NovelToon NovelToon

Complicated Love #2

CL - 01. Jelouse

“Permainan ini, bagaimanapun menyakitkannya, bagaimanapun aku pedih terbakar olehnya, aku hanya perlu mengingat satu hal cinta ini tidak boleh kalah."

Suasana pagi di kota Bandung begitu dingin, membuat siapa saja mengurungkan niat untuk menanggalkan selimut, termasuk aku. Rasanya tak ada yang lebih nikmat daripada berselimut memeluk guling dan bermimpi di pulau kapuk. Hanya saja kenikmatan itu segera lenyap begitu Nina masuk ke kamar dan merebut paksa selimut yang menutupi hampir ke seluruhan tubuhku.

“Rian bangun...!!! Sudah siang, kamu tidak kerja ya?” Ucapnya setengah berteriak. Nina memang memanggilku dengan nama pendek “Rian” seperti laki-laki, tapi sungguh aku seorang perempuan. Hehe.

“Kar... Kare!!! Kamu ganggu tahu, sini balikin selimutnya.” Seruku dengan mata masih mengatup.

“Gak ada selimut, kamu pokoknya harus bangun.”

“Nggak!”

“Ishhh... ngeyel yah nih anak.”

“Kamu kan kerja Yan. Tidak takut disemprot bos kamu?”

“Nggak.”

“Maksud kamu? Kamu off?”

“Nggak.”

“Cuti?”

“Nggak.”

“Nggak gimana maksud kamu? Semua pertanyaan kamu jawab 'nggak'.”

“Iya Kare, aku gak off, gak juga lagi cuti, aku resign.”

“RESIGN???”

“IYA!"

“Serius? Tapi kenapa?”

“Ya gak kenapa-kenapa Kare. Aku gak suka suasananya, gak nyaman. Mesti gimana lagi sih aku harus jelasin ke kamu, biar kamu ngerti.”

“Tunggu... tunggu...! Suasananya tidak nyaman atau kamu yang berulah. Kamu baru sebulan loh kerja di perusahaan itu dan ingat dalam setahun ini kamu udah keluar masuk perusahaan udah lima kali. Kamu tidak belajar dari kesalahan yang sudah-sudah ya?”

“Cerewet deh Kare. Sinih selimutnya!” Aku berhasil merebut selimut itu dari tangannya.

Kudengar Kare ber-“hhhh” panjang lalu keluar dari kamarku. Bukannya tidur lagi, aku malah melamun panjang. Selera tidur jadi hilang gara-gara Kare menghancurkan semuanya. Dengan malas, aku meraih Gadget yang tergolek pasrah di sampingku. Mengecek email dan BBM yang masuk, tidak ada email penting, hanya beberapa email promosi dan tawaran diskon dari toko-toko online tempatku biasanya berburu barang. Buka BBM, ada beberapa BBM Broadcast tidak penting yang menurut aku orang BC seperti itu malah terkesan tidak smart. Mataku berbinar begitu melihat BBM dari Tefan.

Pagi...! Baru bangun ya? Selimutnya masih ditarik-tarik Nina gak?

Tanpa pikir lama aku langsung membalas BBM tersebut.

Iya nih, pacar kamu keterlaluan kalau bangunin orang. Kayak macan ngamuk.

Menunggu balasan. Baru bertanda Delivery.

Ting Tong!!! BBM masuk.

Haha... udah bangun sana, mandi. Bau tahu.

Iyah. Kamu sudah di kantor ya?

Iyah. Gak kayak kamu, bukannya kerja malah Resign.

Bawel kamu ah, sama kayak Kare.

Wake up Riana!

OK!

Agak terkesan ganjil rasanya, aku malah bermesraan dengan pacar sahabat sendiri. Aku sahabat keduanya, sahabat Karenina dan sahabat Tefan juga. Itulah yang terlihat dan nampak di mata orang-orang, tapi jauh di sudut yang tersembunyi, sesungguhnya kami, maksudnya aku dan Tefan bukanlah sekedar sahabat, tapi lebih dari itu.

Bila hal seperti itu disebut selingkuh, maka aku tidak akan menamai hubungan ini dengan apapun. Baik aku atau Tefan, perasaan yang muncul di hati kami itulah yang kami percayai. Sesederhana itu dan aku tidak perlu pendapat orang lain untuk mematahkan apa yang sudah terjalin diantara kami berdua. Antara aku dan Tefan.

Karenina tidak pernah mempermasalahkan jika aku keluar makan siang berdua dengan Tefan, sebab yang dia tahu, aku dan Tefan adalah sahabat sejak kecil. Tidak lebih dari itu. Apa aku jahat? Aku tidak mau memikirkan itu, apalagi kalau benar-benar beranggapan bahwa aku ini jahat pada sahabat sendiri. Sudah terlalu banyak waktu yang kami lewati sendiri-sendiri. Saat bertemu Tefan, hidupku kembali berwarna ada letupan kebahagiaan yang sulit kujelaskan begitu melihatnya.

Di meja makan sudah terhidang sarapan pagi yang kutahu semua itu adalah kerjaan Karenina. Aku senyum dan mengucapkan terimakasih dalam hati. Dia sangat baik, itulah sebabnya mengapa aku tidak mau dia sampai tahu ada sesuatu antara aku dan Tefan. Tidakkah aku sudah cukup baik membiarkan dia memiliki Tefan, sementara aku hanya bisa memiliki Tefan pada waktu\-waktu tertentu saja. Entah siapa yang paling egois.

 

***

Selamat datang di dunia pengangguran, dunia di mana hari-hari hanya diisi dengan movie time, makan, jalan-jalan dan tidur. Apalagi coba yang menyenangkan selain itu semua? Hari ini aku berencana mampir ke butik Nina, siapa tahu ada barang bagus, baru, dan lagi Sale. Hahaha...! Harus begitu, menjadi pengangguran harus pintar-pintar mencari barang bagus dengan harga miring. Biar pengeluaran juga tidak membengkak kayak balon habis ditiup.

 

Aku mengenakan setelan jeans yang di bagian lututnya terdapat sedikit sobekan, dengan kaos Chanel berwarna putih. Aku lebih suka casual style dibanding harus berdandan ala princess yang kemana-mana harus ber-make up lengkap. Bagi aku casual style lebih cocok dengan kebiasaan aku setiap hari tidak hanya itu tapi lebih karena kepribadian aku yang memang tidak menyukai dandan. Tidak repot tapi tetap terlihat mengikuti trend masa kini. Sekitar pukul sepuluh pagi akupun berangkat memakai mobil sporty milikku. Nina pasti kaget kalau tiba-tiba melihat aku berkeliaran di butiknya.

Jalanan Bandung tidak terlalu macet, membuat aku lebih santai di balik kemudi. Mendengarkan lagu-lagu Sam Smith di Playlist selama perjalanan sembari bibirku juga tak berhenti melafalkan lirik-liriknya. Saat asyik menyetir, gawaiku bergetar, BBM dari Tefan.

Lagi di mana?

Otewe.

Ke mana?

Mau ke butik pacar kamu.

Kebiasaan lama muncul kembali. :D

Siapa tahu dikasih diskon besar-besaran atau malah gratis. Hehe

Habis itu mau kemana?

Kenapa? Mau ngajakin makan malam? Trus Kare mau kamu apain?

Yee... GR. Orang cuma nanya kok.

Gak percaya.

Iya iya, aku mau ngajakin kamu nonton. Tapi jangan bilang-bilang Nina.

Kenapa gak sekalian ngajak Nina?

Oh mau gitu?

Ya enggak sih.

 

Makanya jangan nawarin sesuatu yang pada akhirnya kamu gak suka. Lagi pula seminggu ini aku sudah temenin Nina kemana-mana. Aku juga pengen punya quality time sama kamu.

Ya udah, kita ketemu di XXI saja nanti malam.

Oke sip. Take Care Lady Riana...

Lebbay... :D :D :D

 

Tefan ada-ada saja, tapi memang benar sih seminggu ini memang mereka menghabiskan waktu sama-sama terus. Tefan juga baru gencar BBM hari ini, karena kalau dia sedang bersama Nina tidak mungkin dia akan menghubungi aku. Dua puluh menit kemudian tibalah aku di butik Nina, sebuah tulisan besar di depan toko menyambut kedatanganku. **KARENINA BOUTIQ**. Pelan aku membuka pintu butik yang bertuliskan PUSH.

Aku tidak langsung menemui Nina di ruangannya, tapi langsung melihat-lihat koleksi terbarunya. Nina termasuk sukses dengan bisnis butiknya ini, dia mendesain sendiri koleksi-koleksinya dan sekarang dia lagi mendesain berbagai macam pakaian hijab. Memang saat ini pakaian hijab sangat diminati kalangan perempuan. Banyak yang secara tiba-tiba mendapat ilham dan memutuskan untuk berhijab, entah karena benar-benar niat dalam hati atau hanya karena sebuah trend semata.

Seorang karyawan butik Nina menghampiriku, awalnya dikira pembeli trus dia menjelaskan banyak hal mengenai barang-barang baru butik Karenina, termasuk apa yang lagi promo atau Sale. Lalu ketika aku menoleh ke arah karyawan itu, ekspresinya berubah.

“Mba Riana? Yahh.... sudah capek-capek jelasin ini itu, tahunya malah Mba Riana, kirain pembeli lain.” Ucapnya cemberut.

“Haha... udah layani aja pembeli yang lain. Aku paling cuma bentar dan langsung masuk ke ruangannya bos kamu kok.?”

“Baik Mba.”

Puas berkeliling, akupun masuk ke ruangan Nina.

“Hei...!” Seruku begitu kepalaku menyembul dari balik pintu ruang kerjanya.

“Rian??” Jawabnya sedikit terkejut.

“Boleh masuk gak?” Tanyaku nyengir.

“Kamu berdiri di pintu situ juga gak bakal jadi duit Rian. Masuk gih.”

“Makasih.”

Aku duduk di depan Nina dan langsung ambil cokelat di sampingnya yang sedang tergolek manis minta dimakan.

“Kebiasaan deh Rian.”

Peduli setan sama teguran Karenina. Sambil nyemil aku lalu ambil beberapa majalah Fashion di rak majalah.

“Ngapain ke sini Yan?”

“Emang gak boleh ya?”

“Ya gak gitu. Bolehlah, siapa bilang gak boleh.”

“Aku bosen di rumah.”

“Makanya cari kerja gih.”

“Nanti aja kalau malasnya sudah hilang.”

“Kapan sih sifat malasnya kamu itu hilang? Benar-benar tidak kerja baru tahu rasa kamu.”

“Tenang deh Nin, aku yang gak kerja kok malah kamu yang bawel sih. Udah ya, mendingan kamu fokus aja deh sama kerjaan di depan kamu itu. Aku mau liat-liat majalah dulu.”

 

Akupun tenggelam dengan majalah di pangkuanku, sesekali tergelak dengan beberapa pakaian trendy dengan harga selangit. Kudengar Nina lagi ngobrol di telpon, suaranya bersemangat dan dia kedengarannya sedang gembira sekali. Tadinya tidak ingin peduli dengan siapa dia berbicara di telpon tapi aku terusik juga begitu tahu kalau yang telpon itu Tefan. Rasanya ada bagian dari dalam hatiku yang nyeri. Lagi-lagi aku hanya tersenyum kecut dan berusaha untuk bersikap sewajar mungkin. Membuang jauh-jauh satu kata ini “Jelouse” sebelum makin merasuki sisi burukku.

Lagipula tidak ada yang salah dengan “cekikikan” Nina di telpon toh dia berbicara dengan kekasihnya. Walau tidak bisa dipungkiri kalau aku juga mulai merasa cemburu. Situasinya benar-benar tidak menguntungkan, aku harus bagaimana? Secara tidak sadar kita bertiga sudah menjalani hubungan yang rumit. Lalu keadaan yang harus aku hindari adalah berusaha untuk tidak cemburu sama sekali. Tidak pada Nina dan juga pada Tefan.

CL - 02. Hanya Perlu Mencintainya

Sudah seharusnya aku bersyukur atas semua waktu yang aku dan Tefan lewati. Berjalan-jalan, menghabiskan waktu bersama. Melupakan status diantara kami dan hanya ada hati yang dipernuhi rasa cinta. Definisi cinta bagi kami selalulah sederhana, seperti moment nonton atau makan ice cream mengenang masa kecil dulu. Waktu-waktu seperti itu sangatlah berharga buat aku dan Tefan.

Baru saja mau masuk ke dalam kamar, Nina muncul dengan wajahnya yang membuat aku hampir kena serangan jantung karena kaget. Suasananya remang-remang, sebagian besar lampu sudah dimatikan lalu tiba-tiba muncul sosok hitam dengan wajah putih rambut panjang seperti anaknya kuntil. Eh kunitilanak. Aku merasa saat itu juga aku akan pingsan, untung saja sosok hitam berwajah putih itu lekas ketawa yang khas sekali kukenal sebagai ketawanya Nina. Nina nyengir ke arahku memperlihatkan gigi-giginya yang putih dan teratur. Puas karena tidak sengaja mengerjaiku dengan wajahnya.

“Oh My God Kare!!!”

“APA???” Jawabnya

“Apanya gimana? Wajah kamu ngagetin aku tahu gak. Kirain anaknya kuntil atau temannya pocong.”

“Yeelahh, cantik begini masa dibilang kayak pocong atau kuntil sih. Kamu dari mana? Malam begini baru pulang?”

“Kalau gelap begini trus pake masker, itu gak cantik loh Kare. Aku habis jalan sama teman, nonton gitulah soalnya suntuk kalau harus di rumah terus.”

“Oh...! Ya udah aku duluan yah. Sudah waktunya Tefan telpon sebelum tidur.”

“Okey deh. Good Night Kare.”

“You Too dahling...!”

Seharian di luaran ternyata membuat capek sekaligus menyenangkan. Kalau bersama Tefan tak ada hal yang berlalu tanpa makna, semuanya pantas untuk dikenang, diingat-ingat dan membuat senyum senyum sendiri menjelang tidur. Aku tahu sekarang Tefan sedang mengucapkan selamat tidur pada Nina dan tidak lama berselang setelah itu, dia juga akan mengucapkan hal yang sama padaku. Terdengar aneh memang, tapi itulah kenyataan yang sedang kita jalani sekarang.

Aku menghempaskan tubuh ke atas kasur. Menatap langit-langit kamar, menghembuskan nafas dengan teratur sembari mengingat-ingat senyum seseorang yang juga membuatku tersenyum sendiri pada akhirnya. Orang yang ada di dalam pikiranku lalu menjelma di dalam layar Gadgetku. Tefan. Segera kuangkat dan di seberang sana terdengarlah suara seksi milik Tefan.

“Selamat malam, selamat tidur Lady Riana. Kamu pasti capek dan lelah kan?”

Suara Tefan selalu menenangkan.

“Iyah my lord Tefan. Hahaha...” balasku.

Akhirnya aku mendapatkan julukan yang pantas buat dia. Kita tidak ngobrol lama, karena aku yakin dia juga ingin istirahat setelah urusan kantor dan urusan nonton menyita waktunya hari ini.

***

Aku ingat dulu... dulu sekali, jauh sebelum Karenina kenal dengan Tefan. Keluargaku dan keluarga Tefan adalah bertetangga, hidup rukun seperti tetangga-tetangga yang lainnya. Mamaku, mama Tefan, Papaku dan Papa Tefan semuanya berteman baik. Sudah seperti keluarga sendiri meski tak ada hubungan keluarga. Papaku dan Papa Tefan membangun sebuah bisnis dari nol. Sebuah bisnis yang bergerak di bidang jasa, yakni bisnis Travel Bandung – Jakarta, Jakarta – Bandung. Pada awalnya bisnis tersebut berjalan sangat lancar. Bahkan meraup keuntungan yang luar biasa, mereka sampai menambah armada Travel sampai sepuluh armada.

Bisnis tersebut semakin berkembang pesat, lalu akhirnya sebuah petaka terjadi. Papa dituduh tidak transparan dalam mengelolah keuangan. Aku dan Tefan tidak tahu apa-apa, kami hanya anak kecil yang beranjak remaja. Tetap bersahabat seperti tidak terjadi sesuatu apapun. Papa Tefan menuntut Papa ke pengadilan atas tuduhan korupsi dana keuntungan bisnis Travel tersebut. Papa menerima saja tuduhan itu dan berusaha membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Entah apa motif dari Papa Tefan, hanya saja Papa bukanlah orang yang maruk harta. Aku percaya itu.

Papa menyewa pengacara seperti yang dilakukan oleh Papa Tefan. Semua dibicarakan di pengadilan lalu akhirnya Papa Tefan tidak mampu membuktikan apa-apa atas tuduhannya terhadap Papa. Papa memaafkan perbuatan Papa Tefan, tapi Papa Tefan justru tidak terima dan menganggap bahwa dirinya telah dipermalukan oleh Papa. Beliau marah dan memilih agar aset dari bisnis tersebut dibagi rata, papa tak dapat berbuat banyak dan mengabulkan permintaan Papa Tefan. Semua berlangsung begitu saja, Papa Tefan berbalik membenci Papa dan keluarga kami, termasuk membenciku juga tentunya.

Aku tahu mereka membenciku karena dia juga telah melarang Tefan bergaul denganku lagi. Setiap kali kami berdua ketahuan bermain bersama, maka orang tua Tefan tidak akan segan-segan untuk memukul Tefan dan memarahiku habis-habisan. Aku mengadu pada Papa dan Mama tapi mereka hanya mengelus kepalaku lalu berkata, “tidak apa-apa”. Tidak lama setelah peristiwa tersebut terjadi, keluarga Tefan pindah keluar negeri. Begitulah yang kudengar. Tefan menitipkan surat untukku lewat Mama. Dia memang berani menemui Mama karena sesungguhnya orang tua aku tidak pernah marah apalagi membenci mereka.

Tefan menjelaskan di dalam surat, bahwa dia meminta maaf atas perlakuan orang tuanya pada keluargaku. Dia juga mengatakan bahwa dia tidak akan pernah melupakan aku, akan tetap menjadi sahabatnya dan orang yang paling dekat dengannya sampai kapanpun. Dia juga meninggalkan alamat barunya untukku.

Walau Tefan meninggalkan sebuah alamat dan aku mengirimkan surat padanya, tapi Tefan tidak pernah membalas surat yang aku kirimkan. Aku sedih atas hal itu, selama bertahun-tahun aku menunggu kabar dari dia tapi tidak pernah ada kabar dan balasan dari suratku. Pada akhirnya aku tahu setelah bertemu Tefan, ternyata surat itu tidak pernah sampai padanya. Alamat itu memang benar, tapi hanya alamat sementara lalu Tefan pindah lagi dan tinggal di sebuah apartemen. Itulah sebabnya, surat-suratku tidak pernah diterima olehnya.

Sedikitpun aku tidak marah pada Tefan, karena sebenarnya memang aku tidak akan pernah bisa marah padanya. Bertahun-tahun berpisah lalu bertemu lagi ketika keluarganya memutuskan kembali ke Indonesia. Awalnya aku tidak percaya kalau Tefan sampai mencari jejakku, sebab aku dan keluarga juga pindah tidak lama setelah kepindahan Tefan. Bisnis papa maju pesat dan memutuskan untuk tinggal di tempat yang lebih baik. Tefan menemukanku entah bagaimana caranya.

Aku senang begitu tahu kalau pria tampan, tinggi dan otot yang berisi di depanku adalah Tefan yang dulu. Tefan yang cungkring dan suka berambut gondrong sudah tidak ada lagi. Pertama kali bertemu dengannya aku langsung memeluknya tanpa melihat kondisi bahwa saat itu aku tengah berada di pusat perbelanjaan. Saat itu aku tidak peduli lagi dengan sekitar, dadaku terlalu disesaki rasa rindu dan rasa tak percaya bahwa orang yang tengah berdiri menatapku saat itu adalah Tefan.

Pertemuan demi pertemuan terus berlangsung, hingga pada satu kesempatan aku terkejut dan merasa duniaku terbalik seketika. Karenina yang juga sahabatku memperkenalkan Tefan sebagai tunangannya. Tefan tidak tahu kalau orang yang akan diperkenalkan Karenina padanya adalah aku, Riana sahabatnya. Kami menjelaskan pada Karenina bahwa kita berdua sudah saling kenal dari kecil dan bersahabat. Sejak pengumuman status hubungan mereka, aku ingin sekali merasa tidak terganggu hal itu. Namun aku semakin memikirkan Tefan tiada henti. Lalu aku ceritakan perasaan gelisah itu pada Tefan dan dia juga merasakannya. Kami sampai pada kesimpulan bahwa kita berdua tidak hanya merasa sebagai sahabat saja, tapi lebih dari itu.

Walau sama-sama sudah tahu perasaan masing-masing, baik aku dan juga Tefan tidak berusaha untuk bisa bersama selayaknya sepasang kekasih. Tefan menjelaskan padaku bahwa dia dan Karenina sudah dijodohkan bahkan sebelum mereka lahir. Kedua orang tua mereka juga bersahabat sejak kecil. Oleh karena itu, ingin kelak anak keturunannya ada yang berjodoh dan menjalin sebuah keluarga. Aku paham, bahwa posisiku memang serba sulit. Di satu sisi, mereka sudah ditakdirkan untuk bersama, di sisi yang lainnya aku dan keluargaku dibenci oleh orang tua Tefan.

Tefan tidak bisa melakukan sikap frontal pada keluarganya, sebab dia sendiri telah menyetujui perihal perjodohan itu. Di luar negeri sana, Tefan bahkan dilarang menjalin hubungan dengan gadis-gadis bule hanya karena Tefan sudah dijodohkan di Indonesia dengan Karenina. Apa yang bisa dia lakukan selain menerima saja? Akupun paham dengan semua situasi dan kondisi yang menghimpit kami. Satu-satunya cara agar aku bisa terus berada di sekitar Tefan adalah ikut merestui hubungan dia dengan Karenina. Bagaimanapun Karenina adalah sahabatku dan aku juga tidak mau melihat dia sampai hancur hanya karena hubungan dia dan Tefan berantakan karena aku.

Sedikitnya begitulah cerita yang melatarbelakangi mengapa kisah ini begitu pelik untuk diurai. Namun aku dan Tefan punya cara tersendiri untuk memahami dan menikmati segala situasi dan kondisi yang serba sulit ini. Selagi mereka hanya bertunangan dan Karenina tidak tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam hatiku dan Tefan, maka semua akan berjalan baik-baik saja. Walau cepat atau lambat, mereka pasti akan menikah pada akhirnya.

Segala apapun di dunia ini, tergantung bagaimana cara kita memandang dan menunjukkannya. Dan aku memilih memandang kondisi ini dengan cara yang sederhana, juga menunjukkannya dengan cara yang sederhana, aku hanya perlu mencintainya tidak lebih.

CL - 03. Papa Tefan

“Jalani seperti air mengalir, kadang kala ada benturan tapi air itu akan terus mengalir menuju muara seharusnya.”

Hari kedua menikmati jadi pengangguran. Pagi-pagi sudah ditelpon mama, menanyakan apakah pekerjaanku lancar atau tidak. Dengan berbohong lantas kujawab iya saja, biar buntutnya tidak panjang ke mana-mana. Mama juga mengingatkan aku soal Tefan, mengingatkan untuk kesekian kalinya kalau Tefan sudah menjadi milik Karenina.

 

“Iyah Mama, aku tahu.”

“Riana sayang, Mama tidak mau kamu sampai mengorbankan banyak hal hanya karena Tefan. Kamu harus sadar posisi kamu. Orang tuanya membenci keluarga kita sayang.”

“Iyah Ma.” Jawabku lemah.

 

Dan aku mulai jengah kalau harus mendengar ini berulang kali, meski maksud mama itu baik tapi tidak juga harus dijelaskan seribu kali.

 

“Ma, sudah dulu ya, aku mau mandi mau berangkat kerja.” Jawabku berkilah, menghindar dari wejangan mama yang sepanjang rel kereta api.

Aku duduk termenung di atas tempat tidur dan Karenina menerobos masuk begitu saja.

“Hayooo... melamun apaan? Lagi naksir sama seseorang ya?” godanya.

“Sotoy deh. Minggir gih, aku mau mandi dulu.”

“Mau ke mana?”

“Cari kerja. Bosan di rumah terus.”

“Nah gitu dong. Itu baru Rian.”

“Riana.... bukan Rian, Kare...!!!” teriakku dari dalam kamar mandi.

“Biarin. Haha.” Jawabnya sambil tertawa dan keluar kamar, aku mendengar derap kakinya dan suara pintu yang sedang ditutup.

 

Mandi sudah, sarapan beres, siap - siap ke kantor yang menghubungiku kemarin sore. Semoga diterima. Kalau dipikir - pikir, sebenarnya aku tidak perlu cari - cari kerja seperti ini sebab bisnis papa juga sudah melaju pesat dan butuh orang untuk menjalankannya dan akulah satu - satunya orang yang pantas untuk itu karena aku anak satu - satunya. Tapi bagaimana bisa, kalau passion aku ternyata tidak di sana. Buang - buang waktu saja. Selain bisnis papa yang perlu diurus, sebenarnya aku punya lahan sendiri yaitu bisnis kuliner. Tapi sudah kuserahkan pada sepupuku untuk mengurus semuanya. Aku tinggal tunggu transferan masuk setiap bulannya dan aku percaya sama dia.

Bekerja bagiku sebenarnya hanya untuk menghilangkan rasa jenuh saja. Tinggal di rumah kontrakan pun sebenarnya bukanlah sebuah pilihan terakhir buatku, sebab papa sudah membelikan apartemen tapi aku malah lebih senang tinggal di rumah kontrakan seperti ini. Setidaknya dengan tinggal di sini aku selalu bersama Nina. Kalau di apartemen sepanjang hari akan sendiri, mengajak Nina tinggal di apartemen, dia tidak mau. Katanya jauh dari tempat dia kerja, selain itu sudah nyaman berada di rumah kontrakan ini. Yah, di sinilah memang seharusnya aku berada mungkin.

Aku mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama musik sembari jari - jariku juga ikut berketak ketuk di atas setir mobil. Ada telpon masuk, tanpa melihat dari siapa aku langsung mengangkatnya.

 

“Halo...!”

“Dengan Mba Riana Larasati?”

“Iyah benar. Dengan siapa ya?”

“Kami dari perusahaan yang menelpon mbak kemarin untuk melakukan wawancara hari ini, bagaimana mba, apa hari ini bisa dilakukan wawancara?”

“Oh iyah, iyah maaf mba. Ini aku sedang di jalan. Lima menit lagi sampai. Maaf sudah membuat menunggu.”

“Iya ditunggu kalau begitu Mba. Selamat pagi.”

“Oke.”

 

Inilah salah satu penyakit yang tidak hilang-hilang dari aku, terlalu santai menikmati hal apapun, bahkan dalam hal genting sekalipun. Perusahaan yang bergerak di bidang advertising itu telah menelpon dan aku masih menyetir santai di balik kemudi. Lima menit gimana, paling juga lima belas menit baru sampai kantor tersebut. Let see, apa yang akan terjadi sesampainya aku di kantor itu. Apakah akan tetap dilakukan wawancara atau tidak.

Perusahaannya lagi butuh seorang marketing handal, melihat latar belakangku, aku bisa memenuhi syarat walaupun belum handal dalam hal ini.

Benar saja, lima belas menit kemudian barulah aku sampai di lobby perusahaan dan menemui resepsionisnya.

 

“Selamat pagi mba, aku dipanggil untuk wawancara hari ini. Bisakah aku wawancara hari ini?”

“Oh, tunggu sebentar ya mba.”

 

Sang resepsionis lalu menelpon seseorang, mungkin atasannya yang akan melakukan wawancara. Tidak sampai semenit, mba itu telah selesai dan memintaku untuk langsung menuju ruangan bosnya. Resepsionis menunjukkan ruangannya padaku bahkan mengantarkan sampai pintu ruangan bosnya.

Pintu diketuk pelan dan sang resepsionis membukanya dari luar.

 

“Maaf Pak sudah mengganggu, orangnya sudah datang.”

“Okey, trimakasih Fit. Suruh orangnya masuk.”

 

Aku pun masuk ke dalam ruangan seperti yang diminta. Ruangannya cukup luas, ada sofa untuk tamu dan ada satu buah kursi berada di depan bos yang tampaknya sedang sibuk di depan laptopnya.

 

“Selamat pagi Pak.” Ucapku.

“Selamat pagi. Kamu yang bernama Riana Larasati?”

“Iya benar pak.”

 

Interview seperti ini sudah bukan lagi hal baru bagiku tapi kenapa kali ini aku dibuat berdebar tidak karuan seperti ini sih. Aku berusaha menenangkan diri dengan bersikap tenang dan tidak tegang. Bapak-bapak di depanku ini sama sekali belum memandangku sejak menit yang lalu aku duduk di depannya. Hal itulah yang menyebabkan aku sedikit gugup, blagu banget sih nih Bapak-bapak. Keluhku dalam hati.

 

“Bahkan untuk interview saja kamu sudah telat hampir lima belas menit. Saya sangatlah menghargai waktu. Meski begitu saya akan memberimu kesempatan, saya ingin mendengar langsung mengenai pengalaman bekerja kamu. Dari CV yang kamu tawarkan nampaknya kamu punya banyak jam terbang. Bisakah kamu menjelaskan pada saya, kenapa saya harus mempekerjakan kamu di perusahaan saya ini?” Jelasnya panjang lebar.

 

Gila ini bapak - bapak, baru kali ini aku melakukan wawancara dengan seorang bos tanpa melihat wajahku sedikitpun. Orangnya sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas yang ada di depannya itu. Membuat aku sama sekali tidak bisa melihat keseluruhan wajahnya, tapi kenapa orang ini sampai bisa membuat aku gugup tidak karuan seperti ini?

 

“Kenapa diam saja?” Tanyanya kemudian.

 

Eh iya, aku diminta menjelaskan CV kenapa malah melamun seperti ini. Sial!

Akupun bercerita panjang kali lebar, termasuk kenapa aku sampai bisa keluar masuk perusahaan berkali-kali dalam kurun waktu satu tahun. Kudengar bapak di depanku ini hanya berdehem lalu melanjutkan pekerjaannya lagi. Aku jadi kesal dibuatnya, sebenarnya niat mewawancarai tidak sih.

Aku sudah selesai dengan penjelasanku, tapi responnya hanya diam saja lalu tak lama kemudian dia mengangkat wajahnya. Seperti gerakan slow motion, orang ini benar-benar membuat aku kehilangan detak jantungku beberapa detik.

“Bapak...???” Hanya itu yang keluar dari bibirku yang tiba-tiba kelu begitu saja. Sekujur tubuhku seperti membeku mengetahui siapa yang sekarang sedang duduk di depanku.

“Ada apa Riana? Kamu kaget?” Tanyanya.

Jelas pertanyaannya itu konyol, siapa yang tidak kaget. Setelah bertahun-tahun akhirnya aku baru melihatnya lagi dan kini dia menatap ke arahku bagai hendak menelanku. Tatapannya begitu tajam, rasa kebencian itu tidak terlihat surut walau sudah bertahun-tahun berlalu.

 

“Sepertinya kamu belum melupakan saya. Ada apa? Bisnis papa kamu hancur, sampai kamu harus cari kerja ke sana ke mari? Reputasi dan prestasi kerja kamu selama ini juga kudengar sangat buruk. Sampai harus berpindah\-pindah perusahaan. Tapi tenang saja, di sini saya akan menerima kamu dengan tangan terbuka. Asal kebiasaan terlambat kamu bisa kamu tiadakan. Sebab saya tidak suka orang yang sering terlambat sedikit saja.”

“Saya belum melupakan anda, bagaimana bisa saya melupakan sahabat dari papa saya. Bagaimanapun kita pernah saling dekat dan sudah seperti keluarga—

“Ingat, itu dulu. Sekarang tidak lagi.” Potongnya.

“Iyah dulu...”

“Aku belum lupa semuanya Riana. Dulu kamu masih sangat kecil, mungkin beberapa hal bisa kamu ingat dan beberapa hal lainnya telah kamu lupakan. Oyah, bukannya dulu kamu juga sangat genit pada anakku? Sekarang dia bahkan telah tumbuh menjadi pria dewasa yang kuyakin akan bisa membuat kamu sampai lupa diri. Aku tahu kamu menyukainya, bukan begitu?”

 

Dicecar seperti ini, aku geram sendiri. Aku merasa dipermalukan, bibirku bergetar dan ingin sekali memaki bapak satu ini. Tapi bagaimanapun orang ini adalah papa dari Tefan dan pernah menjadi sahabat baik dari papa.

 

“Saya rasa bapak sudah keterlaluan. Wawancara ini sepertinya tidak berjalan semestinya, saya permisi dulu.”

 

Akupun berdiri dan hendak pergi begitu saja, tapi bapak ini menahanku sekali lagi dengan kata - kata terakhirnya yang membuat dadaku sesak dan nyaris tidak bisa bernafas.

 

“Lupakan Tefan, jangan pernah menemuinya lagi. Aku tidak mau berurusan dengan keluarga pengkhianat seperti papamu. Lagi pula, Tefan tidak akan pernah menjadi apa \- apa bagimu, suka atau tidak suka. Saya rasa kamu cukup mengerti dengan kata \- kata saya.”

Akupun pergi setelah mendengar sejenak penuturan dari papa Tefan, cukup menyakitkan memang. Tapi apalah artinya rasa sakit dibanding rasa cinta yang begitu besar di antara kami berdua? Aku menelan semua yang dikatakan oleh papa Tefan tanpa sedikitpun menaruh rasa dendam ataupun benci. Bagiku apa bedanya benci atau tidak, dendam atau tidak, hal tersebut tidak akan mengubah apapun perasaanku terhadap Tefan.

 

Lupakan soal wawancara kerja, aku kira ini sudah direncanakan oleh Papa Tefan sejak awal. Cukup mengejutkan bahwa Papa Tefan kini sukses dengan usaha periklanannya, namun disayangkan bahwa dia tidak pernah lupa pada kebenciannya terhadap Papa dan keluargaku. Saat keluar dari kantor tersebut, tak sengaja aku bersirobok dengan Tefan yang hendak masuk ke dalam kantor. Aku tak sengaja menabraknya karena sejak keluar dari ruangan papa Tefan, aku masih menundukkan kepala. Menyembunyikan sesuatu yang sudah meluncur bebas dari mataku sejak keluar dari ruangan Papa Tefan. Tefan kaget melihatku berada di kantor papanya, aku sendiri sangat terkejut melihat kehadirannya yang begitu tiba-tiba.

 

“Riana...” Serunya kaget.

“Tefan...” Jawabku berusaha menghapus titik\-titik air yang masih tersisa. Agar tidak menimbulkan kecurigaan Tefan yang pasti akan memancing amarahnya.

“Kok bisa kamu ada di sini?” Tanyanya

“Tidak apa\-apa, aku kebetulan ada telpon dari kantor ini. Kamu sendiri ngapain?” Jawabku asal.

“Aku ke sini mau menemui Pap—

 

Tefan tidak melanjutkan kata-katanya dan malah menarik lenganku agak ke sudut.

 

“Jangan bilang kamu sudah ketemu Papa.” Cecarnya lagi.

“Sudah ketemu.” Jawabku dengan mengangkat wajahku dan tak berani menatap wajah Tefan.

“Tapi kenapa? Kenapa kamu bisa ketemu sama Papa? Pasti ada alasannya. By the way, Papa nggak nyakitin kamu kan?” Tanyanya lagi dengan suara yang lebih tenang di ujung kalimatnya.

“Nggak kok. Nanti aku ceritain, kamu masuk saja dulu temui papa kamu. Mungkin kamu sudah ditungguin di dalam.”

“Aku nggak akan masuk sebelum aku pastiin bahwa kamu baik\-baik saja.” Jawabnya dengan suara bergetar karena khawatir.

“Aku baik\-baik saja Tefan, suer!!! Masuk gih!”

“Ya udah deh, tapi kamu mau nggak tungguin aku di sini. Atau kamu tungguin aku di mobil saja. Please...! aku gak akan lama.”

“Oke. Kalau gitu aku langsung ke mobil dulu.”

 

Aku pun masuk ke dalam mobil yang masih terparkir di halaman perusahaan, sementara Tefan sudah masuk ke dalam kantor. Mungkin saja sekarang dia sudah berada di ruangan Papanya. Alasan apapun Tefan datang kemari karena dipanggil papanya, aku rasa ini ada hubungannya denganku.

 

*Semoga tidak terjadi apa\-apa Tuhan*.

 

Desahku dalam hati dan mengusap wajah karena tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi nantinya.

Aku menunggu cukup lama, sekitar dua puluh menit. Hal itu membuatku semakin khawatir, lalu tidak lama kemudian aku melihat wajah Tefan berjalan ke arah di mana mobilku terparkir. Aku melihat ada yang salah dari wajahnya, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang terjadi. Tefan memberi kode dari luar agar aku mau membukakan pintu untuknya. Setelah membuka pintu mobil, Tefan pun masuk dan menghembuskan nafas berat ketika dia telah duduk di sampingku.

 

“Ada apa Fan?”

“Papa tahu soal hubungan kita.” Jawabnya lemah.

“Lalu?”

“Dia minta aku untuk tidak berhubungan lagi dengan kamu.”

 

Aku diam sejenak. Mencoba mengambil nafas lebih banyak dan berpikir lebih jernih lagi.

 

“Apa yang terbaik menurut kamu Fan?”

“Belum tahu.”

“Kita harus tahu Fan.”

“Habis ini kamu mau ke mana?” Tanyanya mengalihkan.

“Pulang. Fan, apa yang sebaiknya kita lakukan?” Tanyaku seperti menuntut.

“Kita tidak usah membahas ini lagi, tetaplah seperti dulu. Jadi Riana yang bahkan tidak peduli terhadap apapun. Mengenai omongan Papa, tidak usah kamu pikirkan malah akan jadi beban buat kamu, buat aku, jika itu terus kita bahas. Dari awal kamu sudah tahu bagaimana aku dengan Karenina dan bagaimana kita. Bukannya aku tidak tegas dalam memperjuangkan hubungan kita Riana, tapi ada hal\-hal yang mesti kita pertimbangkan sebelum bertindak. Di depan kita akan ada masalah yang lebih besar lagi kalau saja kita tidak hati\-hati. Pasti ada jalan keluarnya, percaya sama aku.” Tefan menyeka pipiku.

 

Tefan seperti menyadarkanku tentang akibat apa yang akan timbul ketika semua orang tahu bagaimana hubungan aku dan Tefan. Tidak hanya menyakiti keluarga masing-masing, tapi juga menyakiti hati sahabatku sendiri. Dan mungkin akan menyakiti siapa saja yang ada kaitannya dalam lingkar hubungan kami. Tapi bagaimana mungkin hal ini terus aku jalani, sementara di sana sini terdapat tekanan. Ada masa di mana kelak aku pasti lelah dan tidak mampu bertahan, sebesar itukah harga yang harus kubayar demi dekat dengan orang yang aku cintai? Lagi - lagi tentang sebuah pengorbanan.

Aku diam dan tak menanggapi semua penuturan Tefan. Ada jeda beberapa saat di antara kami sebelum aku akhirnya angkat bicara.

 

“Kamu benar Fan. Sekarang sebaiknya aku pulang, aku mau menenangkan diri dulu. Kamu mau ke mana?” Tanyaku berusaha membuat keadaan menjadi normal kembali seperti tidak terjadi apa\-apa.

“Siang ini, aku janji makan siang bersama Nina.” Jawabnya berusaha untuk tidak membuatku cemburu akan kalimatnya.

“Bersikap biasa saja kali Fan. Aku gak apa\-apa kok.” Sindirku dan tersenyum pada Tefan untuk menyatakan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan sejauh ini.

“Maafkan aku Riana.”

“Sudahlah.”

 

Tefan mengecup keningku sebelum akhirnya keluar dari mobil. Dia melambaikan tangan saat aku sudah berada di badan jalan dan bersiap memacu gas. Aku selalu berkata bahwa aku baik-baik saja dan tiap kali kata-kata itu keluar hatiku terus mengingkarinya. Walau berusaha untuk terlihat baik-baik saja, nyatanya tidak demikian, aku juga bisa jatuh karena hati yang rapuh.

Apa yang perlu kutanyakan lagi? Semua sudah jelas, mengenai hubungan yang serba ruwet ini tak ada seorang pun yang bisa menjawab akan berakhir seperti apa. Jalani seperti air mengalir, kadang kala ada benturan tapi air itu akan terus mengalir menuju muara seharusnya. Dan seperti itulah seharusnya aku bersikap, seperti air.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!