NovelToon NovelToon

Naii: Jangan Panggil Aku Janda

Satu

"Naii... Kemari kamu," ucap suara seseorang yang sangat dikenal oleh wanita berhijab lusuh tersebut.

Ia baru saja selesai mencuci piring dan juga barang-barang perabotan memasak lainya setelah lelah berjualan kue keliling seharian.

Dengan cepat ia mengibaskan kedua tangannya, dan mengelapnya pada daster yang juga sudah tampak lusuh dan menjadi teman kesehariannya.

"Naii, buruan! Kamu tuli, ya?" teriak pria yang tak lain adalah suaminya. Hardi, sosok yang menikahinya dan menjadi pendamping hidupnya selama tujuh tahun ini hanyalah menjadi seorang pengangguran dan taunya meminta uang untuk mabuk-mabukan.

Bahkan, pria itu tak jarang memberikan pukulan kepadanya setiap kali meminta uang jika Naii menolaknya, maka penganiayaan yang harus ia dapatkan.

"Ada apa, sih, Mas?" jawabnya dengan lirih, ia sudah terlalu capek dengan semua tugas rumah tangga sekaligus menjadi tulang punggung keluarga.

"Apa, apa, katamu. Kalau dipanggil laki itu cepat datang, jangan lambat kali jadi orang!" makian dan cacian kerap kali dilontarkan untuknya, dan ia mencoba untuk tetap sabar, berharap suatu saat sang suami terbuka pintu hatinya dan bertaubat.

Naii menarik nafas dengan dalam, dan mengeluarkannya dengan berat. Ada jutaan rasa lelah didalam hidupnya, ia mencoba berusaha untuk kuat, meski setiap pertahanannya mulai goyah. Apakah yang ia harapkan dari seorang Hardi? Sudah miskin, pemalas, dan juga pemabuk. Bahkan akhir-akhir ini ia mendengar gosip para tetangga jika suaminya mulai terhoda janda pirang diujung jalan.

Namun bagi Naii, selagi tidak terlihat dimatanya sendiri, maka ia masih mengabaikan semua kabar miring tersebut, lagi pula ia sudah lelah bertengkar terus setiap saatnya.

"Ada apa, Bang?" Naii mengulangi ucapannya.

"Beri aku uang satu juta, aku lagi butuh," ucap Hardi seenak udelnya. Bahkan tanpa rasa malu ia meminta uang kepada sang istri, sedangkan memberi nafkah saja tidak pernah.

Tentu saja hal itu Hardi lakukan karena pria itu sudah putus urat malunya dan mengetahui jika istrinya memiliki simpanan uang.

"Tidak ada, Bang. Itu untuk bayar uang kontrakan, sebab Pak Kasim sudah datang meminta uang kontrakan yang tertunggak dua bulan," Naii mencoba memberi pengertian kepada sang suami.

"Kamu berani melawanku, Ya? Sini uang itu, atau kamu mau aku hajar, hah!" jawab Hardi dengan raut wajah penuh amarah. Tampak auranya begitu mengerikan terbias dengan emosi yang meledak.

Pria itu sudah mengangkat tangannya, bersiap untuk memberikan tamparan pada Naii yang sudah seringkali menerima segala penyiksaan yang diberikan oleh sang suami.

Bahkan air matanya seolah sudah kering dan ia tak lagi dapat untuk menangis, sebab semuanya sudah sangat terbiasa.

"Aku tidak mau memberikannya, itu uang untuk bayar kontrakan, jika tidak dibayar, maka pak Kasim akan mengusir kita dan mau tinggal dimana lagi, hanya ini rumah kontrakan yang murah," Naii mencoba menegaskan.

Plaaaaak...

Suara tamparan yang sangat keras mendarat dipipi putih sang wanita. Tergambar lima jari bekas penganiayaan tersebut.

"Sekali lagi kamu melawan, ku hajar kamu!" ancam Hardi dengan nada tinggi.

Ahnaf dan Aliyah berlari dari kamar saat mendengar kedua orangtuanya bertengkar.

Kedua bocah itu memeluk Naii dengan wajah ketakutan. Mereka sangat terlalu sering melihat sang ayah menyiksa ibunya, sehingga ikut merasakan kepedihan yang dirasakan oleh sang ibu.

Melihat kedua anaknya datang dengan tatapan menghiba dan ketakutan, tak membuat seorang Hardi merasa belas kasih. Ia menginginkan uang tersebut.

"Menyebalkan!" maki Hardi, lalu berjalan menuju kamar dan mengobrak-abrik tilam lusuh yang hampir mengempis karena sudah terlalu lama.

"Naii, dimana uangnya?" teriak Hardi dengan geram.

Tetapi wanita itu hanya membisu dan tak ingin menyahutinya.

Setelah puas membongkar semua isi kamar, ia tak menemukan apa yang dicarinya, sehingga kesabarannya semakin menipis.

Sesaat matanya melihat sebuah tabungan berbentuk ayam yang terbuat dari bahan plastik, dengan cekatan ia menyambarnya dan membawanya keluar dari kamar.

"Ayah.. Jangan! Itu tabungan Ahnaf untuk beli tas sekolah," rengek Ahnaf yang melihat sang ayah membawa tabungan berbentuk ayam miliknya.

"Bawel kamu, sama saja seperti ibumu," sergahnya, dan ia tak perduli saat bocah berusia enam tahun itu menangis dan memohon agar sang ayah tak mengambil tabungannya.

Hardi membawa benda itu ke dapur, lalu dengan cepat merobeknya dan menemukan uang pecahan seribu dan dua ribuan yang menjadi pengisinya.

"Siaal...," makinya, saat tak puas melihat isi yang tak sesuai harapannya.

Ia meraih uang yang diperkirakan berjumlah seratus ribu yang dikumpulkan sang bocah dengan mengumpulkan rongsokan, tetapi dengan mudahnya sang ayah merampasnya begitu saja.

Setelah memasukkan uang tersebut ke dalam sakunya, ia bergegas menuju ke ruang tengah tempat dimana Naii dan kedua anaknya menangis akan perlakuan kasar yang dilakukannya.

"Mana uang itu?" tanyanya lagi. Sepertinya ia tak puas akan uang yang sudah ia ambil dari tabungan Ahnaf.

"Tidak ada," jawab Naii menahan perih dipipinya bekas tamparan Hardi barusan, dan juga menahan peri dari perlakuan sang suami.

"Bohong! Setiap hari kamu berjualan, dan pastinya kamu banyak menyimpan uang," Hardi tak percaya dengan ucapan istrinya.

Perlahan ekor matanya melirik sesuatu yang terselip dibalik hijab lusuh yang digunakan wanita tersebut.

Tangan Hardi dengan cekatan mentingkap hijab tersebut, lalu mero-goh sesuatu dibalik daster yang tampak terlihat melapuk.

Matanya berbinar saat menyentuh benda berbungkus plastik dan diikat dengan plastik transparan.

Naii dengan gerakan cepat memepertahankannya. "Jangan, Bang... Jangan ambil. Ini uang bayar kontrakan," wanita itu dengan cepat mencengkram pergelangan tangan Hardi dan berharap pria itu mengambil benda yang disimpannya dibalik bra.

Namun tenaga Naii kalah jauh, dengan sigap Hardi mendorong tubuh sang istri dan menyebabkan wanita itu hilang keseimbangan dan akhirnya limbung terjatuh dilantai bersama kedua anaknya.

"Berani kamu, ya...! Ini apa, hah?" ucapnya dengan nada kesal sembari memperlihatkan benda yang dibungkus plastik dan tentunya berisi uang yang diinginkannya.

"Jangan, Bang.. Jangan bawa uang itu," mohon Naii dengan tangisannya yang semakin menghiba.

Hardi tak menghiraukan tangisan sang istri dan bahkan kedua anaknya yang juga menangis ketakutan tak lagi ia perdulikan.

"Ayah jahat!" teriak Ahnaf dengan nada yang penuh kebencian.

Hardi melenggang pergi meninggalkan rumah setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.

Saat bersamaan, Mbak Fhitry datang untuk melihat apa yang terjadi.

Ia berpapasan dengan Hardi yang baru saja keluar dari rumah dan menghidupkan mesin motor bututnya, lalu pergi tanpa merasa bersalah.

"Naii," ucap Mbak Fhitry yang melihat wanita itu beserta kedua anaknya terduduk dilantai, "Ya Allah, Naii," rasa iba menyeruak didalam hatinya, " Dasar Hardi keterlaluan," ucapnya dengan kesal, lalu membantu Naii untuk bangkit.

"Sebaiknya kamu berpisah saja dengan laki-laki tak berguna itu. Untuk apa kamu bertahan jika terus mengalami penyiksaan seperti ini," omel Mbak Fhitry.

Dua

"Tapi, Mbak, kasihan anak-anakku jika harus berpisah dari ayahnya. Aku juga takut jika harus meminta cerai terlebih dahulu," ucap Naii dengan sikap serba salah.

Mbak Fhitry membolakan kedua matanya, ia menatap geram pada Naii yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.

"Naii, cinta boleh, tapi bodoh jangan!" sergah wanita itu dengan kesal. Ia menganggap Naii adalah wanita terbo-doh yang mampu bertahan dengan perangai suaminya tersebut.

Naii terdiam mendengar ucapan dari mbak Fhitry. Ia menatap kedua anaknya yang kini masih memeluknya. Aliyah terlihat menangis karena seringnya melihat perlakuan sang ayah terhadap ibu mereka.

"Ahnaf tidak mau punya Ayah seperti itu. Ayah jahat sama ibu dan kita," ucap Ahnaf tiba-tiba.

"Tuh, kan, mereka saja mendukung saya. Sudahlah, lepaskan saja pria seperti itu, untuk apa juga kamu bertahan," Mbak Fhitry semakin bersemangat memprovokatori Naii.

Naii tampak berfikir. "Baiklah, nanti saya fikirkan, mbak," jawab Naii dengan lemah.

"Syukurlah, semoga mikirnya gak pakai lama, jangan nanti diajak mesra langsung luluh, terus lupa semua perbuatan buruknya," omel mbak Fhitry.

"Assallammualikum," terdengar suara ucapan salam seseorang dari depan pintu.

"Waalaikum, salam," sahut kedua wanita itu bersamaan.

Lalu terlihat pak Kasim berdiri diambang pintu dengan tatapan penagih hutang.

"Naii, mana janji kamu buat bayar kontrakannya? kemarin kamu janjikan hari ini," ucap Pak Kasim dengan wajah sangarnya.

Naii tergugup dan mere-mas jemari tangannya. Ia bingung harus menjawab apa, sebab uang tersebut sudah dibawa kabur oleh suaminya.

Wanita itu menghampiri pak Kasim. Ia meminta penangguhan waktu dan belas kasih pemilik kontrakan yang terkenal sangat kasar tersebut.

"M-maaf, Pak. Saya minta penangguhan waktunya, sebab uangnya dibawa kabur oleh Bang Hardi," jawab Naii jujur, bahkan wajahnya masih terdapat bekas tamparan pria yang tak memiliki rasa iba tersebut.

Kedua bola mata Pak Kasim membeliak. Rasa amarah memuncak diubun-ubunnya.

"Kamu ini selalu saja, besok, besok terus gak ada habisnya. Urusanmu dengan si Hardi jangan dijadikan alasan. Saya tidak mau tau, saya minta uang itu sekarang juga, kalau tidak kamu pergi tinggalkan rumah saya," hardik pak Kasim yang sudah tersulut emosi. Bahkan wajahnya memerah bersama amarahnya yang membuncah.

Naii gemetaran. Bahkan kedua anaknya bersembunyi dibalik tubuhnya karena ketakutan melihat wajah pria paruh baya tersebut.

"Eh, Pak Kasim. Punya perasaan dikit, dong. Naii lagi kesusahan, beri tangguh waktu untuknya mencari uang tersebut," sergah Mbak Fhitry yang juga tersulut emosinya.

Mendengar ucapan mbak Fhitry, pria paruh baya itu semakin terbakar emosinya.

"Eh,Mbak Fhitry, ini usaha saya, ini bisnis dan bukan Dinas Sosial apalagi yayasan sosisal yang bisa menampung para orang-orang miskin seperti mereka secara sukarela. Kalau Mbak Fhitry merasa kasihan, bayarin, dong," jawab Pak Kasim sinis.

Mbak Fhitry semakin kesal. Ingin rasanya ia menjambak kumis pria tua tersebut, tetapi Naii mencoba mencengkram pergelangan tangan wanita itu.

"Baiklah, Pak. Saya akan meninggalkan rumah ini, sebab saya tidak sanggup mengadakan uang tersebut untuk hari ini," jawab Naii.

Terlihat Mbak Fhitry ingin menyanggah ucapan Naii, tetapi wanita itu terlebih dahulu mencegahnya dengan menatap sendu.

Akhirnya mbak Fhitry mengalah dan menghembuskan nafasnya dengan berat.

"Nah, bagus dong, segera kemasi barang-barangmu, lagi pula tidak ada barang yang begitu berarti dirumah ini, semuanya hanya rongsokkan saja," cibir Pak Kasim, yang membuat rasa ngilu dihati Naii. Sehina itukah dirinya dimata orang-orang karena hanya kemiskinannya.

"Dasar, punya mulut tapi kek comberan, gak ada bersih-bersihnya," umpat Mbak Fhitry, yang akhirnya tidak dapat menahan emosinya yang sudah ia tahan sejak tadi.

Pak Kasim mencebikkan bibirnya, kemudian berlalu pergi.

Setelah kepergian pemilik kontrakan tersebut, kedua wanita itu saling pandang. "Maafin, Mbak ya, Nai. Mbak gak bisa bantu kamu untuk nutupin kontrakan. Sebab Mbak baru kirim uang buat Emy menyusun skripsinya, sedangkan Fauzan masih diluar negeri sibuk dengan pekerjaannya dan belum mengirimi Mbak uang," ungkap Wanita itu dengan rasa bersalah karena tidak mampu membantu Naii dalam keadaan tersulitnya.

"Tidak apa, Mbak. Ini memang sudah nasib saya," ucapnya dengan rasa sungkan.

Seketika raut wajah mbak Fhitry berubah menjadi gelisah, "Kamu mau tinggal dimana, Naii? Ini sudah malam. Tidak mungkin kamu mencari kontrakan malam dan membawa barang-barang beserta anak kamu," ucap Mbak Fhitry dengan khawatir.

Naii seketika tercengang. Benar apa yang dikatakan wanita itu. Ia harus kemana, apalagi ia tidak memiliki uang sepeserpun, bahkan perutnya belum sama sekali ia isi.

"Entahlah, Mbak. Mungkin saja saya akan mencari kolong jembatan dan akan tinggal bermalam disana sampai saya memiliki uang untuk membayar kontrakan," ucap Naii dengan perasaan miris dan menahan perih karena melihat kedua anaknya yang tampak memandangnya dengan penuh harapan.

Bahkan Naii tahu jika kedua anaknya itu belum makan sama sekali, sebab persediaan makanan telah habis dan ia belum sempat berbelanja, karena baru selesai berdagang keliling dan uangnya sudah diambil paksa oleh suami tak bergunanya.

Mbak Fhitry tampak prihatin melihat nasib wanita didepannya. Seketika wajahnya sumringah.

"Begini saja, kamu tidur saja dibelakang gudang milik mbak. Nanti kita bersihkan sama-sama. Kalau kamu sudah punya uang, baru kamu cari kontrakan," mbak Fhitri menawarkan bantuannya.

Seketika wajah Naii kembali ceria. "Ya Allah, Mbak. Makasih banyak buat bantuannya. Suatu saat saya akan membalas semua budi baik mbak selama ini kepadaku," ucap Naii lirih.

Mbak Fhitry hanya menyunggingkan senyum datarnya.

"Ya, sudah.. Ayo kita kemasi dulu barang-barang kamu," saran wanita tersebut.

Naii mengangguk dengan lemah, lalu mulai mengemasi barang-barangnya yang tak begitu banyak. Hanya ada selembar kasur lusuh, pakaian yang juga tak begitu layak, karena sudah sangat lama tidak membeli pakaian baru, dan jikapun ada itu karena pemberian mbak Fhitry dari pakaiannya yang sudah tidak muat lagi dengannya dan masih layak pakai.

Tampak Ahnaf yang masih berusia enam tahun dengan cekatan membantu sang ibu mengemasi barang-barangnya, sedangkan Aliyah yang masih berusia tiga tahun, hanya dapat melihat semua kesibukan itu.

Hampir pukul 9 malam, mereka selesai mengemasi barang-barang milik Naii.

Tampak mbak Fhitry membawa gerobak sorong dari rumahnya, dan membantu Naii melansir barang-barang tersebut.

Kegiatan mereka malam ini menjadi tontonan para tetangga. Mereka berkasak-kusuk melihat itu semua. Tak jarang mereka menggunjing dan mencibir nasib Naii yang sangat tragis.

"Mau pindahan kemana, Naii? Diusir dari kontrakan, ya? Sial bener nasibmu," cibir Yani dengan sinis.

"Iya.. Sudah punya laki pemalas, miskin pula," Santi menimpali.

Naii hanya mencoba menutup telinganya dari cibiran para tetangganya.

Tiga

Naii mencoba menarik nafasnya dengan berat, ibarat sudah terjatuh tertimpa tangga pula nasibnya saat ini.

"Kita mau kemana, Bu?" tanya Aliyah yang saat ini sudah tampak mulai mengantuk.

"Mau ke penampungan, tepatnya digudang," sambut Maya dengan senyum sinis.

Naii merapatkan giginya dan merasakan jika kali ujiannya sangat begitu berat.

"Bu, apa benar kita mau tidur digudang?" Sela Ahnaf dengan wajah lugunya.

"Kalau sudah miskin, tidur dimana saja juga biasa. Sudah mending Mbak Fhitry mau menampung," sambut Rani dengan gelak tawa yang semakin membuat Naii merasa down.

"Diam!! Punya mulut bisa gak sih dijaga? Mau saya nampung itu urusan saya. Bukannya bantu, tapi cuma bisa nyinyir doank," mbak Fhitry merasa jengah dengan segala ocehan mereka. Lalu ia menarik pergelangan tangan Naii untuk segera pergi dari hadapan para tetangga julid bin nyelekit.

Mereka bergegas pergi dan memilih untuk menghindari ocehan para tetangga yang saat ini akan membuat hati Naii semakin sakit.

Sesampainya dibelakang rumah Mbak Syahfitri, mereka menurunkan barang yang terlalu banyak dan juga tak begitu istimewa.

"Hanya ini yang bisa mbak lakukan, Naii. Maafkan mbak," ucap Mbak Fhitry dengan lirih.

"Ya ampun, mbak. Ini juga sudah bersyukur, andai mbak tidak memberikan tumpangan, maka saya pasti akan tidur dijalanan," jawab Naai penuh sungkan .

Sementara itu, Hardi sedang berada cafe bersama Selly si janda pirang yang saat ini menjadi primadona bagi pengunjung cafe tersebut. Banyak pelanggan yang berusaha ingin mendapatkan layanan si janda pirang yang menampilkan pesona luar biasa. Tak terkecuali Hardi yang saat ini sedang gencar untuk mendekatinya.

"Hallo, Selly cantikku," ucapnya dengan gaya yang sok maskulin. Ia menghampiri wanita malam itu dengan menyelipkan selembar uang ratusan ribu pada bra yang dikenakan oleh sang wanita malam.

"Ih, Bang Hardi, jangan dekat-dekat. Nyawer juga cuma seratus ribu doank," balas Selly acuh.

"Aduuh, jangan gitu donk, Sayang. Abang masih banyak uang, yang penting kamu pua-sin abang malam ini," rayu Hardi yang sudah melingkarkan kedua tangannya dipinggang wanita tersebut.

Sementara itu, Naii masih membersihkan gudang yang sedikit berdebu. Ia harus berbagi tempat dengan barang-barang milik Mbak Fhitry. Tetapi ini sudah sangat ia syukuri, setidaknya ia tidak tidur dijalanan ataupun kolong jembatan yang memungkinkan rawan akan tindak kejahatan.

Naii menggelar kasur lusuhnya, lalu memasang sprei untuk membuatnya lebih nyaman.

"Bu, Liyah lapar," rengek si bungsu, sembari mengusap perutnya yang rata. Ia terlihat lebih kurus dan kekurangan asupan gizi karena kondisi orangtuanya yang sangat memprihatinkan.

Naii meraaakan hatinya sangat teriris mendengar penuturan puterinya. Ia mencoba membongkar bungkusan kain yang menyimpan barang-barangnya. Ia mengingat ada dua sisa pisang goreng dari dagangannya sore tadi.

Setelah membongkar setengah barangnya, ia menemukan yang ia cari. "Ahnaf, sini, Sayang," panggilnya kepada si sulung. Ia tahu puteranya itu juga belum makan malam, tetapi lebih memilih tidak rewel, sebab mengerti kondisi ibunya.

"Iya, bu," jaqabnya. Lalu meletakkan barang yang masih tersisa diluar.

"Sini, makan. Hanya pisang goreng, makan bagi dua dengan adik, ya?" ucap Naii, sembari memberikan satu pisang goreng kepada masing-masing keduanya.

Dilain sisi, Hardi sedang berkaraoke dengan ditemani oleh Selly sebagai pemandunya. Tampak Pria itu sangat begitu senang. Ia akan menyelipkan lembaran uang ke dalam bra wanita malam itu setiap kali mendapatkan kecupan dipipinya.

"Ibu makan juga, ya," ucap Ahnaf, lalu membagi dua pisang goreng ditangannya.

Naii menggelengkan kepalanya. "Ibu sudah makan, kakak makan saja, biar cepat besar," ucap Naii ditengah kebohongannya, sebab perutnya saat ini sangat perih, karena ia memiliki penyakit maagh, itu disebabkan karena seringnya kekurangan makanan.

Ahnaf merobek sedikit pisang gorengnya, lalu menyuapkannya pada Naii, "Makanlah, Bu," pintanya dengan tatapan penuh cinta.

Naii tak mampu membendung air matanya ia akhirnya membuka mulutnya dan menerima secuil pisang goreng itu, meskipun tak memungkiri jika itu tak mampu membuatnya kenyang.

"Assallammualikum," suara mbak Fhitry dari ambang pintu.

"Waalaikum salam," jawab ketiganya serempak.

Wanita itu berjalan masuk dengan membawa sepiring nasih dan juga kelambu yang sudah tampak kusam, namun masih dapat digunakan.

"Ini makanan untuk makan malammu, hanya ini yang tersisa, tadi mbak tidak masak, sebab Kang Jaya membeli dari warung nasi," ucap wanita itu sembari menyerahkan yang ia bawa.

Naii menyambutnya. Tanpa mampu ia tahan, akhirnya air matanya tumpah juga.

"Sudahlah, jangan menangis. Kamu harus kuat, demi anak-anakmu." Mbak Fhitry mencoba membelai ujung kepala Naii untuk memberikan semangat kepadanya.

"Makasih banyak, mbak, atas semuanya," ucap Naii tergugu.

"Iya.. Hanya ini yang dapat mbak bantu untukmu. Jangan lupa kelambunya dipasang, sebab banyak nyamuk," pesan mbak Fhitry.

Naii hanya dapat menganggukkan kepalanya. Lalu tetangga yang sudah menolongnya itu berpamitan.

Ahnaf mengunci pintu gudang, dan malam ini mereka bermalam digudang milik mbak Fhitry bersama barang-barang lainnya.

"Horee, ada daging ayam, Bu," sorak Ahnaf kegirangan saat melihat sepotong daging ayam rendang yang berada diatas nasi putih yang terlihat menggunung. Sepertinya mbak Fhitry sengaja memberi banyak nasi dengan porsi bertiga.

Naii hanya dapat tersenyum kecut, sebab ia sangat jarang memberi anaknya makan enak. Dapat makan dengan garam ataupun ikan asin saja sudah sangat bersyukur, konon pula untuk membeli ayam, maka itu hanya dalam impian saja.

"Kakak dan adik mau makan?" tanya Naii, sembari menyeka air matanya yang mengalir dari sudut matanya.

Tampak kedua bocah itu bersemangat menyantab makan malamnya, dan Naii hanya memakan nasi dengan bumbunya saja.

"Enak, Bu," celoteh Aliyah dengan girangnya.

Naii hanya menaggapinya dengan senyum miris.

Sementara itu, Mbak Fhitry memasuki kamarnya dan ingin beristirahat.

"Anak-anaknya sudah makan?" tanya Jaya dengan nada lirih.

"Sudah, Kang," jawab Fhitry, sembari naik ke atas ranjang.

"Heeh..," terdengar Jaya menghela nafasnya dengan berat, "Mengapa ada manusia berhati keras seperti itu?" gumamnya lirih.

"Ya adalah, itu si Hardi, contohnya," jawab Fhitry dengan sebal. "Rasanya pengen banget aku gelitiki ginjalnya si Hardi," Fhitry menimpali ucapnnya.

"Sudahlah, yang penting suami kamu tidak seperti itu, dan kita bantu semampunya," potong Jaya.

Fhitry menganggukkan kepalanya, lalu mencoba untuk tertidur, sebab ia juga sudah lelah.

Didalam gudang, Naii memasang kelambu pemberian dari mbak Fhitry, dan menidurkan kedua anaknya.

Ia memandang wajah kedua anaknya dengan penuh iba.

"Ibu berjanji tidak akan membuat kalian sengsara lagi. Semua akan ibu lakukan untuk membuat kalian bahagia," gumam Naii lirih sembari menyapu ujung kepala kedua anaknya. Ia bertekad untuk memperbaiki hidupnya yang sangat terpuruk.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!