Tempat ini sangat nyentrik. Hanya itu yang bisa aku kata.
Sebuah tempat di mana terhampar padang perdu sepanjang mata memandang. Sangat datar, tak ada sedikit pun lonjakan kecuali di arah utara sana. Berdiri gunung hampir sempurna lancip yang merusak padang perdu datar itu.
Mentari di sini tidak bersinar seperti di dunia kita. Terbit dari barat dan tenggelam di timur. Di lengkung langit timur, tepat tengah hari tiba, sang mentari berganti cepat dengan rembulan. Rembulan yang bercahaya merah di kegelapan langit. Suatu malam yang sangat indah. Namun justru ketika malam seperti itulah dunia ini sangat berbahaya.
Hingga sekarang, kami masih harus berurusan dengan makhluk hitam tinggi dengan kepala kosong putih itu.
BUK!BUK!BUK! Terdengar pintu yang digedor-gedor dan tubuhku yang terombang-ambing berusaha menahan pintu.
"Sial. Berapa lama lagi?" tanyaku ketus.
Tanganku sudah terasa lemas. Bukannya membantu, teman-teman di belakangku malah adu teriak mengenai portal.
"Tidak, tidak, tidak, kita bisa mati jika masuk ke sana," ucap Mahendra sambil menutup kembali portal.
"Kita juga bisa mati di sini." Antara menahan tangan Mahendra menutup portal.
"Jangan tolol Antara! Mana bisa kita selamat lewat portal ini?"
"Mana bisa pula kita selamat darinya selain lewat portal ini?"
Tanganku semakin lemas, sementara raungan makhluk di balik pintu ini semakin melengking keras. Jantungku kian terasa berdegup kencang karenanya.
"Ges, sampai berapa lama lagi?" tanya Zoya yang membantuku menahan pintu.
Gemeretak kayu terdengar di seluruh gubuk. Serpih-serpih kayu berguguran dari langit-langit. Teman-temanku yang lain di belakang sana berteriak histeris. Tapi tetap Mahendra dan Antara belum beres adu teriak. Mujurnya, Anje datang tepat waktu.
PLAK!PLAK! Anje menampar Antara dan Mahendra. Cap lima jari menempel pada pipi mereka.
"Apa-apaan?" Mahendra dan Antara berseru bersamaan.
"Gua duluan! Minggir kalian berdua!" Tanpa pikir panjang, Anje langsung melompat ke dalam portal dan seketika sosoknya menghilang dari pandangan. Meninggalkan heran berkepanjangan pada raut wajah Mahendra dan Antara.
Hilangnya Anje mendamaikan suasana. Antara dan Mahendra berdamai. Walau bagus, justru saat itulah jantungku terasa mau copot.
BRAKK!!!!
Terdengar dentuman hebat, diikuti dengan kelotak bongkahan-bongkahan kayu yang mengiringi. Daun pintu terbanting keras dan aku terhempas jatuh. Begitu pula dengan Zoya. Kami berdua tergolek tak berdaya seraya menatap ngeri makhluk hitam tinggi dengan kepala putih bersih itu. Slenderman berhasil menerobos masuk. Adrenalinku terpacu.
"Demi Bapak Zeus!" gerutu Zoya.
Masih dalam keadaan terbelalak, Mahendra dan Antara pun tak ada pilihan lain selain melompat masuk ke dalam portal. Setelah mereka, Nadla, dan Sally yang terluka pun langsung melompat masuk ke dalam portal. Mereka satu persatu hilang dari pandangan, dihisap oleh portal. Tinggal bersisa Aku dan Zoya.
"Jangan tinggalin watashi ges!" Zoya merangkak bangkit.
"Sial," gerutuku pada tangan dan kakiku yang mati rasa.
WUTH!!!WUTH!!!
Slenderman memukul udara. Aku berhasil menggelinding menghindar. Tanganku yang mati rasa terasa hidup di saat menegangkan ini, aku langsung bangkit dan berlari melompat masuk ke dalam portal, Zoya mengekoriku. Raungan Slenderman terdengar melengking keras di belakangku, seketika lamat-lamat terdengar dan kemudian menghilang.
Aku tak tahu apa yang ada di balik portal ini. Sesuatu berbahaya yang pastinya karena Mahendra si Buaya Darat bersikukuh tak mau masuk ke dalam portal. Kuharap saja Dewi Fortuna masih di pihakku.
WUTH!!!WUTH!!! Angin berkesiur di telingaku. Aku mengerjap. Oh Tuhan, ini lebih buruk dari yang kuduga.
Pandanganku langsung disambut langit biru juga gumpalan awan putih di langit. Sebuah pulau muncul di hadapanku, mencuat di tengah laut. Tak jelas terlihat oleh mataku bangunan yang berdiri di pulau sana, sesaat seperti model Jepang. Dan udara di sini terasa sedikit berbeda dengan di permukaan. Jauh lebih ringan.
Seantero sekolah pasti tidak pernah menyangka kami terbang melenting pada ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut. Menembus awan-awan, menyaksikan pemandangan pulau Okinawa dari ketinggian ribuan meter tanpa persiapan apa-apa. Aku mengerti mengapa Mahendra bersikeras tak ingin masuk portal, karena rupanya pintu keluar portal itu berada di langit.
Di sini tidak jauh lebih baik dengan gubuk tadi, malah rasanya jantungku berhenti berdetak sesaat. Aku membuka mulutku, berteriak sekuat-kuatnya.
"Kita akan mati!" teriak Mahendra yang suaranya tiba-tiba melengking tinggi.
Sally berteriak histeris, tangan dan kakinya bergerak-gerak cepat. Keadaannya ditiru oleh Antara. Atau lebih tepatnya mereka berdua kompak ketakutan dalam keadaan sama, mengepakkan tangan serta kaki seolah-olah mengepakkan sayap sembari berteriak. Anje seorang yang tenang fisiknya, tapi tidak berlaku untuk mentalnya. Matanya memancarkan ketakutan mendalam.
Sementara itu, Nadla, biang kerok ini semua malah tertawa keras. Cekikikan seolah semua yang terjadi ini adalah hal yang lumrah. Suaranya bergema di ketinggian, wajahnya menyeringai licik.
Ingin sekali rasanya aku menabok Nadla, berkata "Bodoh sekali dirimu!" pada telinganya, tapi aku terlalu sibuk berteriak histeris seperti yang lain.
Dan seperti itulah. Nadla memutar tubuhnya di udara kemudian terbang melenting di depanku. "Seru sekali bukan?" tanya dia padaku dengan diiringi seulas senyuman licik khas seorang antagonis.
Aku mengerutkan dahi, entah karena ketololan Nadla atau karena hembusan angin yang terasa menghantam seperti palu, tapi aku tak mau berbohong, petualangan ini memanglah seru.
Bagaimana ya reaksi diriku yang dulu bila menyaksikan semua ini?
...****************...
Aku mendengus malas, duduk menopang dagu sembari memandang lekat-lekat gedung tua yang berdiri di sudut aneh dekat sekolah. Bangunan janggal berwarna putih kusam yang terlihat seolah-oleh berpenghuni, meski kenyataannya gedung itu sudah lama ditinggalkan sejak rezim orde baru berakhir.
Konon, gedung tersebut ditinggalkan sebagai penghormatan untuk keluarga pemilik gedung yang mati dipanggang hidup-hidup. Konon juga, gedung tersebut merupakan sarang gangster untuk transaksi ilegal. Oleh karenanya dibiarkan kusam dan berdebu. Cerita lain mengatakan kalau gedung itu sarang roh gentayangan karena dibangun di atas tanah kuburan. Aku lebih percaya kemungkinan yang terakhir.
"Zoya!!!" Pak Roro menyentak, suaranya membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arah sumber suara. "Sampai kapan kamu akan terus bermalas-malasan? Lihat nilai ulanganmu, lebih kecil dari ukuran sepatu. Bapak ingin tahu alasannya."
Pak Roro menyipitkan mata dan seketika kepala botaknya seolah bersinar memantulkan cahaya. Beliau menatap kejam lelaki rambut awut-awutan di hadapannya.
"Anu pak, kemarin saya harus nengok kucing saya yang mati pak! Takutnya jadi roh gentayangan pak!" katanya dengan nada serius.
"Ya elah, Zoy, kucingmu yang itu bukannya minggu lalu dah mati? Sekarang mati lagi?" celetuk Mahendra, lelaki paling rupawan di kelas X MIPA 11. Wakil Ketua kelas, sekaligus buaya kelas.
Kelas riuh oleh tawa. Tawa yang hanya bertahan singkat karena Pak Roro kembali menyentak.
"Diam!" Pak Roro murka. "Tidak ada alasan!" katanya tajam pada Zoya.
"Anu pak, anu." Zoya menggaruk kepala yang tidak gatal.
Pak Roro lagi-lagi menyentak. Suara entakkan itu sangat menggelegar hingga ke penjuru kelas. Sesaat kelas hening, suasana seolah terasa berkabung. Lalu, mulailah Pak Roro menasihati Zoya dengan logat Jawa- Sunda khasnya. Dan Zoya, makin beralasan tak jelas. Terjadilah debat di depan kelas. Debat kusir, sampai-sampai Zoya bawa-bawa nama bapak presiden pertama Indonesia dan juga ‘raja Jawa’.
Yap, seperti itulah Zoya. Lelaki paling konyol yang pernah aku temui. Terlalu random dirinya. Sampai-sampai aku tidak bisa lagi menebak arah pikirannya. BMKG pun pasti tidak bisa memprediksi jalan berpikir Zoya Syailendra kita ini. Rambut gondrong awut-awutan, celana pensil, kemeja seragam kebesaran, dan mata sayu. Itulah Zoya.
"Untung ada Zoya," desis Sally, disertai cekikikan kecil.
"Tetap saja, mendapat rangking kedua paling bawah," ucapku pada Sally, membuatnya tersenyum simpul.
"Kamu dapet berapa btw?" bisik Sally lagi, suaranya agak tertutup oleh karena debat kusir di depan kelas antara Zoya dengan Pak Roro.
Aku memutar bola mata, kemudian menghela napas dalam.
“Nanti liat ya Ay, buat remedial. Ya? Ya? Plisssss?” Sally memohon dengan sangat, membuat raut wajah unyu-unyu agar aku menuruti permintaannya.
"Iya, iya, nanti aku ajari."
"Tengcu banget Ay!” ucap Sally lembut, menggeser pandangannya ke layar ponselnya yang tersembunyi di balik halaman buku.
"Terima kasih kembali," dengusku maklum.
Dia adalah Sally, chairmate-ku yang memiliki julukan Kanjeng Ratu. Lagaknya mirip ratu, suka menyuruh ini itu sementara dia sendiri bermalas-malasan main Instagram. Anak ini memang pandai bermanja. Yap, dia tipikal anak Gen-Z. Kelebihannya adalah EQ jauh di atas rata-rata. Minusnya, IQ sedikit di bawah rata-rata. Kanjeng Ratu kita memang agak telmi.
Walau begitu, setidaknya Kanjeng Ratu punya ciri khas sendiri. Tidak seperti diriku. Aku tidak punya apa-apa.
"Protagonis!" Pak Roro berseru padaku. Bola matanya nanar menatapku.
Aku bangkit segera.
"Tolong, khusus hari ini, coret nama Zoya dari absensi. Bapak tidak mau mengakui Zoya hadir di kelas hari ini." Pak Roro melirik kejam ke arah Zoya.
"Lah kok gitu pak? Saya dah berjalan melewati gunung dan mengarungi samudra buat sampai ke sekolah. Masa enggak dianggap sih?" protes Zoya sembari gelagapan seperti cacing kepanasan.
Pak Roro mengibas sebelah tangan. Beliau sudah muak melihat Zoya. "Balik ke tempat duduk sana. Bapak mau mulai jelasin materi bab dua."
Zoya masih diam, memohon padaku lewat kedipan anehnya.
"Maaf Zoya." Aku menggeleng.
Dengan lesu, Zoya pun kembali ke tempat duduknya. Kelas pun akhirnya dimulai. Papan tulis langsung penuh oleh tuan x dan tuan y. Hari ini Pak Roro menjelaskan cara lain menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel. Aku larut dalam pelajaran. Terlalu larut.
Tak dirasa bel pulang sudah berbunyi. Aku menyisihkan lembar kertas, menjejalkan buku dan peralatan tulis ke dalam kantong sekolah. Lalu kertas-kertas itu terjatuh kembali. Sesuatu menumbuk bahu kiriku.
“Maaf, Protagonis,” ucap Angelica padaku. Perkataan maafnya lebih seperti ungkapan ketus seorang dewi yang sedang marah. Yap, seperti itulah Angelica alias Anje si Dewi Pemarah. Tidak baik berurusan dengannya, maka aku biarkan saja dia melenggang pergi.
Sally membantuku menyusun lembaran kertas itu. "Oh ya, Ay," kata Sally lembut, menyodorkan barang-barangku yang terjatuh. "Mau ikut bareng main ke alun-alun? Bakal rame kok, ada konser Juicy Lucy. Banyak cogan juga. Devian ama Mahendra bakalan ikut," ucapnya padaku, walau terkesan diucapkan lebih kepada ponselnya.
"Tidak bisa Sally, aku harus pulang. Ada materi yang harus aku kejar."
Sally menatapku kecewa. "Bener nih, Protagonis? Padahal ada salah satu band favoritmu loh. Gua udah rela malah beliin tiket spesial buatmu."
Aku menggeleng, menyampirkan tas. "Kalau bukan HIVI, aku tidak akan datang."
"Yaudeh, gua bakalan ajak yang laen aja. HiFriends garis keras nih." Sally berketus, menyampirkan tasnya lalu memelukku tiba-tiba. Dia melepas pelukannya. "See you later, Protagonis, calon dokter masa depan. Jangan lupa janji tadi ya."
Aku balas melambai. Sally melenggang pergi, meninggalkanku sendirian di kelas.
Tidak, tidak ada kesalahan dalam pengetikan di sini. Kalian tidak salah baca. Sally memang memanggilku Protagonis karena aku memang protagonis di dalam cerita ini. Dan aku tidak akan memberitahukan namaku pada kalian.
Alasannya sederhana, karena kisah yang kalian baca ini bukanlah mengenai siapa-siapa, aku hanyalah seseorang yang tidak penting dalam kemajuan umat manusia sebagai peradaban di dalam galaksi milky way. Hidupku bukanlah apa-apa. Tidak ada bakat, wajah pas-pasan, hanya gadis SMA yang dapat kalian temui dengan mudah. Tokoh yang tidak perlu kalian pedulikan, itu lah aku, protagonis cerita ini.
Aku menggeser pagar rumah di belakangku, berjalan menyeberangi halaman penuh semerbak bunga anggrek aneka rupa.
"Protagonis, Nyonya punya pesan buat Protagonis," ujar Bi Hannah hormat setiba aku di teras rumah, kemudian kembali pada pekerjaan membersihkan taman.
"Aku pulang, Bi," kataku lebih kepada Papan Tulis Putih yang terukir di sana sebuah pesan dari Mama, alih-alih kepada Bi Hannah.
Mama tidak akan ada di rumah selama satu minggu.
Hatiku mencelus, tak ubahnya mendapati rumah ini selalu kosong. Hanya wanita paruh baya keturunan sunda tulen itu yang menyambutku. Hanya Bi Hannah dan Papan Tulis Putih. Selalu mereka.
"Sampai ketemu nanti," desahku sembari menulis elok di bawah pesan Mama.
Baik Ma. Begitu jawaban yang tuliskan.
Di rumahku, terdapat papan tulis putih untuk memberikan pesan kepada anggota keluarga lain. Hal ini karena di rumah ini jarang sekali ada orang, selain Bi Hannah atau aku. Kuno, namun efektif.
Aku pun buru-buru naik ke lantai dua memasuki kamarku, melemparkan tas pada kursi bersandar, dan selanjutnya melemparkan tubuhku sendiri ke atas ranjang. Aku menyampingkan tubuhku, meraih boneka beruang seraya berbicara padanya.
“Aku pulang Emily, protagonismu pulang,” ucapku lembut, meremas pipi imut Emily sebelum memeluknya erat-erat seolah dia adalah jodohku.
Kukenakan headphone yang selalu bergelung di leherku. Terpejam dalam senandung lagu It's My Life dari Bon Jovi yang kudengarkan lewat headphone keramatku itu. Semua kulakukan demi menunggu matahari tergelincir.
Iya, beginilah hidupku. Tidak ada apa-apanya, tak ada yang spesial dari diriku. Hanya anak sekolahan biasa. Dengan follower Instagram dua digit angka dan pikiran nyentrik seperti yang kalian baca.
Mungkin beberapa dari kalian menyebutku nolep karena tidak memiliki hidup. Aku memang tidak memiliki kehidupan di dunia nyata. Hanya sekolah pulang sekolah pulang. Sesekali mampir ke konser. Hanya itu. Tidak banyak yang bisa aku kisahkan pada kalian karena semua membosankan. Di sekolah aku hanya belajar dan duduk diam di kelas. Ketika bel pulang berdering, aku langsung menuju kamarku untuk berbaring.
Benar, tidak ada yang menarik dariku, bahkan lebih menarik menceritakan kisah Zoya ketimbang diriku sendiri. Tapi, dengan bangga aku bisa berkata bahwa aku memiliki rahasia yang hanya aku yang tahu. Sebuah rahasia yang membedakanku dengan delapan milyar penduduk bumi lainnya. Rahasia inilah alasan aku layak disebut sebagai protagonis dalam cerita ini.
...**********...
Hari menjelang sore. Langit sudah berwarna jingga. Matahari semakin tergelincir, tinggal beberapa saat lagi hari mulai gelap.
"Protagonis, Bibi pulang dulu," kata Bi Hannah usai suara ketukan pintu kamar yang ketiga.
"Hati-hati Bi," balahku laun.
Wanita paruh baya keturunan Sunda tulen itu pun pergi. Langkahnya sudah tak kudengar lagi. Tapi sebelum melancarkan rencanaku, aku sekali lagi mengecek lewat jendela, menyibak gorden lalu memandangi halaman rumah. Memastikan masih ada tidak ‘kah jejak Bi Hannah.
"Baiklah, sudah aman," ucapku pada diri sendiri walau mataku tertuju pada boneka beruang, Emily. "Tunggu di sini Emily, jaga kamarku dengan baik ya."
Aku pun langsung bergegas menyiapkan beberapa alat penting seperti senter, topi, masker, dan yang terpenting adalah pemukul bisbol dan buku harianku. Kujejalkan semua itu ke dalam tas gandong, kecuali pemukul bisbol yang kupegang erat-erat. Dengan langkah berani, aku keluar kamar.
Ingat bangunan tua yang dirumorkan pemiliknya mati dalam kebakaran? Tragedi di mana satu keluarga mati dipanggang hidup-hidup di dalam gedung milik mereka sendiri? Di tempat penuh rumor aneh itulah rahasia terbesarku berada.
Tepat berada pada lantai empat gedung tersebut, di ruang tengah sebelah lift. Di sana, ketika kalian memberikan tepukan sopan sebanyak empat kali, tunggu hingga matahari tergelincir, dan entah sesajen kepada raja iblis, simsalabim abrakadabra!
Angin berdesir lembut. Sesaat kemudian, retakan planar muncul pada bidang imajiner di antara dua pilar. Perlahan namun pasti, retakan tersebut menjalar hingga membentuk cincin portal menuju dunia lain.
Di balik portal inilah, aku merasa hidup. Sebuah dunia yang tidak pernah ada orang lain yang mengetahuinya. Tempat di mana aku menjadi diriku sendiri, melupakan kekejaman dunia nyata jauh-jauh dan tenggelam dalam suasana melenakkan jiwa seolah aku berada di rumah. Tempat ini kuberi nama Sisi Lain.
Jantungku sedikit berdegup, terlalu antusias memasuki dunia rahasiaku. Aku menjulurkan tangan kemudian melangkah masuk ke dalam portal. Sensasi seolah masuk ke dalam air pun terasa. Sensasi yang sangat aku benci. Dingin, pandangan hitam kelam, kemudian sesaat berselang lorong berlumut nan tua itu berganti dengan sebuah dunia hijau yang tak ada habis-habisnya. Sementara langit-langit kelabu gedung digantikan dengan sebuah langit biru yang membentang sepanjang mata memandang.
"Selamat datang kembali, wahai diriku," kataku pada diri sendiri.
"Dunia sangatlah luas, kita hanyalah butiran air dalam samudra. Semakin kita tahu, semakin banyak kita tidak tahu."
Kutipan yang cocok untuk mendeskripsikan tempat yang sedang kududuki ini. Bukit-bukit bergelombang, padang perdu yang menjalar memenuhi seantero dataran, dan di kejauhan utara sana berdiri sebuah gunung hampir sempurna lancip.
Ajaibnya lagi, semua itu berada di balik portal rahasia di lantai empat bangunan tua dekat sekolahku. Aku berani berkata kalau tempat ini adalah keajaiban dunia nomor delapan setelah piramida Mesir.
Aku membalikkan halaman buku, lalu kembali menggambar lekuk dataran indah di hadapanku. Aku memang senang menggambar, ditambah hembusan angin yang memanjakan dan lagu Rocky Mountain High dari John Denver, rasanya seperti berada di surga.
Surgaku hanya berlangsung sesaat. Karena terdengar teriakkan yang memekakan telinga.
"Arghhhh"
"Siapa itu?" aku menurunkan headphone, berpaling ke arah sumber suara.
Beberapa detik hening. Tidak ada apa-apa. Namun sekali lagi terdengar teriakan tadi, arahnya dari pintu masuk dunia ini.
"Siapa di sana?" teriakku mengancam.
Tanpa berlama-lama, aku berlari menuruni lereng bukit dan tiba kemudian di tenda depan portal masuk dunia Sisi Lain. Langkahku berhenti di muka tenda. Bayang-bayang bergerak di sisi dalam tenda.
Siapa yang berani masuk ke dalam duniaku?
Dengan mencurahkan segenap keberanian, aku menyibak pintu tenda. Aku mematung seketika.
"Oh halo," Gadis itu menyeringai padaku yang terdiam membisu. "Maafkan—"
"Siapa kamu?" aku menyambar pemukul bisbol yang ada di samping jendela pintu. Berpose siap melancarkan pukukan homerun pada kepala sang gadis.
Gadis itu tersenyum seraya berkata, "Tenang-tenang, aku manusia kok bukan Yoma." Tangan kanannya berdarah-darah.
"Yoma?"
"Mereka penghuni dunia ini, kamu tidak tahu?" Gadis itu menyengir terpaksa. Wajahnya berpeluh. Berusaha menahan rasa sakit. "Sederhananya mereka adalah legenda-legenda dan mitos di dunia nyata yang hidup."
"Aku tak paham maksudmu. Apa itu Yoma? Kau yakin kau bukanlah seorang Yoma?"
Sang Gadis mengangguk sebagai jawabannya. "Akan kujelaskan nanti. Tapi sebelum itu, bisakah?" Matanya menunjuk ke tangan kanan yang terjerat di dalam kotak.
Pandangan kami saling bertukar, beberapa detik berlalu dan kami masih bertukar tatapan. Aku mengalah, kuturunkan pemukul bisbol ini lalu membukakan perangkap tikus yang menjerat tangannya.
Kelengangan mengisi sejenak. Kami kembali saling bertukar tatap.
"Ceritakan." Aku duduk menyilang menatap gadis aneh itu dari luar tenda. "Janjimu."
"Jahat sekali dirimu menyiapkan perangkap di dalam kotak seperti itu." Sang gadis berketus. Dia melirik sejenak arah kotak tadi lalu kembali menatap ke arahku.
"Aku lebih senang menyebutnya cerdas, siapa tau ada orang aneh yang menyentuh barangku tanpa sepengetahuanku," ketusku balik. "Sekarang janjimu."
Gadis itu tersenyum terpaksa, pandangannya berusaha menjauh dariku. "Ehem," itu yang dikatakannya ketika seenaknya saja masuk ke teritorialku.
Apa boleh buat, aku hanya bisa menghela napas dalam. "Janjimu, ingat," desahku.
"Tanyakan saja!" serunya penuh semangat. "Aku akan menjadi narasumber yang baik!"
"Kau menyebutkan sesuatu tadi. Yoma, apa itu?"
"Dari sekian kemungkinan, malah itu yang kau tanyakan," Gadis itu bangkit dari posisi duduk. Ia berjalan berputar-putar sambil menendang-nendang rumput pijakan.
Aku duduk memperhatikan wajahnya yang cemberut. "Kalau tidak mau menjawab, pergilah kau tidak ada urusannya di tempat ini."
Kali ini ia malah menyeringai jahat. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi yang jelas dia pasti ada niatan jahat karena senyuman yang diberikannya mirip seperti antagonis dari film-film Hollywood. Tahu kan, tokoh-tokoh antagonis seperti di film MCU.
"Apa saja yang kau bawa, ada perbekalan atau mungkin senjata?"
"Hanya bekal yang dibuat olehku sendiri," ucapku kecut.
Gadis itu kecewa mendengar jawabanku. Apa maksudmu, hanya itu yang memang aku bawa, untuk apa juga camping di tempat seperti ini tanpa menikmati makanan buatan sendiri. Lagipula, tidak ada yang mau membuatkan bekal untukku.
"Baiklah, kau bawa saja pemukul bisbol itu. Ah iya, bawa juga bekalmu." ucap gadis tengik di hadapanku. Berjalan tanpa dosa menuju timur sana. "Ayo ikuti aku!"
Aku enggan mengikutinya. "Tidak, pergilah sana."
"Sudahlah, jangan keras kepala. Ayo ikut aku, biarlah kamu menyaksikan dengan mata kepalamu sendiri apa itu Yoma." Dia memberi senyuman manis sekarang. Tidak, aku lebih suka menyebutnya senyuman pahit karena apa yang selanjutnya terjadi.
Lagi-lagi aku mendengus kesal. "Iya, iya, Villain Marvel," hardikku sembari mencubit pangkal hidungku.
...****************...
Aku sedikit terengah-engah mengikuti langkah kakinya yang cukup cepat. Ingin rasanya aku menabok gadis tak tahu malu itu.
"Hey, tunggu dulu."
"Cepatlah!" sindirnya sambil melambaikan tangan.
"Dasar lidi," gerutuku dalam hati mengomentari tubuhnya yang benar-benar ramping kurus seperti lidi.
Setelah berjalan cukup jauh naik turun bukit, melewati padang perdu yang datar dan halus. Kami akhirnya sampai di sebuah gedung yang berdiri sendirian di tengah lapang luas ini. Jujur, ini kali pertamanya aku mengetahui ada bangunan demikian usang dan hancur di tengah hamparan hijau rumput dunia lain.
"Kebakaran gedung?" komentarku pada gedung kelam di sana.
"Ini kali pertamamu melihatnya bukan?"
"Jika ya, memangnya kenapa?" tanyaku balik.
"Bersiap-siaplah dengan Yoma yang berada di dalam."
Lagi gadis ini memberiku senyuman liciknya. Entahlah, aku sangat tidak bisa menebak isi pikirannya yang luar biasa abstrak. Yang kulakukan hanya mengikutinya masuk ke dalam gedung tua itu, melompati genangan air dan berbelok ke jendela pintu yang menuju lantai atas.
Semua kulakukan dengan senyap mengikuti si gadis antagonis tadi. Kami menaiki anak tangga. Kelihatannya ini adalah tangga emergency yang terdapat pada gedung-gedung pada umumnya, bedanya di sini seakan habis diterpa topan luar biasa dahsyat dan terbakar karena arus pendek.
Langkahku terhenti tepat ketika sampai di lantai berikutnya. Gadis Antagonis tengah merapatkan diri ke dinding samping jendela pintu.
"Hey, ada apa?"
"Shhhhh." Dia menempatkan jari telunjuk di depan mulut. "Jangan berisik, atau dia akan mengetahui kita," desisnya.
Aku melangkah lebih hati-hati, menghampirinya. Tiba juga akhirnya aku di lain sisi jendela pintu. Berdiri merapatkan tubuh pada dinding berlumut.
Tangan gadis itu mengisyaratkan aku untuk melirik ke arah ruangan di balik sana. Apa boleh buat, aku melirik ke dalam ruangan sana. Wajahku hanya sebagian yang keluar persembunyian, tapi aku bisa melihat jelas apa yang ada di dalam ruangan sana.
Kalian tidak akan percaya apa yang ada di depan sana. Astaga naga! Kepala manusia, tidak batok kepala manusia terbang menuju sudut jauh ruangan sana. Tidak ada kaki, tidak ada tangan, tidak ada tubuh, hanya tengkorak kepala dan tulang punggung yang melayang bersama isi perutnya.
Wajahnya juga sudah tak karuan, memang dia masih memiliki rambut panjang hitam menjuntai ke bawah, tapi kalau untuk wajah aku tak bisa banyak berkata karena begitu mengerikan hitam kelam warnanya.
"Kuyang," desisku sambil kembali menyembunyikan kepalaku. Tubuhku lebih dirapatkan ke dinding. Adrenalinku terpacu.
"Benar, dia hantu di dunia nyata,"
"Maksudmu?"
"Semua legenda dan hal-hal mistis yang ada di dunia nyata, semuanya ada di sini. Nanti akan aku jelaskan lebih lanjut ketika kita beres menghabisi kuyang di sana."
Bingung dan takut aku mendengar perkataan Gadis Antagonis. Tapi yang paling membingungkan adalah gadis antagonis itu sendiri. Dengan cepat dia mengeluarkan pistol glock dari tas kecilnya. Berbeda jauh dengan penampilannya yang sangat alim.
"Siapa kau sebenarnya?" tanyaku dengan suara sedikit laun.
"Nadla," jawabnya sambil mengecek amunisi pistolnya. "Siap beraksi?" tanyanya balik.
“Beraksi? Maksudmu—"
Nadla tersenyum mantap kepadaku, “Aku mulai duluan oke!” serunya seraya melesat keluar dengan ikonik dari balik dinding. Mengacungkan kepala senjata glocknya ke arah tengkorak terbang di sana.
“Hey!” seruku padanya. Jantungku berayun-ayun seperti punch bag yang ditinju oleh juara boxer dunia.
Apa yang mesti aku lakukan sekarang? kabur? Pilihan yang tepat, meninggalkan gadis antagonis itu sebagai umpan untukku berlari. Ikut dengannya ‘beraksi’? pilihan yang buruk, aku bisa mati mencoba ketika keluar persembunyian. Tapi setidaknya pilihan kedua ini memiliki persentase kehidupan yang jelas tatkala kami mengalahkan kuyang itu. Karena jika aku berlari, mungkin saja kuyang itu mengalahkan gadis antagonis dan mengejarku berikutnya.
Suara derak timah panas menumbuk batok kepala kuyang mengisi suara latar belakang. Kuyang terbang cepat melesat ke atas, menggeram bahagia berhasil menghindari dua tembakan dari Nadla. Kini ia terbang melesat tinggi ke langit dan menjatuhkan diri seperti meteor yang siap menghantam bumi. Mulutnya menganga siap mengoyak.
“Cepat bantu aku! Peluruku habis!” teriak Gadis Antagonis sedikit putus asa.
“Kau berhutang cerita padaku!” kataku tajam.
Ketika kepala melayang itu berada beberapa meter di depan Nadla, aku muncul tiba-tiba seraya melayangkan pukulan maut menggunakan pemukul bisbol. Dan berhasil, aku menghempaskan kuyang itu ke belakang hingga terjatuh tak berdaya. Suaranya hantaman itu sangat mantap, sebuah suara keretak kepala pecah.
“Bagus! Tapi belum cukup!” Nadla berseru lagi. Dia sudah siap dengan amunisi baru di pistolnya.
“Sial!” aku melompat ke belakang, sedikit terkejut oleh teriakkan mendenging sang kuyang.
Kuyang menerjang.
Kugulingkan tubuhku di lantai kotor berlumut ini. Aku berhasil menghindari serangan kuyang itu, yang melemparkan dirinya. Di saat-saat seperti ini, kakiku malah kebas, takut dan meragu harus kah mengikuti perintah pemilik tubuh yang gila. Musuh kami langsung terbang meliuk cepat dan ia masih mengejarku yang berlari memutari ruangan.
TANG!TANG! berdentang suara peluru yang mengenai beton kerangka bangunan.
“Sial! Arahkan pistolmu dengan benar Gadis Antagonis!” kini aku harus menghindari serangan dari Nadla sekaligus berlari dari kuyang.
“Kau pergilah dari sana, aku bisa saja mengenaimu!”
“Kaulah yang seharusnya membidik dengan lebih benar!”
Serak suara kuyang itu sudah sangat dekat. Dia pintar, di saat aku hendak berbelok, dia memilih jalan yang memotong sehingga aku dan dia sekarang saling tatap. Tiada waktu meragu, aku melayangkan pukulan Homerun padanya. Tidak beruntung. Dia menghindar lagi dan siap menggigitku.
Mujurnya diriku. Nadla si pendukung kali ini, ia dengan benar membidik batok kepala kuyang itu dan tepat mengenai bagian matanya, membuatnya terhempas cukup jauh. Sekarang giliranku, aku menginjak tulang punggung melayangnya, dan membabi buta memukul kepalanya dengan pemukul bisbol ini hingga pecah kepalanya yang tak keruan.
TAK!TAK!TAK!
Puas sekali aku memukul batok kepala kuyang ini, kertak suara kepalanya yang pecah sangat melenakan indra pendengaran. Aku hampir dibuat mati olehnya, jadi kini sangat senangnya diriku membuat mati dirinya.
“Sudah cukup, nanti kau akan menghancurkan item-nya.”
“ Item-nya?” Aku menghentikan pemukul bisbolku di udara. Tapi karena kuyang itu masih berusaha bangkit jadi aku layangkan serangan terakhir yang mampu memecah kepalanya dan membuat matanya menjadi padam.
“Itu dia yang aku maksudkan.”
Mataku tertuju ke tempat yang telunjuk Nadla arahkan. Sebuah bola kecil berwarna putih kelabu berguling jatuh dari batok kepala kuyang yang hancur. Nadla berjalan mengambil bola berukuran kelereng itu, ia mengulurkannya tepat hingga berada di depan hidungku.
“Batu Roh, bisa dibilang seperti jiwa pengisi yang menghidupkan Yoma.” Dia menarik bola putih kelabu itu hingga berada di depan matanya sekarang. “Seperti di manga atau anime jejepangan, ya kan?" tanya Nadla padaku ketika aku memberikan raut wajah kebingungan.
“Ini dunia nyata, bukan fiksi.”
“Oh ayolah, jangan seperti itu. Kau juga tau kan bahwa kita ini hanyalah karakter fiktif yang dibuat oleh Sang Author,” ucap Nadla sambil tersenyum kecil. Dia sambil menyiku lenganku.
Aku menatap garang sebagai balasan, membuatnya mundur terkejut. Dia berdeham dan menarik napas dalam, kemudian menaruh bola seukuran kelereng itu ke dalam tas kecilnya.
“Terima kasih untuk hari ini, aku akan kembali dengan membawa uang hasil jual Batu Roh yang baru kita dapatkan.” Dan begitu saja ucapan Nadla yang kemudian berjalan kembali ke tempat kami masuk tadi, meninggalkanku di sini.
“Hey tunggu dulu. Mana janjimu, kau berhutang cerita padaku.”
Langkah gadis antagonis itu terhenti. Dia berputar di tempat, “Hmm…. Benar juga. Baiklah aku akan ceritakan.” Nadla melipat tangannya. “Nah sekarang apa yang kamu ingin tanyakan?”
“Tempat ini, apa-apan tempat ini? Apa itu Yoma dan siapa kau sebenarnya? Bagaimana bisa masuk kemari?”
“Sederhananya, tempat ini adalah dunia lain di mana semua hal mistis di dunia kita sebenarnya hidup. Roh, legenda, cerita rakyat, hantu-hantu, dan apa pun itu yang merupakan makhluk halus di dunia kita, mereka semua hidup di sini sebagai perwujudan rasa takut manusia. Semakin besar rasa takut itu, semakin besar juga dan kuat pula wujudnya.” Nadla menunjuk mayat kuyang di sana. “Perwujudan rasa takut ini, mereka menjadi hidup dan dinamakan Yoma. Kuyang satu ini kelas rendahan. Masih banyak yang lebih menakutkan."
“Jadi maksudmu, tempat ini berbahaya?”
Nadla mengangguk setuju. Dia menyeka keringat di wajahnya. “Kurang lebih bisa dikatakan demikian, tapi sejujurnya masih banyak yang tidak kumengerti,” jawabnya kemudian.
Aku sangat tidak percaya perkataannya, ini semua tak masuk akal. Perwujudan dari rasa takut manusia? Apa-apaan hal itu? Sangat tidak masuk akal namun melihat fakta yang ada di depanku saat ini, sepertinya itu mungkin saja.
Hening sejenak mengisi kekosongan. Langit yang cerah terang benderang namun tak ada matahari, menyelimuti suasana bangunan tua. Gadis antagonis melirik ke arahku.
“Tidak ada yang ingin ditanyakan lagi?”
“Bukan pertanyaan sekarang, melainkan perintah.”
“Ehh, perintah?”
“Ini tempat bermainku, aku ingin kau tidak pernah muncul lagi di tempat ini dan menggangguku,” kataku mantap sambil menodongkan pemukul bisbol ini ke kepalanya. “Kalau kau tidak ingin hancur seperti ia.” Kuarahkan pemukul bisbol kepada kuyang yang retak hancur di sana.
“Tenang saja, kita tak akan bertemu lagi di tempat ini. Aku jamin dengan segenap raga dan jiwa," ujar Nadla sedikit tak acuh. Dia seperti biasa, memberikan senyuman khas antagonisnya itu padaku.
Aku sangat meragukan perkataannya.
Dengan perginya si gadis antagonis, sesi kali ini sudah selesai. Dan aku mesti membereskan bajuku juga kembali membawa barang bawaanku ke tenda depan portal dunia.
Setelah beres, dan kembali seperti semula penampilanku, aku kembali ke rumahku sesungguhnya yang mana nampak suram, rumahku masih kosong.
Aku menghempaskan diri ke kursi. "Apa-apaan gadis tadi?" gerutuku pada wajah cemberutku di cermin. Aku menarik napas dalam. "Yoma adalah perwujudan dari rasa takut manusia? yang benar saja."
Aku mencubit pangkal hidungku. Kepalaku tak hentinya berpikir keras.
Baiklah mari kita recap kejadian penuh adrenalin tadi. Pertama, ada gadis aneh yang datang entah dari mana masuk ke taman bermainku, dia menceritakan mengenai Yoma, asal usul mereka dan juga tempat bermainku itu yang mana sebetulnya adalah dunia lain yang berbahaya. Berikutnya kami berhasil mengalahkan kuyang lalu mengambil Batu Roh.
Nah sekarang, apa yang akan terjadi selanjutnya?
Aku yakin hari esok akan lebih banyak kejutan. Mata padamku di cermin makin kentara. Tanganku mengusap headphone yang bergelung di leherku.
"Aku tidak membutuhkan apa-apa, yang kubutuhkan hanyalah Sisi Lain," gumamku pada diriku yang suram di cermin.
Kuharap Dewi Fortuna berbaik hati padaku. Aku tak mau taman rahasiaku dirusak oleh orang lain.
...****************...
Aku membungkuk, meraih mp3walkman-ku yang terjatuh.
"Oh maaf, gue gak liat ada lu di sini," ucap gadis itu, Riefanie si preman sekolah.
"Terlalu pendek sih," cibir rekannya.
Rekannya yang lain menabrakku. "Gua mau ngingetin, jangan kegatelan, Ryan milik Marshanda."
Mereka melenggang pergi. Lorong sekolah kembali lengang.
Aku menghela napas dalam. Firasatku tak enak. Sesuatu menggemparkan pasti telah terjadi. Entah mungkin perang dunia tengah terjadi, atau yang lain. I don't know. Kuharap Dewi Fortuna masih memihakku.
Hari ini dimulai dengan aku diusili oleh anak kelas tetangga. Orang-orang itu beraninya ketika Kanjeng Ratu Sally tidak ada di sisiku. Iya, pertanda pertama sesuatu akan terjadi. Sally tidak mengabariku untuk mencontreng kehadirannya. Dia seolah sakit betulan. Dan pertanda keduanya, aku dituding pelakor. Mustahil.
"Tutup lagi pintunya, Prontagonis!" seru Ardhan si ketua kelas.
"Iya-iya."
Aku menutup pintu di belakangku. Kelaspun kembali heboh. Anak-anak kelas X MIPA 11 ini kembali menikmati jamkos dengan cara mereka masing-masing.
Benar, pertanda ketiga, Pak Roro datang terlambat ke kelas. Beliau tidak pernah demikian, beliau tipe guru yang datang sepuluh menit sebelum kelas dimulai.
Firasatku makin tidak enak. Si biang keladi setiap masalah kelas, Zoya, dia sedang asyik membaca buku alih-alih bermain gitar bersama rekan nyentriknya yang lain.
Hari ini sungguh berbeda dengan biasanya.
“Selamat pagi,” ucap Pak Roro memberi salam. Akhirnya beliau masuk ke kelas juga.
Semua anak mulai membereskan kekacauan yang mereka perbuat, kembali ke bangku masing-masing. Meja baris sudah rapi, papan tulis telah bersih, dan anak-anak sudah duduk manis menanti kata-kata dari Pak Roro.
Entah mengapa Pak Roro diam saja di depan kelas. Tak seperti biasanya yang langsung ke meja guru. Wajah pak guru itu seolah dibuat menjadi bersahabat padahal sebenarnya tidak.
“Anak-anak, kelas kalian kedatangan murid baru,” ucap pak Roro langsung ke dalam inti permasalahan, tak pernah basa-basi. Wajah pak Roro tertuju ke pintu kelas. Murid baru itu pun masuk kemudian setelah anggukan pak Roro.
Alangkah terkejutnya aku dengan murid baru itu. Dasar sialan, kenapa dia di sini?
“Yok, perkenalkan dirimu dulu.” Pak Roro menuju meja guru.
“Halo semuanya, namaku Nadla Putri Nandari.” Gadis antagonis itu tersenyum kepadaku. “Salam kenal.”
Aku tak pernah mengira hari semacam ini akan datang. Saling bertukar pesan lewat buku catatan selagi Pak Roro sibuk menerangkan di depan kelas.
Sampul plastik bergesek halus dengan meja. Buku tulis itu diangsurkan oleh pemiliknya agar sang Prontagonis dapat membaca pesan yang ingin disampaikan. Ingin berburu Yoma lagi? tertulis miring di bawah y\=x². Aku mengembalikan pandanganku pada papan tulis penuh angka, tuan x, dan tuan y. Mengedarkan pandang seperti seorang maling. Aman atau tidak.
Tanganku menari di atas secarik kertas, menuliskan deretan karakter yang membentuk suatu kalimat kasar. Tidak! seribu tidak! Kuangsurkan kertas bertuliskan itu. Pena kembali ke tempat semula, menulis solusi persamaan yang diberikan Pak Roro di depan kelas.
Buku bergaris-garis kembali mengganggu, kini dengan tulisan indah dalam bentukan melengkung-lengkung. Mengapa pakai huruf sambung? Aku menghela napas dalam. Begini tulisan yang semakin mendekat itu. Kalau begitu temani aku jelajahi Sisi Lain.
Tidak! seribu tidak! Begitu balasannku, ditambah gambar emotikon marah di bawahnya.
Nadla menyeringai. Dia sibuk menulis. Sementara itu, di depan kelas Pak Roro mengetuk papan tulis.
"Yang sana, selesaikan soal nomor 2 di depan," sahut guru matematika kami. Beliau menunjuk si buaya darat Mahendra.
Mahendra si buaya kelas, lelaki sembrono itu bergerak anggun ke depan. Memamerkan rambut panjangnya agar dewi-dewi kelas memperhatikannya. Atau lebih tepatnya supaya para gadis membantunya memberi contekan untuknya, sebagai balasan menunjukkan wajah tampan itu. Ada seorang dewi kelas mengangguk padanya.
Nadla tetap berkeras, buku bergaris-garis kembali berulah. Sekarang tertera tulisan cukup panjang. Intinya sama, yaitu mengajakku untuk menemaninya di Sisi Lain. Tetap aku menolak dengan kata-kata yang kurang lebih sama. Tidak!
Suara langkah kaki pak Roro menakuti jiwaku yang sedang tak menghadiri kelasnya. Pak Roro melintas di sampingku.
Senyuman jahat pasti sedang merekah. Aku menyaksikan si Gadis Antagonis menulis.
Setidaknya temani aku di Sisi Lain. Sendirian mengelana dunia tak berhingga adalah suatu kesengsaraan. Benar bukan?
Jawabannya tetap sama. Tidak, tetaplah tidak.
Halaman buku bergaris-garis itu dibalik. Alasannya?Tertulis pada baris pertama halaman baru.
Alasan? Tidak perlu alasan. Aku hanya tak ingin Nadla menggangguku, apalagi menghancurkan kesenangan satu-satunya yang aku miliki.
Aku membalas suratnya. Tidak efisien bersamamu. Lebih baik aku sendiri daripada bersama Gadis Antagonis.
Aku berharap dengan jawaban kasar itu dapat mengurungkan niat gadis antagonis menyeretku dalam masalahnya. Tapi dunia tidak berjalan seperti yang aku inginkan. Pesan demi pesan menghampiri tangan kiriku.
Tidak efisien? Kenapa? Bersama lebih baik daripada seorang diri.
Di anime, villain selalu kalah oleh tokoh utama dan teman-temannya. Bukan tokoh utama seorang.
Uzumaki pemilik rubah ekor sembilan menjadi hokage karena teman-temannya.
Hello?
Beritahu alasanmu!
Hey?
Aku memalingkan pandangan dengan sombong. Tapi entah mengapa si Gadis Antagonis malah mendapat pencerahan, seakan baru mendapatkan pesan dari yang maha kuasa. Dia memberikan kertas baru.
Oh aku mengerti! Kau tak ingin aku mengganggumu nilai matematikamu bukan?
"Tidak!" aku berteriak selantang-lantangnya yang tenggorokkanku bisa tahan. Suaraku menggema ke seantero kelas. Sangat keras hingga semua mata mengarah padaku. Nadla si gadis antagonis, Mahendra si buaya yang tengah dihukum di depan kelas, kacamata kotak Antara, wajah dingin Anje, teman-teman kelasku lain yang sibuk menulis, dan juga sialnya Pak Roro.
...****************...
Dunia seakan mengejekku. Lidah-lidah api menari dibawah panci. Aku merasakan tarian mengejek si jago merah padaku. Apalagi tawa Nadla yang membahana. Suaranya bisa-bisa menggetarkan darahku yang semakin naik.
"Kau lucu sekali. Perutku sampai sakit begini, oh tolonglah." Cekikikan benar dirinya, mirip sekali gadis antagonis perfilman sinetron emak-emak.
"Ini gara-garamu," ucapku berang.
Aku tak akan melupakan kejadian itu sungguh! Memalukan! Tapi Nadla berpikiran lain. Peristiwa menggetarkan kelas tadi adalah hal yang bagus, sebuah keberuntungan karena ada kesempatan menyombongkan diri.
Ketika aku kepergok tidak mendengarkan Pak Roro–mengobrol lewat buku bergaris—hukumannya sama seperti hukuman mendidik untuk anak yang tak pernah mengerjakan PR. Aku dititah mengerjakan soal rumit nan ruyam di depan kelas. Melirik kecil ke samping berarti mendapatkan nasehat berupa ceramah yang mengejek. Begitulah Pak Roro
"Tapi hebatloh kamu ini." Cekikikannya berhenti. Nadlah menarik napas. "Tidak memperhatikan Pak Roro tapi bisa menjawab soal yang bahkan Einstein sendiri tidak bisa."
"Hiperbola bukan kesukaanku."
"Hiperbola justru bagus, karena dibutuhkan hal berlebihan agar sebuah cerita menjadi menarik bukan?" Nadla memberikan seringai usilnya. "Dan memberikan sebuah kehidupan pada kata-kata di layar ponsel."
Aku menghela napas dalam. Kusambar pentungan besi. "Yoma kali ini sekuat apa?"
"Entah, aku baru masuk ke wilayah sini, beberapa tempat masih asing bagiku. Bila beruntung kita bisa menemukan makhluk kerdil botak tapi membawa banyak uang." Nadla bangkit dari duduknya, dia juga mempersiapkan senjata ekspedisi kali ini. Glock. "Cepat sekali berubah pikiran."
"Aku membutuhkan sesuatu untuk dipukul, kecuali kalau kamu ingin aku permak wajahmu dengan pentungan."
Ya, rasanya ingin sekali aku melepaskan kekesalan dengan memukul sesuatu hingga hancur. Yoma tak masalah, apalagi Gadis Antagonis. Tapi aku lebih memilih Yoma karena lebih sastifiying.
Kami melintasi padang perdu yang tak kunjung berhenti. Cukup lama baru bisa melihat bangunan lain selain tenda peristirahatan. Di sana, jauh ke sebelah selatan. Bangunan putih mulus yang tersinari matahari asing nan ajaib dunia Sisi Lain. Sedikit naik turun bukit tak masalah bagi diriku selagi Gadis Antagonis tidak membuat masalah.
Nadla menyeringai padaku. "Biar perjalanan lebih menarik, ayo berbincang. Tanyakan padaku apa saja!"
"Kenapa kau menggangguku?"
"Karena kau satu-satunya yang mengetahui Sisi Lain."
"Bukan jawaban yang kuharapkan."
"Tanyakan yang lain kalau begitu." Nadla meneguk air mineral.
"Kelihatannya kau sudah kenal lama dunia ini. Darimana kau mengetahuinya?"
"Ketidaksengajaan. Mirip sepertimu," ungkapnya berbangga. "Aku menemukan satu portal di dalam gua tua. Sewaktu hendak kembali, aku malah menuju Sisi Lain. Dari sana aku sadar ternyata ada portal semacam itu di dunia nyata."
"Maksudmu terdapat banyak portal menuju Sisi Lain?"
"Iya tapi kebanyakan tersembunyi pada tempat yang tidak pernah kau bayangkan." Nadla melingkarkan tangan padaku. Berbisik. "Portal yang kugunakan berada di bawah kolong jembatan."
"Jaga jarakmu! Menjijikkan!"
Nadla menyeringai jahat. "Bukan kolong jembatan bayanganmu."
Aku mendorongnya menjauh. Tidak sepatutnya aku bertanya padanya. Maka perjalanan menjadi agak sunyi, hanya desir dan suara sayup-sayup dari Ilham Aditama dan Febrian Nidyo sedang bernyanyi Lihatlah Dunia lewat speaker headphoneku.
Bangunan itu dari kejauhan sangat kecil terlihat, bagai rumah-rumahan lego. Langkah-demi langkah berlalu dan bangunan itu masih putih polos juga kecil. Mata ini sepertinya menipu. Kami bergerak beberapa kilometer lagi dan bangunan bercat putih masih tetap sekecil rumah-rumahan lego. Aku menoleh ke belakang, tenda peristirahatan sudah tidak terlihat. Jejak langkah kami mengular dari bukit ke bukit tapi mengapa bangunan sepucat susu itu tidak kunjung mendekat.
Wajahku bersimbah keringat. Nadla juga demikian letihnya.
"Apa yang kita tuju?"
"Bangunan putih disana tentunya. Rumah milik juragan belanda dulu. Ada beberapa legenda hidup disana, uang juga emas melimpah kalau kita beruntung." Nadla meneguk habis botol minum perbekalan bersisa sedikit itu. "Seharusnya tidak sejauh ini."
"Kita kehabisan perbekalan, aku tak ingin mati kehausan. Melawan Yoma, pasti membutuhkan energi yang banyak."
"Salahkan dirimu, aku bilang tadi untuk membawa satu galon air minum. Dunia ini kadang berubah-ubah."
Puk! Pentungan jatuh di kepala Gadis Antagonis. Satu galon air? Mana mungkin aku mau membawa beban seberat itu dalam perjalanan jauh? Aku jadi meragukan bagaimana Nadla bisa melintasi dataran Sisi Lain sendirian.
"Kita bergerak lagi, jangan sampai langit berubah gelap."
"Bagaimana kalau kita ke arah barat? Ada desa kecil di sana," aku menunjuk pada desa terpencil di tengah hamparan rumput yang membentang. Aneh, tempat itu tadinya hanya lekukan saja bukan desa.
"Desa kecil?" Nadla terdiam sejenak. "Persiapkan pentunganmu. Bisa saja di desa sana penduduknya menolak kita atau terdapat Yoma."
Kami berjalan menuruni bukit, kemudian merangkak menaiki bukit lagi. Pelbagai pikiran negatif menguasai kepalaku. Langkah rasanya semakin berat. Ini gawat. Feeling bertahan hidupku mulai bermain. Ada yang tak beres di sini.
Nadla bingung tidak kepayang. Dia saja yang sudah cukup lama mengarungi Sisi Lain kebingungan, apalagi diriku yang baru saja tempo lalu mengetahui keberadaan Yoma.
Tempat ini seperti desa kecil pada umumnya. Desa pedalaman, masih asri tidak terpapar teknologi. Mirip Jakarta tempo doeloe pada film abu-abu. Bagai kembali ke tahun 60-an dimana partai merah masih keluyuran bebas.
Terdapat sumur di tengah desa tersebut. Rumah angker membentang di sisinya.
Aku celingak celinguk menatapi kosongnya rumah-rumah warga. Nadla entah bagaimana tertarik pada rumah angker terbesar di desa. Namun, yang menarik perhatianku saat ini adalah sumur di depannya. Jujur saja, aku haus.
Langkah ringan mendekat. Aku melongok ke dalam sumur yang rupanya bukan diisi air.
Pikiranku kosong, sekosong-kosongnya luar angkasa yang hampa. Aku terjerembab jatuh. Rasanya jantung seperti berayun ayun bagai samsak tinju. Makhluk itu cekikikan, lincah keluar dari lobang sumur yang hanya bisa dimasuki satu orang dewasa. Warna kulitnya hijau, matanya merah, dan kepalanya botak!
Wutth! Angin berhembus di telingaku. Sial dia ternyata bersaudara! Membawa pasukan serupa botaknya.
"Nadla mereka datang padamu!" teriakku sembari menjejalkan pijakan untuk melompat dan melayangkan serangan pentungan besi pada si bocil kepala botak sebelum beliau dapat membawa kabur ponselku.
Kepala botak itu bolong. Nadla dengan sigap melepaskan timah panas pada kepalanya. Tapi sial saudara-saudara si botak ternyata banyak sekali! Mereka melompat, berlarian di antara kaki lalu beberapa mengambil barang berhargaku! Tas, senter ,kamera, mp3 player, dan headphoneku
Nadla berkeras mempertahankan tas gandongnya tapi tentu tidak sebanding dengan kekuatan saudara-saudara botak yang jumlahnya berjibun.
Mereka melompat girang, berseru dan mengejek kami. Dalam keadaan tengkurap aku menyaksikan mereka mengangkat tas dan headphone seperti sebuah piala.
"Headphoneku!" itulah yang bisa kulakukan saat ini. Berteriak memanggil-manggil barang-barang kami agar bisa kembali.
Nadla duduk membeku. Kami terkalahkan. Glock si Gadis Antagonis raib dicuri, ransel berisikan peta, senter dan barang-barang berhargaku juga hilang dibawa mereka.
"Masih lebih baik daripada tikus negara," ujarku getir. Ya mereka mengambil semua barang berharga kami, tapi tetap menyisakan senjata untuk membunuh mereka balik. Masih terhormat karena memberikan kesempatan kedua."Apa sekarang?"
"Tidak ada. Senjataku raib kecuali pisah kecil ini. Melawan rasanya percuma saja, mereka terlalu banyak." Nadla mengeluarkan pisau dapur yang disarungkan pada kayu tua.
Aku menghela napas dalam. Aku tidak ingin semua berakhir buruk. Tidak, tidak boleh begini. Pemirsa juga pasti tidak ingin tokoh utama kesayangannya kalah begitu saja tanpa perlawanan.
Cepat pikirkan sesuatu untuk lolos dari lobang kelinci ini. Pasti ada semacam trik untuk mengalahkan tuyul-tuyul bersaudara. Pentungan dan pisau saja tidak mungkin berguna, kami akan kalah lagi kalau hanya mengandalkan dua alat itu. Disini desa terpencil, sesuatu pasti bisa berguna. Yang kulihat di sini hanya rumah-rumah bobrok, peralatan dapur penuh karat, dan sejumpun hutan bambu. Tunggu, hutan bambu?
"Beritahu padaku bagaimana hukum dunia di Sisi Lain, aku ingin tahu bagaimana caranya mati di Sisi Lain," ucapku penuh harap pada Nadla Si Gadis Antagonis.
"Apa-apaan itu?"
"Lihat saja sekelilingmu, desa samping hutan bambu. Bisa jadi kita bertemu Yoma lain yang bahkan tingkatannya lebih tinggi daripada tuyul kepala botak. Kakekku selalu melarang untuk berkeliaran malam hari terlebih dekat hutan bambu karena ad—."
"Justru itu hal yang bagus!"
"Eh?"
Aku tak mengerti bagaimana cara kerja kepala sang Gadis Antagonis. Matanya, selalu bersinar meski dalam kondisi melarat. Dunia seakan tunduk pada pilihannya. Aku bisa menebak apa yang akan dilakukan Nadla. Sebuah ide brilian dan sinting. Coba tebak, apa yang direncanakan beliau?
Nadla berlari menuju salah satu pasak, menyambar apapun peralatan dapur yang berdentang ketika dipukul. Ketel dan panci. Lalu melemparkan kuali dan sendok sup padaku. Dia lalu berlari menuju salah satu rumah, kembali dengan membawa cermin lonjong yang ditutup kain beludru.
"Kita buat pertunjukkan, agar bocah-bocah itu datang kemari lalu sesudahnya, boom! kita bakar habis mereka!"
Untuk kalian yang tidak mengerti, ingatlah perkataan Nadla yang lalu. Yoma adalah jelmaan mitos dan cerita rakyat yang menjadi nyata akibat rasa takut manusia. Benar, tuyul-tuyul ini adalah kenyataan yang tercipta dari salah satu cerita rakyat. Lihat sekelilingmu. Desa kecil dengan satu bangunan muram yang megah, beda kelas dengan rumah warga yang lain. Seperti rakyat dan pejabat wakanda, ada kesenjangan sosial. Sejumlah 13 tuyul berkeliaran di seantero desa. Bisa disimpulkan bahwa tempat ini tercipta dari cerita rakyat mengenai sekeluarga tajir yang memelihara tuyul dengan bayaran janin-janin para ibu di desa. Aku tak sengaja pernah membacanya dulu.
Bila begitu, tuyul yang kami lawan memiliki kelemahan yang sama dengan mitos yang menghidupkan mereka! Cermin dan permainan adalah kelemahan tuyul, bocah-bocah kepala botak itu.
Berdentang dentang suara perabotan yang ditempa oleh si jagoan Nadla. Dengan heboh dan penuh percaya diri, beliau menyenandungkan lagu syahdu lelaki kribo dari ibukota, begadang. Aku juga ikut memainkan peran dalam membuat simfoni ini menjadi lebih terdengar bagai permainan sirkus. Tujuan kelakuan nyentrik kami adalah untuk memancing para tuyul bersaudara datang bermain bersama kami. Lalu ketika mereka lengah, kami keluarkan senjata andalan kami. Cermin lonjong dan bawang putih sebagai senjata cadangan.
Aku tak ingin menjelaskan detail kelakuan konyol kami. Yang jelas, setelah habis lagu sayang dari pedangdut cantik, berlarianlah keluar dari kegelapan berjibun anak-anak hijau yang bersinar kepala mereka ditempa matahari. Mereka melompat girang dan beberapa menari tak jelas seperti Ken Arok. Dan dalam detik penentuan, aku memutar tangan setengah lingkaran. Kain beludru terjatuh, wajah-wajah buruk rupa bocah-bocah muncul pada permukaan cermin.
Tidak menurunkan tempo, aku menjejelkan pijakan lalu melayangkan pukulan Homerun kepada batok kepala tuyul terdekat dengan cermin. Satu terhempas jauh. Dua lagi jatuh sempoyongan kena seranganku berikutnya. Satu berusaha melawan dengan melompat pada punggungku. Tapi naasnya dia tak dapat meraih bahuku karena Nadla melemparkan panci ke kepalanya.
Tas berisikan buku dan makanan jatuh di atas tanah berumput. Satu lagi bocah botak terkalahkan, dia kepanasan menerima bawang yang aku lempar. Dalam kekacauan, kami berdua berhasil mengalahkan hama-hama ini. Ada perlawanan sengit tentunya dari para bocah botak, dua pemberani dari mereka berusaha menjatuhkan cermin tapi tangannya sudah lebih dulu terbakar dan wajahnya memelas karena kebencian terhadap buruknya wajah dia sendiri di cermin.
Nadla berteriak penuh kemenangan. Tuyul-tuyul tersisa mulai kocar kacir. Nadla berhasil mengalahkan tiga yang kabur. Terimakasih berkat sendok supnya. Sementara aku menghempaskan ke tanah bocah hijau paling besar. Satu saudara yang paling kecil jatuh dalam pijakan Nadla. Dan begitulah akhir cerita seru kami mengalahkan 13 tuyul bersaudara.
Penuh adrenalin seperti film-film action Hollywood.
Aku duduk menjulurkan kaki. Menarik napas yang kuperlukan saat ini.
"Apa yang kita dapatkan dari mereka? item berguna?"
"Sangat, nanti bakalan dapet banyak uangloh kalau semua ditukarkan pada Dagran si saudagar. Tiga juta Rupiah kita bagi dua. "
"Kau simpan saja semua untukmu."
"Tidak perlu uang?" tanya Nadla penasaran, tapi pandangannya menjadi picik ketika aku menggeleng tidak ingin. "Baik, semua untukku kalau kau tak ingin. Aku akan menyimpannya, tidak jadi kutukarkan. Untuk dikoleksi atau sebagai jimat atas keberhasilan kita melawan tuyul bersaudara."
"Apa dengan begitu semua sudah cukup?" aku menunjuk tuyul paling besar yang terbaring tak berdaya menunjukkan perut buncitnya. "Dengan begitu kau tak perlu lagi repot mencari Yoma?"
"Ya, kurang lebih bisa dikatakan begitu. Setidaknya untuk beberapa waktu."
"Baguslah," ucapku dingin. "Jangan pernah datang merusak tempat bermainku lagi."
Jujur saja, sangat-sangat tak ingin aku melihat wajah Villain Nadla di tempat ini. Tempat ini, adalah satu-satunya milikku. Dan Hal yang bagus sekali bila si biang kerok tidak menunjukkan wajahnya padaku di sekolah maupun di Sisi Lain. Tapi dunia ingin aku lebih tersiksa lagi. Atas Nadla di masa depan atau, atau makhluk tinggi dengan payudara panjang menyentuh tanah yang berdiri di sampingku.
Aku terperanjat, terkaget-kaget karena mata nenek tua itu menatap dalam-dalam jiwaku yang ketakutan. Ternyata pertunjukkan nyentrik kami sudah mengunggah selera makan Yoma-yoma di sekitar hutan bambu.
Nadla mengaga seperti ikan koi. Jiwanya seperti hilang dalam kurun waktu beberapa detik lalu kembali dari alam baka untuk memekik keras-keras. "Wewe gombel!"
Ngeri bukan main, aku berlari sebisa kaki ramping ini bisa lakukan. Kemana saja, asalkan tidak dekat-dekat dengan Yoma menjijikkan itu!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!