Zunmia Adiana adalah seorang gadis cantik yang terbiasa hidup mandiri. Sosoknya yang ceria dan penyayang membuat semua orang di sekitarnya sangat menyeganinya.
Namun hari ini sosok ceria yang melekat padanya mendadak sirna karena sang nenek tercinta pergi meninggalkan nya untuk selamanya karena penyakit komplikasi yang di deritanya.
“Nek.. Kenapa nenek tinggalin Diana nek?” Lirihnya menatap dan mengelus nisan neneknya.
Diana tidak menyangka jika sang nenek akan pergi begitu mendadak. Padahal sebelum Diana berangkat bekerja neneknya masih baik baik saja. Tapi di tengah dirinya sedang bekerja melayani para pelanggan di toko sembako tempat nya bekerja, tiba tiba tetangganya yang juga adalah ibu kontrakan pemilik rumah yang di sewa oleh Diana dan neneknya menelepon nya dan mengabarkan bahwa neneknya jatuh di kamar mandi. Diana yang khawatir langsung bergegas pulang dan meminta izin pada pemilik toko sembako tempat nya bekerja. Namun sayang nyawa neneknya tidak tertolong. Neneknya meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Diana memejamkan kedua matanya. Rasanya masih teringat dengan jelas senyuman manis sang nenek pagi tadi saat Diana berpamitan untuk berangkat bekerja. Diana tidak menyangka jika semuanya akan terjadi. Neneknya pergi tanpa mengatakan pesan apapun padanya. Pergi meninggalkan nya untuk selamanya.
“Sudah neng.. Jangan nangis terus. Nanti kalau neng Diana nangis terus, neneknya nggak tenang.” Ujar tetangga pemilik kontrakan, Bu Jumi biasa pemilik kontrakan itu di panggil.
Diana menganggukkan kepalanya. Dengan kasar Diana menyeka air mata yang membasahi pipinya. Meski Diana tidak tau akan seperti apa hidupnya setelah ini tanpa nenek yang selalu menjadi penyemangat nya, tapi Diana mencoba untuk tegar. Diana tidak ingin neneknya merasa berat dan tidak tenang meninggalkan nya.
“Iya Bu..” Jawabnya.
“Ya sudah kalau begitu saya duluan ya neng..” Bu Jumi menyentuh lembut bahu Diana sebelum melangkah kedua kakinya meninggalkan Diana yang masih setia duduk bersimpuh di samping pusara sang nenek.
Jika boleh meminta, Diana sebenarnya ingin neneknya selalu ada untuk nya, menjadi penyemangat dalam hidupnya. Tapi Diana tau semuanya adalah takdir yang telah Tuhan gariskan untuk nya.
“Hh.. Nek.. Maafin Diana ya kalau selama ini Diana nggak bisa bahagiain nenek. Nenek yang tenang yah.. Diana akan baik baik saja disini nek.. Diana akan sering sering kunjungin nenek kesini. Nenek nggak usah khawatir, meskipun memang Diana akan merasa sangat sedih dan kesepian tanpa nenek, tapi Diana pasti bisa melalui semua ini nek.. Diana akan tetap semangat. Dan nenek, nenek akan selalu ada di hati Diana.” Gumam Diana panjang lebar.
Gadis cantik dengan pakaian serba putih itu menarik napas dalam dalam kemudian menghembuskan nya perlahan. Dia mencoba mengusir rasa sesak yang menghimpit dadanya. Meskipun ujian hidupnya kali ini sangatlah berat, tapi Diana yakin dirinya pasti bisa melaluinya.
Setelah merasa yakin dengan dirinya sendiri, Diana pun mulai berdiri dari duduknya. Senyumnya mengembang menatap pusara sang nenek yang di penuhi bunga. Detik itu juga air mata kembali menetes membasahi pipinya, namun dengan cepat Diana mengusap nya.
“Diana pulang dulu ya nek.. Nenek yang tenang disana. Diana akan baik baik saja. Diana akan terus semangat melangkah meski harus tanpa ada nenek lagi di samping Diana.” Diana kembali bergumam pelan. Gadis itu berusaha mengikhlaskan segalanya. Mengikhlaskan takdir yang telah Tuhan gariskan dalam hidupnya.
Sekali lagi Diana menghela napas. Kali ini dengan sedikit kasar. Setelah itu Diana memutar tubuhnya dan mulai melangkahkan kakinya pelan menjauh dari makam sang nenek. Ujian yang Tuhan berikan dengan mengambil neneknya dari sisinya adalah ujian terberat bagi Diana. Tapi Diana yakin Tuhan pasti punya rencana yang lebih indah ke depan nya untuk masa depan nya.
Dalam diam Diana terus melangkah menapaki jalan kampung yang lumayan sepi sore itu. Pikiran nya terus bekerja memikirkan tentang apa yang akan gadis itu lakukan setelah kepergian neneknya. Diana bahkan bingung harus bagaimana dan melakukan apa nanti di rumah dalam sendirinya. Karena biasanya Diana selalu melakukan segala hal dengan neneknya.
Sekitar 20 menit berjalan kaki, Diana pun sampai di depan rumahnya. Lokasi pemakaman neneknya memang tidak jauh dari rumah yang dia sewa.
Keryitan muncul di kening Diana ketika mendapati ada mobil mewah yang terparkir di halaman depan rumah sederhana yang menjadi tempat tinggalnya. Diana tau siapa pemilik mobil itu, yang membuat Diana heran dan bertanya tanya adalah untuk apa si pemilik mobil tersebut datang ke kediaman nya. Padahal Diana merasa tidak menghubungi apa lagi memberitahu perihal tentang meninggalnya sang nenek.
Penasaran, Diana pun melangkah menuju rumah nya. Disana dia mendapati pintu rumah nya sudah terbuka.
Begitu Diana masuk, dia langsung di sambut dengan tatapan sinis dari seorang wanita yang tidak lain adalah ibu tirinya.
“Ayah...” Diana mendekat pada ayahnya yang duduk di sofa ruang tamu kemudian menyaliminya bergantian dengan ibu tirinya.
Pria yang di panggil Ayah oleh Diana menghela napas pelan. Dia adalah Randy, ayah kandung Diana. Ayah yang tidak pernah sedikitpun perduli pada Diana sejak dirinya memutuskan pergi dengan istrinya yang sekarang. Tepatnya ketika Diana masih berusia 2 tahun yaitu 21 tahun yang lalu.
“Ayah turut berduka cita atas meninggalnya nenek yah...” Katanya mengusap pelan bahu Diana.
Diana mengangguk pelan dengan senyum paksanya. Selama ini Ayahnya hampir tidak pernah datang untuk mengunjungi nya. Bahkan saat wisuda sekolah neneknya menelepon dan meminta ayahnya untuk datang Ayahnya beralasan sibuk dan tidak bisa hadir di moment penting tersebut.
“Yah.. Namanya orang sudah tua, kasihan kan kalau terus menderita sakit. Tuhan pasti sangat menyayangi nenek kamu Diana. Dan Tuhan pasti sudah menyiapkan tempat yang sangat indah untuk nenek kamu.”
Diana menoleh menatap pada ibu tirinya mendengar apa yang terlontar dari bibir merah menyala wanita yang sudah menyakiti mendiang ibu kandungnya. Diana tau itu dari neneknya. Ayahnya lebih memilih lari dengan istri yang diam diam di nikahinya tanpa sepengetahuan ibu Diana, meninggalkan luka yang membuat ibu Diana akhirnya menyerah dan mengakhiri hidupnya karena sakit hati dan kecewanya.
“Apa maksud Tante bicara seperti itu?” Tanya Diana yang langsung tersulut emosi.
“Sudah sudah tidak perlu ribut ribut.” Lerai Randy yang tidak ingin jika sampai anak dan istrinya berdebat.
“Diana, lebih baik sekarang kamu kemasi semua barang barang kamu. Kamu ikut sama Ayah sekarang. Ayah bantu kamu berkemas. Ayo..”
Diana sudah membuka mulutnya hendak berkata sesuatu, namun Randy sudah lebih dulu meraih pergelangan tangannya dan menariknya mengajaknya melangkah menjauh dari Sari, istri keduanya.
Randy benar benar tidak mengizinkan Diana untuk bertanya akan kemana dia membawanya. Randy hanya beralasan kasihan pada Diana yang tinggal seorang diri setelah meninggalnya sang nenek.
“Ayah tunggu.”
Randy baru saja mengantar Diana ke kamar yang akan Diana tempati saat Diana menghentikan langkahnya. Dia menghela napas kemudian memutar tubuhnya menatap Diana yang menatap nya dengan tatapan tidak mengerti.
“Apa maksud Ayah membawa aku kesini? Aku nggak mau tinggal disini yah.. Aku mau tinggal di rumahku saja.”
Randy tersenyum. Dia menepuk pelan pipi chuby putri sulungnya. Ya, Randy memang sengaja memboyong Diana ke rumah nya. Bahkan meski nenek Diana tidak meninggal pun Randy akan tetap membawa Diana.
“Ayah cuma nggak mau kamu kesepian nak. Menurutlah. Jadi anak yang baik. Sekarang lebih baik kamu istirahat. Nanti jam 7 Ayah akan mengajak kamu ke suatu tempat.” Katanya tenang.
Diana menyipitkan kedua matanya. Entah kenapa Diana merasa ada sesuatu yang sedang di sembunyikan oleh Ayahnya.
“Ayah tapi...”
Tidak ingin mendengar apapun yang Diana katakan, Randy pun berlalu begitu saja. Dia menutup pintu kamar bercat putih itu dan menguncinya dari luar berjaga jaga agar Diana tidak bisa pergi darinya.
“Maafkan Ayah Diana.. Tapi Ayah benar benar tidak punya pilihan lain lagi. Kamu harus membantu Ayah kali ini.” Senyum Randy bergumam pelan. Pria itu menoleh menatap pintu bercat putih itu kemudian berlalu begitu saja tanpa sedikitpun memikirkan bagaimana perasaan putri sulungnya yang baru saja di rundung duka karena kehilangan neneknya.
Sementara di dalam kamar dengan nuansa putih itu Diana terdiam. Dia duduk di tepi ranjang dengan koper berisi baju bajunya yang masih berada di depan nya. Diana tau Ayahnya tidak pernah perduli padanya. Karena itulah Diana sangat yakin Ayahnya pasti punya niat terselubung membawanya ke kediaman mewahnya. Apa lagi mengingat ibu tirinya yang sedikitpun tidak pernah menyukainya, sudah pasti setelah ini akan ad hal buruk yang menimpanya.
Sejenak pikiran Diana melayang. Dia membayangkan dirinya yang akan di jadikan pembantu di rumah itu dengan berbagai makian dan cacian dari ibu tiri juga adik tirinya seperti di dalam dongeng Cinderella. Bahkan Diana juga membayangkan dirinya yang akan di siksa tanpa mengenal waktu.
Diana menghela napas kasar. Entah akan seperti apa hidupnya setelah ini. Apa lagi sekarang tidak ada neneknya yang selalu mendukung dan memberi semangat padanya.
“Tuhan.. Hamba pasrahkan segalanya padamu..” Batin Diana memejamkan kedua matanya.
-------------
“Fathan.”
Seorang pria tampan dengan pakaian formal serba hitam baru saja hendak masuk ke dalam mobilnya saat tiba tiba seorang wanita cantik memanggilnya. Dia adalah Fathan Pramudya Lesmana. Anak tunggal dari Pengusaha kaya raya yang terkenal dengan kedermawanan nya, Martin Lesmana.
Sedang seorang wanita cantik yang memanggilnya adalah Gaby Lesmana, istri dari Martin Lesmana yang tidak lain adalah wanita yang melahirkan Fathan.
Fathan menoleh dan tersenyum manis saat mendapati sang mamah yang sedang melangkah mendekat kearah pintu utama kediaman mewah mereka.
“Ya mah..”
“Ada yang ketinggalan sayang..” Ujar Gaby tersenyum sambil menunjukan ponsel milik Fathan yang di pegang nya.
Fathan terkekeh geli melihat benda pipih itu di tangan sang mamah. Fathan memang sering melupakan nya.
Fathan kembali menutup pintu mobilnya kemudian mendekat pada sang mamah yang sudah berdiri di ambang pintu utama kediaman mereka. Fathan mengambil ponsel miliknya dari tangan sang mamah kemudian mencium kening mamahnya sekilas.
“Thank's mah..” Katanya.
“Heum... Sama sama..” Senyum Gaby manis. Putranya memang sangat romantis dan penuh perhatian. Meski memang sedikit pelupa.
“Ya sudah kalau begitu Fathan kembali ke kantor.”
“Eum.. Jangan lupa nanti malam. Kita harus datang tepat waktu.”
“Tidak masalah.” Senyum Fathan mengedipkan satu matanya pada Gaby.
“Hati hati..” Titah Gaby lembut pada Fathan.
“Hem..” Balas Fathan yang kemudian kembali melangkah menuju mobil dan masuk ke dalamnya. Pria tampan yang namanya juga sudah tidak asing lagi di telinga publik itu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang berlalu dari pekarangan luas kediaman keluarga nya.
Gaby tersenyum menatap mobil mewah putranya yang mulai keluar dari pekarangan luas kediaman mereka. Gaby dan Martin memang sedang merencanakan perjodohan dengan teman lama dari Martin sendiri yaitu Randy. Dan malam ini mereka sudah berjanji akan mempertemukan Fathan dengan putri dari Randy yang Gaby ketahui sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Apa lagi Gaby juga sering bertemu dengan putri Randy yang terkenal sangat ramah dan baik pada semua orang. Gaby berharap Fathan akan menyukai putri Randy.
“Dengan begini kita akan impas Randy, putri kalian menjadi menantuku dan hutang hutang kalian di anggap lunas.” Senyum Gaby bergumam pelan.
------------
Dalam kesepian nya, Diana merasakan waktu begitu cepat berlalu. Dan sekarang Diana sedang berada dalam perjalanan menuju tempat yang Diana sendiri tidak tau bersama Ayah dan ibu tirinya.
“Kamu sudah telepon Martin belum? Aku nggak mau loh kalau kita menunggu terlalu lama nantinya disana.”
Diana yang sedang fokus menatap jalanan padat malam ini melirik sekilas pada Sari. Entah apa maksud dari ucapan ibu tirinya itu, Diana tidak tau. Apa lagi Sari juga menyebutkan nama orang yang entah siapa.
“Sudah.. Kamu tenang saja.. Ayah pastikan begitu kita sampai, Martin dan keluarganya sudah berada disana.” Sahut Randy tenang sembari terus fokus dengan kemudinya.
Diana menelan ludah. Entah kenapa tiba tiba Diana berpikir Randy dan Sari berniat menjualnya pada pria bernama Martin itu. Dan membayangkan dirinya yang akan di serahkan pada pria yang tidak Diana tau bagaimana rupanya, muda atau tua, kejam atau baik. Diana merasa bergidik ngeri. Ketakutan mulai menghampiri nya sekarang.
“Tuhan.. Tolong hamba...” Ringis Diana yang hanya bisa berharap pada pertolongan sang kuasa malam ini.
Diana tau dirinya tidak akan bisa kabur dari cengkraman Ayah dan ibu tirinya malam ini. Bukan tidak berani, Diana hanya tidak tau harus kemana jika memang hendak pergi dari keduanya mengingat sekarang dirinya berada jauh dari kampung halaman.
“Nek.. Diana takut...” Batin Diana. Rasanya gadis itu ingin berteriak meminta pertolongan pada siapa saja. Tapi Diana tau itu tidak mungkin dia lakukan. Orang orang di kota besar tempat nya berada sekarang tidak seperti orang orang di kampung nya yang saling perduli satu sama lain.
15 Menit kemudian, mobil Randy berhenti tepat di depan sebuah restoran mewah yang ramai pengunjung. Diana semakin merasa was was. Dia merasa bahaya itu semakin dekat mengancamnya.
“Ayo turun. Jangan membuat malu loh nanti di depan teman Ayah. Manut saja apa yang Ayah bilang.” Ketus Sari sebelum turun dari mobil pada Diana.
Diana benar benar merasa tidak berdaya untuk menolak ajakan Ayah dan ibu tirinya. Gadis itu meskipun di kuasai rasa takut yang begitu besar namu tetap mengikuti langkah Randy dan Sari masuk ke dalam restoran mewah itu. Dan di tengah keramaian itu Diana merasa semua orang sedang menatap sinis kearahnya. Padahal pada kenyataannya para pengunjung restoran itu sedang fokus dan mengobrol sendiri sendiri tanpa ada yang sedikitpun perduli pada keberadaan Diana di sana. Hal itu terjadi karena perasaan Diana yang sedang tidak menentu. Antara takut, gugup, juga malu.
Langkah Randy dan Sari berhenti yang otomatis juga membuat Diana menghentikan langkahnya.
“Maaf membuat kalian menunggu lama. Jalanan malam ini lumayan padat.” Ujar Randy tersenyum pada Martin dan Gaby, istrinya.
“Ah ya.. Tidak masalah. Lagi pula Fathan juga masih berada dalam perjalanan menuju kesini. Maklum, aktivitas nya sangat padat.” Balas Martin yang berdiri dari duduknya untuk menyambut kedatangan teman lamanya.
“Silahkan duduk..” Kata Martin kemudian.
Randy menganggukkan kepalanya. Pria itu menarik kursi dan menduduki nya begitu pula dengan Sari, istrinya.
Gaby yang merasa tidak mengenali sosok Diana menyipitkan kedua matanya.
“Ini siapa? Mana Manda?” Tanya Gaby beralih menatap pada Randy dan Sari bergantian. Yang Gaby tau memang Manda yang akan di jodohkan dengan Fathan.
Randy dan Sari yang baru mendudukkan dirinya di kursi sama sama tertawa pelan. Mereka saling menatap sesaat sebelum akhirnya menatap pada Martin dan Gaby yang terlihat bingung juga penasaran.
”Ah ya Tuhan.. Maaf aku lupa.” Tawa pelan Sari yang kembali berdiri dari duduknya.
Sari kemudian merangkul Diana dengan lembut.
“Ini anaknya Randy dari mendiang istri pertamanya.. Namanya Zunmia Adiana. Kalian bisa memanggilnya Diana.”
Diana yang di perkenalkan oleh Sari pada Martin mau tidak mau harus tersenyum ramah pada Martin dan Gaby. Dan demi menjunjung tinggi etika dan kesopanan nya, Diana pun berinisiatif menyalimi Martin dan Gaby bergantian.
Martin dan Gaby yang merasa tidak biasa dengan sikap sopan Diana hanya diam saja. Padahal biasanya setiap bertemu dengan siapapun yang lebih muda dari mereka hal pertama yang di lakukan oleh gadis muda seperti Diana adalah memeluk dan bercipika cipiki. Tapi tidak untuk sekarang karena Diana menyaliminya begitu sopan.
“Kok aku baru tau kamu punya anak selain Amanda, Randy?” Tanya Martin setelah Diana menyaliminya.
“Ya.. Kebetulan Diana juga baru datang. Namanya anak muda jaman sekarang yah maunya hidup mandiri. Jadi dia baru mau pulang ke rumah setelah bosan dengan dunia luar.” Jawab Randy di sertai kekehan gelinya.
Gaby yang mendengar itu merasa aneh. Ingin sekali rasanya Gaby banyak bertanya mengenai Diana, namun Gaby sadar waktunya tidak pas.
“Lalu bagaimana dengan Manda?” Tanya Martin lagi. Tidak jauh berbeda dengan pemikiran istrinya Gaby, Martin juga berpikir Manda lah yang akan menjadi istri putranya, Fathan.
“Ah ya.. Dengan berat hati aku harus katakan ini. Manda tidak bisa pulang karena sedang ada ujian. Jadi aku dan Randy membawa Diana sebagai gantinya.” Kali ini Sari yang menjawab.
Diana sudah menduga. Dirinya pasti akan di jadikan alat oleh Ayah dan ibu tirinya demi melindungi Amanda, adik tirinya dari hasil pernikahan atau lebih tepatnya anak hasil dari perselingkuhan Randy dan Sari dulu di belakang mendiang ibunya, Lily.
Martin dan Gaby saling menatap mendengar penjelasan dari Randy dan Sari. Sebenarnya mereka sangat kecewa namun melihat sosok pendiam dan sopan Diana mereka pun hanya diam saja dan memilih memendam rasa kecewa itu.
Tidak lama kemudian pesanan makan malam Martin dan Gaby datang. Mereka segera menikmati hidangan lezat makan malam mewah itu. Gaby sesekali memperhatikan Diana yang terlihat jelas tidak nyaman berada di mereka. Namun jauh di dalam lubuk hati Gaby, dia merasa bahwa sosok Diana adalah sosok yang sedang merasa tertekan dan terancam. Apa lagi melihat komunikasi antara Sari dan Diana yang menurutnya sangat kaku dan tidak biasa.
Di tengah mereka sedang menikmati hidangan itu, ponsel milik Gaby berdering. Gaby segera meraih ponsel yang ada di dalam tas branded nya dan tersenyum begitu melihat nama kontak Fathan yang tertera di layar benda pipih itu.
“Ya halo nak...”
“Mamah maaf.. Kayanya Fathan nggak bisa datang ke tempat yang mamah kirim alamatnya. Fathan ada pertemuan mendadak dengan rekan bisnis yang tidak bisa Fathan tunda mah..”
Senyuman di bibir Gaby seketika sirna mendengar apa yang Fathan katakan lewat sambungan telepon. Padahal Gaby pikir putranya itu menelepon karena sudah ada di depan restoran tempat mereka janji temu.
“Begitu ya? Ya sudah nggak papa.. Kamu hati hati ya sayang. Jangan pulang kemalaman.” Hela napas Gaby mencoba untuk mengerti dengan kesibukan putra semata wayangnya itu.
“Kenapa sayang?” Tanya Martin pada istrinya.
“Ini katanya Fathan nggak bisa dateng. Ada pertemuan mendadak dengan rekan bisnisnya.” Jawab Gaby dengan helaan napas pelan.
Randy juga Sari yang mendengar itu saling menatap. Keduanya merasa sangat kecewa karena Fathan tidak bisa datang malam ini. Namun mereka berdua tidak berani mengatakan apapun karena takut menyinggung perasaan tuan dan nyonya Lesmana.
Gaby kemudian kembali memusatkan perhatian nya pada Diana. Entah kenapa Gaby merasa ingin kenal lebih dekat dengan Diana.
“Eum.. Randy, Sari.. Bagaimana kalau malam ini Diana ikut dengan kami? Yah.. Supaya nanti bisa bertemu dengan Fathan di rumah.”
Ucapan Gaby membuat kedua mata Diana membulat dengan sempurna. Dari gelagatnya Diana merasa Gaby dan Martin adalah orang baik. Namun Diana juga tidak bisa memastikan apakah pemikiran nya tentang Gaby dan Martin benar atau malah justru sebaliknya.
“Ah ya ya.. Tentu saja. Silahkan. Nggak papa kok.. Diana juga pasti mau kok. Iya kan sayang?” Senyum lebar Sari yang kemudian menatap Diana dengan tatapan mengancam memaksa agar Diana mau ikut dengan Gaby dan Martin.
Diana menelan ludah. Gadis itu benar benar takut sekarang. Ingin rasanya Diana berlari sekencang kencangnya menghindar dari semua orang yang ada di sana. Tapi Diana bingung harus berlari kemana.
“Kamu mau kan ikut om sama Tante Diana?” Tanya Gaby memastikan sendiri pada Diana.
Diana hanya diam saja. Dia benar benar tidak tau harus bagaimana sekarang. Namun diam diam Sari menendang kakinya menyuruh agar Diana menjawab iya akan pertanyaan yang di ajukan Gaby pada Diana.
Sementara Randy, pria itu terus menatap putrinya dengan senyuman yang menyiratkan agar Diana mengiyakan ajakan Gaby. Pasangan suami istri itu dengan kompak memaksa dan menekan Diana agar Diana mau ikut dengan Gaby dan Martin tanpa sedikitpun memikirkan bagaimana perasaan Diana saat itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!