"Bagus yah kamu, pulang hanya untuk makan. bisanya hanya membuatku susah saja!. Belum puas kamu membuat ibu mu meninggalkan diriku!" cercah pria paruh bayah dengan tampang premannya, sesekali mendorong - dorong belakang kepala Aster dengan telunjuknya. Membuat kepala Aster beberapa kali terdorong ke depan dibuatnya.
perempuan itu hanya diam, berusaha mengacuhkan perlakuan semena-mena yang dia dapatkan. Membiarkan pria itu melanjutkan perbuatannya hingga terhenti dengan sendirinya seperti biasa.
Segera Aster mempercepat gerakan tangannya memasukkan nasi yang dia siram menggunakan kuah mie instan. Mengisi perutnya yang terasa kosong, setelah pria itu berhenti
Melihat perkataan dan tindakannya dihiraukan, pria itu semakin bertambah geram. Dengan ringan tangan pria itu menarik rambut Aster dengan kuat, Membuat beberapa rambut Aster ikut tercabut dan menimbulkan rasa sakit pada bagian belakang kepalanya.
"Auhh... ishh..." rintih Aster memegangi punggung tangan pria itu, berusaha menahan tarikan tangan ayahnya berharap rasa sakit yang dia rasakan bisa sesikit berkurang.
"Kalau orang tua bicara itu dijawab! jangan hanya diam, mau pura - pura tuli kamu" bentak pria itu semakin mempererat cengkraman tangannya. Membuat Aster semakin mengaduh sakit dengan rintihannya.
"Lalu aku harus jawab apa?, Ayah" ucap Aster menatap nanar pria itu dengan ekor matanya. Dia berusaha menekan sebutan ayah pada akhir ucapannya, berharap bisa mendapatkan belas kasih pria itu.
"ah sial..." melihat bola mata yang mulai berembun itu membuatnya mengingat kembali istrinya, pria itu kemudian melepaskan rambut kemudian beralih mencengkram lengan Aster dengan kuat. Melemparkan tubuh ringkih itu dengan kasar ke dalam kamar di sudut ruangan.
"Ingat besok kau harus ke pelabuhan, jangan sampai besok kau terlambat lagi mengambil barang" bentak pria itu sebelum membanting kasar daun pintu. Membuat tubuh Aster ikut terperanjak kaget dibuatnya.
"ibu, apa kau melihat pria brengsek itu?. mengapa kau harus memilih pria itu dari sekian banyaknya pria di dunia? Mengapa membiarkan dirinya menjadi ayah untuk diriku?, mengapa membiarkan darahnya mengalir di dalam tubuhku? mengapa kau harus meninggalkanku dengannya?. Mengapa bu?... Mengapa?.. Mengapa tak membawaku bersamamu?..." ucap Aster menatap liontin yang selalu melingkar indah pada lehernya. Banyak hal yang ingin dia keluhkan pada potret perempuan yang tersemat dalam liontin tua itu. Namun tidak ada satupun pertanyaannya yang bisa dia dapatkan jawabannya.
Meski tidak pernah bertemu dengan wanita dalam potret itu, Namun Aster bisa mengenal sedikit sosoknya berdasarkan cerita yang dia dengar dari beberapa orang di sekitarnya. Meski tidak banyak tetapi setidaknya itu bisa membuat Aster tidak membenci perempuan yang selalu dia sebut ibu.
mungkin hanya pria itu yang menjadi titik hitam dalam kehidupan perempuan yang bernasib naas itu. entah apa yang dilihatnya dari sosok pria kasar dan egois itu, sehingga dirinya tetap setia bersama pria brengsek tersebut bertahun - tahun lamanya. Bahkan bagian terburuknya, dia memberikan pria itu seorang putri sebelum menghilang begitu saja.
"oh! kau sudah bangun. ku kira, aku harus bersusah payah mengguyurmu dengan seember air lagi" ucap pria itu berkacak pinggang mendapati Aster yang sedang memasang sepatu setelah mengenakan mantel kulit hitam legam miliknya.
tanpa mengindahkan keberadaan dan pertanyaan pria tersebut, Aster bergerak cepat ke arah meja TV untuk mengambil kunci motor yang biasa dia gunakan bepergian. Satu- satunya kendaraan yang dia gunakan untuk mengambil barang kiriman di pelabuhan.
"ingat jangan sampai barangnya terlambat hari ini?" kata pria tersebut mengingatkan kembali. Mendengar ucapan itu, Aster hanya memutar matanya malas menanggapinya. Bukankah setiap menjalankan tugasnya dia tidak pernah gagal, hanya karena sebuah keterlambatan singkat membuatnya harus mendapat amukan dari pria itu kemarin.
"Ctehh, buat apa juga kau mengharapkan pengakuan darinya" monolog Aster membuang jauh - jauh harapan kecilnya yang tiba-tiba hadir. Dari relung hatinya yang terdalam, sebenarnya Aster juga sangat mengharapkan sedikit kasih sayang dari pria itu. Namun harapannya itu selalu berusaha dia tepis jauh - jauh sebelum keinginannya itu mengganggu ambisinya.
...****************...
"Selamat siang mbak, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pria dengan ramah, berdiri pada loket penerimaan barang. Menatap lekat pada Aster melalui sekat kaca yang memisahkan mereka.
"Saya ingin mengambil barang!" kata Aster sesekali mengawasi keadaan sekitar yang tampak ramai.
"Baiklah, boleh saya lihat resi pengiriman barangnya mbak?" tanya sekali lagi pria tersebut masih dengan senyum ramahnya.
"A09S" satu kata yang Aster ucapkan mampu membuat pria di depannya mengubah mimik wajahnya menjadi serius.
"Ikuti saya!" pinta pria tersebut berjalan meninggalkan loket tersebut, berjalan menuju sebuah kontainer yang berada diantara beberapa kontainer lainnya.
Setelah mengambil barang yang menjadi tujuannya datang ke pelabuhan itu, Aster menganggukkan kepalanya pelan setelah memeriksa kembali barang tersebut. sebelum meninggalkan tempat yang cukup panas karena terik mentari.
Meski sudah sering memegang barang ilegal tersebut. Namun, tidak pernah sekalipun Aster berniat menggunakan barang tersebut. Saat Aster merasa frustasi dengan kehidupannya, dia hanya akan melampiaskannya pada rokok batangan yang ia beli dari kedai dekat tempat tinggalnya.
Setelah mengantar barang tersebut pada alamat yang dikirimkan ayahnya, Aster tidak langsung pulang ke rumah. Seperti Biasa dia akan menghabiskan waktu senggangnya di bawah trotoar kota. sambil mengesap rokok yang bertengger di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, Aster mengamati setiap kegiatan anak - anak pinggiran kota. Berusaha menghibur dirinya yang selalu hidup sendiri tanpa seorang teman.
"Maafkan aku ibu!, aku sudah menjadi iblis. Aku menghancurkan masa depan banyak orang dengan barang yang telah ku sentuh" batin Aster menatap telapak tangannya yang dihiasi berbagai garis - garis tidak beraturan.
lamunan intan teralihkan oleh segerombolan anak mudah yang tengah mengepung seorang perempuan, berusaha mengintimidasi perempuan yang tampak ketakutan. Setelah cukup lama memperhatikan dari jauh, rasa geram Aster memuncak kala perempuan itu terus memohon untuk dilepaskan setelah menyerahkan semua benda berharganya. Namun hal itu tidak diindahkan pemuda - pemuda tersebut.
"Berhenti!" pinta Aster yang sudah berdiri di belakang gerombolan pemuda itu. Membuat tatapan mereka kini tertuju pada Aster yang berdiri dengan bertolak pinggang.
"hei kakak yang manis! jangan mengganggu kesenangan kami yah" ucap salah satu pria dengan senyum miringnya memindai penampilan Aster dari atas hingga ke bawah.
"atau kakak juga ingin bermain bersama kami, kebetulan kami masih butuh mainan tambahan" ucap pria lain bergegas mendekat ke arah Aster, kemudian berusaha mencengkram dagu Aster, yang langsung ditepis kuat oleh pemiliknya.
Dengan cepat Aster memelintir tangan kanan pria itu, tidak tinggal diam pria itu berusaha memberontak, berusaha melawan. hingga berakhir dengan beberapa tendangan beruntun pada bagian perut serta tulang keringnya, membuat pria luruh di atas aspal dengan mengaduh kesakitan.
"Beraninya kamu!" seru pria yang lain setelah berhasil menguasai diri dari keterkejutannya.
"serang dia" ucap pria itu kembali memberi aba - aba pada yang lain untuk menyerang secara bersamaan.
Meski diserang oleh 4 pria sekaligus, itu bukan hal yang sulit untuk Aster tangani. Dengan kehebatan Aster dalam berkelahi dan kelihaian geraknya serta mata tajam yang dapat memprediksi gerakan lawan. Tidak butuh waktu lama bagi Aster untuk melumpuhkan mereka semua.
"Jadi bagaimana sekarang, berhenti atau mau kupukul juga kamu!" tegas Aster menatap tajam pria yang masih menahan gadis lemah itu. Dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah segar dan bagian bawah mata yang membiru, Aster berjalan mendekat ke arah mereka.
Pria yang merasa terancam itu bergegas kabur meninggalkan tempat tersebut, tanpa memedulikan temannya yang lain. Dia tidak ingin berakhir sama dengan nasib teman - temannya.
"To...tolong, ja.. Jang.. ann men.. Men dekaat" ucap perempuan itu dengan ucapan yang terbatah - batah, tubuhnya masih bergetar hebat namun tetap berusaha mempertahankan tubuhnya tetap berdiri tegak.
"Tenanglah, aku tak sejahat yang kau pikirkan" ucap Aster mengelus lembut kepala perempuan itu, merapikan sedikit rambut yang teracak dengan tidak karuan itu.
"Dimana rumahmu?, tidak baik berkeliaran di sini malam - malam begini" kembali Aster berucap sambil melepas jaket kulitnya dan memakaikan pada tubuh perempuan yang masih bergetar. perempuan itu langsung berhamburan ke dalam pelukan Aster dan menumpahkan air matanya.
"Me.. Mere..ka ja.. ha..t" hanya itu kalimat yang dikeluhkan perempuan itu dalam pelukan Aster. tangan Aster terangkat mengelus pelan bahu yang semakin bergetar di dalam pelukannya. membiarkan perempuan itu menumpahkan semua keluh kesahnya.
...****************...
"Benar ini rumah mu?" tanya Aster setelah menepikan motornya di depan gerbang sebuah mansion yang sangat mewah.
"I..iya.. Kak" ucap perempuan tersebut melepas helm dari kepalanya.
"Ya ampun non!, nona darimana saja? nyonya sangat khawatir mencari anda sejak siang" ucap satpam yang membuka pagar besar tersebut, kemudian menghampiri anak dari majikannya.
"Apa nona baik - baik saja?" tanya satpam itu kembali setelah berdiri tidak jauh dari Aster.
"Te... rii.. ma... Ka..sih..." ucap perempuan itu menyerahkan kembali helm pada Aster. yang hanya dijawab dengan senyuman sekilas oleh Aster.
"Kalau begitu aku langsung balik, sampai jumpa lain waktu!" ucap Aster yang mengenakan helm tersebut. kemudian berlalu meninggalkan satpam dan perempuan dengan tag name bertuliskan Intan.
Setelah berkendara hampir sejam, melintasi ibu kota yang mulai senggang dari kegiatan - kegiatan manusia. Aster menghentikan kendaraannya di depan sebuah toko. Tubuhnya terasa dingin karena lupa mengambil kembali jaket yang sebelumnya dia berikan pada gadis asing itu. Tulang - tulangnya terasa sakit tertusuk angin malam yang semakin dingin hawanya.
"Bu!" ucap Aster menyerahkan selembar uang 50 ribuan pada seorang wanita yang berjaga di sana.
"Darimana nak?" tanya bu Ratmi, menyerahkan sebungkus rokok berwarnah putih pada Aster dan beberapa lembar uang kembalian.
"Biasalah bu, dari pelabuhan" jawab Aster dengan nada santai. Aster sudah cukup akrab dengan bu Ratmi, selain Rumah mereka yang dekat, Bu ratmi juga sudah bersahabat lama dengan mendiang ibu Aster.
"nak, berhentilah melakukannya. Jangan ikut - ikutan dengan pria bajingan itu" pinta bu ratmi setelah menghela nafasnya dalam - dalam. Raut wajahnya jelas menggambarkan kekhawatiran akan keselamatan Aster.
"ah ibu bisa saja, bagaimana mungkin aku bisa berhenti. Sedangkan pria bajingan itu saja berstatus sebagai ayahku" kata Aster setelah menyulut rokok dengan korek api yang menggantung dengan tali. Korek api yang sengaja disediakan bu ratmi.
"nak! ibu percaya kamu pasti bisa berhenti melakukannya, sebelum kamu terjerumus semakin dalam berusahalah untuk berhenti. pelan - pelan saja, kamu pasti bisa melakukannya" kembali bu ratmi mengingatkan Aster untuk segera berhenti menjerumuskan dirinya ke dalam masalah yang mungkin lebih besar nantinya.
"kalaupun aku bisa berhenti, tetapi itu tidak akan mampu menutup semua kesalahan tang sudah kuperbuat bu, aku sudah menghancurkan banyak kehidupan dengan barang - barang itu" jelas Aster sambil menatap lurus ke arah jalanan di depan toko. Sesekali mengesap dalam - dalam asap rokok yang bertengger di tangannya.
ninu.... Ninu... Ninu....
"itu polisi, cepatlah masuk ke sini nak!" ucap bu ratmi semakin khawatir mendengar sirene dari beberapa mobil polisi mendekat. khawatir jika mereka datang untuk menangkap Aster.
Namun dugaannya salah, beberapa Mobil itu terus melaju meninggalkan toko kelontong tersebut.
"tidak perlu takut bu! Semua akan baik - baik saja. Bukankah setiap manusia pasti akan mendapat hukuman dari semua perbuatan jahatnya. Begitupun dengan Aku yang tidak akan bisa menghindar lebih lama" kata Aster menatap sendu pada iringan mobil polisi tersebut yang menuju ke arah rumahnya.
"aku pulang dulu bu, sudah larut malam" ucap Aster beranjak kembali menyalakan motornya, mengikuti arah menghilangnya iringan mobil polisi tersebut.
"pak... Bapak.. Pak.." teriak bu ratmi mencari keberadaan suaminya, berlarian ke arah bagian dalam toko.
"ada apa bu?" tanya pria yang seumuran dengan ayahnya Aster, mendekat ke arah istrinya yang tampak cemas.
"pak! kita harus ke rumah Aster sekarang. Ibu merasakan sesuatu yang kurang baik akan terjadi di sana. tadi ibu melihat beberapa mobil polisi menuju ke sana dan aster juga menuju ke sana bapak" jelas bu ratmi yang terus menarik lengan suaminya untuk mengikuti langkahnya. Tanpa memedulikan lagi toko kelontongnya yang belum dia tutup pintu teralisnya.
"bu pelan - pelan saja. Aster pasti akan baik - baik saja" ucap pak kario menenangkan istrinya yang sesekali mengusap air matanya. Meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah dengan aster, Namun mereka memiliki hubungan yang cukup baik dengan mendiang ibu Aster.
Saat mereka tiba di depan pekarangan rumah tersebut. beberapa warga sudah mulai berkumpul di sana, beberapa orang sedang berbincang dengan aparat polisi.
Sedangkan Aster yang tertembak beberapa kali, luruh di atas tanah tanpa seorang yang peduli. Bu ratmi berlarian menghampiri tubuh Aster yang sudah tidak banyak bergerak lagi. segera membawa kepala aster ke dalam pangkuannya, menghiraukan larangan beberapa warga dan polisi yang berjaga di sana.
"nak bangunlah, buka matamu. Jangan tinggalkan ibu seperti ini, Kau bilang semuanya akan baik - baik saja bukan" ujar bu ratmi sesekali menepuk - nepuk pelan pipi Aster yang kian teras dingin, berharap mata yang terpejam rapat itu lekas terbuka.
"bangun nak, ibu mohon" pinta bu ratmi terus mempererat dekapannya, tidak ingin melepaskan tubuh Aster meski beberapa polisi berusaha memisahkan mereka.
"heumm... Ma..af..bu" kata Aster berusaha menggunakan semua kekuatannya untuk mengatakan dua kata itu. Setelahnya Aster kembali menutup matanya dengan rapat.
"nak bangunlah!, bagaimana ibu bisa menepati janjiku pada ibumu, jika kau pergi sekarang" isak bu ratmi dengan histeris. Mendapati tidak ada lagi pergerakan dari tubuh ringkih itu.
"bu tenanglah" ucap pak kario menghampiri istrinya, memastikan denyut nadi aster melalui pergelangan tangan kanannya, tubuh yang masih berada dalam pelukan istrinya.
"sudahlah bu! ikhlaskan Aster pergi, jangan memberatkan langkahnya menuju alam baka bu" ucap pak kario yang menyadari bahwa Aster sudah berpulang pada sang pencipta.
Mungkin beberapa tembakan mengenai organ vital Aster yang menyebabkannya tidak dapat bertahan hingga bantuan medis sampai di sana.
beberapa warga yang menyaksikan dari awal kejadian menyatakan bahwa Aster tertembak karena berusaha menyelamatkan ayahnya. Sedangkan pria itu kini menghilang tanpa peduli dengan keadaan Aster yang terdesak oleh beberapa polisi yang bersenjata.
Saat sang fajar datang menyapa yang menandakan hari baru, Tampak beberapa warga menyibukkan diri dengan menyiapkan pemakaman untuk Aster. setelah melewati beberapa tahap penyelidikan jasad Aster diperbolehkan untuk dimakamkan oleh keluarganya.
"bu! yang sabar yah, meski kami juga sedih dengan kejadiaan yang menimpa aster. Namun kita harus bisa ikhlas bu" ucap bu RT menemani bu ratmi yang masih setia memandangi raga aster yang siap untuk dikebumikan.
"dia anak yang baik. Mengapa harus mengalami kemalangan ini?" ucap bu ratmi kembali menumpahkan air matanya. Rasanya tidak ikhlas membiarkan anak itu pergi dalam keadaan seperti itu, sedangkan sang ayah yang kerabat satu - satunya malah menghilang setelah menjadikan anaknya sebagai tameng.
"iya bu kami juga tahu aster melakukan semua ini karena perintah ayahnya. Tapi kita tidak bisa berbuat apa - apa kecuali mendoakan dan mengikhlaskan kepergiannya" ucap bu RT kembali mengusap pelan pundak bu ratmi yang masih tidak bisa menerima kepergian aster.
...****************...
"a..da a..pa.. ka...kak me..min...ta..ku ke...ma..ri?" tanya intan dengan cemas menghampiri pria yang meminta menemuinya melalui pesan singkat yang baru intan terima.
Saat pria itu berbalik intan kembali dikejutkan dengan pria yang ada di depannya. Tanpa mengucap sepatah kata, Pria itu menarik tangan kanan intan. Menariknya dengan kuat ke beton yang menjadi pembatas balkon sekolah itu. Dengan senyuman tipis pria itu mendorong tubuh mungil intan hingga terperanjak melewati pembatas itu
"ka..mu?" tanya intan dengan suara bergetar yang semakin. Melihat pemandangan yang ada di bawahnya membuat tubuhnya kaku, dan kepalanya terasa pusing.
Pria itu segera berlari meninggalkan tempat tersebut berharap tidak ada yang melihat aksinya. Mengingat jam pelajaran yang masih berlangsung, sehingga hanya beberapa siswa yang mungkin berlalu lalang di koridor.
Intan berusaha mempertahankan tubuhnya bergelantungan dari lantai 2 gedung itu. Sekuat tenaga berusaha mempererat pegangannya pada pembatas beton, berharap dirinya tidak melayang bebas terjatuh ke bawah lapangan basket yang masih sepi.
meski ingin berteriak meminta tolong, Berharap akan ada seseorang yang datang membantunya dan menariknya ke atas. tetapi apalah daya karena ketakutannya yang berlebihan suara intan seakan tercekal di tenggorokannya.
"Tuhan jika ini memang akhir hidupku. maka jangan biarkan keluargaku menderita lagi" batin intan sesekali menatap ke bawah.
Brukkk....
Suara keras dari arah lapangan basket mengalihkan semua perhatian penghuni sekolah. Bahkan beberapa siswa berlarian menuju jendela kaca yang menghadap ke arah lapangan basket. Memastikan arah suara keras itu berasal.
"eh ada yang bunuh diri!" ujar beberapa siswa menatap tubuh intan yang tengkurap disertai darah segar yang mulai mengalir dari bagian kepalanya.
"astaga. itu siapa woi?" tanya beberapa siswa yang tidak dapat melihat wajah intan dengan jelas.
"itu si cupu ven!" ucap Clara yang mengenal intan dari kunciran rambutnya serta cardingan yang masih dikenakan intan.
"ih iya tuh. Astaga! kesana yuk pengen mastiin gue" ajak veni menarik tangan clara dan risa keluar dari ruang kelas mereka.
tak tak tak tak
"bram, ke lapangan basket!" pintah reno dengan nafas yang tersenggal - senggal setelah berlarian menghampiri Abraham yang membaca buku di perpustakaan.
"kenapa loe?" tanya Abraham menatap heran reno dengan wajah dingin.
"adek loe, mati" kata reno yang membuat abraham langsung beranjak dari tempat duduknya.
"di bully lagi?" tanya abraham mempercepat langkahnya.
"nggak tahu, tiba - tiba saja gubrak. Adek loe jatuh entah dari lantai berapa?" jelas reno yang masih berusaha menstabilkan nafasnya mengikuti langkah besar abraham menuju lapangan basket.
"ih iya, tahu mungkin udah gak tahan"
"kemungkinan begitu"
"tapi dia nekat juga yah?"
"iya sampai bunuh diri segala"
"makanya mental healty itu penting"
"Ahh loe kayak paling tahu aja"
Bisik - bisik beberapa siswa yang di lewati abraham dan reno dari arah perpustakaan sepanjang koridor menuju lapangan basket.
"yang sabar yah nak, ini semua murni kecelakaan. Kami sudah menghubungi rumah sakit. Dan mereka sedang menuju ke sini" ucap salah satu guru yang menyambut kedatangan abraham. Meski abraham tidak begitu akrab dengan adiknya itu, namun banyak yang mengganggu fikirannya sekarang. Entah bagaimana dia akan menjelaskannya nanti pada semua pihak keluarganya termasuk bunda yang sangat menyayangi intan. Entah bagaimana wanita paruh bayah itu akan bereaksi setelah mengetahui kejadian ini. Entah bagaimana perempuan itu menghadapi hari - harinya setelah hari ini.
Setelah menunggu beberapa menit mobil ambulance sampai di sekolah elite tersebut. Beberapa orang turun dan memeriksa keadaan intan. Kemudian mereka dengan hati - hati memindahkan tubuh mungil itu ke atas emergency bed untuk dibawah menuju rumah sakit terdekat.
...****************...
"bagaimana keadaan adik mu? Nak" tanya Windana menghampiri abraham yang terduduk di sudut kursi tunggu.
"apa yang terjadi padanya?" tanya Windana kembali mencengkram kuat bahu pemuda yang hanya terdiam menatap sayu pada Windana.
"mengapa kau membiarkan adikmu mengalami ini?" kambali Windana bertanya sesekali mengguncang tubuh abraham dengan kuat.
"apa gunanya kau sebagai kakak bila tidak bisa menyelamatkan adikmu itu" tanya Windana melepas cengkramannya dan terduduk lemas di samping abraham.
"maaf!" itulah kata yang pertama terucap oleh abraham setelah diam membisu cukup lama.
"apa dengan maafmu bisa menyelamatkan adikmu, kemana saja kau saat adikmu dalam bahaya" cercah windana yang tidak habis pikir dengan abraham. Bahkan yang menghubungi pihak rumah sakit adalah pihak sekolah. dan yang menghubunginya pertama kali adalah kepala sekolah. Lalu di mana abraham berada. Mengapa tidak ada sekalipun tindakannya yang nyata untuk menolong adiknya itu.
Setelah hampir 7 jam akhirnya lampu merah di atas pintu itu mati. Menandakan operasi sudah selesai. selang berapa menit pintu itu dibuka oleh seorang pria yang berumur sekitaran 30 tahunan itu.
"bagaimana keadaan putri saya dok?" tanya windana menghampiri pria tersebut disusul abraham dari belakang.
"kami masih belum bisa memastikan keadaannya akan selamat atau tidak, kami hanya bisa memaksimalkan tindakan medis agar pasien bisa melewati masa kritisnya malam ini" jelas pria itu dengan wajahnya yang penuh guratan kelelahan di sana.
"saya mohon selamatkan putri saya, saya akan melakukan apapun, asalkan kalian bisa membawanya kembali" ucap windana dengan air matanya yang kembali membasahi pipi putihnya.
"kita hanya bisa berdoa agar pasien mampu melewati malam panjang ini. Hanya doa yang bisa membantunya ibu!, saya permisi" ucap pria itu meninggalkan ruang operasi dengan langkah yang lesu. Sedangkan dalam ruang operasi beberapa perawat menyelesaikan tidakan operasi kemudian memindahkan pasien ke atas bad pasien untuk dipindahkan ke ruang perawatan.
"nak bertahan yah!, bunda masih pengen ngeliat kamu lagi. Bunda mohon bertahan yah" pinta windana menatap tubuh yang tertidur kaku itu. Tidak ada pergerakan apapun darinya.
Sudah hampir 7 jam setelah dipindahkan dari ruang operasi, tubuh Intan masih belum menunjukkan reaksi apapun. Tersisa 1 jam 23 menit untuk menentukan kesembuhan pasien, jika belum ada tanda - tanda kesadaran maka dia akan semakin terlelap dalam masa komanya. Luka pada bagian kepala yang cukup parah menempatkannya dalam kondisi kritis.
"Bertahan yah sayang, Bunda disini nunggu kamu bangun lagi" ucap Windana dengan lirih mempererat genggaman pada tangan Intan yang terbebas dari selang infus. Berharap putri satu - satunya itu segera memberi reaksi.
"Sebaiknya bunda pulang dulu untuk istirahat, biar aku dan anno yang menjaga intan di sini" pinta Abraham mendekat ke arah Windana, dia khawatir pada perempuan yang tidak pernah melepaskan pandangan dari tubuh yang masih tenang dalam tidurnya. Sedangkan Devano yang mendengar namanya disebut ikut beranjak dari duduknya. bergegas menghampiri Windana dan Abraham.
"Iya bunda, biar kami yang menjaga Intan disini" ucap Devano membantu Abraham membujuk Windana yang masih saja meneteskan air matanya.
"Lalu bagaimana jika saat bunda pergi, intan juga ikutan pergi. Bukankah kalian tahu hanya aku yang cukup dekat dengannya, meski kalian saudaranya tetapi kalian sering mengabaikannya" ungkap Windana yang tahu dengan jelas hubungan anak - anaknya selama ini.
Meskipun Devano dan Abraham merupakan kakak kandung dari Intan, namun hubungan mereka tidaklah dekat seperti hubungan saudara pada umumnya. Sebuah kejadian di masa lalu menjadi penyebab hubungan mereka meregang setelah intan memasuki bangku SMP. Hanya mereka bertiga yang paham betul dengan alasan mereka saling menjauh.
"Lebih baik kalian yang pulang, biarkan bunda tetap disini menemani putri bunda" lanjut Windana setelah menghela napasnya pelan
Mendengar perintah Windana, mereka segera beranjak kembali sofa yang berada di sudut ruangan tersebut.
...****************...
"Kau sudah pernah menolongku, aku mohon tolong diriku sekali lagi!" pinta Intan menangis sesenggukan pada Aster yang masih berdiam diri menatapnya bergeming.
"Bagaimana caraku menolongmu. Sedangkan aku saja tidak mampu menolong diriku sendiri" jawab Aster menatap malas pada Intan yang terus merengek padanya.
"Kita sama - sama terperangkap di sini, tidak ada jalan keluar bagi kita yang meninggal sebelum waktunya" ucap Aster mengedarkan tatapannya pada ruang hampa yang tak berujung itu. Beberapa orang juga berada di sana, bergerak Kesana kemari untuk mencari jalan keluar tanpa arah yang jelas.
"Bagaimana keadaan bunda sekarang, bagaimana bunda akan menjalani hari tanpa diriku. Huaa... Maafkan aku bunda" kata Intan untuk kesekian kalinya dengan air matanya yang ikut luruh. Entah kata itu sudah berapa kali dia ucapkan, membuat telinga Aster panas mendengarnya.
"Jangan membuang tenagamu, Sekeras apapun kau menangis. kau tetap tidak akan bisa keluar dari sini" kata Aster menepuk pelan bahu intan yang masih saja tidak bisa menerima keadaan mereka.
"Aku mohon bantu aku sekali ini saja!" pinta Intan kembali berusaha menggenggam erat kedua tangan Aster. Memandang sayu pada sosok yang tampak acuh dengan kejadian yang mereka alami
"Baiklah aku akan membantumu, itupun jika aku bisa" pasrah Aster menatap ke arah lain, lalu bergegas menghindari tatapan Intan yang membuatnya merasakan sesuatu yang aneh.
...****************...
"Intan kenapa nak?" teriak histeris Windana saat tubuh intan kejang - kejang dan bergetar hebat. Sedangkan Devano dan Abraham terperanjak kaget dengan kejadian di depan mereka.
"Panggil dokter ke sini!" pinta windana menatap tajam dua pria yang masih belum menguasai diri mereka dari keterkejutan. Hingga mereka berdua berlarian keluar ruangan memanggil dokter dan perawat yang bisa mereka temui.
"Mohon ibu keluar sebentar yah!" pinta seorang perawat melepas selang ventilator dari hidung intan. sedangkan perawat lain dan dokter yang datang dengan tergesa - gesa.
"Detak jantungnya melemah Dok!" ucap perawat yang lebih dulu berada di sana. sembari melepas bantal yang berada di bawa kepala intan.
"Siapkan alat pacu jantung!" pinta dokter mendekat dengan tergesa - gesa kearah bed pasien tempat Intan terbaring.
"Mohon ibu keluar sebentar yah!" pinta salah satu perawat mengarahkan Windana untuk keluar dari ruangan tersebut.
"Aku mohon Tuhan, selamatkan putriku untuk kali ini saja" ujar windana berdiri menatap pintu yang sudah tertutup kembali dengan rapat.
"Bunda! tenanglah, dia pasti akan baik - baik saja" ucap Devano menghampiri Windana segera menuntunnya ke arah kursi yang berbaris di depan ruangan tersebut.
"Ini! bunda minum dulu, tenangkan diri bunda. Semua akan baik - baik saja" ucap Abraham menyodorkan sebotol minuman mineral pada Windana.
sadar akan tatapan sayu dari kedua putranya membuat Windana mengalah mengikuti keinginan anaknya, Mengambilnya dan meminumnya beberapa tegukan. Sebelum mengembalikan minuman tersebut pada Abraham.
Setelah menunggu hingga hampir 30 menit ruangan itu kembali terbuka. Seorang perawat keluar dengan tergesa - gesa meninggalkan ruang itu. Selang beberapa menit perawat itu kembali ke dalam ruangan dengan membawa beberapa cairan infus serta beberapa alat medis lainnya.
Setiap pintu itu terbuka windana beranjak berdiri, Memastikan orang yang keluar. Rasa cemas begitu mencekam dirinya, menunggu kabar putrinya di dalam sana. Entah anaknya mampu diselamatkan atau tidak?, Entah tindakan medis seperti apa yang mereka lakukan? Pertanyaan itu tidak lagi dipedulikan Windana yang ingin dia ketahui hanya keadaan Intan.
Hingga pintu itu kembali terbuka menampakkan wajah pria yang berstatus Dokter.
"Bagaimana keadaan putri saya Dok?" tanya Windana buru - buru mendekat kearah pria tersebut.
"Pasien berhasil melewati masa kritisnya, Kini kita hanya tinggal menunggu kesadaran pasien" ucap pria itu mengembangkan sedikit senyumnya setelah menurunkan masker yang menutup sebagian wajahnya.
"Benarkah begitu Dokter. Terima kasih, terimakasih telah menyelamatkannya" ucap Windana penuh rasa syukur. Kini rasa cemasnya sedikit melebur ke atas udara. Ada perasaan lega dan ringan mendengar kabar itu.
"Jangan hanya berterima kasih pada saya, ini semua hanya karena Tuhan menghendakinya untuk terjadi pada putri anda" ucap pria itu menepuk beberapa kali pundak Windana.
"Kalau begitu saya pamit undur diri" kembali dokter itu membuka suara sebelum melangkah meninggalkan tempat itu.
"Apa kami sudah bisa masuk melihatnya?" tanya Windana saat melihat perawat terakhir keluar dari ruangan itu.
"Silahkan nyonya" ucap perawat itu bergeser sedikit dari tempatnya berdiri. Memberi ruang agar wanita itu memasuki ruang yang didominasi warna putih gading. Sedangkan dua pria dengan wajah dingin masih nyaman dengan posisi duduk mereka.
"Bukankah kalian bersekolah di tempat yang sama? meski kalian beda tingkatan, Namun tidak mungkin kau tak tahu apa yang menyebabkan dirinya senekat itu bukan?" tanya Devano membuka suara setelah Windana masuk ke dalam ruang.
"Aku memang tahu dia sering mendapat tindakan yang kurang baik dari beberapa siswa. Tapi aku juga tidak menduga dia akan selemah itu untuk bertahan" ungkap Abraham menatap tajam pada kakak tertuanya itu.
"Huftt... Sudahlah sebaiknya kau terus berada di sisinya selama pengobatannya. Agar bunda tak membencimu lebih dalam" kata Devano bangkit berdiri, dia juga tak mampu membela Intan saat dirinya mengetahui tentang perundungan di sekolah. bahkan hanya untuk menjadi pendengar saja dirinya pun tidak bisa.
"Hmm aku paham" kata Abraham mengerti ucapan kakaknya.
"Ayo kita kembali ke dalam, bunda pasti semakin sedih bila kita tak menemaninya. ayah mungkin besok baru bisa datang ke sini" ucap Devano melenggangkan langkahnya disusul Abraham kembali masuk ruang rawat tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!