“Sayang, aku berangkat dulu ya. Aku ada meeting pagi ini. Nanti kamu berangkatnya hati-hati ya, banyak berita kecelakaan akhir-akhir ini,” pamit Reza pada Nindy, istrinya yang masih menyusui bayi pertama mereka.
Setelah berpamitan dan mencium kening, Reza segera melajukan mobilnya menuju kantor milik almarhum ayahnya, yang sekarang dipimpin olehnya.
1 jam kemudian, selesai menyusui dan menidurkan anaknya, Nindy bersiap diri karena ia akan mulai bekerja hari ini setelah 2 bulan cuti paska melahirkan.
Seakan tak tega meninggalkan bayinya yang masih berusia 2 bulan, ia ingin terus mendekap bayi mungilnya itu. Tetapi, mau tidak mau ia harus rela meninggalkan bayinya karena cutinya sudah habis. Sengaja hari ini ia berangkat agak siang agar lebih banyak waktu untuk si baby.
Selesai mandi dan sudah rapi dengan baju formalnya, Nindi menciumi bayi cantiknya itu begitu lama, seperti tak akan bertemu lagi.
“Mama pergi dulu ya, Sayang. Jangan rewel ya, cantiknya Mama. Sus, titip Alisha ya. Aku sudah siapkan stok ASI juga untuknya, nanti dihangatkan saja seperti yang aku ajarkan kemarin,” pamit Nindy pada baby sitter yang baru saja tiba di rumahnya.
Sus mengangguk tanda mengerti tugasnya.
Nindy dan Reza memang sengaja membayar baby sitter yang pulang pergi untuk menjaga bayi mereka selama orang tuanya bekerja, karena Nindy mau ia tetap memegang anaknya sendiri.
Baru keluar rumah, ponsel Nindy sudah berdering. Salah satu teman kantornya memintanya untuk segera sampai di kantor karena pekerjaan mereka begitu padat di akhir bulan. “Iya, ini aku sudah mau jalan kok.”
Nindy mulai melajukan mobilnya. Setiap beberapa menit sekali, ponselnya kembali berdering. Tak hanya 1 orang tapi juga beberapa orang kantornya yang menelepon. Nindy memang memiliki jabatan yang penting di bank tempat ia bekerja. Itu sebabnya, banyak dari teman-teman kantornya yang sudah tak sabar Nindy segera masuk kerja setelah cuti lama.
Hingga saking sibuknya mengangkat telepon, ia tak fokus menyetir dan tak sadar ada minibus dari arah berlawanan yang sedang menyalip kencang kendaraan di depannya. Alhasil, mobil Nindy bertabrakan begitu keras dengan minibus tersebut. Keduanya sama-sama terpental jauh dan menabrak bangunan di jalanan sekitar. Sontak beberapa orang yang berada di TKP mendekati mobil mereka.
Setelah beberapa menit kemudian, mobil ambulans datang, disusul oleh pihak kepolisian yang akan menyelidiki laka lantas ini, atas laporan beberapa orang saksi di TKP.
Sementara ambulans membawa Nindy dan pengemudi minibus yang dikabarkan tergeletak tak sadarkan diri bersimbah darah. Polisi mulai mengusut kejadian ini. Dikabarkan, bahwa ada beberapa kendaraan lain yang sempat menjadi korban atas kecelakaan ini, namun tidak parah. Hanya saja, 2 mobil yang bertabrakan ini merusak bangunan sekitarnya begitu berat, yang berarti, kecelakaan ini cukup parah.
Sementara itu, ada salah salah satu penduduk sekitar yang dengan sukarela ikut bersama mobil ambulans ke rumah sakit.
Sayangnya, saat tiba di rumah sakit, 2 pengemudi ini dinyatakan meninggal saat perjalanan, lalu pihak rumah sakit segera menghubungi keluarga korban dari identitas dan ponsel korban yang ditemukan.
Reza, yang baru saja selesai meeting, segera mengangkat telepon dari nomor tak dikenal.
Ia tampak terdiam kaku tanpa bersuara saat menyimak pembicaraan dalam panggilan itu. Raut mukanya cemas dan pilu. Tak mampu berdiri, kedua kakinya melemas hingga ambruk. Air matanya menetes perlahan.
“Nindy.”
###
Setelah jenazah Nindy dikembalikan oleh pihak rumah sakit dan selesai dimandikan juga telah disholatkan, sudah banyak para tetangga dan kerabat yang berkumpul di rumah Reza. Suara tangis kesedihan terdengar begitu memilukan. Tak hanya dari Reza yang mencoba kuat, namun juga dari Maira, adik kandung Nindy.
Nindy adalah satu-satunya keluarga Maira yang ia punya karena mereka adalah yatim piatu. Gadis yang baru saja menyelesaikan kuliahnya itu kini harus hidup sebatang kara. Selama ini, biaya kuliahnya pun dibantu oleh sang kakak. Entah bagaimana dengan kehidupannya ke depan sepeninggal kakaknya. Begitu juga dengan Reza yang belum lama mendapat kebahagiaan atas lahirnya bayi cantik, tapi seakan kesedihan juga tak mau kalah menghampirinya.
Sementara itu, setelah mendapat informasi dari pihak pemakaman, jenazah Nindy siap dikebumikan saat ini.
“Maira, mau ikut ke pemakaman?” tanya Bu Intan, mama Reza.
Maira menggeleng. Ia takut tak kuat melihat kakaknya yang akan dikuburkan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Ia memilih untuk menjaga keponakannya saja, Alisha, yang terus menangis seperti ikut merasakan kehilangan mamanya.
###
Beberapa hari ini, Maira yang sebelumnya tinggal di kos dekat kampusnya, ikut menginap di rumah Reza untuk membantu acara kirim doa kakaknya, yang akan digelar hingga 7 hari ke depan, sekaligus untuk ikut menjaga Alisha.
Hingga sampai malam hari pun, ia terpaksa bangun bahkan begadang untuk meredakan tangisan Alisha, dan memberinya susu formula sebagai pengganti ASI. Syukurnya, Alisha seakan bisa mengerti bahwa mamanya telah tiada. Bayi tanpa dosa itu pun tak lagi rewel saat di gendong oleh Maira. Mungkin, bayi itu bisa merasakan aliran darah yang sama di dalam tubuh Maira, seperti yang mengalir di dalam tubuh mamanya.
Merasa tak tega, Bu Intan meminta Maira ikut beristirahat saat Alisha mulai tertidur. “Mama dengar kamu sudah bekerja ya, Ra? Kapan mulai masuk lagi? Apa tidak lelah nanti kalau kamu terus begadang untuk Alisha?”
“Iya, Ma. Maira kerja di tempat kakaknya Sasa, teman kuliah Maira. Hitung-hitung cari pengalaman, karena masih baru lulus. Kebetulan, kantor kakaknya Sasa baru berdiri dan mencari seorang pekerja bagian admin, jadi Maira ambil saja. Maira sudah minta izin tak masuk kerja 1 minggu ini, Ma. Kemarin, Sasa dan kakaknya juga sempat ke sini," jawab Maira tersenyum hangat.
Bu Intan memang sudah lama mengenal Maira semenjak Nindy menikah dengan anaknya. Bahkan, ia meminta Maira juga memanggilnya mama, seperti Nindy. Jika Nindy sudah dianggapnya sebagai anak, maka tak beda dengan adiknya Nindy. Apalagi, mereka sudah tidak punya orang tua lagi.
Melihat ketulusan Maira mengurus cucunya, terbesit pikiran Bu Intan untuk menjadikan Maira sebagai anak mantunya, menggantikan Nindy.
“Kamu sudah punya pacar, Ra?"
...****************...
“Apa? Mama bercanda ya? Nindy baru saja meninggal, Ma, bahkan kuburannya masih basah. Mama sudah minta Reza menikah lagi. Di hati Reza masih ada Nindy, Ma. Reza juga sedang hancur saat ini, belum lagi soal Alisha, Reza sama sekali tidak memikirkan hal itu,” tegas Reza yang tak terima dengan saran sang mama yang ingin Reza dan Maira menikah.
“Mama tahu. Mama tidak memburu-buru, kok. Ini juga demi Alisha, setidaknya ia tidak kehilangan kepengurusan seorang ibu. Mama cuma kepikiran, mau sampai kapan Maira tinggal di sini? Mama cuma takut ada salah paham dari tetangga. Dia juga sudah seperti mamanya Alisha sendiri, tiap malam bangun untuk membuatkan susu, sampai rela begadang, padahal dia juga harus kerja. Baby sittermu ‘kan tidak menginap, Za. Mama juga tidak tinggal di sini, siapa yang akan menjaga dan mengurus cucu Mama. Lagi pula, mencari pengasuh yang setia dan benar itu tidak mudah. Lihat lah berita di tv, banyak pengasuh yang malah melukai anak majikannya. Mama jelas kurang setuju jika Alisha dijaga oleh pengasuhnya 24 jam! Anakmu tidak akan mendapat kasih sayang dan didikan dari seorang ibu,” tukas sang mama.
Reza seakan tetap tak mau mendengarkan saran mamanya. Ia sendiri yang akan menggantikan peran Nindy, menjadi ibu untuk anaknya. Setelah baby sitter pulang, ia yang akan mengurusnya. Sembari ia tetap mencari baby sitter yang mau menginap dan bisa bekerja dengan tulus dan benar. Sehingga Maira tak perlu tinggal di rumahnya lagi untuk mengurus Alisha.
Setelah 7 hari paska meninggalnya Nindy, Maira hanya sesekali menjenguk keponakannya, karena ia sudah masuk kerja. Sedangkan jarak rumah Reza dan kos maupun kantornya cukup jauh. Bagaimana pun, ia akan tetap perhatian pada Alisha. Sementara Reza memeras tenaganya untuk bekerja seharian dan mengurus Alisha setelahnya, sampai nanti ia mendapatkan pengasuh yang mau menginap.
Hingga 1 bulan berlalu, Reza mulai kelelahan dengan rutinitasnya. Syukurnya, sudah ada pengasuh yang melamar pekerjaan di rumahnya. Langsung saja, Reza menerimanya dan mencoba selama 1 minggu dulu.
Suatu ketika, saat ia sedang ada urusan tak jauh dari rumah Reza, Maira menyempatkan menengok Alisha. Betapa terkejutnya, ia mendapati keponakannya itu hampir saja terjatuh dari kasurnya. Meski hanya kasur bawah, namun tetap membahayakan tubuh Alisha yang masih rentan dan lemah. Kesalnya, pengasuhnya itu justru sedang asyik bermain ponsel.
Maira melaporkan kejadian ini pada Bu Intan. Ia juga menawarkan Reza melihat dari CCTV jika tak percaya. Saat pengecekan, Reza juga mendapati bahwa anaknya ternyata juga pernah terbentur 1 kali karena tiba-tiba pengasuhnya itu pergi tanpa menggendongnya. Baru 1 minggu tetapi sudah 2 kali kejadian miris ini terjadi. Merasa keponakannya tidak dijaga dengan baik, Maira meminta izin pada Reza untuk merawat Alisha.
Maira berniat ingin membawa Alisha di kosnya. Tentu, tetap dengan bantuan pengasuhnya yang lama. Sepulang kerja, ia yang akan menjaga dan mengurus Alisha. Setidaknya, Alisha masih aman di tangannya, dibandingkan jika harus diurus oleh pengasuhnya yang baru yang tak bertanggung jawab.
Bu Intan seketika menengahinya. “Tidak, tidak. Bahaya kalau Alisha di kos kamu, Ra. Banyak berita kemalingan di kos-kosan. Za, bagaimana ini? Apa mau begini terus? Apa kamu rela berjauhan dengan anakmu sendiri? Ikuti saja saran Mama demi Alisha.”
Reza tampak berpikir dan kebingungan. Entah mungkin sudah merasa terpojok dan tak ada pilihan lain, ia menyetujui saran mamanya. “Baik kalau begitu, demi Alisha, Reza mau, Ma, asalkan hanya secara agama saja.”
Seketika Maira tak paham apa yang sedang dibicarakan Reza dan mamanya. Bu Intan kemudian menjelaskan bahwa ia berniat ingin menikahkan Reza dengan Maira. Tujuannya, tak lain adalah agar Maira bisa mengurus Alisha di rumah.
“Ma, maaf. Maira hanya menawarkan merawat Alisha, bukan menjadi istrinya Mas Reza. Lagi pula, Mas Reza ‘kan suaminya Mbak Nindy yang baru berpulang. Maira tidak mungkin menggantikannya begitu saja, apa kata orang nanti?” Maira tampak keberatan dengan rencana mama Reza.
Bu Intan membujuk Maira agar mau menikah dengan Reza. Justru jika mereka tak menikah, akan mengundang prasangka warga karena Maira sering ke rumah untuk menengok Alisha. Apalagi, keduanya sama-sama single. Sementara Bu Intan juga keberatan bila cucunya dibawa ke kos oleh Maira.
“Kalau kalian sayang dengan Nindy, lakukanlah demi Alisha, anak kandung Nindy,” pinta Bu Intan memohon.
“Menikah itu tidak harus dengan cinta, tapi cinta akan hadir setelah kebersamaan dalam pernikahan itu sendiri. Contohnya Mama dan papamu dulu. Kami hanya mengenal lewat perjodohan dan akhirnya saling mencintai dan menyayangi,” lanjut Bu Intan membujuk Reza dan Maira agar mantap untuk menikah.
Bu Intan kemudian meminta Maira memikirkannya. Meski Maira sangat tak ingin jika harus menikah siri, terlebih dengan mantan suami kakaknya sendiri. Entah bagaimana rasanya nanti. Memang, menikah tak harus dengan cinta, tapi bila ia boleh memilih, lebih baik dijodohkan dengan lelaki lain.
Setelah itu, Bu Intan mempersilakan Reza dan Maira untuk mengobrol berdua, tentang kelanjutan hubungan mereka.
“Hanya demi Alisha, jadi tak usah banyak pikir. Itu kenapa aku mau kita menikah siri saja. Nanti, setelah Alisha dapat pengasuh yang benar, kita bisa bercerai. Selain itu, biar tak ada yang tahu kalau kita menikah,” tegas Reza ketus.
Maira hanya terdiam memikirkan nasibnya. Baru saja ia kehilangan kakaknya, sekarang seolah masalah kembali menghujamnya. Di satu sisi, ia tak mungkin menikah dengan mantan suami kakaknya, yang tak dicintainya. Tapi di sisi lain, ini adalah sebagai bentuk balas budinya terhadap sang kakak yang sudah merawatnya sejak mereka yatim piatu, dengan merawat Alisha.
Reza juga kembali menjelaskan apa yang dikatakan mamanya tadi bahwa menikah tak butuh cinta. “Lagi pula aku tak mungkin juga cinta denganmu. Jadi, anggap ini semua hanya demi anakku dengan kakakmu!”
Melihat Reza yang ketus, semakin membuat Maira bingung harus menerima pernikahan ini atau tidak.
“Ya Tuhan, aku harus bagaimana?”
...****************...
Setelah memikirkan matang-matang, Maira menyetujui pernikahannya dengan Reza. Entah bagaimana rumah tangganya nanti, ia tak peduli. Toh juga hanya siri, dan hanya sementara sampai Reza menemukan baby sitter yang mau menginap dan bisa bekerja dengan baik, untuk Alisha. Yang penting, Alisha aman di tangannya.
Tak pakai lama, akad pun digelar tepat 2 bulan setelah kematian Nindy. Acara itu juga hanya dihadiri oleh perwakilan tetangga dan kerabat dekat serta keluarga Reza. Meski pernikahan ini tentu menjadi perbincangan karena dirasa terlalu cepat. Namun, setelah Bu Intan memberi pemahaman pada warga sekitar, mereka seakan setuju, karena naik ataupun turun ranjang adalah hal yang wajar terjadi. Apalagi jika anak adalah alasannya, dan untuk menghindari fitnah.
Setelah penghulu dan saksi telah hadir, akad pun siap dilaksanakan.
“Saudara Reza Bara Satrio, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan saudari Maira Naraya, dengan seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar 50 juta rupiah, dibayar tunai!”
Sekian detik Reza terdiam. Seketika ia mengingat momen akadnya awal tahun lalu dengan Nindy Naraya. Dan sekarang, ia kembali berakad dengan wanita lain. Sungguh, hal yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi dalam hidupnya.
Melihat para tamu yang hadir, juga mamanya yang seakan menunggunya, Reza bergegas menyelesaikan akadnya. “Saya terima nikah dan kawinnya Maira Naraya dengan mas kawin tersebut tunai.”
“SAH!!!”
Tak ada raut wajah yang gembira antara Reza dan Maira, meski ekspresi sumringah terpancar dari para tamu, juga Bu Intan.
###
Selepas akad, Maira resmi tinggal di rumah Reza. Ia kembali menjalankan aktivitasnya untuk bekerja seperti biasa, dan mengurus Alisha sepulang kerja tentunya. Mama Reza juga langsung pulang ke rumahnya sendiri keesokan harinya setelah akad, karena beliau juga memiliki kesibukan mengurus butiknya, peninggalan sang suami, papanya Reza.
Berbeda saat menjadi iparnya dulu hingga sebelum mereka menikah, Reza begitu ramah dan baik, kini Reza begitu dingin dan kaku kepadanya semenjak rencana pernikahan itu ada, hingga saat ini. Entah karena ia belum bisa menerima pernikahan ini, atau memang dari awal tak menginginkan menikahi Maira. Yang jelas, Maira merasa bahwa mantan ipar yang sekarang menjadi suaminya itu, tak seharusnya bersikap demikian, karena ia sendiri juga tak menginginkan pernikahan ini dari awal.
“Memang dari awal aku mau menikah dengannya? Apa dikira aku suka padanya dan bahagia akan pernikahan ini? Sok sekali gayanya,” gumamnya dalam hati.
Meskipun begitu, Maira tetap berusaha menjadi istri yang baik karena ia tak mau mempermainkan janji suci yang telah diikrarkan.
Hari ini, ia mulai menyiapkan sarapan sebelum ia dan suaminya berangkat bekerja. Namun sayangnya, Reza dengan mudahnya menolak sarapan yang sudah disiapkannya dengan alasan sedang terburu-buru. Padahal, Maira sudah rela bangun pagi untuk menyiapkannya setelah semalam begadang mengurus Alisha.
“Aku bekalkan saja ya, Mas, biar bisa dimakan di jalan,” tawar Maira dengan sabar.
Tak menjawab, Reza justru pergi begitu saja tanpa berpamitan pada istrinya.
Maira hanya bisa mengelus dada lalu bersiap berangkat kerja, tak lupa berpamitan pada Alisha dan menitipkannya pada pengasuhnya yang lama, yang sudah kembali bekerja menjaga Alisha.
Hingga sampai malam hari saat Reza pulang kantor, Maira belum juga pulang ke rumah. Padahal, pengasuhnya sudah mau pulang dan Alisha masih menangis. Reza dengan sabar menggendong dan menenangkan bayinya.
Tak lama, Maira pulang dan segera mencuci tangannya.
Mendengar tangisan Alisha, ia bergegas ke kamar untuk menggendongnya. “Sini, Mas, biar aku saja.”
“Kerja jam segini baru pulang. Seperti itu yang kamu bilang mau urus Alisha? Buktinya aku juga yang harus turun tangan!” ketus Reza memberikan Alisha untuk digendong Maira.
Maira meminta maaf karena jarak rumah Reza dengan kantornya yang sedikit jauh, membuatnya pulang terlambat.
“Ya tidak apa-apa juga ‘kan kalau ia disentuh papanya dulu. Kenapa harus sewot,” balas Maira.
Hingga beberapa hari kejadian serupa terus terjadi dan membuat Reza semakin kesal. Seakan ia merasa bahwa tak ada gunanya ia menikahi Maira jika ia sendiri yang tetap harus terburu-buru pulang demi bisa mengurus anaknya. Pengasuh Alisha hanya bertugas sampai jam 6 sore saja, setelahnya, ia akan menitipkannya pada asisten rumah tangga sampai orang tuanya pulang kantor.
Sama-sama lelah, berdebat setelah pulang kantor pun tak dapat terelakkan.
“Kalau dari kosku ke kantor, jaraknya dekat, Mas, jalan kaki saja hanya 15 menit, naik ojek juga hanya 5 sampai 10 menit, pengasuhnya pasti masih mau menunggu sebentar. Makanya dulu aku berani menawarkan untuk merawat Alisha di kosku. Kalau dari rumahmu, perjalanan ke kantorku saja dengan KRL 1 jam, belum ke stasiunnya. Aku sendiri pulang kantor jam 6 sore, jelas saja aku sampai rumah sudah malam.” Maira membela diri karena memang begitu adanya.
“Aku tidak mau tahu, aku menikahimu hanya untuk Alisha. Kalau begini caranya, apa bedanya dengan aku yang mengurusnya sendiri? Tak ada gunanya menikah denganmu!” bentak Reza yang seolah tak mau peduli dengan keluhan istrinya.
Deg. Jantung Maira seakan berhenti berdegup mendengar bentakan suaminya. Baru beberapa hari menjadi istrinya, hatinya sudah dibuat teriris. Sedih dan kesal menjadi satu.
Harus begini kah mantan iparnya itu memperlakukannya?
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!