Menjadi lajang di usia hampir 30 tahun, nyatanya sangat mengerikan. Apa lagi kamu tinggal di lingkungan pedesaan yang menganggap bahwa menikah diusia muda dan mempunyai suami kaya raya, adalah prestasi yang sangat luar biasa.
Di pandang sebelah mata dan di kasihani adalah makanan sehari hariku, bagi sebagian orang hidupku sangat menyedihkan. Sudah mau 29 tahun tapi masih jomblo, tak punya pasangan dan tak ada laki laki yang mendekati.
Mereka bilang aku terlalu pemilih, tapi aku tak keberatan. Jodoh memang harus di pilih bukan, Membeli sayur di pasar saja kita harus memilih apa lagi memilih pasangan untuk seumur hidup. Nggak mungkin kan asal pilih, seperti membeli kucing di dalam karung, kalau dapat kucing Persia itu rejeki, tapi kalau dapat kucing garong? Siapa yang akan bertanggung jawab atas kehidupanku?.
Hidup sebagai jomblo nyatanya yang semengerikan itu, aku masih bisa bahagia bersama kedua temanku Dila dan Sisil, yang Alhamdulillah nya sama sama jomblo hehehe.
Ku perkenalkan kalian pada kedua sahabatku.
Yang pertama adalah Dila, dia bekerja sebagai SPG mobil di salah satu showroom terbesar di kota. Wajahnya cantik dan bodynya sexy. Aku dan sisil sempat heran kenapa Dila menjomblo, padahal waktu sekolah banyak sekali cowok yang mengantri ingin menjadi pacarnya. Dia adalah anak pertama dari enam bersaudara yang semuanya perempuan, Dila adalah orang yang gampang baper, gampang tersinggung dan menangis. Ratu drama sebutannya, dia bisa menangis meraung Raung hanya karena sang ibu menyuruhnya berbagi lauk dengan adik adiknya. Tapi di balik sifatnya yang ratu drama, dia adalah orang yang berhati lembut dan peka saat sahabatnya di Landa musibah atau sedang patah hati, Dila adalah orang pertama yang datang menghibur.
Yang kedua adalah Sisil, anak juragan beras di pasar dekat perempatan kota. Selain juragan beras, Sisil juga punya usaha toko kelontong di pasar, total ada tiga cabang, tersebar di seantero pasar di kabupaten tempat kami tinggal. Soal kaya jangan di tanya, Sisil adalah yang terkaya di tongkrongan kita bertiga, matanya sipit, tubuhnya pendek dan sedikit berisi, bukan gemuk ya, berisi. Seperti keturunan cina ada umumnya, Sisil mewarisi darah dagang yang sangat luar biasa, dia bisa berdagang apapun, mulai dari sembako, buah buahan, seprei kasur, bahkan yang terkahir dia nekat berdagang tanah kuburan. Dan kalian tau dia menawarkannya pada siapa? Pada ibuku. Ibuku jelas marah marah dan tidak terima, bagaimana bisa Sisil dengan tanpa dosa menawarkan tanah kuburan pada ibuku yang masih sehat wallafiat. Hal itu berakhir dengan sisil di lempari kulit kacang oleh ibuku.
Dan yang terakhir aku, aku adalah gadis yang cenderung pendiam tapi juga galak, wajahku judes dari bayi, hal itu membuat banyak orang yang salah paham terhadapku. Mataku sipit tapi tak sesipit sisil, kulitku putih pucat dan rambutku panjang sepinggang. Mirip ciri ciri kuntilanak, Aku sama dengan Dila. Aku adalah anak pertama, aku mempunyai adik semata wayang yang bernama Ratna. Aku tinggal dengan ibu dan Ratna, karena ayahku sudah meninggal saat aku masih kecil. Sepeninggal ayah, ibu berjuang sendiri menghidupi kami berdua, ibu bekerja sebagai Guru di sekolah SD dekat rumah.
Begitulah kehidupanku, si jomblo mengenaskan kata orang orang.
Hai semua, ini adalah karya pertamaku, Makasih udah sempetin waktu buat baca ya. Oh ya jangan lupa like dan komentarnya, komentar kalian akan membuatku lebih semangat dalam menulis.
Salam kenal dari seorang ibu rumah tangga beranak satu yang punya hobi baca dan menulis😊.
Hari ini adalah hari yang menyebalkan, aku harus ikut ibu di reuni keluarga yang di adakan satu bulan sekali. Biasanya ini adalah tugas Ratna, berhubung adik kesayanganku itu baru saja masuk kuliah kebidanan di luar kota. Jadilah aku yang ketiban apes harus mengantarkan ibu ke reuni keluarga. Aku bicara seperti ini bukan karena aku anak durhaka, semua itu tentu ada sebabnya. Aku malas bertemu sanak saudara yang merasa paling tau tentang kehidupanku, di ceramah,i dan pada akhirnya mereka akan berlomba untuk menjodohkanku.
"Hati hati put kalau Bawak motor, dari tadi kamu tuh sembarangan kalau nyetir. Tau gitu ibuk aja tadi yang nyetir"
"Ini udah hati hati buk, ibu duduk manis aja di belakang" ucapku.
"Put put depan ada truck Lo put, put lihaten depan itu loh ada truck"
"Iya ibuk......, puput tau"
"Jangan ngawur ta kalau nyetir"
Ya Allah ya Rasulullah, jika saja yang aku bonceng ini bukanlah ibuku, pasti sudah aku suruh turun di pertigaan jembatan tadi.
Beginilah ibuku, Raden Lasmiati Kusuma Dewi ini memanglah orang yang sangat cerewet, semua hal di komentari olehnya. Mulai dari jalanan, penampilan ibu ibu senam dan lain sebagainya. Suaranya pun keras dan lantang, hampir 15 tahun menjadi guru matematika tentunya melatih suara ibu tetap lantang jika bicara. Tapi biar pun begitu, ibuku adalah orang yang baik yang pernah ada di dunia. Hobinya masak, masak dalam skala besar, jika masakan sudah matang, maka ibu akan menyuruhku dan Ratna untuk mengantarkan makanan ke para tetangga. Ibuku adalah seorang perempuan yang cantik, wajahnya hampir sama denganku, mata kami sama sama sipit meski bukan keturunan cina, hidung kami mungil atau bisa kalian sebut pesek, kulit kami putih tapi pucat, rambut kami hitam dan lurus serta sifat kami yang plek ketiplek sama. Hal itu yang menyebabkan kami gampang berselisih paham dan bertengkar karena hal hal kecil. Sementara Ratna, dia adalah kebalikan semua dari ibu dan aku. Mata Ratna besar, indah dan berbinar, bulu matanya panjang, hidungnya mancung dan bibirnya tipis, kulitnya kuning Langsat, rambutnya hitam, lebat dan bergelombang. Dia juga mempunyai wajah yang sabar dan murah senyum, Ratna tak pernah marah, sekalipun dia marah, dia hanya diam dan tak berkata apapun. Kata ibu, Ratna sangat mirip dengan ayah. Selama ini pertengkaranku dan ibu selalu ada Ratna yang jadi penengah. Aku sampai menangis meraung Raung saat Ratna berangkat ke luar kota seminggu yang lalu, selain merasa kehilangan aku juga merasa ketakutan jika ibu sampai naik pitam terhadapku, tak ada lagi Ratna yang membelaku.
...........
"Put..puput, put...!!!!!"
"Iya buk iya kenapa?"
"Kenapa kenapa...., rumah pak.dhe Wiryo sudah kelewat jauh, tadi harusnya belok kiri lah kamu malah lurus aja, piye to put put"
"Eh iya ta buk, maaf maaf" jawabku sambil membelokkan sepeda secepatnya.
"Mangkanya jadi wong Wadon (Cewek) itu jangan ngelamun aja, kok bisa rumah p.dhe sendiri bisa lupa"
"Iya kan puput jarang kesini to buk, wajar kalau lupa" aku ngeles.
"Halah wajar apanya, kamu tuh mangkannya cepet nikah biar nggak ngelamun ae, lihaten ta tuh anaknya bu.dhe Supri, Udah gendong anak to, padahal baru lima bulan kemaren nikahan, sat set itu namanya"
"Buk mbok ya istigfar buk, itu bukan sat set namanya, ya Allah" Ucapku mengelus wajah, motor sudah terparkir di halaman luas rumah pak.dhe Wiryo. Sepupuku Anis memang baru menikah lima bulan lalu, tapi sekarang anaknya sudah lahir. Anis baru berumur 19 tahun dan dia sudah menikah serta memiliki anak. Bagi anggota keluargaku, itu adalah salah satu prestasi yang patut di banggakan. Hal itu karena Anis berhasil mendapatkan suami kaya raya dari desa sebelah, Namanya Roby anak Juragan cabai yang sawahnya berhektar hektar.
..........
"Assalamualaikum" ucapku dan ibu bebarengan.
"Wallaikumsalam" jawab para saudaraku yang sudah berkumpul di dalam rumah pak.dhe Wiryo.
"Eh puput to ini, sini ndok (panggilan untuk anak perempuan) duduk Deket bu.dhe" Bu Dhe Supri menyuruhku duduk di dekatnya, tepat di sebelah Anis yang sedang menggendong bayinya, tiba tiba perasaanku menjadi tak enak.
"Enggeh Budhe" jawabku, aku pun melangkah ke sebelah Anis, saat hendak duduk tiba tiba budhe Supri mengeluarkan kata kata mutiaranya.
"Eh put, nggak pengen ta gendong anak, nggak pengen ta punya suami, itu loh adikmu Anis udah punya anak, padahal masih muda. Lah kamu yang udah tua kok belum nikah nikah" ucap Budhe Supri secara tiba tiba, ini termasuk penyerangan tanpa aba aba. Aku tersenyum canggung dalam posisi yang tak kalah canggung.
(Aku belum duduk Lo ini, udah di cecer sama pertanyaan yang menyebalkan) ucapku dalam hati.
Semua yang ada di ruangan memandangku layaknya tontonan yang unik, tatapan mereka beraneka ragam, ada yang kasihan, ada yang penasaran dan ada pula yang cengengesan.
Aku yang duduk sebelah Anis, ingin rasanya berpindah duduk di pojokan ruangan, bersembunyi di antara kotak berkatan yang telah terusun rapi. Sekalian biar tak terlihat.
"Yah jangan di bandingkan to yuk Supri, Anis sama puput jelas beda. Kalau puput wajar belum nikah, dia kan selesai sekolah masih kuliah dan sekarang masih ngurusi karirnya" Ibu membelaku, meskipun ibuku galak. Tapi beliau tak terima jika anaknya di hina orang lain.
"Halah karir apa, wong kerjanya jual baju online, tokonya juga kecil to" Budhe Supri tak mau kalah.
"Eh jangan menyepelekan budhe, omset jualan baju online sekarang sangat lancar, satu hari bisa jutaan Lo, apa lagi toko baju milik puput udah terkenal di kota sini?" Kali ini Mbak Fatma yang membelaku, Mbak Fatma adalah anak dari pakdhe Wiryo, kami memang lumayan dekat sejak kecil. Aku menoleh ke Mbak Fatma, aku tersenyum tanda terimakasih telah di bela.
"Lagian jangan suka banding bandingkan orang lain dengan anakmu sendiri, sengaja biar perhatian orang orang yang mengarah ke anak dan cucumu itu kan, jadi kamu membahas Puput yang belum menikah" Ibu sepertinya sudah hilang kesabaran, kata kata ibu mulai pedas terdengar.
"Maksud kamu apa dek Lasmi?"
"Yuk Supri Taulah maksud saya apa, nanti kalau saya jelaskan. Yuk (panggilan kakak perempuan dalam bahasa Jawa) malah semakin kaget dan tidak terima loh"
Budhe Supri terdiam mendengar kata kata ibu, beliau tetap diam sampai acara berakhir. Aku sebenarnya tak ingin adu argumen ini terjadi. Tapi budhe Supri memang seperti itu orangnya, senang bergosip dan merendahkan orang lain tanpa mengaca dahulu.
..........
"Ibu lain kali jangan gitu, nanti kalau budhe Supri tersinggung dan marah sama kita gimana?"
"Ora nguros ndok, mangan gak jalok dekne (Gak mau tau, makan gak ikut dia kok)"
"Iya tapi kan ibu jadi di musuhi"
"Halah saudaranya Ayahmu sedari dulu memang begitu ndok, apa lagi yang namanya Supri. Bisanya gosip dan merendahkan orang lain. Dulu ndok Fatma yang di gosipin katanya kemedan (cinta mati) sama anaknya pak kades, lah sekarang buktinya ndok Fatma di nikahin to sama Bagus"
"Iya sih Bu"
"Ibu nggak terima kalau kamu jadi bahan olok olok orang lain, meskipun kenyataannya kamu memang belum menikah"
Mendengar kata kata belum menikah, aku jadi meringis.
"Mangkanne ta cepeto rabi (Mangkannya cepet nikah)
"Iya kan ini juga lagi berusaha Ibu, mau cari yang terbaik buat tak jadiin suami"
"Heleh ngomong tok nggak enek buktine ( bicara terus gak ada buktinya)
Ibu langsung pergi ke kamarnya untuk istirahat, sementara aku juga pergi ke kamarku untuk berganti baju. Aku bukannya tak sakit hati dengan perkataan budhe Supri, aku hanya terlalu kebal dengan omongan mereka. Semoga saja suatu saat nanti aku bisa benar benar menemukan jodoh untuk diriku.
Aku bangun pukul 4 subuh, setelah mandi dan sholat, aku langsung membantu ibuku di dapur. Setelah semua selesai, kita berdua makan bersama. Menu pagi ini adalah sayur bening bayam dan oyong, sambal terasi, ikan goreng serta tahu tempe. Menu sederhana kesukaanku, aku bisa tambah sampai tiga kali kalau menunya ini.
"Ndok, mbok kalau makan bismillah dulu, itu udah piring ketigamu Lo" ibu geleng geleng kepala melihatku tambah nasi lagi, porsi makanku memang porsi kuli.
"Hehehe laper buk" Aku cengengesan.
"Ya pelan pelan makannya, kamu tuh perempuan, makan ada aturan dan takarannya ndok"
"Enggeh (iya) Bu"
"Bukannya nggak boleh makan banyak, ibu takut nanti kalau kamu ikut mertua, mereka tau makan mu kayak orang kesurupan gitu gimana, nggak kaget ta kira kira"
"Siapa yang mau ikut mertua, nggak mau aku buk, aku mau sama ibuk aja di rumah ini"
"Loh lak ngawur, kamu tuh kalau sudah nikah ya wajibnya ikut suami, mau suami tinggal dimanapun kamu harus manut (nurut)"
"Enggeh buk" ucapku sambil menikmati makanan di piring ketiga ku.
"Kamu makan banyak juga nggak ada hasilnya ndok, badanmu tetep segitu aja, tetep cungkring hehehe" ledek ibu
Aku hanya bisa meringis mendengarnya, memang benar kata ibu. Badanku kurus dan kecil, di tambah aku juga pendek. Persis seperti anak SMP yang baru lulus. Berbeda dengan adikku yang tinggi semampai, dia terlihat anggun dan cantik, pakai pakaian apa saja juga cocok.
................
Jam 8 pagi aku sudah bersantai di teras depan, melihat lalu lalang orang sambil ngopi adalah suatu kesenangan yang sederhana, ibu baru saja berangkat mengajar setengah jam tadi.
"Mbak put, pagi pagi udah santai aja" Sapa mbak Yanti tetanggaku, usianya baru 25 tahun, sudah di karuniai tiga anak dan tinggal bersama di rumah mertua, sementara suaminya kerja di luar kota sebagai sales kompor.
"Eh mbak Yanti, baru dari pasar ya" tanyaku, ku lihat dia menenteng belanjaan yang sangat banyak di tangan kanannya, tangan kirinya menggandeng si sulung, dia juga menggendong di bungsu.
"Iya mbak, buat stok satu Minggu" jawabnya, ku lihat keringat membasahi kerudungnya yang miring.
"Mbak mampir dulu sini, aku buatin kopi"
"Makasih mbak, di rumah masih banyak kerjaan mbak, aku masih mau cuci baju, masak sama bersih bersih rumah"
"Oh iya mbak"
"Mari mbak"
"Iya mbak"
Ku lihat mbak Yanti pulang, langkahnya terseok Seok seperti keberatan beban.
Mbak Yanti bukan asli kampung sini, dia menikah dengan Bang Arya putra dari Bu Musni, rumahnya dekat dengan rumahku, hanya berjarak dua rumah. Sebenarnya banyak gosip beredar tentang keluarga Bu Musni yang memperlakukan mbak Yanti dengan semena mena. Katanya mbak Yanti lah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai dari cuci baju, bersih bersih rumah hingga memasak. Di rumah mertua mbak Yanti ada empat orang yang tinggal, delapan jika di tambah dengan mbak Yanti serta anak anaknya. Bu Musni masih mempunyai dua anak perempuan kembar bernama Rara dan Rere yang masih berumur 16 tahun.
Awalnya aku tak percaya dengan gosip itu, hingga pada suatu hari aku melihatnya tepat di depan mataku.
Saat itu aku di suruh ibu untuk mengantarkan Ketan duren buatannya kepada para tetangga. Saat aku mengantarkan Ketan duren untuk bu Musni, aku mendengar teriakan Bu Musni yang sangat keras.
"YANTIIII...!!!! INI ANAK KAMU BERAK, CEPAT BERSIHKAN, BAUNYA KEMANA MANA...!!!!! Heran banget, orang kok betah sama bau ta*, meskipun itu ta* anak sendiri tapi mbok ya yang bersih gitu loh jadi orang" Ocehan tersebut masih berlanjut. Baru berhenti saat aku mengetok pintu dan menyebutkan salam.
Saat aku memberi bungkusan ketan duren pada Bu Musni, ku lihat mbak Yanti sedang berjalan menuju kamar mandi dengan menggandeng anak keduanya yang baru berumur tiga tahun. Wajahnya sedih dan seakan ingin menangis, aku sampai tak tega melihatnya. Tapi aku juga tak enak sendiri jika harus berlama lama di rumah Bu Musni, setelah memberi bungkusan, aku pun pamit pulang.
Pernah juga waktu itu, saat di adakan posyandu di rumahku. Mbak Yanti datang dengan ketiga anaknya, yang membuatku gagal fokus adalah luka di pelipis mbak Yanti dan luka di ujung bibirnya, luka itu lebam berwarna keunguan, seperti luka pukulan.
"Mbak Yanti kenapa mukanya kok luka luka" Tanyaku pelan, mbak Yanti tak menjawab, dia hanya diam dan menangis, aku lalu membawa mbak Yanti masuk ke dalam kamarku, sementara ketiga anaknya di bawah ibu untuk melakukan imunisasi.
"Mbak yanti kenapa, mbak Yanti kalau ada masalah bisa kok cerita sama saya" ucapku lembut.
"Nggak papa mbak" Mbak Yanti tetap tak mau menjawab.
"Mbak ini luka pukulan Lo, bukan luka jatuh, siapa yang mukul mbak" tanyaku lagi. Jika mbak Yanti mengalami KDRT, maka aku siap akan melaporkan siapapun kepada pak polisi.
"Saya belum siap mbak ceritanya, nggak tau juga harus mulai dari mana, memang saya yang salah, saya udah nyuri uang suami"
Kata kata mbak Yanti membuatku terdiam.
"Nyuri gimana maksudnya mbak?"
"Saya nggak pernah di kasih uang belanja sama suami mbak, uang belanja ibuk yang megang. Waktu itu si Dafa (anak sulung mbak Yanti) lagi sakit, saya minta uang sama ibuk buat periksain Dafa katanya nggak ada uang, minta ke suami juga nggak di kasih. Jadi saya nekat mbak ambil uang suami yang ada di dompet, saya bawaklah si Dafa ke bidan, tapi saya apes mbak. Waktu pulang dari bidan mas Arya tau kalau saya ambil uangnya, jadilah saya di hajar sama dia"
"Astaghfirullah nggak ada pikirannya tuh suami mbak, mbak kita harus laporkan dia ke polisi mbak, ini udah KDRT namanya"
Bukannya setuju, mbak Yanti malah menggeleng dengan cepat.
"Nggak mbak jangan mbak jangan, saya sudah minta maaf sama dia mbak, kami udah baikan, saya nggak mau masalahnya tambah panjang" Mbak Yanti memohon mohon memegang tanganku, aku sungguh tak tega melihatnya.
"Ya udah kalau itu mau mbak" Hanya itu yang aku ucapkan, ada banyak ketakutan di hati mbak Yanti, ini juga yang menjadi ketakutanku akan sebuah pernikahan, mengapa wanita cenderung tidak bahagia setelah menikah, apakah menikah memang tak sebahagia itu. Lantas mengapa orang orang berlomba lomba untuk cepat menikah, Apa hanya demi sebuah status agar tak di cap sebagai perawan tua.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!