"Jangan!" Tiba-tiba pria itu berkata, seolah bisa membaca
pikiran Clara.
"Jangan berteriak atau bergerak, kumohon.
Atau mereka juga akan membunuhmu," katanya lagi.
Clara menelan ludah, ngeri. Kepanikan kembali menyergapnya ketika tepat di samping mobilnya, berdiri dua orang pria dengan senjata api di tangan yang berusaha mereka sembunyikan di balik jas hitam yang mereka kenakan. Setidaknya, pria yang membuatnya kesulitan bernapas ini tidak berbohong. Setelah kedua orang bersenjata tadi pergi, barulah Clara
berani bersuara.
"Kau membuatku tak bisa bernapas," protesnya.
Pria itu mengangkat tubuhnya dan menggumamkan maaf. Pria itu kini berlutut di depan kursi kemudi, menjebak kaki Clara di sana. Pria itu beruntung karena tadi Clara sempat memundurkan kursinya untuk mencari sepatunya. Jika tidak,
pria itu pasti sudah terjepit di sana, dengan tubuh sebesar itu.
"Jika kau macam-macam padaku, akan kuhajar kau," ancam Clara seraya berusaha menarik kakinya, karena jika Clara nekat duduk di kursi kemudi, situasinya akan semakin mengerikan.
Clara menahan diri untuk tidak menendang pria itu
ketika tiba-tiba kakinya diangkat oleh pria itu, yang ternyata hanya berusaha membantu Clara.
Begitu Clara bisa duduk di kursi penumpang, pria itu duduk di sampingnya, di kursi kemudi. Dan dengan sinar matahari menerangi pria itu, barulah Clara bisa melihat luka lebam yang parah di sisi kiri wajah pria itu. Darah yang mulai mengering juga tampak di lehernya, lalu lengannya. Kaos abu-abu dengan logo Nike di dada kiri yang dikenakannya pun sudah koyak dan penuh noda darah. Mendadak Clara merasa mual karena bau amis darah yang memenuhi mobilnya.
"Maaf, aku telah menyusahkanmu," kata pria itu pelan.
Clara tak tahu harus berkata apa. Ia hanya memperhatikan bagaimana pria itu tampak mengawasi situasi di sekitar tempat itu. Ada beberapa orang yang lewat di jalan itu, tapi tak ada tanda-tanda kehadiran dua pria bersenjata tadi. Lalu pria itu membuka pintu mobil dan keluar.
Clara masih tak dapat melakukan hal lain selain mengamati pria yang berjalan limbung di depan mobilnya itu. Clara menggigit bibir cemas ketika pria itu tampak nyaris jatuh. Clara terkesiap ketika pria itu akhirnya benar-benar jatuh. Bergegas Clara turun dari mobilnya dan menghampiri pria itu. Begitu membalikkan tubuh pria itu, Clara bisa melihat dengan jelas betapa parahnya keadaan pria itu.
Sisi kanan wajahnya yang tadi tidak terlihat oleh Clara, tampaknya terluka parah dan masih basah oleh darah. Pria itu benar-benar babak belur. Tubuh pria itu pun tampaknya terluka parah. Luka goresan di lengan dan perutnya, tempat pakaiannya juga robek, membuat Clara mual.
Ketika semakin banyak orang yang mengerumuninya, Clara meminta bantuan beberapa orang untuk mengangkat pria itu ke mobilnya. Clara hanya bisa berdoa agar pria itu tidak mati di mobilnya.
"Kumohon, tetaplah hidup. Siapa pun kau, kumohon…."
Clara terus bergumam seraya menyalakan mesin mobil.
Doa Clara dijawab erangan pelan pria itu.
"Tuan… kau baik-baik
saja?" tanya Clara.
Pria itu kembali mengerang. Clara me-
noleh ke belakang dan mengamati pria itu sekilas lalu menyimpulkan bahwa pria itu pastilah tidak membawa tanda pengenal apapun.
"Tuan… kau bisa mendengarku? Apa kau bisa menye-butkan namamu?" tanyanya lagi.
Pria itu lagi-lagi mengerang, terdengar sangat kesakitan. Hati Clara mencelos mendengarnya. Ia kembali memanggil pria itu untuk menanyakan namanya dan akhirnya pria itu menjawab lemah, " Louis… …,"
sebelum kembali tak sadarkan
diri, membuat Clara semakin panik.
" Tidak, Louis, bangunlah…," teriak Clara seraya melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.
" Louis, jangan kau berani-berani mati di mobilku, kau dengar aku?!" teriak Clara
panik seraya berusaha tetap fokus pada jalanan.
"Louis, kumohon… bertahanlah…." Clara terus bergumam memanggil pria itu sepanjang jalan, hingga akhirnya tiba di lobi rumah sakit.
Clara bergegas keluar dan memanggil perawat untuk membantunya. Beberapa perawat datang dengan membawa
ranjang dorong. Sementara mereka memindahkan Louis,
Clara memberikan kunci mobilnya pada seorang valet parkir.
" Hubungi UGD." Seorang perawat berkata pada seorang
perawat lain yang lalu pergi.
Clara berdiri di antara para perawat di sisi ranjang dorong Louis yang bergerak cepat menyusuri lorong rumah sakit itu.
" Louis, apa kau bisa mendengarku?" Clara berbicara.
" Louis, bertahanlah, kumohon…,"ucap Clara pada sosok
yang tak sadarkan diri itu.
Clara tersentak kaget ketika tiba-tiba tangan Louis menggenggam tangannya. Ketika mereka sudah tiba di depan ruang UGD, seorang perawat memintanya agar menunggu di luar, tapi tangan Louis masih menggenggam erat tangannya. Para perawat menatap Clara yang hanya bisa menggeleng pasrah.
Louis bahkan tidak sedikitpun melonggarkan pegangannya di tangan Clara meski para perawat sudah berusaha melepaskan tangannya dari Clara. Akhirnya salah seorang perawat menyuntikkan sesuatu di lengan Louis. Dan meski masih sedikit
kesulitan, akhirnya mereka berhasil melepaskan tangan Louis dari tangannya.
" Kekasih Anda pasti sangat mencintai Anda, Nona," ucap salah seorang perawat sebelum mereka membawa Louis masuk ke ruang UGD.
Selama beberapa saat Clara masih terpaku di depan pintu UGD, terlalu terkejut dengan reaksi Louis terhadapnya.
" Nona." Panggilan seorang perawat di sebelahnyalah yang akhirnya menyadarkan Clara.
" Silahkan menyelesaikan urusan administrasi dulu di depan," kata perawat itu ramah.
" Oh, iya. Baiklah," jawab Clara, lalu ia bergegas ke depan dan mengurus administrasi.
Setelah menyelesaikan urusan administrasinya, Clara kembali ke ruang UGD. Ia menunggu di depan ruang UGD dengan cemas.
Tiga jam kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan itu. Clara bergegas menghampirinya. Clara membaca sekilas tanda pengenal di dada dokter itu. Dokter Billy.
" Dokter, bagaimana keadaannya? Dia akan baik-baik saja, kan?" tanya Clara cemas.
Dokter paruh baya itu tersenyum.
" Dia pria yang kuat. Dia akan baik-baik saja. Beberapa lukanya memang sangat parah dan kepalanya juga terluka cukup parah, tapi dia akan bertahan. Walau begitu, dia mungkin tidak akan sadarkan diri sampai lima
atau enam hari ke depan," jelas dokter itu.
" Syukurlah jika dia bisa bertahan," desah Clara.
Dokter Billy mengatakan Louis akan dipindahkan ke ruang rawat, dan Clara berterima kasih sebelum akhirnya bisa duduk dengan sedikit kelegaan. Bagaimanapun, dia masih belum tenang sebelum melihat Louis dengan mata kepalanya sendiri. Beberapa saat kemudian, dokter tadi kembali dan Clara masih harus menunggu satu jam lagi sebelum para perawat akhirnya keluar untuk memindahkan Louis. Clara hendak me-
nyusul Louis, ia sempat melihat kepala Louis bergerak, tapi Dokter Billy menahannya.
" Dia belum sepenuhnya sadar, Nona. Tampaknya dia baru saja mengalami teror yang mengerikan, dan itu membuatnya merasa tak aman dalam ketidaksadarannya. Obat penenang tidak banyak membantu untuk mengatasi kegelisahannya, tapi menurut para perawat, kehadiran Anda sangat mempengaruhi dia. Karena itu, saya harap Anda bisa menenangkannya, Nona," jelas dokter itu.
Selama beberapa saat Clara masih tampak bingung, tapi kemudian ia segera menyadarkan diri dan berterima kasih pada
sang dokter sebelum menyusul Louis dengan diantarkan seorang perawat yang tinggal untuk mendampinginya tadi. Begitu Clara memasuki kamar VIP yang disewanya untuk
Louis, ia melihat seorang perawat sudah mengangkat jarum suntik sementara Louis masih bergerak gelisah dalam ketidaksadarannya. Bergegas Clara menghampiri mereka.
" Sudah cukup. Jangan berikan dia obat itu lagi. Biar aku yang mengurusnya," ucap Clara pada perawat itu.
Lalu Clara menunduk menatap Louis yang masih bergerak gelisah. Wajahnya sudah bersih dari darah, tapi masih tampak jelas lebam dan bekas luka di wajahnya. Clara sedikit membungkuk untuk mengelus rambut hitam Louis.
" Louis, tenanglah. Kau
akan baik-baik saja. Aku di sini, dan kau akan baik-baik saja." Clara berkata pada pria itu.
Lalu, perlahan Louis mulai tenang, gerakannya semakin lambat, lalu ia berhenti bergerak, benar-benar lelap dalam ketidaksadarannya. Desahan dan gumaman para perawat di belakangnya membuat Clara kembali berdiri tegak dan menatap mereka.
" Dia benar-benar mencintai Anda, Nona." Seorang perawat berkata takjub seraya tersenyum.
Mendengar komentar itu, Clara menunduk untuk kembali menatap Louis yang tampak damai dalam tidurnya. Clara dan Louis bahkan tidak saling mengenal. Tapi toh para perawat itu pun tidak tahu.
" Kami akan meninggalkan kalian. Jika ada perubahan kondisi pasien, atau ada yang Anda butuhkan, Anda bisa menghubungi kami lewat interkom," Jelas salah seorang perawat.
Clara mendongak untuk menatap mereka dan mengangguk. Setelah ia berterima kasih, para perawat pun meninggalkan ruangan itu. Tapi sempat Clara mendengar perawat yang takjub dengan pengaruhnya pada Louis tadi berbisik,
" Romantis sekali, ya?" Clara hanya bisa mendesah dan kembali menunduk menatap Louis.
" Cepatlah bangun dan bereskan kekacauan ini, Louis.
Siapa pun kau…," desah Clara putus asa.
***
Ini sudah hari ketiga Clara cuti bekerja untuk menjaga Louis. Pria itu sama sekali tidak membawa tanda pengenal apapun, bahkan tidak dengan ponsel. Dan Clara tak tahu harus menghubungi siapa. Lagipula, ia khawatir jika sampai terjadi sesuatu pada Louis. Dan sebagai konsekuensinya, Clara harus mengerjakan sebagian tugasnya di kamar rawat itu. Clara sedang mengerjakan salah satu proyek desain untuk pesta perusahaan, ketika ia mendengar Louis mengerang. Bergegas Clara mengesampingkan pekerjaannya dan
menghampiri Louis. Inilah yang membuat Clara tidak tenang jika harus meninggalkan Louis sendirian.
" Louis, kau aman bersamaku. Kau baik-baik saja, tenanglah…." Clara menenangkan Louis seraya mengelus lembut bagian kepala Louis yang tidak terluka.
Beberapa saat kemudian, Louis kembali tenang. Clara mendesah ketika tatapannya
jatuh pada perban yang membalut kepala Louis. Pasti sakit, pikirnya muram.
Clara lalu menggenggam tangan Louis. Tangan besar yang beberapa hari lalu memegangnya erat seolah takut ditinggalkan olehnya. Pria sebesar Louis, apa yang ditakutkannya? Clara tersenyum kecil.
" Kau harus cepat sembuh, Louis. Kau dengar aku? Kau harus cepat sembuh, kau harus segera bangun," ucap Clara.
Saat ini, mungkin Louis sama sekali tak mendengarnya, tapi Clara terus saja berbicara, meminta agar Louis segera
membuka matanya. Memang, dokter berkata Louis tidak akan terbangun sampai beberapa hari lagi, tapi Clara tidak sabar menunggu untuk memastikan bahwa Louis baik-baik saja. Ia takut, jika tidur terlalu lama, Louis tidak akan mau bangun lagi. Clara memandangi wajah Louis yang berangsur pulih dari luka dan lebamnya itu. Lukanya sudah tidak separah ketika mereka bertemu dan kini Clara bisa melihat pesona yang dimiliki Louis.
Tulang pipi yang tinggi, menggambarkan keangkuhannya, hidung yang sedikit bengkok, seakan pernah patah beberapa kali, dan bakal janggut yang mulai tumbuh di dagu dan pipinya, membuat Louis tampak semakin….
" Aku pasti sudah gila." Clara tersadar dari apa yang dipandanginya dan menggoyangkan kepalanya.
Clara melepaskan tangan Louis, tapi sekarang justru tangan Louis yang menggenggam erat tangannya, membuatnya terhenyak. Clara menatap Louis lekat, tapi tampaknya pria itu masih belum sadarkan diri. Clara tersenyum sendu.
" Tidak perlu cemas, Louis. Aku
akan menjagamu. Aku tidak akan meninggalkanmu," ucap Clara seraya membalas genggaman tangan Louis, lalu duduk di samping tempat Louis berbaring.
Clara menatap wajah Louis, lalu turun menatap tangan mereka yang saling menggenggam, dan ia pun tertawa kecil.
" Tampaknya kau adalah seorang pria yang sangat kuat. Tapi saat ini, kau seperti seorang anak kecil yang takut tersesat," katanya geli.
Clara tersenyum seraya menyandarkan kepalanya di atas ranjang, di samping tangan mereka yang bertaut. Ia masih menatap Louis, tak sedikitpun merasa bosan menatap wajah tampan itu.
***
Berkali-kali Louis merasa gelisah karena kembali pada hari penyiksaan itu, tapi kemudian terdengar suara dan sentuhan malaikat yang menenangkannya, berkata dia akan baik-baik saja. Dan ketika tangan malaikat itu ada di dalam genggamannya, tak ada lagi yang bisa ia cemaskan. Seperti saat ini, ia merasa sangat tenang. Beberapa saat lalu, malaikatnya itu membisikkan kata-kata yang membuat Louis tenang, seperti biasanya.
" Tidak perlu cemas, Louis. Aku akan menjagamu. Aku tidak akan meninggalkanmu," kata malaikat itu tadi.
Mendengar bahwa malaikatnya itu tidak akan meninggalkannya, membuat Louis luar biasa tenang. Dia tidak akan meninggalkanku, Louis terus berkata
pada diri sendiri. Kalimat itu memberinya kekuatan lebih untuk
bertahan.
Louis bukanlah orang yang sanggup berdiam diri selama ini. Dan ia sama sekali tak menyukai gagasan ia harus terbaring tak berdaya seperti ini. Tapi dengan tangan malaikat itu di genggamannya, rasanya Louis bisa tidur untuk selamanya. Tapi tadi malaikatnya itu memintanya untuk membuka matanya. Jadi seharusnya Louis membuka matanya dan bukannya semakin terbuai seperti ini. Hanya saja, sedari tadi ia mencoba, berusaha, dan gagal. Matanya terasa sangat berat untuk dibuka dan saat ini ia hanya bisa melihat kegelapan. Yah,
ini bukan kegagalannya yang pertama, memang, tapi Louis jarang menemui kegagalan dalam misinya. Ia selalu melakukan yang terbaik, menjadi yang terbaik. Tidak adil rasanya jika membuka mata untuk malaikatnya saja ia tidak sanggup.
Louis berusaha lebih keras untuk keluar dari kegelapan itu, lalu dirasakannya rasa sakit di sekujur tubuhnya. Sialan, orang-orang itu memang berniat membawanya ke jurang kematian. Louis bersumpah, ia akan membalas mereka. Louis bersyukur
karena setiap kali rasa sakit dan mimpi buruk menyerangnya, malaikatnya ada di sampingnya.
Tapi kemudian, musuh-musuhnya itu datang. Kepanikan menyergapnya. Malaikatnya ada di sampingnya, bagaimana jika mereka melukai malaikatnya? Louis menggenggam tangan kecil malaikatnya itu semakin erat. Malaikatku ini tampak sangat rapuh, dia tidak akan bert-
ahan jika sampai sesuatu yang buruk terjadi padanya. Tidak! Jika sampai orang-orang itu menyentuh malaikatnya, Louis akan
membunuh mereka. Dan jika sampai mereka menyakiti malaikatnya….
Tidak! Mereka tidak boleh melakukannya. Louis akan membunuh mereka sebelum mereka sempat menyentuh malaikatnya. Tapi saat ini, ia sama sekali tidak bisa bergerak, dan orang-orang itu semakin dekat.
Jika orang-orang itu menyentuh malaikatnya….
Tidak!!!
Louis tersentak bangun, tersengal kehabisan napas dan diliputi ketakutan yang membuatnya mual. Louis tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Perasaan ini….
Louis berusaha menenangkan dirinya ketika menyadari bahwa saat ini ia aman. Orang-orang itu tidak ada di sana. Louis menatap sekelilingnya dan bisa menduga ia berada di rumah sakit. Louis lalu menunduk untuk menatap tangannya yang menggenggam erat tangan seorang gadis yang terlelap dengan kepala bersandar di ranjangnya itu. Khawatir menyakiti gadis itu, Louis melonggarkan genggamannya, lalu dengan sangat lembut melepaskannya.
Gadis ini… apakah dia malaikat yang selalu hadir menyelamatkan dan menenangkan Louis? Louis tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena sebagian tertutup rambut hitam yang panjangnya mungkin sampai punggungnya. Rambutnya dibiarkan terurai seperti itu, membuat kelelahan semakin tampak jelas dari sosok itu. Louis kesal memikirkan gadis itu pasti sangat kelelahan hingga tertidur di kursi seperti ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!