Saat tangah malam. perempuan itu terbangun untuk menghadap sang pencipta. Ia bersiap begitu pagi di waktu semua orang terlelap.
Langit masih gelap dan tepat jam empat subuh ia keluar dari rumahnya untuk membuang sampah.
Brak!
Degh!
Ia menatap seorang dengan tubuh bersimbah darah dengan panik.
'Yaa Allah, gimana ini ... Aku harus menyelamatkannya, tapi di rumah cuma aku sendiri, kalau ternyata ia penjahat?'
Ia termenung cukup lama hingga ekspresi laki-laki tersebut terlihat kesakitan.
Aku seorang dokter bersumpah akan menyelamat nyawa siapapun tanpa memandang musuh, kawan, perempuan, laki-laki, kaya atau miskin. Sebagai seorang dokter yang wajib menyelamatkan umat manusia.
"Janji gak boleh dilanggar."
Tanpa berpikir lagi ia membawanya kedalam rumah.
'Berat!!!'
Ia menariknya dengan sekuat tenaganya kemudian membawanya ke sofa, lalu berjalan mengambil kotak P3K-nya.
Saat melihat darah yang terus mengalir, ia menelan ludahnya lalu membuka pakaiannya secara perlahan.
Degh.
''Luka tembak?! aku gak bisa membiarkannya terus disini.''
Ia beranjak mengambil HP-nya namun langkahnya terhenti melihat sebuah tangan sedang memegangnya dengan erat.
''Ja-ng-an!!''
''Tidak bisa!! kamu masih hidup saja sudah keajaiban. Aku ini hanya dokter biasa, tak bisa berbuat banyak. Aku masih belum bisa melihat pasienku mati sia-sia. Kamu harus ke rumah sakit!''
''T-i-dak! A-ku a-kan te-tap ma-ti!''
Degh!
Kini ia diberi pilihan sulit. Ia saat ini belum mampu mengobatinya dan laki-laki ini tampak berbahaya. Ia yang terluka didepan rumahnya saja sudah mencurigakan.
''B-e-ri ak-u pi-s-sa-u.''
Ia memberikannya, pisau kecil dari dalam kotak P3K.
Ia menatap laki-laki itu yang berusaha mengeluarkan pelurunya dengan semakin melebarkan lukanya.
''TIDAK BOLEH!!!''
perempuan itu menghentikannya lalu mengambil pisau itu kembali. Ia memakai sarung tangan nitrile lalu menuangkan alkohol kealat yang akan ia gunakan.
''Aku tidak punya pereda nyeri, kau bisa menahannya?''
Laki-laki itu mengangguk lalu menutup matanya menahan sakit.
'Untung luka tembaknya bukan di jantung, aku yang baru lulus ini tak akan bisa berbuat apa-apa.'
Perempuan itu mengeluarkan pelurunya dengan hati-hati lalu menghentikan pendarahannya dengan membalutnya.
Ekspresi laki-laki itu tak menampakkan kesakitan sama sekali, ia terlalu tenang untuk seorang yang diambang kematian.
''Aku tidak punya alat jahit ... Tapi setidaknya ini yang kubisa.''
Darahnya tetap mengalir membuatnya mengigit bibir bawahnya.
''Aku benar-benar pemula.''
Perempuan itu menunduk dalam-dalam merasa gagal.
''Am-bil ka-in t-tekan!!'' ia berucap pelan sambil menatap perempuan yang tampak menyerah dengan begitu cepat.
Ia melakukannya dengan cepat berusaha sekuat tenaga menahan pendarahannya.
''Berhasil!!''
Laki-laki itu tersenyum kecil melihat senyum perempuan yang telah berhasil menyelamatkannya.
......................
Fatimah terbangun saat alarm HP-nya berbunyi ia segera bangun melihat ke arah sofa di mana laki-laki itu ia letakkannya.
Namun ia tak melihat apapun seolah ia sedang bermimpi.
''Mimpi?''
Ia menggeleng lalu melihat kotak P3K-nya adalah saksi bahwa itu adalah kenyataan.
Fatimah bergegas bersiap kerumah sakit tempatnya bekerja sebelum ia semakin terlambat.
...
Ia berjalan setengah berlari di lorong rumah sakit. Hari ini ia punya janji temu dengan pasien kecilnya.
''Bu dokter!!!'' suara yang riang itu membuat Fatimah berjalan pelan menghampirinya.
''Aurell sudah menunggu lama?'' tanya Fatimah berjongkok di depannya.
''Tidak!'' ia menggeleng pelan lalu meraih tangan Fatimah.
Mereka berjalan beriringan masuk ke ruangan Fatimah.
''Aurell sudah sembuh!! Sudah bisa jalan dok! lompat-lompat juga bisa!'' ucapnya senang sambil berlari mengelilingi Fatimah.
Fatimah terkekeh lalu menangkup wajah Aurell. '' Baguslah, lain kali hati-hati kalau main sepeda ... jangan keseleo lagi kakinya.''
Aurell mengangguk lalu menarik Fatimah keluar ruangannya
''Bu dokter akan temani Aurell ke sekolah lagi, kan?''
Fatimah mengangguk dan mengantarnya dengan berjalan kaki.
''Pagi bu dokter,'' sapa temannya cengigiran melihat Fatimah menjadi ibu lagi untuk para anak kecil.
''Pagi juga Syal.''
Mereka berjalan dengan pelan lantaran sekolahnya tidak terlalu jauh. Aurell terlalu sering berkunjung ke rumah sakit dan ia paling suka dengan Fatimah. Orang tuanya yang sibuk menjadikan Fatimah adalah ibu kedua bagi aurell
''Aku udah sampai!'' Aurell berbalik menatap Fatimah lalu memajukan wajahnya.
Fatimah mensejajarkan posisinya lalu menerima kecupan dari Aurell.
''Dada Bu Dokter!'' Aurell melambaikan tangannya sambil berlari melewati pagar.
Fatimah melambaikan tangannya kemudian berbalik pergi saat Aurell telah masuk gedung sekolahnya.
Ia masih punya satu pasien yang ingin bertemu dengannya.
....
Suatu saat nanti, ku akan menemui dia...
Karena saat ini...
Ku tak akan mampu menemuinya...
Bagaimana bisa...
Diri ini! Jatuh cinta!
Tubuh lemah ini...
Ku tak mampu berdiri...
Kulit putih pucat tak-lah tampak indah dimataku...
Dinding putih, kaca indah...
Semuanya tak mampu membuatku bahagia.
Kuingin mengelilingi kota malam!
Dan mengatakan padanya...
Bahwa ku cinta ia!!!
Hugh, Hugh!!
Fatimah segera menghampirinya lalu memberinya segelas air putih.
Ia menatap dokter Fatimah lalu tersenyum masam.
''Bu dokter kenapa gak bilang dari tadi sudah datang?''
Fatimah tersenyum lalu mengatakan, ''Aku ingin mendengarmu menyanyi.''
'''Yana senang dokter menyukainya. Hari ini hari terakhirku disini ... Mama sama Papa akan membawaku keluar negeri. Jadi saya mau pamitan dulu sama bu Dokter.''
Fatimah memeluk Pasiennya yang telah berada disana selama dua tahun lebih.
''Dok ... Apa aku bisa sembuh. Aku ingin sekali hidup normal. Aku juga ingin bisa jalan-jalan dengannya. Andaikan aku bisa, aku ingin menjadi penyanyi,'' Yana memeluk Bu dokter dengan erat dan menangis tersedu-sedu.
''Yana ... Kamu tidak harus sempurna untuk mencintainya,'' ucap Fatimah pelan.
''Tapi aku adalah beban paling berat untuknya. Dia mengatakannya sendiri, karna aku ia kehilangan waktunya bermain hanya untuk menjadi teman bicaraku.''
Fatimah mengusap punggungnya pelan lalu menatap ke jendela. penyakit jantung bawaan dari lahir membuatnya hanya dapat hidup dengan bantuan alat sejak lahir.
...
''Kean lo gak apa?!!''
Kean berbalik menatap temannya.
''Gak! Gw bea aja,'' ucapnya santai tapi matanya terlihat menerawang jauh.
''lo kenapa bisa lolos?''
Plak!
jitakan mengenainya dari temannya yang datang lalu duduk disebelah Kean.
''Untung lo selamat dari mereka.''
Kean mengangguk, ia masih mengingat perempuan yang berusaha menyelamatkannya.
''Kamu ... Punya pacar yah?'' tebak temannya.
Kean menatap mereka malas lalu pergi.
Aku selamat karna beruntung atau hal lain? Kean berpikir keras malam itu ia berhasil kabur dari rencana kecelakaan beruntal, namun ia dikejar dan mendapatkan luka tembak. Saat melewati kawasan perumahaan ia bersembunyi dirumah paling ujung dan tanpa ia sadari ia berjalan kerumah paling belakang.
''Aku harus berterima kasih.''
Saat pertama kali pintu rumah itu terbuka ia terkejut dan melihat dengan samar seorang perempuan yang panik dengan sesuatu yang menutup kepalanya.
Saat tersadar kembali ia melihat perempuan itu akan menghubungi pihak rumah sakit. ia menahannya dan menatapnya dengan intens.
Perempuan dengan jilbab biru malam itu terlihat khawatir dengan pakaian yang benar-benar seadanya. Bahkan ia tidak percaya ia masih hidup berkatnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
''Young cari tahu tentang perempuan yang tinggal di daerah perumahan bunga lama, rumah dengan lampu paling terang dengan Bunga kecil yang mengelilingi rumahnya. Disana ada seorang perempuan yang tinggal sendiri.''
Young mengangguk lalu pergi dengan cepat melaksanakan perintahnya.
'Semakin hari ... Aku masih terpikirkan pertemuan itu. Kenapa?'
Kean duduk di kursi menatap langit.
Tangan yang berlumuran darah tak akan cocok untuknya.
''Haruskah aku berterima kasih pada mereka yang menyerangku? karna mereka aku bertemu dengan ... ''
...
''Hufttt!''
Fatimah menghela napas lalu membereskan berkasnya.
''Bu dokter yang paling terfavorit sudah mau pulang nih.''
Fatimah berbalik merangkul sahabatnya.
''Niana ada-ada saja. Pasienmu hari ini juga banyak-kan?''
''Banyak sih, banyak. Tapi mereka biasanya juga langsung cari kamu.''
Fatimah terkekeh lalu melambaikan tangannya saat berada didepan gerbang.
Jalan yang gelap dengan lampu remang-remang membuat Fatimah semakin mempercepat langkahnya.
Fatimah berhenti sejenak merasakan langkah seseorang dibelakangnya kemudian berbalik.
'Tidak ada apa-apa.'
Fatimah berjalan setengah berlari menuju rumahnya. Ia menutup pintu dengan cepat lalu menguncinya. Fatimah sangat bersyukur rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah sakit.
''Ya Allah. Tenang Fat! Mungkin cuma perasaanmu.''
Fatimah mengintip ke jendela, ia melihat sosok bayangan disamping rumah yang ada didepan rumahnya.
Fatimah menggeleng pelan lalu mengerjapkan matanya.
'Gak ada apa-apa.'
Fatimah mengunci jendela-jendela kemudian bergegas ke kamarnya.
Ia menyempatkan dirinya untuk sholat lalu bersiap untuk tidur.
'Ya Allah lindungi hamba dari para orang jahat yang berniat buruk.'
Jam kian berdenting tapi mata Fatimah enggan untuk tertutup. Ia memilih bangun berkeliling di rumahnya untuk memastikan bahwa ia benar-benar aman.
Malam gelap gulita dengan cahaya bulan yang terang membuat Fatimah terasa dejavu dengan kejadian kemarin.
''Apa ia baik-baik saja? Perbannya harus diganti setelah beberapa jam. Lukanya juga harus dirawat agar tidak infeksi. Sebaiknya ia memang kerumah sakit.''
Brak!
Fatimah langsung menengok ke asal suara, ia melihat jendela rumahnya kemudian berjalan perlahan.
Meong~
Fatimah bernapas lega melihat kucing yang ternyata menabrak jendelanya.
Fatimah menggeleng pelan, ia sudah berusaha sebisanya menyelamatkan nyawa orang. Hidup atau mati biar takdirnya yang menentukan.
......................
Fatimah berangkat dengan mata terlihat kehitaman lantaran begadang. Ia berjalan sambil menguap. Ia cukup lelah, tapi tak ada jalan untuknya cuti karna ia ada janji operasi hari ini.
Fatimah singgah sebentar di kedai kopi dan membeli secangkir. Ia masuk ke dalam rumah sakit, berjalan dengan pelan hingga terdengar langkahnya di lorong yang sepi.
Cklek.
Fatimah duduk di kursinya lalu meraih kopi yang tadi di belinya, ia meniup secara perlahan lalu menyesapnya.
'Dia juga sebaiknya menghindari makanan yang terlalu berair, panas, juga dingin. Dia pergi begitu cepat membuatku khawatir dengan luka yang seperti itu, ia bisa berjalan kemana.
Fatimah melihat jam yang bergerak dengan cepat. Ia menghela napas berat saat jam operasi sudah dekat. Ia yang masih belajar ini harus berhati-hati.
...
Brak!
''Bagaimana?'' tanya temannya yang juga keluar dari ruang operasi.
''Aku masih belum terbiasa. Meski seorang dokter, melihat segalanya secara langsung tetap membuatku takut.''
''Kau benar Fatimah. Memikirkan tiap detik yang bergerak cepat membuat tanganku gemetaran. Setiap takut aku memastikan bahwa segalanya memang akan berlalu.''
''Juga tiap detik pikiran buruk juga datang, melawan semuanya tidak mudah. Apakah ini sudah benar, bagaimana jika aku membuat kesalahan, bagaimana jika aku yang membuatnya menghadap sang pencipta, bagaimana jika aku gagal menyelamatkannya, bagaimana jika penyakitnya semakin parah,'' Fatimah berucap pelan lalu menatap sendu temannya.
''Cobalah untuk menenangkan diri dan cobalah untuk fokus dengan yang ada didepanmu,'' saran temannya.
''Terimakasih Yuyus.''
''Sama-sama.''
Fatimah berjalan ke ruangannya lalu merebahkan tubuhnya dikursinya.
''Jam kian berdetik dan nyawa semakin berkurang tiap detik itu.''
Fatimah tampak melamun hingga tidak menyadari sahabatnya masuk dan telah duduk di kursi pasien. Ia menunggu Fatimah menyadari keberadaannya.
Melihat tiada tanda perempuan itu akan sadar, ia mengetuk-ngetuk meja dengan tangannya.
''Heh? Niana kenapa kemari?''
''Gak mau pulang?''
Fatimah melihat jam ditangannya, lalu tersenyum pada sahabatnya.
''Maaf aku lupa sudah jam pulang. Mau pulang sama?''
Niana mengangguk lalu keluar terlebih dahulu. Fatimah membereskan berkasnya lalu bergegas pulang.
Sampainya di rumah ia menatap sekeliling rumahnya, entah perasaannya atau bagaimana ia selalu merasa diawasi. Fatimah membuang pikiran buruk tersebut lalu masuk ke dalam rumah, ia menguncinya rapat-rapat.
''Huft ... Apa benar aku menyelamatkannya? Ia tampak seperti penjahat ... Tapi aku sudah bersumpah sebagai seorang dokter yang menyelamatkan nyawa.''
Fatimah bergegas naik ke kamarnya kemudian mengambil air wudhu untuk bermunajat Padanya.
Jauhkanlah hamba dari perkara buruk dan jadikanlah apa yang hamba lakukan barakah disisimu. Jika memang ia adalah penjahat, Engkau Tuhan yang maha mengubah. Jadikanlah ia seorang yang mengingat kebaikan dan menyadari keburukan.
Brak!
Fatimah yang terkejut mendengar sesuatu pecah di lantai bawah bergegas menyelesaikan doanya.
Fatimah membuka pintu kamarnya sedikit untuk melihat kearah bawah.
Degh!
Dua laki-laki berbaju hitam telah memporak-porandakan rumahnya, mereka tampak mencari sesuatu. Fatimah menelan ludahnya lalu menutup pintu secara perlahan. Ia mengangkat ranjangnya dengan hati-hati agar tidak ketahuan. Ranjang yang terbuat dari kayu tersebut begitu berat. Fatimah masuk ke bawah secara perlahan lalu menurunkannya secara hati-hati.
Tiada cahaya di bawah ranjang. Suara pintu terbuka membuat jantungnya berdebar.
Fatimah menutup mulutnya dan berdoa agar tidak ditemukan.
Prang!!!
Suara barang pecah ada dimana-mana. Jantungnya semakin berdengub kencang.
'kalau mereka mengangkat ranjang ... Apa yang akan terjadi padaku?'
Bugh!
Terdengar suara perkelahian, Fatimah tidak tahu apa yang terjadi tapi sepertinya ada pihak lain yang datang entah dari mana.
Fatimah terus menunggu, di bawah ranjang sangat kotor juga pengap. Fatimah mulai sesak dan merasa gatal, tapi ia tidak berani bergerak sedikitpun. Ia juga akan kesulitan mengangkat ranjang yang berat.
Suara langkah kaki semakin banyak didengarnya, Fatimah berusaha mendengar dengan suara kaki yang berjalan dilantai.
'Sepuluh? Tidak! Lebih?!!'
Fatimah meringkuk takut apa yang akan terjadi. Apakah mereka lawan atau teman.
Tanpa sadar dalam situasi yabg buruk itu Fatimah tertidur.
......................
K... ri...k kri...k
Bunyi ponselnya dari luar membangunkan Fatimah, ia menunggu cukup lama apakah rumahnya kini aman. Merasa tak ada pergerakan apapun Fatimah berusaha mengangkat ranjangnya yang berat.
'Hph!'
Fatimah melihat kamarnya yang bersih seolah tidak terjadi apa-apa. Semuanya seolah hanya mimpi. Ia berjalan perlahan melihat lantai bawah.
'Kok?!!'
Fatimah kebingungan rumahnya tak mengalami perubahan, barang yang pecah masih ada. Fatimah mengamati dengan seksama barang yang kemarin ia lihat telah pecah.
KRINGGGGG!!!
Fokus Fatimah terpecah oleh alarmnya, ia bergegas naik lagi ke kamar mematikan alarmnya. Fatimah bergegas bersiap untuk ke kantor. Ia tidak memiliki waktu memikirkan kejadian aneh yang terjadi padanya semalam.
''Fatimah, wajahmu makin hari makin pucat aja. Kamu gak apa-apakan?'' tanya sahabatnya Niana.
Fatimah membuka handphone-nya melihat wajahnya.
''Gak apa-apa. Aku hanya kecapean.''
''Tumben? Kamu ngapain aja memang? Padahal pas lembur-lembur gak separah ini.''
''Mungkin ini juga efek pas lembur pekan lalu.''
Niana memincingkan matanya. Bukan cuma wajahnya yang pucat tapi semangatnya juga ikut menurun, seolah beban berat menimpanya.
''K-''
''Dokter Niana!! Ada pasien di UGD!! Anda harus segera pergi!!''
Niana segera bergegas pergi, ia sempat berbalik melihat sahabatnya.
Semoga Fatimah baik-baik saja. Kuharap ia akan cerita sedikit keluh kesahnya.
Fatimah berusaha fokus sepanjang hari tapi pikirannya selalu kemana-mana.
''Fatimah gak pulang?'' tanya Niana.
Fatimah yang berjalan dilorong menghentikan langkahnya. Wajahnya semakin pucat dengan rona hitam gelap dibawah matanya.
''Fat, kamu beneran gak apa-apa?'' Niana semakin prihatin melihatnya.
''Ah ... Sepanjang hari aku gak bisa fokus, jadi masih ada data-data pasienku yang harus ku urus.''
Niana menghela napas berat lalu mengangguk paham.
''Tapi kalau ada apa-apa jangan lupa hubungin, yah?''
Fatimah mengangguk lalu berjalan kembali keruangannya.
Niana adalah sahabat dari masa kuliahnya, bertemu di rumah sakit yang sama membuat persahabatan mereka semakin dekat. Tapi Fatimah perempuan yang terlalu mandiri, dia tidak pernah mau bergantung dengan siapapun termasuk dirinya.
Fatimah membereskan berkas pasiennya kemudian menyusunnya sesuai urutan abjad dan kunjungan.
Melihat jam yang menunjukkan larut malam membuat Fatimah berkeringat dingin.
Gak apa Fatimah, Allah akan selalu menyertai hambanya.
Fatimah bergegas pulang. Lorong rumah sakit yang sepi membuat jantungnya seperti roller coster.
Tak, tak, tak.
Mendengar langkah kaki dari belakang Fatimah berbalik.
Degh.
Melihat seorang berbaju hitam berjalan perlahan mendekatinya.
'Lari!'
Fatimah berlari sekuat tenaga berharap ada yang menolongnya.
'Ini rumah sakit!! Tapi kenapa tiada siapapun disini!!!'
Jangankan manusia, bahkan lampu rumah sakit padam dan hanya lampu lorong rumah sakit yang menyala dengan redup.
Tak.
Kaki Fatimah tergelincir hingga ia terjatuh.
'Yang melindungi segala makhluk, lindungi-'
Humph!
Mulut Fatimah disekap hingga kesadarannya hilang.
......................
Wajah Kean tampak sumringan dengan sebuah kertas yang selalu ia bolak-balikan berkali-kali.
Drab, drab!
Langkah cepat membuat konsentrasinya pecah hingga kekesalan terlihat di wajahnya.
''Young K-''
''Anda harus segera pergi!'' Young berucap dengan wajah pucat serta napas yang tersenggal-senggal.
''Hnm?''
Kean hanya menatap menunggu kelanjutannya.
''Di-dia diculik!''
''Ho-oh.''
Kean tampak tidak peduli, memang siapa yang diculik hingga ia harus pergi menyelamatkannya.
Melihat ketidak pekaan ketuanya itu Young mendekatinya lalu memperlihatkan foto fatimah yang disekap.
Degh!
''Kenapa gak bilang dari TADI!!!'' Kean menarik kerah baju Young dengan emosi.
'Tadikan sudah bilang!!!!' Ingin sekali ia berteriak seperti itu tapi ia tak akan berani.
Kean segera melepaskan genggamannya lalu pergi dengan cepat.
''Ketua akan pergi sendiri?'' tanya Young melihat Kean tidak memberi perintah apapun.
Kean menghentikan langkahnya lalu menatap tangan kanannya dengan tajam.
Glek.
Young menelan ludahnya berat. ''Kami akan segera mengirim pasukan.''
......................
Kean menatap gedung kosong yang telah rapuh. Ia berjalan perlahan sambil memperhatikan sekitar. Mungkin orang lain pikir ia terlalu santai, tapi jantungnya sebenarnya terasa mau copot setiap memikirkan perempuan yang telah menyelamatkannya tersiksa. Tapi, sebaga ketua mafia yang ditakuti ia tidak boleh memperlihatkan ketakutannya.
''Wahhhh!!! Siapa yang datang? Ternyata perempuan ini memang berharga.''
''DIAM!!''
''Ups, ketua yang paling ditakuti ternyata juga bisa marah? Seharusnya kau berpikir dengan baik sebelum bertindak.''
''Kau mau apa?''
''Pfftt!!! Kau bertanya?''
Kean menggempalkan tangannya, ia dipermainkan begitu mudah.
''Cinta, oh cinta.''
''Jangan berpikir sembarangan! Kamu pikir perempuan itu orang yang kucintai?'' Kean berucap sinis.
''Lalu? Kau sedang apa sekarang? Memang ada orang yang sepertimu mengintai penyelamatnya dan melindunginya? Ahhh juga mencari tahu masa lalunya? Benar-benar naif. Tapi aku harus berterima kasih bukan ... Karna itu kita ada disini sekarang.''
Kean merutuki dirinya yang bodoh tidak berpikir sampe sana.
Laki-laki itu mendekati Fatimah yang pingsan lalu mengarahkan pisau di wajahnya.
''VION!!!!''
''Wahhh segini saja sudah marah.''
Kean maju untuk menghajarnya.
''Halangi dia, buat ia berlutut. Kalau kau sampai kemari, perempuan ini akan kubunuh,'' Vion tertawa jahat melihat kemarahan yabg meluap dimata Kean.
''Sekalian buat ia rasakan apa yang telah ia perbuat dengan teman-teman kalian.''
......................
Saat Fatimah bersembunyi dibawah ranjang, para suruhan Vion menggeledah segalanya. Mereka tak menemukan apapun tapi terdapat handphone disamping ranjang. Mereka menjadi curiga kemudian berusaha mengangkat ranjang.
Bugh!
Seseorang memukul teguk salah satu diantara mereka hingga pingsan.
Kean menatap rumah Fatimah yang berantakan. Ia memberi isyarat pada Young untuk membereskan yang satunya.
Kean membawa banyak anak buahnya. Mata Kean tiba-tiba tertuju pada foto kecil dimeja samping ranjang. Foto Fatimah tersenyum dengan memegang bunga. Hatinya menghangat dan tanpa ia sadari Kean rela melindunginya dengan mengorbankan segalanya.
''Lipatkan penjagaan untuknya ... Tapi jangan biarkan ia sadar, dia bisa ketakutan.''
''Baik Tuan Kean!''
'Setidaknya aku bisa melindunginya.'
......................
''Aku masih ingat ketika mereka kembali dengan keadaan lebih baik mati dari pada menderita seumur hidup!!''
''Cih! Itu akibatnya!''
Anak buah Vion mendekati Kean, mereka tersenyum meremehkan. Tapi Kean tidak lemah ia tidak akan jadi terkuat kalau tidak bisa mengalahkan mereka.
''RASAKAN INI!!!''
Salah seorang mereka melayangkan tinjunya. Kean menghindar kesamping kemudian menahan tangannya lalu menggunakan sikunya menghantamnya.
''Akhhh!!''
Kean tersenyum sumringan melihat tangannya yang patah.
Anak buah Vion saling memandang kemudian mengangguk, mereka menyerang Kean secara bersamaan.
Kean membanting mereka ketanah satu persatu saling bertabrakan dan terjatuh. lantai digedung itu bergetar akibat hantaman Kean yang keras.
''AKHHH!!!''
Kean menginjak tangan dan kaki mereka, darah mengalir dari tumpukan bawahan Vion. Kean berdiri diatas mereka menunjukkan ia bisa menghabisi mereka dalam hitungan detik.
DOR!
Kean memiringkan kepalanya membuat peluru yang seharusnya mengenai kepalanya meleset.
Tes!
Darah mengalir dari pipi Kean. Peluru tersebut mengenai pipinya.
Kean tersenyum meremehkan melihat Vion menggunakan pistol.
Vion menggertakkan giginya lalu mengarahkan pistol pada kepala Fatimah.
''HENTIKAN!!''
Vion tersenyum puas melihat kemarahan Kean semakin memuncak.
''Berlutut! Dan bunuh dirimu.''
Kean diam cukup lama. Menahan amarah yang akan membuatnya melakukan kesalahan.
Kean maju satu langkah membuat Vion bersiap menarik pelatuk pistol.
''BERLUTUT!!''
Degh!
Kean tertawa masam, apalagi saat mata yang terlihat indah itu terbuka dengan ekspresi ketakutan.
''BERLUTUT KALAU KAU TAK INGIN DIA MATI!!!''
Kean menekuk satu lututnya membuat Vion tertawa puas.
Set.
Dengan cepat Kean menyelandung kaki Vion. Itu alasan ia maju satu langkah dan menekuk lutunya agar ia bisa sampai membuat Vion terjatuh.
Dor.
''Kyaaaaa!!!''
Vion menarik pelatuknya tapi tembakannya mengarah keatas. Fatimah yang mendengar suara tembakan berteriak.
Kean segera menarik Fatimah kebelakangnya lalu mengambil pistol Vion.
''Menyerahlah!''
Vion menggertakkan giginya. Padahal rencananya sudah sangat sempurna.
DOR, DOR, DOR.
Fatimah menutup telinganya ketakutan.
Kean berbalik ke belakang melihat Young datang dengan pasukannya.
Vion tidak tertembak tapi pelurunya menggores lengan juga wajahnya.
''K-''
Plak.
Fatimah melepaskan genggaman Kean lalu menuduk takut juga keraguan dimatanya.
''Gak boleh pegang-pegang!!!!''
Kean terkejut kemudian tertawa renyah.
''Iya, Saya gak akan pegang-pegang.''
Kean berjalan lebih dahulu. Fatimah segera mengikutinya, ia masih bingung juga takut dengan apa yang ia alami.
Fatimah menengok kebelakang sejenak. Melihat kesangaran anak buah Kean, Fatimah berjalan lebih dekat dengan Kean. Bagi Fatimah Kean lebih terlihat manusiawi dibanding mereka. Padahal ia yang paling kejam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!