"Aku menulis surat ini untuk sahabat ku Kenzie Masashi, laki-laki aneh dengan segala tingkahnya namun sangat baik dan perhatian. Laki-laki yang mampu tetap setia berada di sampingku. Laki-laki dengan sejuta kelebihan yang membuat ku terpikat secara diam.
Hei Ken, bolehkah aku berkata bahwa aku menyukaimu? Jangan di tertawakan, anggap saja ini hanya sebuah perasaan tunggal dari aku untuk kamu.
Aku menyukaimu bagaimana saat aku berdiri bersamamu dibawah rintik hujan, bagaimana dirimu menjadi pelangi setelahnya, membawa sejuta keindahan yang menghipnotisku tiap aku menatap wajahmu dan terlena dalam senyumanmu.
Ken... aku sering bertanya pada pencipta. Apa jadinya kita, jika kita tak menjalin ikatan persahabatan? Sebuah ikatan yang membawa cerita juga cinta dari ku padamu secara bersamaan. Tapi terkadang aku juga penasaran, apakah kita mampu bergandengan tangan di bawah hujan jika kita tak terikat dalam jalin pertemanan?
Ken... di tiap detik aku membayangkanmu, sosokmu yang ceria mampu membuatku tersenyum dalam diam. Diantara lantunan lagu ballad yang selalu kau dengarkan, aku tersenyum. Saat mengingatmu aku bahagia, namun... aku juga tersiksa.
Ken... Saat nanti aku bisa dengan lantang menyuarakan isi hati ku padamu, aku harap kau tidak jijik padaku.
Ada banyak manusia di bumi yang begitu sempurna. Dan aku, salah satu dari mereka yang tidak sempurna namun berharap mendapatkan cinta yang sempurna.
Egois jika aku tetap menginginkanmu. Kau bebas mendapatkan cinta sesempurna hidupmu. Kau bebas mendapatkan pendamping yang sempurna seperti dirimu.
Maaf lancang menyukaimu. Aku bukanlah gadis baik yang bisa membuat mu tersenyum setiap saat. Namun, keberadaanmu mampu membuatku tenang akan beban hidup yang selalu membuatku gelisah.
Aku sering bertanya pada Pencipta. Mengapa ia menciptakanku dengan takdir yang semenyedihkan ini.
Ditinggal orang tua, pendengaran rusak, setiap orang memicing saat melihatku. Menyakitkan...
Menjadi tidak sempurna sangat susah. Namun, kau datang menyempurnakan ketidak-sempurnaan ku.
*Kau datang dan kau berani tampil di sisiku tanpa protes dengan aku yang cacat, ya... meski semua itu hanya sebatas pertemanan.
Berkali-kali aku berharap dapat menjalin ikatan yang lebih jauh dari sekedar teman. Tapi, apa aku pantas*?
Aku gadis cacat.
Aku banyak kekurangan.
Aku berbeda.
Apa aku boleh memiliki mu?
Kurasa jawabannya, tidak.
Takdir ku di masa depan bukan aku yang menentukan. Begitu pula takdirmu.
Namun, berharap bukan sebuah kesalahan kan?
Ken... Di masa depan nanti, berjanjilah untuk hidup lebih baik dan lebih bahagia.
Maaf terlalu lama bergantung dengan mu. Maaf terlalu lama aku bersikeras menginginkan hidup denganmu.
Apapun nanti yang terjadi, tolong jangan salahkan dirimu.
Aku tidak tahu, kau berdiri disampingku karena memang menginginkan nya atau hanya sekedar kasihan pada gadis cacat sepertiku. Seharusnya, kau bebas pergi meninggalkanku, kapanpun kau mau.
Meski begitu, aku bahagia Ken.
Kehadiranmu mampu membuatku tersenyum. Kehadiranmu mampu memberi warna untuk hidupku.
Siapapun nanti yang akan menjadi pasanganmu, aku yakin dia adalah gadis yang sangat beruntung.
Ken... Esok hari, saat kau membuka mata tanpa ada aku, tolong jangan risau. Berhentilah bersedih. Aku tetap di samping mu. Memantaumu meski dari jauh.
Suatu hari, saat kau menemukan surat ini, aku hanya ingin kau tahu satu hal.
Aku menyukaimu.
*Meski lancang, meski terlambat, tapi rasa suka ku tulus untukmu.
Meski aku cacat dan tidak sempurna, tapi perasaanku tulus dan sempurna untukmu*.
*Jangan risih mengetahui kenyataan aku yang lancang menaruh rasa padamu. Aku harap kau masih tetap mau menjadi temanku.
Apapun status kita, apapun tujuan mu dekat denganku, aku sangat berterima kasih atas waktu yang kau berikan padaku.
Atas hari yang aku lalui denganmu.
Aku berterima kasih*.
Ken... Hiduplah lebih baik. Hiduplah bahagia. Hiduplah dengan damai.
Izinkan aku untuk terus menjaga perasaan ini. Tak apa jika kau tak membalas perasaanku. Aku bahkan sangat berterima kasih karena kau mengizinkanku berdiri di samping mu di bawah hujan.
*Terimakasih untuk semua. Terimakasih untuk waktumu. Terimakasih karena mau memilihku sebagai salah satu orang yang menyaksikan hujan dan pelangi bersamamu.
Terimakasih*
*Dariku, gadis tidak sempurna yang dengan lancang menyukaimu."
-Hyera Jenaro*
***
Aku masih berkutat dengan pekerjaanku. Hujan pagi ini masih setia menemani ku sampai detik ini. Ahh… bukan. Bukan hanya hujan yang menemaniku. Lantunan musik ballad yang selalu aku putar tanpa bosan. Salah satu musik kesukaan dia yang dulu sering ia perdengarkan untukku.
Lagu yang sampai sekarang sangat aku sukai.
Namaku Hyera Jenaro. Kalian bisa memanggilku Hyera. Aku cacat. Bukan cacat dari lahir. Tapi aku cacat akibat kecelakaan sewaktu aku berumur lima tahun.
Aku adik dari Dhafin Jenaro. Seorang kakak yang sangat luar biasa hebat. Aku menyayanginya, sangat. Dari dulu, bahkan sampai akhir nafasku aku akan terus menyayanginya.
Bukan hanya dia yang aku sayang. Ada satu laki-laki lagi yang sangat aku sayang. Yang sekarang berdiri disamping ku dan siaga untuk menjagaku. Terimakasih untuk kamu yang masih bertahan hingga detik ini bersamaku.
Menunggu hujan sebenarnya sedikit membosankan. Meskipun aku menyukai hujan, tapi aku ada janji untuk bertemu dengan seseorang malam ini.
Satu kopi cappuchino favoritnya sudah ku siapkan. Aku yakin dia akan senang. Dia, laki-laki yang sangat ku cintai dan tidak pernah ku sangka akan bisa bersamanya meski harus melewati liku-liku kisah yang di bilang tak cukup indah.
Aku ingin membagikan kisahku dengan dia yang selama ini selalu ku puja bagai idola. Bernostalgia pada masa SMA ku mungkin tidak masalah, karena aku akan terus mengenang masa itu, sampai aku tua nanti.
.
.
.
.
.
***
.
.
.
.
.
- I'M YOURS -
.
.
.
Sengaja tidak masuk sekolah memang bukan alasan yang tepat. Aku tidak sakit, aku juga tidak bandel, tapi aku hanya merasa tidak pantas berada di antara banyaknya orang normal di luar sana.
Meski beberapa orang suka menggunjingku, tapi aku bersyukur karena masih ada orang yang sayang padaku. Masih ada yang mengerti kondisiku, dan mereka juga tidak menjauhiku. Termasuk Kenzie, temanku.
Aku saja yang terlalu takut berada di sekitar mereka. Takut menjadi noda bagi mereka yang sempurna.
Biar ku kisahkan sedikit mengapa aku menganggap diriku tak sampurna.
Satu kunci yang perlu kalian tahu, Hearing Aid.
Ya.. aku memakainya. Aku membutuhkannya untuk membantuku mendengar lebih jelas.
Aku mengalami kerusakan pendengaran saat usiaku 5 tahun. Dulu, keluarga kami pernah mengalami kecelakaan hebat. Aku masih mengingat semua kejadian itu, bahkan masih sangat jelas berputas diotakku seolah baru saja terjadi.
Mobil kami di tabrak oleh truk besar yang kehilangan kendali saat supir nya mengantuk namun masih terus memaksa menyetir.
Supir truk itu selamat, namun sampai sekarang masih mendekam di balik jeruji besi akibat kelalaiannya. Hanya saja, kecelakaan itu membuat kami semua harus di rawat di rumah sakit. Aku, ayahku, ibuku, serta kakakku. Kami semua mengalami luka yang cukup parah.
Ayah ku meninggal di lokasi kejadian. Tak lama, tiga hari setelahnya ibuku menyusul ayah. Aku masih belum sadar dari koma. Tiga bulan setelahnya aku baru bangun dari tidurku.
Dan saat aku terbangun, aku mendapatkan kabar yang cukup mengganggu mentalku, saat itu.
Hyera gadis kecil yang baru berumur 5 tahun, harus kehilangan kedua orang tua serta pendengarannya.
Beruntung aku tak kehilangan Kak Dhafin. Kakakku terlalu kuat untuk melewati semua peristiwa itu. Kata Dokter tidak ada kerusakan serius pada tubuh kakakku. Ia bahkan hanya tertidur sehari dan menangis sejadi-jadinya saat Kak Dhafin tahu bahwa ibu turut pergi meninggalkan kami.
Aku yang waktu itu masih berumur 5 tahun, dan kakakku yang berumur 10 tahun masih sangat kecil untuk bisa menghadapi semua peristiwa menyakitkan itu. Kami bingung harus melaluinya seperti apa. Apalagi kakakku, yang harus menghidupiku di saat umurnya pun masih terbilang sangat kecil.
Beruntung ada Kenzie dan keluarganya yang membantu kami. Serta Dokter Aber dan anaknya Kak Andrian yang juga ikut membantu kami.
Aku bersyukur ada mereka. Jika tidak, aku dan Kak Dhafin akan kebingungan bagaimana melanjutkan hidup di usia kami yang masih sangat kecil.
“Tidak sekolah lagi?”
Aku menoleh ke arah sumber suara. Ada kakak ku yang menatapku. Entah sejak kapan, tapi dilihat dari setelannya yang sangat rapi mungkin ia akan pergi ke café.
“Kenapa?” Tanyanya lagi.
Aku menggeleng pelan menyahuti pertanyaan Kak Dhafin. Kakak ku terlampau paham peranggai adiknya saat merajuk tak mau sekolah.
“Mau ikut kakak ke café? Ada Kak Andrian nanti disana. Kau bisa bermain dengannya.”
Meskipun Kak Andrian seumuran dengan Kak Dhafin, namun tingkah serta wajah nya yang imut menggemaskan kadang membuatnya terlihat seumuran denganku.
“Aku kangen Ayah sama Ibu.” Menatap lahan luas dengan banyaknya tanaman bunga, membuatku merindukan sosok kedua orang tuaku.
Disana, taman kecil yang di buat ayah untuk aku dan Kak Dhafin bermain. Ibu yang mempercantik tamannya dengan menanam bunga-bunga indah dan menatanya sangat rapi.
Aku rindu saat dimana aku dan Kakak ku bermain kejar-kejaran, sementara ayah dan ibu duduk di kursi sambil meminum teh. Menjelang sore, mereka akan memanggil kami untuk bergabung di mejanya.
Sebuah kenangan yang terkadang mengiris hatiku.
Duduk di bangku yang sekarang aku duduki. Tempat yang memberikan cerita senja yang indah bersama kedua orang tuaku.
Bagaimana aku merajuk ingin minum kopi Ayah, tapi karena aku masih kecil Kak Dhafin menggantinya dengan susu coklat yang di tempatkan di cangkir Ayah. Menipuku dengan tawa riang nya seolah itu adalah kopi yang sama yang di minum Ayah.
Aku rindu mereka.
“Mau mengunjungi ayah ibu?”
Aku menatap kedua manik coklat Kak Dhafin. Terlalu egois untukku bersedih selama ini. “Tidak Kak,” menurutku, dengan mengunjungi mereka hanya membuatku semakin merindukan mereka.
“Kenzie tahu kalau kamu membolos?”
Aku mengangguk samar, dan Kak Dhafin menjawabnya dengan helaan nafas pelan.
“Jangan terlarut dalam kesedihan. Kamu tidak kasihan dengan Kakak yang masih disini?”
Aku menatap Kak Dhafin lagi. Terlalu sering ia mengatakan “masih disini” seolah waktu itu ia mau pergi ikut Ayah dan Ibu.
“Kakak mau ke café?” Tanya ku mengalihkan kesedihan.
Kakak ku punya sebuah café. Tidak besar, hanya berukuran sedang. Dekat dengan wilayah kampusnya, namun sangat ramai entah itu hari biasa atau akhir pekan.
Kak Dhafin dulu punya satu pegawai, namanya Kak Leo. Orang yang pernah ku sukai dulu. Namun semenjak Kak Leo pindah ke Jerman, Kak Dhafin mengurus cafenya sendiri.
Tak mau mencari pegawai lagi, katanya biar tidak menghamburkan banyak uang.
Jika akhir pekan tiba, kadang aku dan Kenzie membantu Kak Dhafin di café.
“Iya, kakak harus ke café. Kamu mau ikut?”
Menimang tawaran Kak Dhafin, aku menatap kedua telapak tangan yang saling bertumpu di atas meja.
Kedua tangan yang berjuang sangat keras demi menghidupiku. Menjadi kakak sekaligus orang tua hebat agar aku tak kesepian.
Harta orang tua kami banyak. Sangat banyak untuk kami yang masih belum mempunyai keluarga. Namun, aku dan kakak ku memiliki prinsip yang sama. Tak mau menghamburkan warisan Ayah Ibu demi foya-foya tak penting mengikuti hawa nafsu sesaat.
“Mau tidak?” Tanya nya lagi. Sontak aku mengangguk mengiyakan.
Mengirim pesan pada Kenzie, setelahnya aku mengikuti Kak Dhafin yang berdiri. Menggandeng tanganku lalu menuntunku menuju motor hitam miliknya yang terparkir di garasi.
Jarak rumah ku dan café tak begitu jauh. Hanya 15 menit, dan kami pun sampai.
Terlihat sudah banyak orang yang berdiri di sekitar café. Menunggu kapan café itu dibuka. Padahal café Kak Dhafin buka setiap jam 09.00 pagi. Tapi pengunjung sudah mulai mondar-mandir dari jam 08.00 pagi.
“Kakak serius nggak mau cari pegawai? Tiap hari rame loh kak.”
Sedikit melirik sekitar, kemudian Kak Dhafin berujar dengan gampangnya. “Untuk apa mencari pegawai kalau tidak ada yang tampan sepertiku?”
Aku memutar bola mata malas, “Memangnya harus tampan?”
“Iya dong. Selain makanan dan minumannya yang enak, penampilan juga harus nomor satu.” Membenarkan pintu yang baru saja di buka, Kak Dhafin kembali berujar, “Pengunjung zaman sekarang itu munafik. Kalau pegawai tidak tampan, serta tempatnya tidak instagramable jarang diantara mereka yang mau mampir.”
Kalau boleh jujur, aku membenarkan ucapan kakak ku.
Aku pun begitu, tiap aku dan Kenzie mencari tempat untuk makan di akhir pekan, kami pasti akan mencari tempat yang mempunyai spot foto terbaik. Kalau tidak, rasanya agak aneh.
Beruntung Kak Andrian yang mendesain café Kak Dhafin. Gambaran serta desain dibuat dengan tangannya sendiri. Dia kan jago menggambar, jadi hasilnya tidak perlu di ragukan lagi.
Aku mengikuti langkah kaki kakak ku masuk ke café. Menerawang sekitar café, sampai mataku menatap foto keluarga yang terpajang di sudut dinding dengan bingkai kecil berwarna abu-abu.
Foto keluarga kami. Lengkap dengan Ayah dan Ibu waktu keduanya masih hidup. Foto yang diambil seminggu sebelum kecelakaan merenggut nyawa mereka.
“Kenzie akan datang sepulang sekolah, kau bisa menunggunya di dalam kalau bosan.”
“Tidak. Aku mau bantu-bantu kakak saja. Siapa tahu, pengunjungnya datang dua kali lipat lebih banyak.” Ujar ku dengan nada percaya diri yang ku akhiri dengan cengiran khas ku.
Kak Dhafin mengulas senyum simpul. Mengacak rambutku, lalu memberikan apron berwarna hitam padaku. “Kalau lelah, langsung bilang kakak. Adek kakak nggak boleh kelelahan sedikitpun.”
“Ayayy Captain!”
Aku duduk di salah satu bangku rumah sakit. Aku sering kesini. Sekedar berkunjung dan berbagi dengan anak-anak pengidap cancer. Mataku menatap beberapa anak yang sedang berlarian dengan kepala tanpa rambut.
Rambut mereka mulai rontok. Beberapa ada yang sengaja di potong habis dan beberapa memang sengaja rontok karena obat keras yang mengalir di tubuh mereka demi membasmi cancer.
Nyeri saat aku melihat mereka secara langsung meringis menahan sakit. Diam-diam aku juga menangis saat mereka meraung meminta tolong agar bisa sembuh dari penyakit yang bersarang di tubuhnya.
Kadang aku sedikit bersyukur dengan hidupku. Aku memang tuli, tapi setidaknya aku masih bisa mendengar meski tidak setajam orang normal pada umumnya.
“Ra, melamun apa?” Aku menoleh ke arah samping kanan. Mendapati Kenzie yang berdiri dengan dua tangan di masukkan ke saku celana.
Aku tersenyum ke arahnya. “Hanya melihat mereka.” Ujarku lalu kembali menatap kumpulan anak-anak yang saling berebut mainan.
“Mau punya berapa anak di masa depan?” Pertanyaan Kenzie sedikit membuatku bergidik. Pasalnya, aku tidak pernah membayangkan tentang kehidupan masa depan. Memiliki keluarga, suami, anak, sekalipun aku tidak pernah memikirkan hal seperti itu.
Aku menggeleng pelan. Dan setelahnya aku mendengar helaan nafas pelan.
“Jangan terlalu mengurung diri dengan kekuranganmu. Kau berhak menentukan hidupmu. Jangan jadikan kekuranganmu menjadi beban hidupmu sampai menutup jalur masa depanmu.”
Lontaran kata Kenzie hanya ku balas dengan senyuman. Aku memang minder. Aku memang sedikit menjauh dari lingkungan sosial. Aku menutup diri dari lingkunganku. Hanya orang-orang terdekat yang mungkin paham posisiku. Meski aku tidak pernah meminta mereka untuk sekedar memahamiku.
Aku cacat. Kebanyakan orang di luar sana memandang rendah orang yang mempunyai keterbatasan. Di sosial media mungkin mereka respect dengan beberapa orang yang memiliki keterbatasan, tapi fakta nyata di dunia, orang cacat teteplah orang cacat yang mereka pandang sebelah mata.
Di belahan dunia lain pun aku yakin sama. Itulah kenapa aku selalu menutup diri dari lingkungan. Meski aku tidak bisa mendengar jelas cercaan mereka, namun aku bisa membaca cacian mereka lewat tatap mata memicing yang selalu di hadiahkan padaku. Jijik mungkin. Padahal aku juga manusia sama seperti mereka. Tapi jelas sekali mereka membedakanku.
Hanya karena aku berbeda, mereka terus-terusan merendahkanku. Peduli di depan, tapi terang-terangan mencaciku di belakang. Aku tahu itu. ingin protes dan memaki balik rasanya. Tapi aku sadar, aku ini siapa? Hanya gadis cacat yang sangat menyusahkan.
“Kak,” lamunanku disadarkan oleh anak kecil yang berdiri di depanku. Satu tangannya memegang bunga palsu berwarna ungu yang sepertianya ia buat sendiri dari kertas lipat.
“Kata kakak itu, kakak suka bunga. Ini buat kakak. Tapi jangan sedih lagi.” Aku mengikuti arah tunjuk yang di arahkan anak kecil tadi. Mataku menatapnya sebentar kemudian tersenyum ke arahnya.
Kak Andrian selalu tahu kesedihanku tanpa perlu aku mengadu bahwa aku sedang sedih.
“Terimakasih.” Ucapku lalu memeluk tubuh kurusnya.
Tanganku bergerak mengusap pelan kepala anak itu. Saat aku mengusap kepalanya, hatiku berdesir nyeri. Ingin menangis rasanya.
Pelan-pelan aku melonggarkan pelukanku. Setelahnya, anak itu kembali berlari dan bergabung dengan teman-temannya. Tertawa dan bermain lagi. Senyum nya sangat lepas, membuat hatiku sedikit menghangat.
“Ada masalah?” Kenzie yang semula berdiri, kini mengambil tempat untuk duduk di sampingku. Aku bahkan tidak menyadari kapan ia berpindah tempat.
“Aku melihat tumpukan obat di laci Kak Dhafin.” Kataku sembari mengingat saat aku beres-beres kamar kakak ku, dan betapa terkejutnya aku saat aku menemui banyak sekali bungkus obat di laci kakak ku.
Beberapa dari kotak obat itu sudah hampir habis isinya. Ada yang berwarna putih tulang, ada yang berwarna keabuan. Aku bukan anak kesehatan, aku tidak bisa membedakan jenis obat apa yang dikonsumsi kakak ku.
Tulisannya pun latin. Mengejanya saja percuma. Tapi yang ku tangkap, Kak Dhafin dalam kondisi yang tidak baik sekarang.
“Obat penghilang nyeri mungkin.”
Aku mengernyit, “Nyeri? Nyeri apa?”
“Kakak mu sering lembur di café. Dia juga pekerja keras. Bisa saja badannya pegal-pegal. Makanya dia mengkonsumsi obat itu untuk menghilangkan sedikit rasa nyerinya. Beberapa orang dewasa juga mengkonsumsui obat untuk kesehatannya.”
Tidak tahu apa aku harus percaya pada ucapan Kenzie. Sedikit aneh jika itu hanya obat nyeri biasa atau sekedar obat penghilang rasa pegal. Aku hanya takut kakak ku diam-diam sakit dan tidak mengatakannya padaku karena takut aku akan khawatir.
Aku hanya punya Kak Dhafin. Hanya dia. Dan ku harap, dia tetap sehat agar bisa menjagaku sampai nanti kita berdua dipertemukan kembali dengan ayah dan ibu.
Aku menunduk, menatap setangkai bunga kertas ungu yang diberikan anak tadi untukku. Memelintir pelan dan aku amati kelopaknya satu persatu.
Aku teringat dengan ucapan Kak Dhafin waktu aku tidak bisa tidur dan malah sibuk berkebun untuk menata bunga di taman belakang rumah kami.
Kak Dhafin menghampiriku. Bertanya basa basi kenapa aku tidak tidur, dan jawabanku karena memang aku tidak bisa tidur.
Aku suka bunga, ada jenis banyak bunga yang aku rawat. Awalnya aku tidak telaten merawat mereka. Namun, karena bunga selalu mengingatkanku pada mendiang ibuku, aku jadi bersemangat merawat mereka seolah yang ku rawat adalah ibuku.
Kak Dhafin menghampiriku dan membawa pot mawar pink kecil yang bertengger di dekat pagar. Memberikannya padaku lalu berujar pelan. “Bunganya mekar. Tapi kecil.” Ucapnya sambil memandang bunga yang memang baru tumbuh kucup. Belum mekar sempurna.
Aku tersenyum mendengarnya. Melihat senyum tipisku, Kak Dhafin kembali berujar, “Umur seseorang itu seperti bunga. Di kasih pupuk agar lahir dan tumbuh. Setelah tumbuh mereka akan berkuncup. Umur manusia dimulai dari kuncup bunga. Semakin berkembang, manusia semakin besar. Dan saat sudah mekar dengan indah, mereka akan gugur terus lama-lama layu.” Aku menghentikan kegiatanku dan menatap kakak ku. “Saat gugur itulah manusia mulai sakit-sakit an. Mereka mulai gelisah tentang umurnya yang tidak lama lagi. Dan saat bunga layu lalu mati, itu pula pertanda umur manusia habis dan tugasnya di dunia selesai.”
Aku teringat ucapan kakak ku. Sedikit membenarkan ucapannya. Manusia datang kedunia namun akan pergi meninggalkan dunia. Itu bukan mitos. Tapi fakta yang akan di hadapi semua manusia.
Perihal tentang bunga layu yang di katakan kakak ku tempo hari, apa aku bisa meminta pada Tuhan agar hidup kakak ku diganti dengan bunga kertas?
Aku ingin kakak ku terus hidup dengan bahagia. Jangan sakit apalagi bersedih.
Mungkin aku beban untuknya, tapi bisakah dia tetap bahagia dan menemukan pasangan hidupnya di masa depan lalu hidup dengan layak?
Bibir ku tersungging tersenyum masam. Hidupku yang mulai berubah setelah kecelakaan yang menimpa keluargaku waktu aku masih kecil dulu benar-benar membuat mood ku sering berubah. Tidak jarang aku berfikir mengakhiri hidupku. Bunuh diri misalnya. Tapi aku selalu teringat dengan kakak ku yang merawat ku dan membesarkanku hingga saat ini.
Menjaga seorang adik yang cacat dan menyusahkan. Apa yang bisa ku lakukan? Hanya menanam dan merawat bunga, mungkin.
Tidak ada keahlian khusus yang bisa ku tunjukkan pada kakak ku dan membuat kakak ku bangga. Aku tetaplah Hyera yang menyusahkan.
Gadis cacat dengan segala kekurangannya yang hanya bisa menyusahkan kakaknya.
Bolehkah hidup di tukar?
Konyol.
Mau sampai kapanpun aku mengadu pada takdir, semua yang terjadi tetaplah tak bisa diganti dan di ulang. Menawar untuk hidup lebih baik di kemudian hari? Aku bisa merubahnya pelan-pelan jika aku punya tekad hidup lebih baik.
Jika, aku punya tekad.
“Mau pulang saja? Dari tadi aku lihat kamu merenung terus.” Aku memang bukan tipe orang yang bisa menyembunyikan kegelisahan dan kesedihanku. Ekspresi wajahku akan sangat kentara saat mood ku sedang dalam kondisi tidak baik. Aku bukan aktris yang bisa berakting dengan baik di dunia ini.
Aku mengangguk sebagai jawaban. Kenzie berdiri terlebih dahulu. Mengulurkan tangannya untuk menggandeng tanganku. Dengan senang hati ku terima uluran tangan Kenzie. Aku bersyukur, temanku itu tak meninggalkan ku meski aku cacat.
Kami berjalan menghampiri Kak Andrian yang masih sibuk bermain dengan anak-anak pengidap cancer. Melihat kami menghampirinya, Kak Andrian berdiri dari tempatnya bersimpuh. “Kalian mau pulang?” tanyanya.
“Iya Kak. Udah sore juga, kita pamit dulu.” Pamit Kenzie dan diikuti olehku.
Seperti biasa, Kak Andrian selalu mendaratkan kecupan ringan di kepalaku. Mengacak pelan rambutku sambil berkata ‘hati-hati di jalan’.
Mirip seperti Kak Dhafin.
Kak Dhafin sering memperlakukanku seperti itu. Dan kurasa Kak Andrian menirunya. Katanya, aku sudah di anggap seperti adiknya. Makanya dia sangat perhatian dan baik padaku.
Aku pun juga menyayangi Kak Andrian seperti aku menyayangi Kak Dhafin. Kak Andrian punya kontribusi besar di hidupku dan hidup kakak ku. Selalu datang paling awal membantu kami saat kami membutuhkan pertolongan.
Sedikit menggelikan mengucapkan ini, tapi Kak Andrian memang super hero kami. Aku harap, Kak Andrian bisa hidup lebih baik dan terus bahagia kedepannya.
Aku berjalan beriringan dengan Kenzie. Telapak tanganku masih bertengger di telapak tangan besarnya. Tidak ada niatan dari nya untuk melepaskan atau sekedar melonggarkan genggaman. Erat, seolah ia tak ingin aku pergi jauh.
Hal ini tentu membuat hatiku bergetar.
Sebuah mitos tentang cinta yang tumbuh dari persahabatan laki-laki dan perempuan, dan itulah yang terjadi padaku sekarang.
Menyangkal tidak mempercayai mitos itu pun percuma. Karena aku memang menyukai Kenzie. Tidak tahu sejak kapan aku menyukainya. Perasaan itu mengalir begitu saja seiring waktu sering membuat kita bersama. Aku menyukai Kenzie. Dan aku menyayangi Kenzie layaknya perempuan pada laki-laki pada umumnya.
Meski hanya sekedar menyukai dalam diam, tapi aku bahagia.
Aku tidak menuntut Kenzie membalas perasaanku. Aku tidak menuntut Kenzie tahu perasaanku. Aku tidak meminta Kenzie untuk terus bersamaku. Cukup aku saja yang merasakan perasaan lancang ini. Kenzie akan malu jika gadis cacat sepertiku menyukainya.
Dia pantas mendapatkan gadis yang jauh lebih baik. Ada banyak, dan dia pasti bisa menemukan salah satu di antara mereka.
Brukkk...
Tubuhku terhuyung dan hampir jatuh jika Kenzie tidak cekatan menangkap tubuhku.
“Kau tidak apa-apa?” Tanya nya dengan sorot khawatir. Gelengan kepalaku menjadi jawabanku untuknya.
“Bisa minggir nggak?! Aku teriak dari tadi, kenapa kalian nggak minggir?!” Orang yang menabrakku tadi mengomel dengan wajah sangat-sangat marah.
“Maaf, saya tidak mendengar peringatan Paman.” Maafku sambil membungkuk badan sopan.
“Kau itu…” Ucapannya terhenti. Jari telunjuk yang tadi sempat menuding di depan wajahku spontan ia turunkan. Paman tadi tertawa sinis dengan kedua tangan yang berkacak pinggang. “…pantes aja nggak denger.” Suara paman tadi memelan kemudian maju dua langkah di depanku. “Dasar tuli!” Ucapannya pelan, namun menekan di akhir.
Tubuhku menegang. Aku memang tuli, tapi apa semua orang tuli seburuk itu? Apa tidak bisa memberi peringatan dengan cara pelan? Apa tidak bisa menggunakan kata lain selain menuding kasar secara langsung seperti tadi?
Aku memang tuli. Aku memang cacat. Aku memang berbeda. Tapi apa harus aku di bedakan dan di maki? Tidak bisa mendengar juga bukan keinginannku. Haruskah aku memakai nametag dengan tulisan ‘Aku Tuli’ agar semua orang tahu dan tidak menabrak ku?
Haruskah aku umumkan pada dunia tentang siapa aku yang cacat ini?
Aku memegang hearing aid yang ada di telingaku. Satu tanganku memegang dadaku yang tiba-tiba terasa nyeri. Maaf, meski kenyataannya aku memang tuli, tapi aku sakit hati.
“Udah, Paman tadi cuma emosi dan buru-buru. Nggak perlu di masukkin ke hati.” Kenzie tersenyum lembut. Mengusap pelan pundakku menyalurkan semangat dari dalam dirinya.
Aku tersenyum simpul membalas senyuman nya. Mengangguk sedikit lalu kami kembali berjalan.
Sepanjang jalan menuju parkiran, aku terus memikirkan perkataan Paman tadi. Apakah hina menjadi orang yang mempunyai kekurangan? Apakah salah menjadi deretan orang cacat?
Menjadi cacat, bukan keinginannku. Bisakah seisi dunia berhenti menghinaku?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!