Wedding Day
Acara resepsi digelar dengan cukup meriah disebuah gedung serbaguna dengan nuansa putih - emas mendominasi dekor ruangan. Dengan diiringi lagu dari band indi yang lumayan punya nama suasa kian terasa mewahnya. Tamu pun hilir mudik, datang dan pergi.
Sebagian sibuk mengantri untuk bertemu kedua mempelai, sebagian lagi sibuk memilih hidangan yang memang disediakan untuk menjamu para tamu dan kolega.
"Selamat ya Mas, Mbak."
"Selamat ya dek Anin, mas Bim."
"Selamat ya pak Bas."
Entah itu ucapan dari dari orang yang dikenal maupun tidak, wajib bagi kedua mempelai menyambut dengan hangat, dijabat dan jangan lupa pasang senyum se-sumringah mungkin. Termasuk kepada sang Mantan.
"Walah mantennya udah kemrungsung ini lho, wes rak kuat senyum," ucap seorang laki-laki sambil cengengesan godain si Manten.
"Jangan lupa minum jamu strong, biar kuat, jos sampai pagi," tambah laki-laki tersebut, yang diketahui adalah Agus sungkono, sahabat Bima.
Bima menjabat tangan dan memeluk sahabat laki-lakinya.
"Thank Bro, doain saya berhasil nanti malam," ucap Bima dari balik punggung sahabatnya sambil senyum nakal ke arah istrinya yang entah apa maksud dan tujuan ia melakukan itu.
Anin Merona akibat ucapan sahabat suaminya itu. Sudah merah pipinya makin merahlah pipinya.
"Sampai jam berapa ini, nggak habis-habis tamunya," Gerutu Anin pada dirinya sendiri. "Nggak tahu apa ini kaki udah segede pohon pinus," imbuhnya.
"Kenapa?" Tanya Bima pada istrinya. Dan yang ditanya malah kaget.
"Eh, ah nggak apa-apa. Haus." Kibas-kibas tangannya ke muka.
"Haus apa panas?"
"Panas. Eh haus maksudnya," jawab Anin singkat. Ini kenapa deh…kok jadi grogi begini. Tenang, Nin tenang. Dia cuma seorang Bima bukan malaikat tampan, atau pangeran Dubai yang ganteng tanpa batas itu. Tarik nafas. Tarik nafas dalam, keluarkan. Okay. I'm fine. Tidak akan terjadi apa-apa nanti malam. Batin Anin menenangkan dirinya.
"Mas, gue -eeh- maksudnya Aku, Aku mau ambil minum. Mau sekalian, nggak?"
"Boleh, air putih aja yah," Pinta Bima
"Okey. wait me," jawab Anin sambil jalan menuju tempat makanan dan minuman disajikan.
"Always honey," jawab Bima pelan dan dipastikannya Pearly tidak akan pernah mendengarnya.
Ya. Bas Bima Aji sudah jatuh cinta kepada istrinya sejak pertama kali dia melihat fotonya. Semakin cinta dan yakin setelah mereka dipertemukan untuk pertama kali.
Yakin dengan pilihan hatinya, dia pun meminta kepada kedua orangtuanya untuk segera dan tak menunda-nunda lagi meminang Anindira Otis sebagai calon istri untuknya sekaligus calon menantu kedua orangtuanya. Namun sekali lagi Bima harus bersabar, karena harus menunggu sang calon istri menyelesaikan tugasnya.
Sejak saat itu, diam-diam Bima memperhatikan Anin. Diam-diam mengikuti perkembangan gadis itu. Diam-diam marah, kesel, jengkel kepada Anin, yang membiarkan dirinya digoda dan dirayu teman laki-laki dikampus maupun di tempat kerjanya. Rasanya ingin ditonjoknya teman laki-lakinya itu. Dan saat itu juga di urungkannya lagi niatnya itu.
Anin berjalan menyusuri jejeran macam-macam makanan serta minuman. Entah apa yang dia cari, dari tadi hanya berputar-putar sekitaran meja prasmanan itu. Sedangkan letak air putih persis di depannya saat ini. Dimana dia sedang berdiri mematung.
"Oy, ngapain?" suara cempreng sahabatnya masuk ke telinga Anin
"Diih, bisa nggak sih nggak ngagetin orang, hobi baru ya!" Jawab Anin ketus dan sahabatnya hanya bisa tertawa melihat sikap Anin yang sedari kemarin uring-uringan dan jadi lebih sensi.
"Waduh, ngambek. Iya sorry-sorry, ya lagian kamu sih, dimanapun, kapanpun, pasti ngelamun nggak jelas. kenapa sih? heran deh, Mantenan tuh harusnya bahagia sumringah gitu lho, biar yang lihat tuh seneng, ikut bahagia. Lah ini manyun mulu, kalau nggak manyun ya bengong mulu." Cicit Meilani.
"Au ah Bodo! aku kesana dulu ya, mau kasih minum anak orang nih." pergi sambil membawa dua buah gelas berisi air putih.
Dan meilani dibuat bingung olehnya. Siapa yang dimaksud anak orang?
Di pelaminan....
"Nih minumnya." Menyodorkan segelas air putih pada Bima.
"Lama banget, di toko mana sih belinya?"
"Hehe… nggak lucu," jawan Anin sekenanya. Sementara Bima langsung menenggak air yang baru saja diterimanya.
"Kok asin airnya, kamu kasih garam ya?" Bima membolak balik sisi gelas berisi air tersebut.
"Iiih, mana aku tahu kalau rasanya asin, lah aku ambil dimeja itu kok," Tunjuk Anin di salah satu stand prasmanan.
Bima kemudian tersenyum memperlihatkan gigi putih bersihnya mendengar penjelasan istrinya. Senyum yang bisa diartikan ajakan sang penggoda yang siap membuat para wanita rela menyerahkan dirinya. Tapi tidak buat Anin karena itu menjijikan.
Acara berlangsung hingga pukul 23.00 wib. Sesampainya dirumah, Anin pun langsung merebahkan diri hingga tertidur pulas di kamarnya, di kamar pengantinnya tanpa melepaskan dan membersihkan riasan make up nya.
Sedangkan Bima masih bercengkrama dengan keluarga. Dan malam pertama berlalu begitu saja. Tanpa terjadi apa apa.
"Alhamdulillah," batin Anin berucap keesokan paginya.
****
O iya, sebelumnya ijinkan kami memperkenalkan diri.
Perkenalkan namanya Bas Bima Aji. Nama aslinya sih, Basuki Bimo Aji. Karena dianggap kolot maka secara sepihak Bima merubah namanya sendiri menjadi Bas Bima Aji. 29 tahun dan baru saja sold out.
Dengan tinggi diatas rata-rata, ketampanan diatas rata rata, kekayaan di atas rata-rata dan Aah sudahlah tak-akan habis menyebutkan kelebihan dirinya.
Yap! Dialah yang mengucapkan ijab qobul beberapa saat lalu. Dan sekarang dia telah resmi menjadi Suamiku.
Aku?
Oh, ya....Perkenalkan, namaku Anindira Pearly Otis, Panggil saja Anin. Saat ini masih tercatat sebagai Mahasiswi Kedokteran tahun terakhir yang sedang menjalani kepaniteraan atau Ko-*** di salah satu Rumah sakit di Ibukota.
Saya juga Anak ketiga dari tiga bersaudara dan merupakan putri satu-satunya di keluarga Otis. Usia saat ini antara 24-25 tahun, kalau tidak salah, hehe. Namun apalah daya, belum disumpah sudah bersumpah. Sebab mulai detik ini telah resmi dipersunting lelaki asal Yogyakarta itu.
Kini statusku selain seorang mahasiswa, juga sudah resmi menjadi seorang istri. Menyandang gelar nyonya Bima. Dan sebenarnya aku sendiri bingung, harus bahagia atau justru sedih, menangisi nasib jadi Siti Nurbaya di era Milenial begini.
Yap. Tebakan kalian benar. Kami berdua adalah korban perjodohan jaman now dengan pertimbangan bibit, bebet, bobot. Dan satu lagi, Bisnis.
Dan entah kenapa, kami, khususnya aku pribadi mengikuti dengan patuh instruksi orang tua kita.
Mungkin karena calon suami ganteng tiada tara? atau karena kaya raya?
Oh No!! yang jelas bukan karena itu.
Percayalah walaupun keluarga kami bukan dari keluarga kaya raya, tapi kebutuhan kami selalu tercukupi dan terpenuhi. Alhamdulillah yah sesuatu.
Banyak yang bilang, bahwa aku sangat beruntung mendapatkan suami seperti Bima. Tetapi itu sebanding dengan dia yang juga beruntung mendapatkan aku, sebagai Istrinya.
Kurang apa coba aku ini.
Cantik. itu relatif sih.
Pinter? Akademisku jangan diragukan.
Pengalaman? Yah, lumayan lah. Notbad. Eh, tunggu dulu, pengalaman apa nih yang dimaksud?Dapur, kasur, sumur?
Sebenarnya aku nggak berpengalaman sama sekali. Tapi ya sudah lah ya… Kan sudah syah. Nggak bisa dibatalin juga. Jadi, terima dengan lapang dada saja. Semoga aku bisa jadi istri yang membanggakan untuknya. Aamiin.
Yang jelas, saat itu aku tidak ingin membuat kedua orang tua sedih dengan melawan kehendak mereka.
Wedding Day
Acara resepsi digelar dengan cukup meriah di sebuah gedung serbaguna dengan nuansa putih - emas mendominasi dekor ruangan. Dengan diiringi lagu dari band indi yang lumayan punya nama suasa kian terasa mewahnya. Tamu pun hilir mudik, datang dan pergi.
Sebagian sibuk mengantri untuk bertemu kedua mempelai, sebagian lagi sibuk memilih hidangan yang memang disediakan untuk menjamu para tamu dan kolega.
"Selamat ya Mas, Mbak."
"Selamat ya dek Anin, mas Bim."
"Selamat ya pak Bas."
Entah itu ucapan dari dari orang yang dikenal maupun tidak, wajib bagi kedua mempelai menyambut dengan hangat, dijabat dan jangan lupa pasang senyum se-sumringah mungkin. Termasuk kepada sang Mantan.
"Walah mantennya udah kemrungsung ini lho, wes rak kuat senyum," ucap seorang laki-laki sambil cengengesan godain si Manten.
"Jangan lupa minum jamu strong, biar kuat, jos sampai pagi," tambah laki-laki tersebut, yang diketahui adalah Agus sungkono, sahabat Bima.
Bima menjabat tangan dan memeluk sahabat laki-lakinya.
"Thank Bro, doain saya berhasil nanti malam," ucap Bima dari balik punggung sahabatnya sambil senyum nakal ke arah istrinya yang entah apa maksud dan tujuan ia melakukan itu.
Anin Merona akibat ucapan sahabat suaminya itu. Sudah merah pipinya makin merahlah pipinya.
"Sampai jam berapa ini, nggak habis-habis tamunya," Gerutu Anin pada dirinya sendiri. "Nggak tahu apa ini kaki udah segede pohon pinus," imbuhnya.
"Kenapa?" Tanya Bima pada istrinya. Dan yang ditanya malah kaget.
"Eh, ah nggak apa-apa. Haus." Kibas-kibas tangannya ke muka.
"Haus apa panas?"
"Panas. Eh haus maksudnya," jawab Anin singkat. Ini kenapa deh…kok jadi grogi begini. Tenang, Nin tenang. Dia cuma seorang Bima bukan malaikat tampan, atau pangeran Dubai yang ganteng tanpa batas itu. Tarik nafas. Tarik nafas dalam, keluarkan. Okay. I'm fine. Tidak akan terjadi apa-apa nanti malam. Batin Anin menenangkan dirinya.
"Mas, gue -eeh- maksudnya Aku, Aku mau ambil minum. Mau sekalian, nggak?"
"Boleh, air putih aja yah," Pinta Bima
"Okey. wait me," jawab Anin sambil jalan menuju tempat makanan dan minuman disajikan.
"Always honey," jawab Bima pelan dan dipastikannya Pearly tidak akan pernah mendengarnya.
Ya. Bas Bima Aji sudah jatuh cinta kepada istrinya sejak pertama kali dia melihat fotonya. Semakin cinta dan yakin setelah mereka dipertemukan untuk pertama kali.
Yakin dengan pilihan hatinya, dia pun meminta kepada kedua orangtuanya untuk segera dan tak menunda-nunda lagi meminang Anindira Otis sebagai calon istri untuknya sekaligus calon menantu kedua orangtuanya. Namun sekali lagi Bima harus bersabar, karena harus menunggu sang calon istri menyelesaikan tugasnya.
Sejak saat itu, diam-diam Bima memperhatikan Anin. Diam-diam mengikuti perkembangan gadis itu. Diam-diam marah, kesel, jengkel kepada Anin, yang membiarkan dirinya digoda dan dirayu teman laki-laki dikampus maupun di tempat kerjanya. Rasanya ingin ditonjoknya teman laki-lakinya itu. Dan saat itu juga di urungkannya lagi niatnya itu.
Anin berjalan menyusuri jejeran macam-macam makanan serta minuman. Entah apa yang dia cari, dari tadi hanya berputar-putar sekitaran meja prasmanan itu. Sedangkan letak air putih persis di depannya saat ini. Dimana dia sedang berdiri mematung.
"Oy, ngapain?" suara cempreng sahabatnya masuk ke telinga Anin
"Diih, bisa nggak sih nggak ngagetin orang, hobi baru ya!" Jawab Anin ketus dan sahabatnya hanya bisa tertawa melihat sikap Anin yang sedari kemarin uring-uringan dan jadi lebih sensi.
"Waduh, ngambek. Iya sorry-sorry, ya lagian kamu sih, dimanapun, kapanpun, pasti ngelamun nggak jelas. kenapa sih? heran deh, Mantenan tuh harusnya bahagia sumringah gitu lho, biar yang lihat tuh seneng, ikut bahagia. Lah ini manyun mulu, kalau nggak manyun ya bengong mulu." Cicit Meilani.
"Au ah Bodo! aku kesana dulu ya, mau kasih minum anak orang nih." pergi sambil membawa dua buah gelas berisi air putih.
Dan meilani dibuat bingung olehnya. Siapa yang dimaksud anak orang?
Di pelaminan...
"Nih minumnya." Menyodorkan segelas air putih pada Bima.
"Lama banget, di toko mana sih belinya?"
"Hehe… nggak lucu," jawan Anin sekenanya. Sementara Bima langsung menenggak air yang baru saja diterimanya.
"Kok asin airnya, kamu kasih garam ya?" Bima membolak balik sisi gelas berisi air tersebut.
"Iiih, mana aku tahu kalau rasanya asin, lah aku ambil dimeja itu kok," Tunjuk Anin di salah satu stand prasmanan.
Bima kemudian tersenyum memperlihatkan gigi putih bersihnya mendengar penjelasan istrinya. Senyum yang bisa diartikan ajakan sang penggoda yang siap membuat para wanita rela menyerahkan dirinya. Tapi tidak buat Anin karena itu menjijikan.
Acara berlangsung hingga pukul 23.00 wib. Sesampainya dirumah, Anin pun langsung merebahkan diri hingga tertidur pulas di kamarnya, di kamar pengantinnya tanpa melepaskan dan membersihkan riasan make up nya.
Sedangkan Bima masih bercengkrama dengan keluarga. Dan malam pertama berlalu begitu saja. Tanpa terjadi apa apa.
"Alhamdulillah," batin Anin berucap keesokan paginya.
****
O iya, sebelumnya ijinkan kami memperkenalkan diri.
Perkenalkan namanya Bas Bima Aji. Nama aslinya sih, Basuki Bimo Aji. Karena dianggap kolot maka secara sepihak Bima merubah namanya sendiri menjadi Bas Bima Aji. 29 tahun dan baru saja sold out.
Dengan tinggi diatas rata-rata, ketampanan diatas rata rata, kekayaan di atas rata-rata dan Aah sudahlah tak-akan habis menyebutkan kelebihan dirinya.
Yap! Dialah yang mengucapkan ijab qobul beberapa saat lalu. Dan sekarang dia telah resmi menjadi Suamiku.
Aku?
Oh, ya....Perkenalkan, namaku Anindira Pearly Otis, Panggil saja Anin. Saat ini masih tercatat sebagai Mahasiswi Kedokteran tahun terakhir yang sedang menjalani kepaniteraan atau Ko-*** di salah satu Rumah sakit di Ibukota.
Saya juga Anak ketiga dari tiga bersaudara dan merupakan putri satu-satunya di keluarga Otis. Usia saat ini antara 24-25 tahun, kalau tidak salah, hehe. Namun apalah daya, belum disumpah sudah bersumpah. Sebab mulai detik ini telah resmi dipersunting lelaki asal Yogyakarta itu.
Kini statusku selain seorang mahasiswa, juga sudah resmi menjadi seorang istri. Menyandang gelar nyonya Bima. Dan sebenarnya aku sendiri bingung, harus bahagia atau justru sedih, menangisi nasib jadi Siti Nurbaya di era Milenial begini.
Yap. Tebakan kalian benar. Kami berdua adalah korban perjodohan jaman now dengan pertimbangan bibit, bebet, bobot. Dan satu lagi, Bisnis.
Dan entah kenapa, kami, khususnya aku pribadi mengikuti dengan patuh instruksi orang tua kita.
Mungkin karena calon suami ganteng tiada tara? atau karena kaya raya?
Oh No!! yang jelas bukan karena itu.
Percayalah walaupun keluarga kami bukan dari keluarga kaya raya, tapi kebutuhan kami selalu tercukupi dan terpenuhi. Alhamdulillah yah sesuatu.
Banyak yang bilang, bahwa aku sangat beruntung mendapatkan suami seperti Bima. Tetapi itu sebanding dengan dia yang juga beruntung mendapatkan aku, sebagai Istrinya.
Kurang apa coba aku ini.
Cantik. itu relatif sih.
Pinter? Akademisku jangan diragukan.
Pengalaman? Yah, lumayan lah. Notbad. Eh, tunggu dulu, pengalaman apa nih yang dimaksud?Dapur, kasur, sumur?
Sebenarnya aku nggak berpengalaman sama sekali. Tapi ya sudah lah ya… Kan sudah syah. Nggak bisa dibatalin juga. Jadi, terima dengan lapang dada saja. Semoga aku bisa jadi istri yang membanggakan untuknya. Aamiin.
Yang jelas, saat itu aku tidak ingin membuat kedua orang tua sedih dengan melawan kehendak mereka.
Pagi hari yang cerah, semilir angin sepoi-sepoi goyangkan batang pohon yang berdiri kokoh di sekitaran rumah.
Bukan rumah mewah bergaya Eropa atau rumah ala-ala jaman now.
Rumah sederhana yang cukup luas halamannya serta taman di belakang rumah yang terawat dan ditumbuhi berbagai bunga warna-warni, cuaca yang adem membuat bunga dan pepohonan tumbuh subur di daerah ini.
Rumah yang setiap harinya tak pernah sepi dari para pengunjung yang ingin sembuh dari sakitnya. Atau sekedar berkeluh kesah dengan tuan rumah yang adalah seorang dokter.
Rumah yang menjadi saksi bisu betapa nakalnya si kecil Pearly. Betapa cantiknya ia yang tumbuh menjadi gadis remaja yang tak terasa sekarang sudah dewasa dan siap untuk menapaki dunia baru.
Bima dan yang lainnya sedang duduk-duduk di halaman belakang rumah, sambil menikmati secangkir teh beserta cemilan khas kota Bandung.
Sebagai pendatang di kota kembang, keluarga Pearly sudah cukup dikenal namanya hingga sampai pelosok kota. Tak lain tak bukan karena keuletan dirinya serta kesabaran nya pada setiap pasiennya.
Keluarga Pearly terpaksa pindah dari kota kelahirannya di Yogyakarta ke kota ini karena tuntutan profesi sebagai seorang dokter yang pada saat itu mendapat tugas di Rumah sakit besar di Bandung.
Dan, Bima sendiri adalah anak dari sahabat Ayahnya Pearly, yang kala itu mereka telah berjanji untuk menyatukan ikatan keluarga apabila kelak mereka punya anak. Kelak bila anak-anak mereka sudah dewasa akan disatukan dalam ikatan keluarga. Janji yang tak tertulis namun terpatri dalam sanubari.
Pearly berjalan menuju ke tempat dimana suami dan keluarganya berkumpul dan dia malu, sangat malu. Bukan karena rambutnya yang basah tapi karena dia bangun paling akhir, kesiangan. Jahatnya, suaminya tak membangunkannya.
"Ealah dalah, rupanya nggak lama lagi kita bakal gendong cucu ini Pih, lihat menantu kita yang cantik ini, makin cantik aja dengan rambut basahnya," goda Ibu mertuanya.
Pearly merona, salah tingkah oleh ulah mertuanya, entah apa yang akan dilakukannya tadi, mendadak hilang kabur dari otaknya.
"Sini nak, duduk sini, dekat mamih, biar puas juga suamimu memandangimu. Oh ya, cicipi ini lho enak bianget surabinya, mamih baru tahu ada surabi seenak ini,'' tambah Ibu mertuanya.
Pearly hanya bisa mengangguk patuh menuruti pinta ibu mertuanya dan kembali merona pipinya.
"Ini dimakan dulu, kamu pasti laper tho," ucap Ibu mertuanya sambil menyodorkan sepiring surabi dengan kuah air gula. "Ayok, dimakan mumpung masih anget."
"Iya mih," jawab Anin singkat dan dia sadar, sedari tadi suaminya sedang memperhatikannya intent.
Pelan tapi pasti Pearly mulai menyendok sarapannya. Sesekali melirik ke arah suaminya yang sedang asyik tanya jawab dengan ayah dan kakak-kakaknya.
"Apa rencanamu hari ini?'' Tanya Bima tiba-tiba sambil memegang salah satu tangan Pearly.
Pearly yang kaget reflek menarik tangannya dari atas meja. Namun genggaman suaminya lebih kuat dan semakin erat. Susah untuk diurai. "Nggak ada, mungkin istirahat seharian," Jawab Pe acuh. Dan masih berusaha melepaskan tangannya.
"Yaelah dek, Mas juga tahu kalian manten anyar, tapi ya mbok kamu ajak suamimu jalan-jalan keliling kota Bandung sana lho.., mosok mau diem-diem di kamar doang," protes kakak Pearly dengan tak ketinggalan seringai senyum nakalnya.
"Bukan itu maksudnya mas, maksudnya tuh ya tidur beneran. Bener-bener tidur, istirahat.'' Jelas Pearly, berusaha meyakinkan kakaknya yang sedari tadi terus-terusan iseng menggodanya.
"Kamu kenapa, sakit?'' tanya Bima pada istrinya, kemudian tangan satunya bergerak dan mendarat tepat di pipi istrinya, mengelus lembut. Pearly diam, kaget, malu, campur aduk yang dirasakannya. Namun bathinnya sedikit berbunga, menikmati apa yang barusan dilakukan oleh suaminya.
"Duh, kalian ini ya, nggak menghargai orangtua disini. Sana gih, masuk kamar lagi. Lanjutin yang belum kalian selesaikan." Protes kakaknya lagi.
"Hahaha, Makanya buruan nikah, jangan kelamaan. Tar keburu habis stok wanita di dunia, Nyesel koe Mas." Ledek adik Ipar.
Dan kedua keluarga pun tertawa bahagia melihat tingkah pola masing-masing.
Mereka benar-benar merasa bahagia saat ini. kecuali Pearly.
Di kamar.
"Hmm… Mas, soal yang tadi, maksudku tadi, aku benar-benar ingin istirahat, sepertinya mau kena flu batuk deh, dan aku butuh istirahat," ungkap Pee pada suaminya yang sedang sibuk membuka kaosnya tanpa rasa canggung.
Melihat suaminya hanya diam, tak ada tanda-tanda akan menjawab ucapannya, Pearly pun memastikan suaminya mendengar ucapannya.
"Mas." Seketika mengalihkan pandangannya keluar jendela. Nggak kuat juga lama-lama melihat tubuh polos suaminya tanpa kaos dan Jeans dan hanya menyisakan boxer yang masih menempel di bagian bawah tubuhnya.
Diam-diam pearly mengagumi kebugaran fisik suaminya. Nyaris tanpa cela. Pria idaman wanita. Namun entah kenapa hati Pearly belum tergerak untuk sukacita menerima curahan kasih sayang suaminya. "Aku belum sepenuhnya mengenalnya." bathin Pearly menenangkan.
"Mas… denger aku ngomong nggak?"
"Iya denger sayang, kenapa? kamu takut saya perkosa?" Bima berbalik, jalan menuju istrinya yang sedang duduk diatas kasur. Menatap istrinya yang ayu dan sok jual mahal itu.
Tatapan lembut seorang suami, Namun syarat akan pertanyaan.
Tubuh mereka sangat dekat nyaris tanpa batas.
"Aku__"
Cup. Sebuah ciuman singkat, lembut mendarat di bibir Pe yang polos tanpa hiasan lipice ataupun lipstik. Sontak membuat gadis itu kaget, mendadak bisu. Entah apa yang mau diucapkan, mendadak hilang, menguap bersama udara.
Melihat istrinya yang hanya diam tanpa reaksi, Bima kembali mencium istrinya. Kali ini ciuman yang sedikit lebih lama dan nakal.
Seketika mata Pe melebar tak percaya dan lelah yang dirasakan tiba-tiba lenyap seperti disiram energi dengan sangat kencang.
Sudah tak ada lagi ruang untuk Pe bergerak, dirinya terjepit antara kasur dan tubuh suaminya, ia menelan ludahnya dengan susah payah.
"Mm... Mas.... kita…." Namun ucapannya tak mampu mengembalikan kesadaran suaminya.
Tubuhnya mendadak kaku saat hembusan udara hangat menyapu hidung dan mulutnya. Aroma Mint suaminya.
Bima kembali memagut bibir istrinya. Lebih dalam dan kuat. Memancing dan menggoda istrinya.
Ya tuhan!
Jika saja Pe tidak cepat-cepat mencengkeram lengan padat suaminya, mungkin akan ada lanjutan adegan berikutnya. Dan Pe masih cukup sadar.
Tidak sekarang! Kami masih butuh waktu untuk saling memahami. Kami dua orang asing yang tiba-tiba menikah dan terperangkap dalam ikatan suci ini. Ayok Sadar Pe.
"Mas\, maaf. Aku butuh waktu untuk itu____" dengan sekuat tenaga akhirnya Pe sanggup menahan gejolak tubuhnya dan berhasil meredam dewi batinnya yang meminta lebih.
"Iy, saya akan tunggu sampai kamu siap untuk itu." Jawab suaminya penuh pengertian."Dan saya tadi cuma mau ganti baju, tapi ekspresi kamu seolah-olah minta digoda." Seringai nakal Bima kembali menggoda istrinya.
"Yasudah, kamu istirahat aja, nanti saya sama Mas Adam mau lihat rumah kita. Hadiah dari papih," Terang Bima pada istrinya.
"Lho, Mas! bukannya kita sudah sepakat tinggal di jakarta? setidaknya sampai aku selesai koas.”
"Betul sekali. sampai saat itu, kita tunda juga honeymoon kita. Kita tunggu sampai kamu benar-benar jadi seorang dokter." seloroh Bima pada istrinya yang membuat merona pipi istrinya entah karena ucapannya atau karena ulah nakal tangannya yang mencubit gemas hidung istrinya.
"Oh ya, nanti malam saya harus pulang ke Jakarta, karena besok harus sudah masuk kantor. Kamu masih mau disini atau ikut ke Jakarta?"Tanya Bima.
Pe berpikir sejenak, menimbang dan menimbang. "Okeh, aku ikut bareng ke Jakarta, antar aku sampai ke apartemen dengan selamat ya Pak-su...."
"Baiklah tuan putri, perintah siap dilaksanakan. Dan sekarang kamu istirahat biar lekas sehat dan kita siap tempur," Goda Bima lagi pada istrinya.
"Tidur yang nyenyak ya, sayang," Bima mencium kening istrinya mesra. Kemudian pergi meninggalkan Pearly yang masih diam mematung tanpa tahu apa yang harus diperbuat.
Tak lama Pe memegangi keningnya, merabanya. Berharap masih ada yang tertinggal disana. "Ya tuhan, sepertinya aku mulai gila." Kemudian Pe mengambil sebutir obat lalu meminumnya dan merebahkan diri.
Tak kurang dari setengah jam dia sudah terlelap. Nyenyak.
Menjelang maghrib,
"Oh iya Jeng, kami juga mohon pamit lho, ini," tambah Nyonya Basuki pada besannya.
"Lho, Mbakyu kok mendadak, memang pesawat jam berapa?'' Balas nyonya rumah.
"Itu lho, papihnya Bima dari tadi sudah di telpon-telpon terus, sepertinya ada urusan penting, jadi kami putuskan untuk pulang malam ini juga."
"Yasudah kalau memang begitu, kapan-kapan kami yang akan berkunjung ke Jogja."
"Bener lho Jeng, tak tunggu kabare lho ini, kapan ada waktu mampir ke rumah, ya…."
"Iya, siap Mbak yu."
Setelah berpamitan pada tuan rumah, keluarga besar Basuki Cipta Aji pun akhirnya pergi menuju airport untuk melanjutkan perjalan ke Yogyakarta, kampung halamannya.
"Mah, Pe juga malam ini ikut pulang ke Jakarta ya.., bareng sama mas Bim." Ucapnya membuka obrolan.
"Lho, bukannya kamu masih cuti sampai lusa?" Tanya ayahnya yang sedari tadi asyik membaca diktat kesehatan.
"Iya sih, Pah… tapi mumpung ada tebengan, jadi biar sekalian aja, Pe males Pah, nyetir sendiri dan pasti bakalan macet."
"Oh gitu..., terus nanti kalian tinggal dimana?” Tanya Ibunya.
"Ya… Pearly di apartemen sendiri mah, mas Bim ya di rumahnya sendiri..."
"Lho, gimana kalian ini? masa, sudah suami istri tinggal pisah-pisah begitu, apa ndak takut suamimu digondol pelakor?" goda ibunya. "Kemana Nak Bim?? biar Ibu mau ngomong!" ucap ibu Pearly penuh penekanan.
"Kan tadi lagi antar orangtuanya ke soeta mah, diih, si mamah udah mulai pikun tuh, Pah." Ucap Pe acuh.
Tak ayal ucapan Pearly membuat papahnya tertawa dan meninggalkan diktat yang sedari tadi asyik dibacanya.
"Coba mana orangnya yang mulai pikun, biar nanti papah periksa, tolong suruh tunggu di ruang praktek papah ya nduk." Goda pak Otis yang sebenarnya ditujukan untuk istriya. Nyonya rumah hanya bisa geleng kepala dan ikut tersenyum mengamati kelakar suami dan anaknya.
**
Sepanjang perjalanan Bandung - Jakarta, Anin hanya diam. Memandangi gelapnya jalanan di luar jendela. Dan sebenarnya dia sedang memikirkan ucapan ibunya yang ada benarnya, tentang pelakor yang akhir-akhir ini sedang naik daun, seolah tak mau kalah saing dengan boomingnya permainan mobile legend.
Dan suaminya mengira, dia tertidur.
***
Mobil jenis sedan berwarna hitam dengan plat ibukota berbelok memasuki pintu gerbang kawasan perumahan di daerah Kalibata, Jakarta selatan.
Mereka disambut oleh petugas khusus keamanan yang siaga menjaga perumahan tersebut.
"Loh, kok belok sini, kita mau kemana?" teriak Anin kaget, yang sama kagetnya dengan suaminya yang tiba-tiba mendengar istrinya teriak.
"Saya kira kamu tidur, jadi inisiatif ke rumahku deh, hehehe sorry."
"Modus." Anin memonyongkan bibirnya protes.
"Ya nggak masalah juga, rumahku juga rumahmu, rumah kita. Besok baru saya antar ke tempatmu, ini sudah malam. Yuk turun sudah sampai."
Mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah dengan tipe yang sama dengan rumah disekitarnya. Ciri khas perumahan komplek. Cukup mewah dan cukup besar untuk ditinggali oleh seorang bujangan.
"Ini?" tanya Anin heran. Ini punya siapa?
Seolah tahu kebingungan istrinya, Bima pun segera menjelaskan kepada istrinya.
"Ini rumahnya Ayah\, tapi saya yang nempatin. Selain letaknya strategis dengan proyek\, juga dekat dengan tempat kam_____" Dan seketika Bima sadar\, ia terlalu banyak bicara. Bima menyumpah dirinya sendiri jangan sampai ketahuan istrinya bahwasanya dia pernah jadi penguntit. Penguntit calon istrinya sendiri kala itu.
"Ada berapa kamar?" tanya Anin singkat.
"Banyak,'' jawab Bima tak kalah singkat.
"Ya banyak itu berapa?"
"Ya pokoknya banyak, kamu bisa pakai salah satunya. Pilihlah, dan nanti mbok Jum bisa beresin buat kamu. Saya tinggal mandi dulu, anggap saja rumah sendiri." Bima berjalan menuju kamar tidurnya.
Tak lama Anin pun mengekor mengikuti suaminya.
Setelah memilih kamar mana yang akan digunakan, sambil menunggu mbok Jum menata tempat tidurnya Anin pun memutuskan untuk menunggu di kamar suaminya.
Dan mulai merebahkan dirinya. Hhhm….Sangat nyaman ruangan ini - kamar ini.
Diam-diam Anin memuji selera suaminya yang pandai bermain warna, serta pemilihan perabotan dan tata letaknya yang pas. Ditambah lagi aroma daun segar yang hilir mudik menggelitik hidung.. Mirip aroma rumahnya.
Sungguh sangat nyaman membuat rasa kantuk susah diabaikan.
Pulas sudah Anin terbuai dalam mimpinya.
Jarum jam di kamar itu menunjukan Pukul 23.00 wib.
Kamar yang kurang lebih 3 tahun telah ditempati semenjak saat itu, kini menjadi salah satu ruangan favorit Bima, selain ruang kerjanya.
Ruangan yang Bima design sendiri dengan kemampuan arsiteknya. Yang dulu hanya kamar biasa yang tak terawat, kini disulapnya menjadi kamar mewah layaknya kamar hotel bintang lima.
Aquarium minimalis yang ia letakkan persis di sebelah meja kerjanya menghiasi sudut kamarnya, dengan suara gemericik air yang terkesan natural, semakin menambah aura alam di dalam kamarnya. Dan sengaja Bima memilih pengharum dengan aroma kesukaannya. Aroma daun Mint - segar.
Kamar mandi yang awalnya biasa saja, kini sudah disulapnya menjadi sangat elegan.
Mini Jacuzzi telah berada di dalamnya. Cukuplah untuk bersenang-senang dengan pasangannya nanti, pikirnya dulu.
Tak jauh dari jacuzzi itu ia juga meletakan kulkas dan perabotan lainnya dengan ukuran dan warna yang senada. Hal itu dimaksudkan agar tak perlu repot-repot keluar kamar apabila sedang bersantai menikmati panorama di balik jendela kaca besar yang langsung menghadap ke taman belakang lengkap dengan bunga mawar dan teman-temannya.
Sengaja ia juga membuat halaman belakang menjadi taman pribadi miliknya, dengan harapan memandangnya mampu menyihir segala rasa lelah, penat, serta rindu dan berganti menjadi rasa segar dan semangat.
Bima pun bangga dengan hasil karyanya. Walaupun dia juga harus rela mengeluarkan dana yang tak sedikit.
Bima kaget, ketika mendapati istrinya dengan polosnya terkulai pasrah diatas tempat tidurnya.
Murni layaknya bayi, tanpa dosa.
"Dasar tukang tidur." Dengan masih berbalut handuk diatas pinggangnya, Bima menghampiri istrinya yang sedang tertidur nyenyak. Nafasnya terdengar teratur di telinganya. Bima memandangi istrinya lama dan dia putuskan untuk mengagumi kecantikan istrinya yang sedikit jual mahal kepadanya.
"Dasar wanita."
Dan tanpa menunggu komando matanya tertuju pada blues yang dikenakan istrinya.
Sejak kapan itu terbuka. ya tuhan!
Sungguh menggoda, walaupun hanya tiga kancing atas yang terbuka namun dapat dengan jelas Bima melihat hal dibalik blues tersebut.
Dengan ragu-ragu Bima hendak membangunkan istrinya namun diurungkannya. Ia tak tega.
Bima frustasi sendiri. Dan akhirnya ia memutuskan untuk menutupi bagian dada istrinya dengan mengancingkan bagian yang terbuka dengan gemetar dan hati-hati.
Tak hanya sampai disitu, tanpa disengaja jari-jari Bima yang kurang ajar itu, justru menyentuh kulit yang belum tertutup. Anin bergerak dengan apa yang dilakukan suaminya seolah tubuhnya merespon.
"Ya Tuhan kuatkan hamba," erang Bima frustasi menahan gejolak lelakinya. Namun Bima laki-laki normal, wajar jika batinnya menginginkan lebih.
Bima mengecup kening istrinya lama dan mendalam.
"Mas,." ucapan Anin tak pernah selesai ketika Bima membungkamnya dengan sebuah ciuman yang lembut, perlahan, dalam dan menyeluruh.
Entah apa yang dirasakan Anin, Hingga ia tanpa sadar meremas rambut lelaki itu, seolah meminta lebih dari apa yang telah lelaki itu berikan. Serakah memang.
Anin membalasnya, tak kalah lembut. Dan bermelodi ketika suaminya menginvasi setiap isi mulutnya dengan gerakan yang sangat memabukkan.
Entah sejak kapan Bima membuka kancing kemeja istrinya lagi dan meletakan sebelah tangannya pada area sensitif istrinya yang masih terbungkus rapi. Tidak terlalu besar namun begitu pas di dalam tangan Bima seolah mereka diciptakan hanya untuk Bima.
Anin kembali menggeliat ketika ciuman suaminya berpindah ke lehernya, dan remasan lembut tangan Bima seolah menghancurkannya menjadi ribuan keping. Akses penuh Anin berikan pada suaminya agar meng-eksplore nya.
Anin menggigit bibirnya yang masih terasa bengkak karena ciuman suaminya itu dan rasa panas di antara kedua kakinya semua terasa begitu nyata.
Namun sayang semua itu hanya mimpi. Buktinya ketika dia membuka mata dia hanya seorang diri dikamarnya -oh bukan- di kamar suaminya. Ketiduran.
"Ya ampun, gilakah aku?” tanyanya, “...sepertinya perlu sebutir diazepam lagi," Keluh Anin sambil berjalan meninggalkan kamar suaminya.
Sementara itu, di balik pintu kamar mandi Bima diam mematung dengan sang Artur yang siap berperang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!