.
"Pulang ke kediaman Cyrus saja. Kita sudah terlalu jauh."
Braman kembali menarik ucapannya usai mendapat tatapan begitu tajam dari pria itu. Bahkan sampai sujud syukur karena tuhan masih memberinya kesempatan hidup.
Srak.
Pria itu dan Braman menoleh bersamaan usai mendengar bunyi seperti kain yang di sobek. Suaranya sangat jelas, pasti berada tak jauh dari tempatnya berada.
"Paman Braman, dengar nggak?"
Braman pun mengangguk setuju. Karena meski pendengarannya sudah tidak jelas, tapi untuk yang tadi itu Braman sangat jelas mendengarnya.
"Siapa yang ada di tempat seperti ini? Malam hari begini?" gumamnya melirik jam tangan emas miliknya.
"Bahkan sudah hampir larut, sangat berbahaya berada disini."
Braman segera pasang badan untuk bersiap maju lebih dulu untuk memeriksa.
Alangkah terkejutnya dia, karena melihat seorang gadis yang tengah asik membalut luka pada sayap burung yang ternyata buronan tuannya itu.
Kedua pria muda dan paruh baya yang penasaran itu hanya dapat memperhatikan gadis cantik bergaun hitam anggun dari kejauhan. Walaupun berpakaian dengan warna yang sangat di hindari oleh para gadis bangsawan lainnya, tapi pada gadis cantik berambut pirang itu terlihat sangat indah.
"Siapa dia, Braman?" ujarnya bertanya.
"Nona muda keluarga Yeva." balas Braman.
Pria itu teringat dengan tawaran keluarganya beberapa hari lalu. Bahwa keluarga Yeva membiarkan pertunangan terjadi antara dua pihak keluarga bangsawan besar.
"Kalau tau tunanganku secantik ini, jelas aku nggak akan menolaknya."
Braman seketika tersenyum kikuk. Tuannya ini sangat percaya diri sekali, pikirnya.
"Bukan, Tuan muda. Nona Odette bukan gadis yang akan bertunangan denganmu."
"Odette? Nama yang indah." gumamnya seraya tersenyum tanpa disadari.
Apakah pria ini tersenyum? Mengerikan sekali melihat senyumannya.
Braman mencibir tuan mudanya dengan sadis dalam benaknya. Pria angkuh sepertinya sekali tersenyum begitu sangat mengerikan. Lebih baik berwajah datar terus terang saja.
Sementara orang yang dituju, masih sibuk memandangi wajah indah gadis yang di kenal dengan Odette itu.
Apa dia suka burung? Jelas Elang itu aku yang tembak beberapa menit lalu, ternyata dia yang menyelamatkannya.
"Sudahlah Tuan, kita kembali saja. Nona Odette bukan seperti gadis yang dapat kau bayangkan itu." peringat Braman membuat senyum pada wajah pria itu luntur.
"Braman kau sangat rewel. Aku ingin bicara padanya sebentar saja, kau pulanglah dulu."
Braman hanya bisa mengusap dadanya sabar melihat tingkah laku pria itu. Tak ingin campur tangan urusan kedua anak muda, Braman memutuskan untuk kembali ke istana saja.
Barulah pria berbadan kekar itu menghampiri gadis yang dikenal dengan nama Odette.
"Itu punyaku." ujarnya.
Gadis itu mendongak menatap pria gagah berwajah tegas dihadapannya. Tatapannya hanya sebentar saja, lalu kembali fokus pada burung peliharaan miliknya.
"Kau mengabaikan aku? Aku bilang, itu mangsaku." tegasnya sekali lagi.
"Sejak kapan Elang yang aku besarkan dengan tanganku sendiri menjadi milikmu." jawab Odette dingin.
Odette bangkit dan meletakan burung kesayangan pada bahunya. Kemudian menyapu kotoran tanah yang menempel pada pakaian dengan satu tangannya.
Merasa kesal diabaikan, pria itu menggeser tubuhnya sampai berpapasan dengan gadis itu.
"Tengah larut begini, apa seorang gadis nggak takut bertemu pria jahat?" godanya.
Gadis itu beralih menatap pria dihadapannya dengan datar. Entah dari mana datangnya pria ini. Yang jelas Odette menyimpulkan kalau pria kekar ini sangatlah mengganggu.
Sudah datang mengaku, masih saja berusaha sok kenal. Dasar pria tak tahu malu.
"Tuan, aku rasa kita nggak saling kenal."
"Memang. Tapi aku yang di tunangkan oleh keluarga kalian."
Odette mengernyitkan dahinya kemudian. Barulah teringat dengan ucapan kedua orang tuanya pada ruangan keluarga di malam itu.
Rupanya pria menyebalkan ini yang akan di tunangkan dengan kakak? Sangat disayangkan, sisa hidup kakak harus tinggal bersama pria sepertinya.
"Apa kau mengingatku, Nona Odette?"
"Jelas bukan. Aku hanya mengingat keluargaku pernah membicarakan pertunangan ini."
"Perkenalkan, aku Dexter dari keluarga Cyrus. Senang berkenalan denganmu."
Senyum Dexter seketika luntur karena gadis itu malah mengusap sayap burungnya dan berlalu mengacuhkan uluran tangannya.
Menarik, aku jadi penasaran denganmu Nona Odette. Kenapa aku harus bertunangan dengan kakakmu kalau bisa dengan kau, yaitu adiknya.
"Nona Odette, nggak sopan menolak jabatan tangan seseorang."
"Jangan bicarakan etiket denganku. Hentikan hobimu yang nggak bermanfaat itu, kau sudah melukai beberapa peliharaan Elangku belakangan ini."
Dexter terdiam mendengar pernyataan gadis itu. Rupanya selama ini burung yang dia tembak adalah pelihara Odette.
Sial sekali, pantas dia enggan bicara denganku. Ternyata aku sudah mendapat kesan pertama yang buruk. Aku akan menyuruh Braman melakukan sesuatu besok pagi!
* * *
"Kenapa akhir-akhir ini kau suka keluar di malam hari?" ujarnya.
"Paman Nolan? Kau belum tidur ternyata."
Odette memasukan peliharaan miliknya ke dalam sangkar besar pada taman istana. Separuh taman ini adalah miliknya, jadi Odette membangun kandang untuk para Elangnya istirahat.
Taman kediaman keluarganya sudah di wariskan untuk dirinya dan kakaknya. Masing-masing sama rata mendapat lima puluh persen luas tanah.
Namun kakaknya itu masih suka datang ke taman miliknya dari pada mengurus para kelinci peliharaannya itu.
"Odette, apa ada yang mengganggumu?" tanyanya.
Nolan sangat mengkhawatirkan keponakan tersayangnya. Odette selalu kembali dengan keadaan tak layak saat larut malam begini. Pria paruh baya itu semakin cemas dengan keadaan gadisnya.
"Hanya keusilan pemburu liar. Elangku terluka sedikit, Paman nggak perlu cemas."
Barulah Nolan dapat bernafas lega. Odette hanya berurusan dengan beberapa orang usil saja. Nolan sudah takut ada suruhan musuhnya yang menganggu putri kedua keluarga Yeva.
"Paman kembali ke kamar. Kau segeralah tidur."
Gadis itu hanya menampilkan senyum manisnya pada sang paman. Dia juga sudah sangat mengantuk karena kurang tidur beberapa hari ini.
Setidaknya aku sudah tahu siapa orang yang melukai para elang milikku. Aku nggak perlu secemas itu lagi.
Barukah gadis itu melepas perban pada sayap besar Elangnya. Segera diganti dengan perban medis Karema sebelumnya Odette mengkoyak gaun miliknya untuk menghentikan pendarahan.
Usai mencampurkan beberapa obat penenang pada minuman Elang, Gadis cantik berwajah sudah sedikit pucat itu kembali masuk ke dalam istana.
Di bantingnya kasar tubuh ramping miliknya pada atas ranjang besar. Menatap kosong langit-langit kamar yang dihiasi banyak replika awan buatan.
Apa nasibku juga akan seperti kakak? Tak bisakah memilih pasangan sendiri tanpa di jodohkan? Kehidupan yang selalu ada campur tangan keluarga memang nggak tenang.
Tok.. Tok.. Tok..
Ketukan pintu yang tak sabaran itu membuat Odette mengernyitkan dahinya. Baru saja ingin beristirahat sudah ada yang mengganggu.
"Masuklah, aku nggak kunci pintunya."
"Odette!"
Seru gadis berambut merah pekat masuk dengan tergesa-gesa menghampiri Odette yang masih terbaring.
Odette hanya menatap malas pada orang itu. Sudah ditebak yang datang pasti kakaknya, si rambut api.
"Apa perlu sekeras itu panggil namaku?" keluhnya.
"Ayolah adik, aku hanya akan bertanya sedikit dan langsung pergi."
"Aku ingin bertanya tentang pendapatmu, harus menambah peliharaan apalagi untuk tamanku."
Gadis pirang itu hanya menautkan kedua alisnya. Tengah malam seperti ini saja masih sempat memikirkan tentang hewan peliharaan. Sejak kapan kakaknya itu bersemangat sama binatang.
Entah apalagi yang dia rencanakan. Aku berharap nggak membawaku kedalam masalah yang besar. Sudahlah, aku bantu saja dia agar bisa cepat tidur nyenyak.
"Kelinci sudah 'kan? Tambah saja sejenisnya."
Kakaknya itu hanya menatap wajahnya dengan heran. Odette sudah tebak pemikiran gadis dihadapannya ini sangat dangkal. Begitu saja masih berpikir keras.
"Hamster, atau bahkan kucing sajalah." balasnya singkat.
"Kucing? Ide bagus. Aku pergi sekarang, kau tidurlah adikku tersayang."
Barulah Odette kambali bernafas lega usai pengacau pergi dari kamarnya. Kali ini dia berencana untuk mengunci pintu dari pada lengah saat tidur.
Lebih baik satu langkah lebih depan, ketimbang aku tertinggal?
* * *
"Apa perlu sepagi ini berdiskusi denganku?"
Braman mendengus kesal karena ulah pria muda ini. Masih sangat pagi, kenapa harus bertemu hanya untuk membahas gadis yang semalam.
Tuan muda itu benar-benar sudah kehilangan separuh akalnya. Padahal Baraman sudah tegaskan, kalau Odette itu bukan gadis yang akan bisa dengan mudahnya didapatkan.
"Tinggal katakan dengan detail, maka kau boleh kembali tidur."
"Sekarang katakan, kenapa dia memelihara hewan buas seperti burung Elang? Sungguh gadis yang aneh."
"Ayolah Tuan, itu hanya hobinya saja. Tanyakan langsung dengannya sana."
Senyum mengembang muncul pada wajah tampannya. Ide bagus terlintas seketika dalam benaknya usai Braman bicara begitu.
Perasaan tak karuan juga mengganggu pikiran pria paruh baya itu. Tiba-tiba saja dia merasa menyesal telah asal bicara pada orang minim pemikiran seperti Dexter.
"Satu pertanyaan lagi sebelum aku pergi. Tentang Odette, apa latar belakangnya?" tanya Dexter sangat ingin tahu.
"Dibandingkan dengan Nona Odesa, gadis itu jelas menang dalam segala hal. Sudahlah, aku masih mengantuk."
"Satu lagi, Braman!" henti Dexter.
Dengan berat hati Braman menghentikan langkahnya akibat ulah Dexter.
"Kenapa Odesa yang dijodohkan denganku? Ubah saja dengan Odette, aku akan langsung menurut." ujarnya percaya diri.
"Pemaksa sekali," timpal Liam, anak tertua sekaligus kakak satu-satunya Dexter.
"Kau yang punya hubungan dengan Odesa, kenapa malah aku yang dijodohkan."
Liam tertawa mendengar curahan hati adiknya itu. Dexter yang sangat keras kepala ternyata bisa sangat frustrasi hanya karena perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya.
Memang Odesa dengannya menjalin hubungan. Namun kedua orang tuanya hanya tahu tentang Dexter yang selalu sendirian dan butuh pendamping. Padahal jelas pria itu sama sekali tak suka dijodohkan.
"Apa kau mau dengar rencanaku?" tawar Liam memberi jalan keluar.
"Katakan saja."
"Buatlah kesepakatan dengan Odette. Menikahlah untuk mencapai keberhasilan bersama. Gadis itu juga nggak akan menolak."
Dexter tampak memikirkan kembali rencana kakaknya itu. Walaupun menguntungkan untuk dirinya, belum tentu Odette akan suka dan menerima.
Dia bukan orang pemaksa dan membuat orang yang dicintainya tersiksa. Gadis itu juga baru bertemu dengannya sekali, apalagi kesan pertama yang Dexter buat tak bagus.
"Aku pergi dulu, kau tolong sampaikan saat sarapan keluarga kalau aku sudah pergi berburu lebih pagi." ucap Dexter mengambil keputusan. barulah pria itu berlari meninggalkan kedua pria yang hanya tersenyum tipis melihatnya.
"Jangan lupa untuk buat Nona Odette merasa kau adalah pria yang baik. Dia gadis yang sangat angkuh asal kau tahu."
Liam memperingati Dexter sama halnya dengan apa yang Braman lakukan sebelumnya. Odette terlalu mandiri dan angkuh, Liam tak yakin adiknya itu bisa mendekatinya.
"Braman, kalau pernikahan mereka terjadi..."
Braman menganggukan kepala seolah tahu maksud ucapan Liam.
"Aku seperti melihat sedikit harapan yang sebelumnya nggak pernah kita bayangkan."
"Tenanglah Tuan, Dexter dapat melakukannya karena benar-benar jatuh hati pada Nona Odette."
Liam jelas tahu. Adiknya akan berusaha mendapatkan apa yang diinginkan.
Semoga kau berhasil. Setidaknya kedua keluarga kami nggak akan terpisahkan jika pesta pernikahan kalian dapat berlangsung.
"Kau menyerah, Tuan Liam?" ujar Braman.
Liam tersenyum tulus, sekarang yang ada pada pikirannya hanyalah mereka berdua.
"Mereka bersatu sangat bagus. Aku dan Odesa bisa terus bersama meski harus berdiam-diam untuk bertemu." ucapnya.
Braman menganggukan kepala paham. Liam selalu begitu. Dexter adalah adik kesayangannya meskipun dia sama sekali tak menunjukkan rasa sayang itu.
Bahkan dia tak memberontak saat kedua orang tuanya merencanakan pernikahan Dexter dengan Odesa tempo hari.
"Braman, tolong awasi Dexter dan Odette. beritahu aku kabar tentang mereka setiap harinya."
"Jika Dexter menyukai Odette, untuk apa menikah dengan Odesa? Aku akan membantu Adik-ku mendapatkan cintanya."
Srak,,
Odette langsung sigap usai mendengar suara dari balik semak. Entah hewan buas apalagi yang akan muncul mengacaukan pagi harinya.
Niat hati ingin jalan pagi dengan damai. Namun sepertinya semesta sedang tidak berpihak padanya.
"Keluarlah hewan buas, aku harus lanjut lari pagi selagi matahari belum terik."
"Hewan apalagi ini? Kemarin beruang madu, apa sekarang gorila?" protes Odette.
"Aduh!" terdengar rintihan seseorang dari balik semak usai mendapat lemparan tombak Odette, dan berhasil membuatnya mengernyitkan dahi karena heran.
Hewan mana yang bisa bahasa manusia? Ayolah, kami memang orang bangsawan, tapi ini bukan lagi jaman dinasti kuno.
Alangkah terkejutnya gadis pirang itu karena muncul pria yang sangat dia musuhi sejak kejadian semalam.
Entah kesalahan apa yang sudah Odette perbuat sampai harus bertemu pria itu lagi. Sungguh pagi hari yang sial, pikir Odette.
"Ada apa dengan raut wajahmu?" tanya Dexter sambil mengusap sebelah wajahnya yang memar akibat ulah Odette.
"Nggak ada, hanya kecewa karena bukan hewan buas yang muncul." balasnya.
"Kenapa kau ingin hewan buas? Jelas aku lebih tampan."
Pria itu sampai meragukan ketampanan miliknya karena Odette sama sekali tak mempedulikan. Gadis pirang dihadapannya ini sangat menguji kesabaran.
"Sudahlah lupakan, aku harus pergi."
Odette meninggalkan Dexter begitu saja tanpa mendengar lagi ucapannya. Gadis itu juga tak merasa bersalah sedikitpun karena sudah melukai wajah Dexter.
Menurutnya dia tak bersalah dalam hal ini. Karena Dexter muncul tiba-tiba tanpa adanya sinyal pemberitahuan. Setidaknya bersuara agar Odette tahu bukan hewan buas.
"Aku ditinggal? Tunggu, apa ini yang namanya ditolak secara terang-terangan?"
Dexter tak habis pikir dengan gadis itu. Baru saja muncul sudah terkena sambutan tombak, mana tak ada kompensasi pula.
Tak ingin ambil pusing, pria gagah itu lebih memilih mengikuti jejak Odette yang sudah lumayan menjauh dari pandangannya.
Hanya beberapa menit berjalan kaki, dia sudah menyusul gadis pirang itu yang tengah memberi makan burung peliharaannya pada halaman istana keluarga Yeva.
Dexter melirik sekitar dan memperhatikan separuh halaman yang sudah seperti penangkaran burung Elang ini. Semuanya berukuran hampir setengah tubuhnya, tapi tak ada satupun dari burung itu yang melukai Odette.
"Kau suka pelihara hewan ini?" ujarnya datang menghampiri.
Odette membuang nafasnya panjang karena merasa akrab dengan suara itu. Sepertinya dia ketempelan sampai halaman istana.
"Menurutmu?" balasnya ketus.
"Maaf,"
Lagi dan lagi gadis itu dibuat heran dengan perilaku Dexter yang sangat aneh. Odette sampai geleng kepala melihatnya.
"Untuk apa minta maaf... Apa kita saling kenal?"
"Odette, aku tau kesan pertama yang kubuat sangat buruk.."
"Tapi, apa nggak bisa kamu maafkan kesalahanku yang asal menembak liar burung peliharaanmu?"
Odette berbalik badan dan membungkuk setengah hormat pada pria dihadapannya.
"Terima kasih... Sudah cukup, kau bisa pulang sekarang." ujarnya dengan sopan.
Dexter habis akal sekarang. Tak disangka gadis ini malah membungkuk hormat dan mengusirnya secara halus. Padahal dia sengaja ingin berlama-lama untuk melihat wajahnya.
"Mari berkenalan dengan lebih baik. Mau berteman?"
Wajahnya tampak serius. Apa aku terima saja? Ah terserahlah, yang terpenting aku bisa tenang memberi makan peliharaanku tanpa adanya gangguan.
Odette menjulurkan satu tangannya, "Odette Yeva, putri kedua dari keluarga ini."
Dengan senang hati Dexter menerima jabatan tangan gadis cantik itu.
"Panggil aku Dexter, aku juga putra kedua keluarga Cyrus. Senang bisa berkenalan denganmu Odette." ujarnya.
"Kita teman sekarang, kau jangan sungkan."
Odette kembali fokus pada peliharaan miliknya. Namun dia sedikit merasa tak nyaman karena putra keluarga Cyrus itu terus saja menatapnya dari meja sana.
Sudah berharap pria itu segera pergi. Siapa sangka malah menunggunya untuk sarapan bersama? Odette sampai menyesal berkenalan dengannya.
Gadis itu berjalan menghampiri meja kayu setelah membersihkan tangan. Duduk pada kursi yang berhadapan dengan Dexter.
"Kenapa kau pelihara Elang?" tanya Dexter merasa penasaran.
Odette melirik sekeliling halaman miliknya, tanpa disadari gadis itu malah tersenyum.
"Mereka senjataku. Kalau kau punya pistol untuk memburu, aku punya para Elang."
"Pasti ada suatu alasan kenapa kau pelihara mereka. Aku nggak memaksa kau cerita, hanya saja suatu saat jangan terlalu sungkan."
Dexter sangat ingin Odette bergantung padanya. Gadis itu terlalu mandiri dan menutup diri. Tapi Odette mau bicara padanya seperti sekarang saja sudah lebih baik.
"Seingatku, kau orang yang akan bertunangan dengan kakak." lerai Odette.
"Benar, tapi pertunangan ini hanya untuk menghindari masalah besar saja. Menurutku itu sangat buruk." keluh Dexter, memulai pembicaraan yang sudah dia persiapkan sebelumnya.
Siapa tahu saja dengan begini Odette mau mendengar usulan dan menggantikan pertunangannya.
"Aku tahu... Kedua keluarga hanya mencegah adanya kutukan terlarang bukan?"
Dexter menatap Odette tak percaya. Ternyata gadis itu sudah tahu sebagian permasalahan ini walaupun belum sepenuhnya benar.
Tak masalah, Dexter akan tetap berpendirian teguh pada rencana awalnya.
"Ayahmu dan ibuku ingin menikah, makanya salah satu dari kita harus bertunangan lebih dulu sebelum mereka. Setidaknya meminimalisir berbagai masalah yang akan datang." ujar Dexter langsung pada inti permasalahannya.
"Ayah... Kenapa dia selalu mencampakan ibu?" lirihnya.
Dexter menatap sendu gadis dihadapannya yang tampak menyimpan banyak luka usai mendengar ucapannya.
Sepertinya Odette lemah jika menyangkut tentang ayahnya. Jika aku menawarkan kesepakatan ini, dia nggak akan nolak bukan?
"Odette, kalau kau yang dijodohkan..."
"Tentu aku akan suruh semua Elangku untuk menggagalkan acara pernikahan kami." kecamnya tanpa berperasaan sedikitpun.
Pria itu sampai tersenyum kikuk mendengar pernyataan yang tak terduga dari Odette. Ternyata gadis ini memang tak ingin menikah dan berada dalam sebuah perjodohan.
Rupanya Dexter harus mengubur dalam-dalam cintanya pada Odette. Tak akan mudah mengejar gadis sepertinya. Mungkin ini maksud dari ucapan Braman semalam.
"Odette, kau datang ke pesta nanti malam?"
Astaga! Aku sampai lupa dengan pesta itu. Jamuan para leluhur bangsawan, ya? Aku harus datang.
Odette harus memanfaatkan kesempatan ini untuk bertemu seseorang yang dia cari. Jangan sampai melewatkan pesta lagi karena orang yang berusaha menghalangi jalannya.
"Aku tentu datang. Hanya saja belum mempersiapkan gaunku..." balasnya seraya terkekeh pelan.
"Apa butuh bantuan?" tawar Dexter.
"Nggak sama sekali. Aku bisa menyelesaikan yang itu." tolaknya dengan cepat.
Benar, Dexter salah jika membantu Odette. Gadis itu selalu berdiri tanpa bantuan orang lain. Mana mau menerima tawaran darinya.
"Baiklah, sampai bertemu pada pesta nanti malam Odette!"
Gadis itu hanya melambaikan tangan pada pria yang sudah keluar dari halaman miliknya. Barulah dia bisa bernafas lega.
"Aku sudah menghamburkan banyak waktu Karena bicara omong kosong dengan pria itu."
Odette segera berlari ke dalam istana untuk segera menemui seseorang. Tak peduli seberat atau sebesar apapun gaun yang dipakai. Gadis itu hanya fokus berlari menuju labirin baca istana.
Dengan nafas terengah-engah, Odette memberikan secarik kertas undangan untuk pesta nanti malam pada wanita paruh baya yang tengah fokus membaca buku kuno.
"Dia mengadakan pesta lagi? Ternyata masih sempat mengambil simpati para tetua untuk pernikahan ketiganya."
"Kau harus lebih dulu darinya Odette, sayang." ujar wanita paruh baya itu, namun masih fokus pada bukunya.
"Aku nggak paham harus melakukan apa. Berikan petunjuk, aku tinggal jalankan perintah." balasnya.
Buku ditutupnya, barulah pandangan teralihkan menatap gadis cantik berambut pirang dihadapannya.
"Umumkan lebih dulu pernikahanmu. Entah dengan siapa kau akan menikah. Hanya itu jalan agar para tetua akan mendukungmu dan melarang keras dia melakukan pernikahan ketiga kalinya."
Odette mengernyitkan dahinya heran. Pernikahan yang sangat dia jauhkan ternyata malah menjadi satu-satunya jalan yang harus gadis itu ambil.
Hanya beberapa jam lagi, aku harus berhasil menggagalkan rencana itu. Aku nggak akan membiarkan Ayah menikah untuk yang ketiga kalinya.
Mungkin tahun lalu Odette gagal mencegah pernikahan kedua. Tapi untuk kali ini, jangan berharap pria tua itu bisa jalan di altar pernikahan lagi.
Sudah mau mati saja banyak sekali keinginan. Padahal tinggal tidur dan makan, kenapa harus setiap tahun berencana menikah.
* * *
"Apa gadis itu menerima tawaranmu?"
Braman membantu pria muda di sampingnya memilih baju. Sementara orang yang ditanyakan masih sibuk melamun tanpa melihat apa yang dia bawakan.
Dapat disimpulkan, kalau tuan mudanya ini sama sekali belum ada kemajuan mendekati nona muda istana foniks. Braman sampai mengusap dada sabar menghadapi orang yang lagi kasmaran.
"Setidaknya, pilih baju yang sudah aku bawa. Apa kau pikir aku ini nggak ada kerjaan lain..." keluh Braman.
Barulah Dexter mau menatap wajah frustasi Braman. Kasihan juga melihat pria berumur yang masih bekerja keras sepertinya.
"Hm, aku pakai apa saja. Nggak akan banyak pilih." balasnya.
"Apa kau tak ingin samaan dengan Nona Odette?"
Mata Dexter membelalak sempurna, wajahnya langsung berseri-seri mendengar pernyataan Braman.
"Aku susah payah cari tahu warna gaun yang Nona Odette gunakan, kau malah seperti ini membalasku."
"Tunggu, Braman!"
Tangan pria tua itu berhasil di cekal olehnya. Dexter langsung merebut pakaian berwarna biru tua darinya.
"Sudah berumur jangan suka ngambek!"
Dexter mencibir Braman yang masih saja suka merajuk. Padahal umurnya sudah kepalang ajal, selalu seperti itu.
Barulah dia bangkit dan berjalan menghampiri meja pada kamarnya. Diraihnya secarik kertas yang sudah disiapkan, lalu memberikan itu pada burung merpati peliharaannya untuk diantarkan pada seseorang.
Terpampang senyum dari wajah tampannya. Kalau teringat nama gadis itu, entah kenapa Dexter jadi suka tersenyum tanpa sebab.
Bahkan jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Dexter merasa ini bukan dirinya. Bukan Dexter Cyrus yang bersikap dingin dan hanya suka membunuh mangsa.
"Kenapa kau mengirim surat? Apa itu untuk Nona Odette?"
Timpal Braman ingin tahu. Melihat pria muda itu tersenyum sendiri sambil menatap keluar jendela sangat menyeramkan untuknya.
Walaupun Braman tahu senyumnya kali ini sangat tulus. Ini semua berkat pertemuan mereka dengan Odette. Pria tua ini berharap tuan mudanya bisa melepas semua beban setelah bahagia bersama gadis itu.
"Braman, kalau aku bisa mendapatkan hatinya..."
"Sumpah demi keluarga Naga, aku nggak akan pernah melukai hatinya. Aku pasti akan jadi pria terbahagia."
Dexter berjanji pada dirinya. Jika sudah mendapatkan cintanya, dia tak akan pernah melepaskan itu. Sekalipun akan banyak orang yang berusaha memisahkan mereka.
"Pestanya nanti malam. Aku harap Nona Odette juga memikirkan hal yang sama denganmu, Tuan muda."
"Apa Odette juga memikirkan aku?"
"Bukan, maksudku... Semoga Nona Odette juga memikirkan cara untuk membatalkan acara nanti malam."
Braman menghela nafasnya panjang. Tak habis pikir dengan pemikiran tuannya. Sempatnya pria itu memikirkan masalah cinta, padahal sudah jelas sedang membahas masalah pesta.
Grak!
Keduanya menoleh bersamaan melihat anak panah menerobos masuk dari luar jendela.
Dengan cepat Dexter langsung mengambil sniper miliknya dan mengarahkan itu keluar.
Namun alangkah terkejutnya dia saat melihat gadis yang baru saja dipikirkan olehnya sedang berdiri di sebrang dengan memegang busur panahnya.
Muncul banyak pertanyaan dalam benaknya dengan apa yang dilakukan gadis itu sampai membidik anak panah menerobos masuk.
Tapi semua itu langsung hilang begitu saja dalam benaknya. Karena Dexter tak dapat membohongi perasaannya yang senang saat melihat wajah Odette.
"Tuan muda, ada kertas pesan pada anak panahnya." himbau Braman.
Dengan cepat dia melepas gumpalan kertas itu dari ujung anak panah.
: Aku tunggu kau di pintu air sungai flora. Sepertinya kita harus bicara, Dexter.
- Odette.
Terpapar lagi senyum pada wajahnya. Padahal hanya pesan yang seperti itu. Tapi Dexter sangat senang gadisnya ingin bertemu dan bicara padanya.
Braman merebut kertas dari genggaman Dexter, "Nona Odette ini selalu membuatku waspada. Bangsawan mana selain dia yang memberi pesan dengan anak panah... "
"Gadisku hebat, kan?"
Gadisku? Sejak kapan mereka saling mengakui? Pasti hanya Tuan muda sepihak yang bicara begitu. Memang orang yang sedang kasmaran sangat menyeramkan.
Tak ingin ikut campur, Braman lebih memilih untuk pergi dan meninggalkan Dexter yang masih tersenyum tidak jelas.
Biarlah menjadi urusan mereka. Braman sudah sepatutnya tak mencampuri. Lebih baik dia istirahat dan tidur sementara tuan mudanya pergi.
Dexter juga segera keluar istana untuk menemui gadisnya. Pasti Odette juga sudah menunggu lama.
"Sepertinya ada yang sedang berburu seorang gadis?"
Langkahnya terhentikan karena suara seseorang yang sangat tak ingin dia temui akhir-akhir ini. Sudah berusaha menghindar namun tetap saja bertemu entah di ruang baca ataupun taman istana.
"Kau menghindariku belakangan ini. Tak bisakah hormat pada ibumu?"
Dengan rasa malas yang luar biasa, Dexter terpaksa berbalik badan dan menghadapi wanita itu.
"Ibu, jangan bicara padaku sebelum kau mau mendengar ucapanku dengan baik."
Wanita berpakaian gaun merah tua itu hanya tertawa kecil mendengar ucapan putranya.
"Anak ini masih saja merajuk? Ibu hanya menikah lagi, apa perlu sampai segitunya."
"Hanya?"
Rahangnya mengeras menahan emosi. Dexter sudah tak tahan bicara dengan ibunya lagi. Walaupun hanya beberapa detik saja, rasanya sangat memicu amarah.
Dia berbalik badan dan kembali melanjutkan langkahnya dengan tergesa-gesa. Tanpa mempedulikan wanita itu yang sepertinya menahan rasa kesal juga.
Masa bodo dengan wanita tua yang nggak tau umur itu. Yang terpenting sekarang adalah bertemu dengan Odette.
"Odette?"
Gadis yang dituju menoleh, namun menatapnya dengan raut wajah bingung. Seperti bukan dia orang yang sedang ditunggu olehnya.
"Kau menunggu seseorang? Apakah itu pria?"
Barulah Odette menetralkan kembali ekspresinya dan bergeleng pelan. "Hanya mengira kau orang yang sedang aku tunggu. Lupakan, ada apa?"
"Aku hanya kebetulan lewat, lama sekali nggak bertemu denganmu. Kau semakin cantik Odette..."
"Terima kasih, padahal nggak ada bedanya."
Balasnya, berusaha menepis terang-terangan pujian pria dihadapannya ini. Odette paling malas jika terlalu banyak dipuji. Bukan karena percaya diri, tapi itu memang sangat membosankan.
"Apa kau datang ke pesta nanti malam, Odette?"
"Datang, aku nggak mungkin melewatkan ini lagi. Tak ada yang bisa menindasku sekarang."
Pria itu tersenyum tulus sambil menyelipkan anak rambut Odette pada daun telinganya.
"Benar, Odette 'kan hebat. Kalau butuh bantuan jangan sungkan."
Odette hanya membalasnya dengan tersenyum. Walaupun merasa tak nyaman, tapi pria dihadapannya ini selalu berusaha jadi yang terbaik.
Mungkin memang dirinya saja yang selalu bersikap dingin dan tak menerima uluran tangan orang lain.
"Barata, kau selalu baik padaku. Maaf kalau aku terang-terangan menolakmu."
"Aku nggak memaksa keinginan hatimu, Odette. Membuatmu nyaman lebih baik dari pada memaksamu untuk bersamaku."
Membuatku nyaman lebih baik? Dia menyentuhku begitu saja tadi, jelas aku sudah nggak nyaman. Apa Barata tak mendapat pendidikan bangsawan dengan benar? Bagaimana bisa sesukanya menyentuh gadis lain.
Odette tak tahu harus berbuat apa. Barata selalu membuatnya terkejut dan menahan rasa amarahnya. Dia tak suka sembarang di sentuh oleh pria.
Jika tahu kawasan sungai ini sering Barata kunjungi, Odette jelas tak akan mau berada di sekitarnya. Lebih baik mengajak Dexter ketemuan di tempat lain.
Ah Benar! Aku hampir lupa tentang pria itu. Dimana dia sekarang...
Odette sampai lupa tentang Dexter. Pria itu belum juga menampakan wajahnya sama sekali. Apakah dia tak ingin bertemu, pikir Odette meneka.
"Odette? Apa kau punya pacar... "
"Huh? Tentu, tentu ada." potong Odette cepat, tak ingin Barata bicara lebih jauh tentang hal itu dan berharap.
Barata tersenyum sendu menatap wajah gadis dihadapannya ini. Gadis yang selalu dia ingin dapatkan namun terhalang status.
Jika saja keluarga Barata tak mengabdi pada pekerjaan, tentu dia bisa bahagia bersama Odette.
Keluarga Waterson terlalu mengabdi menjaga ketertiban sungai wilayahnya. Setiap generasi diharuskan menjaga masing-masing satu kekuasaan. Sangat merepotkan, pikir Barata.
"Andai saja aku bisa terlepas dari keluarga Waterson, mungkin kita bisa-"
"Tentu tidak bisa. Kau Barata Waterson, selamanya jadi bagian keluarga. Kenapa malah ingin lepas dari keluargamu."
Odette membantah ucapan Barata. Karena pasti pria itu mulai bicara sembarangan. Sudah ditolak beberapa kali rupanya Barata belum juga menyerah.
"Menurutmu bagaimana Odette? Apa kau mau menerima pria yang bukan dari kalangan bangsawan jika aku melepaskan margaku?" pria itu masih saja berusaha bicara lurus pada topiknya.
"Tentu saja tidak, karena Odette sudah punya pria sepertiku."
Dexter datang menimpali pembicaraan dengan sangat dingin. Raut wajahnya kembali pada setelan awal, sangat dingin dan seperti tak berperasaan.
"Dexter!"
Gadis itu nampak sangat senang dengan kehadiran Dexter. Barata sampai merasa cemburu karena jika bertemu dengannya bahkan Odette tak pernah memanggil namanya lebih dulu.
"Maaf Odette, aku terlambat."
Dexter mengulurkan satu tangannya guna membantu Odette bangun.
Dengan senang hati gadis itu menerima uluran tangan Dexter kali ini. Dia juga sudah muak bicara dengan Barata.
"Aku kira kau nggak datang..."
"Bagaimana bisa aku menolak ajakan darimu? Tentu aku harus datang!" ucapnya dengan sedikit keras, berharap kedengaran sampai rongga kuping terdalam pria yang bicara pada gadisnya.
Odette tersenyum mengembang saking senangnya. Entah mengapa adanya Dexter membuat hatinya merasa tenang. Walaupun baru saling mengenal, bersamanya lebih tenang yang Odette rasakan dari pada berdekatan dengan pria lain.
Hatinya seolah berkata, kalau Dexter adalah orang yang akan melindunginya. Jangan pernah jauh dari genggaman pria ini.
"Mari kita pergi? Tuan Barata, terima kasih untuk menemani Odette sebelumnya. Kau pasti sedang menjaga wilayah sungai Flora."
"Tanpa adanya kau, aku tetap menjaga Odette." jawab Barata ketus.
"Baiklah, kalau begitu aku dan Odette pergi dulu. Kami harus menghabiskan waktu bersama untuk hari ini."
Dexter menuntun Odette dengan menggenggam erat lengan gadis itu. Meninggalkan Barata yang menatapnya dengan sangat tidak suka. Entah tatapan apa itu, tapi yang pasti Dexter tak peduli.
Aku yang ditunggu olehnya, kau itu hanya membuatnya nggak nyaman. Masih saja berusaha untuk mendapatkan hati Odette.
Pria itu terus mencibir Barata karena tak juga sadar diri. Sudah jelas dihadapannya Odette merasa muak dan jengkel. Masih saja ingin mendapatkan hati gadisnya.
"Dexter, kita ingin bicara dimana?" tanya Odette saat sudah keluar dari kawasan Hutan.
"Dari pada di dalam sana, lebih baik ke taman istanaku saja." balasnya.
"Huh? Aku nggak mau. Nanti bertemu calon ibu tiriku bagaimana?"
Dexter menarik lengan Odette dan memeluk gadis berambut emas itu.
"Menikahlah denganku, maka pernikahan mereka nggak akan pernah terjadi."
Odette masih terdiam seribu bahasa akibat pelukan tiba-tiba Dexter. Apalagi pria itu langsung mengajaknya nikah dengan begitu mudahnya.
"Odette? Kenapa kau diam saja? Apa aku membuatmu tak nyaman?"
Dexter langsung melepas pelukannya karena takut gadis dihadapannya merasa tak nyaman. Dia hilang kendali barusan, makanya tak sengaja membawa Odette kedalam pelukannya.
"Maaf, Odette. Aku nggak bermaksud-"
"Nggak masalah." potongnya cepat, lalu mengeluarkan kotak besi berukuran kecil dari balik gaun miliknya.
Diberikannya kotak itu pada Dexter. Membuat pria itu penasaran dan langsung membukanya.
Raut wajah heran terpampang jelas padanya. Dapat Odette simpulkan, Dexter tak mengerti maksud dirinya yang memberi kotak berisikan cincin berlian.
"Benar, aku terlintas jalan keluar untuk membatalkan pernikahan kedua belah pihak keluarga. Aku nggak sangka, ternyata pemikiran kita sama." ujarnya.
Barulah dia paham dengan maksud Odette. Dexter tersenyum tipis. Dalam hatinya seperti ingin mencium bibir gadis itu. Tapi dia harus bisa menahan dirinya agar Odette nyaman.
"Odette? Berarti kita sama-sama setuju bukan?"
Gadis itu mengangguk mantap, "Kita harus membatalkan pernikahan mereka. Maka hanya bisa melakukan pernikahan kita sebagai jalan pintas!"
"Baiklah, kita umumkan saat pesta nanti malam. Apa kau ada keinginan lain, Odette?"
"Mm... Untuk pernikahan aku ada beberapa kesepakatan. Tolong kalau merasa bosan denganku, jangan cerai sebelum satu tahun pernikahan." ucapnya.
Dexter tersenyum padanya, pria itu mengecup punggung tangan Odette dengan lembut. "Dan aku punya perjanjian. Tolong jangan ada niat untuk berpisah dariku."
Terdiam, membeku, bisu seketika tanpa bisa bicara satu kata pun. Jelas Odette sedikit tertegun dan juga heran dengan ucapan Dexter.
Tapi tak terlalu dia pikirkan. Karena setidaknya untuk masalah pernikahan akan aman bersama pria itu. Untuk hari yang akan datang, biarlah berjalan sebagaimananya saja.
Odette hanya berharap pernikahan ayahnya akan gagal. Ibunya sudah terlalu banyak memikul luka yang diberikan oleh pria tua tak tahu diri itu.
Hati anak mana yang tak sakit melihat ibunya selalu tersakiti? Jika ada, mungkin hanya anak tanpa kasih sayang dari orang tuanya.
Bagi Odette, ibunya adalah separuh nyawanya. Jika ibunya tiada lebih cepat, gadis itu tak tahu bagaimana caranya melanjutkan hidup.
"Baiklah, karena kita sama-sama sudah mencapai tujuan, maka lebih baik kembali ke istana untuk istirahat." ujar Odette.
"Apa berlama-lama denganku membuatmu jengkel, Odette?" ucap Dexter dengan raut wajah sedikit kecewa.
Dexter merasa Odette sangat tidak suka melihat wajahnya. Padahal saat sedang bersama Barata tadi, Odette terlihat senang karena Dexter datang.
Apa itu semua hanya sandiwara yang dia buat? Apa benar Odette sama sekali nggak menyukaiku? Sakit sekali rasanya..
"Bukan, aku nggak bermaksud begitu. Hanya saja kita harus mempersiapkan argumen untuk pesta malam nanti bukan?"
"Dexter, kenapa kau salah paham denganku?"
Barulah Dexter kembali tersenyum usai mendengar pernyataan Odette.
Ternyata dia nggak benci padaku. Aku pikir dia hanya memaksakan dirinya untuk bicara denganku.
"Dexter..."
Odette menggenggam kedua tangan pria itu dengan penuh harap.
"Walaupun aku nggak mencintaimu, setidaknya masih ada banyak waktu bukan jika kita berhasil menikah nanti?" ucapnya.
Kaget? Jelas. Dexter sangat bahagia mendapat perilaku seperti itu dari Odette. Jantungnya hampir outside karena ulah gadis pirang itu.
"Odette, aku pastikan malam ini kita berhasil. Pernikahan kita akan terjadi dalam beberapa waktu dekat." ujarnya tegas dengan penuh keyakinan.
Odette dapat simpulkan bahwa Dexter benar-benar sangat serius dengan pernikahannya. Odette jadi takut membuat pria itu kecewa jika nantinya dia masih belum bisa mencintai Dexter.
Astaga, apa yang aku pikirkan? Ayolah Odette, kau mana peduli dengan perasaan seseorang. Yang terpenting pernikahan Ayah dibatalkan malam ini.
* * *
"Hei Braman, jangan berikan aku warna baju yang mencolok." keluh Liam.
Sudah satu setengah jam dia memilih pakaian untuk pesta nanti malam dengan bantuan Braman. Namun satupun belum juga mendapatkan yang layak.
Tapi tidak dengan Braman, menurutnya semua pakaian ini sangat layak. Hanya Liam saja yang terlalu pemilih.
"Lebih sulit mengurusmu dari pada Tuan muda..." balas Braman menyamakan dengan Dexter.
Liam berdecak pelan, lalu menatap jengkel ke arahnya. "Masa bodo dengannya. Sekarang, aku hanya ingin pakaian yang warnanya gelap sajalah!"
Pasrah Liam dibuatnya. Hanya mencari pakaian yang berwarna santai saja tidak dapat. Padahal tinggal berikan warna hitam apa susahnya Braman ini.
"Tuan Liam, pesta nanti malam ada para tetua. Kenapa kau mengenakan warna hitam?"
"Setidaknya warna biru tua... Mau tidak?" tawar Braman membujuk.
"Terserah saja. Hanya pesta Braman, kenapa orang-orang harus sampai sedetail itu?!" protesnya.
"Kau ini lupa ingatan atau memang pelupa? Malam ini acara pertunangan Ibumu!"
Braman sampai mengelus dada sabar menghadapi anak pertama keluarga Cyrus ini. Jika orang-orang menginginkan pekerjaan menjadi tangan kanan sepertinya, sungguh orang itu bodoh.
Lebih susah menghadapi sifat keras kepala kedua orang ini dari pada mengurus keamanan istana.
"Lupakan tentang pestanya. Bagaimana tentang Dexter?" ujarnya mengalihkan pembicaraan.
Braman menghela nafas pasrah, "Ya sepertinya begitu..."
"Begitu apanya?!"
Liam benar-benar jengkel sekarang. Braman ini memberi informasi setengah begitu, jika Liam membelah tubuhnya baru tahu rasa pria tua itu.
Sungguh memancing amarah sekali pria tua ini. Liam sepertinya harus mengontrol kesehatan mentalnya.
"Seperti yang kalian harapkan, aku berhasil." timpal Dexter muncul dari balik pintu kamarnya dan menghampiri mereka berdua.
Hening, Liam dan Braman hanya saling melempar pandang. Keduanya masih berusaha mencerna apa yang baru saja didengar.
Rasanya seperti tidak percaya. Dexter sangat pandai bicara, Braman dan Liam benar-benar tak dapat mempercayai pria itu.
Namun semakin diperhatikan, Liam tak menemukan kebohongan pada wajah adiknya.
"Benarkah itu?" tanyanya memastikan.
"Benar! Odette bilang ingin bekerja sama. Ayolah Kak, kau harus memuji adikmu ini." ujarnya membanggakan.
Liam memasang wajah waspada pasa adiknya, "Tidak... Kau harus buktikan nanti malam baru aku dan Braman percaya. Bukankah begitu, Braman?"
Braman menganggukan kepalanya setuju walaupun ada sedikit keraguan.
"Paman Braman tega sekali... Tapi itu bukan masalah besar. Nanti malam kalian akan melihat pertunjukan yang aku buat dengan hebat."
"Baiklah, terserah apa katamu. Aku harus pergi bertemu dengan Odesa sekarang, seharusnya dia sudah menunggu di taman milik Odette." ujar Liam segera bangkit dan akan pergi.
Namun Dexter menghentikan langkahnya, "Kak, aku ikut boleh?" pintanya dengan memelas.
Walaupun tadinya tak berpikir ingin mengajak Dexter, tapi kini Liam mengubah keputusannya.
"Baiklah kau ikut. Setidaknya aku tenang karena Ibu nggak akan curiga."
"Berangkat!" seru Dexter antusias sekali.
Dexter sudah tak sabar ingin bertemu Odette. Baru saja balik tapi sudah rindu ingin menatap gadis pirang itu lama-lama.
Sepertinya Dexter benar-benar sudah di butakan oleh cinta.
Odette, kau pasti penyihir. Kenapa aku semakin tak bisa menjauh darimu hanya dalam beberapa waktu saja? Dasar penyihir licik...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!