Hi Leute!
Cerita ini pengarang bumbui dengan real yang ada, tetapi setiap bab pada cerita didominasi oleh fiksi. Jadi sebagai pembaca jangan langsung nge judge karya penulis. Dimohon tidak ada disangkut pautkan dengan pekerjaan ataupun kenyataan tentang tokoh yang tidak penulis sertakan pada cerita.
So, jangan lupa untuk terus membaca karya penulis, memberi dukungan dan follow akun ig: ist_goliteratur
Pembaca diperkenankan menyebut penulis dengan Acacya.
...******HAPPY READING******...
...♡♡♡...
Masa kecil Gustaaff
Rarakan mega mulai membiru, menyinari Leer, Jerman. Kota dengan objek wisata Schloss Evenburg, tempat lahirnya tokoh terkenal pada zaman Belanda, yaitu Gustaaff Willem Baron Van Imhoff. Anak kecil dengan rambut blonde turunan dari sang ayah serta wajah nan rupawan bak Dewa Apollo mitologi Yunani.
Berasal dari golongan elite. Tidak kekurangan apapun apalagi harta. Bahkan hingga delapan turunan, beruntung sekarang Gustaaff keturunan keenam.
Ayahnya seorang penguasa bumi dan segala isinya di negeri Frieslandia Timur, pemimpin yang diktator, Willem Hendrik Baron van Imhoff. Siapa saja harus tunduk dan jangan sekali-kali berani menyimpang dari aturannya jika terjadi, semua akan usai.
Isabella Sophia Boreel, ibunya. Walaupun Gustaaff secara raga duplikat dari ayahnya namun, jiwanya sama seperti ibunya. Wanita yang selalu mengingatkan bahwa setiap orang harus diperlakukan manusiawi baik itu musuh sendiri atau orang yang berpura-pura baik.
Masa kecil dan remajanya digarap waktu di kota ini. Ia sama seperti anak-anak pada awamnya, tidak tahu menahu apa itu kekuasaan dan kepemimpinan. Ia masih polos pikiran hanya untuk bersenang-senang saja.
Di kota ini, seorang anak perempuan bersurai hitam menghiasi wajah moleknya, Van Della Leoni, sahabat Gustaaff. Lahir dari status sosial yang berada sangat jauh di bawah Gustaaff. Van Della lahir dari orangtua yang bekerja sebagai pedagang. Walaupun masih kecil ia sudah tahu sedikit apa itu mencari makan. Semuanya didapatkan dari ayah dan ibu yang sering bersama untuk berjualan. Mereka tidak punya toko sendiri hanya beralaskan karpet berbahan kain sebagai tempat berjualan di pinggir jalan. Memang tidak banyak yang membeli namun, berapapun hasilnya tetap bersyukur.
Awal Gustaaff dan Van Della bertemu ketika ia berjalan sore dikawal dengan dua orang laki-laki dewasa. Ia melihat para pedagang menjajakan buah-buahan. Satu hal yang menarik perhatiannya, penjual wanita yang membawa anak kecil bisa dikatakan seusia dengannya sedang membantu wanita itu membungkus setiap buah dengan kain persegi.
“Saya mau kesana.” Gustaaff berjalan pelan menuju tujuannya hal itu lantas diikuti oleh kedua pengawal.
Ia berhenti di depan anak kecil tadi. Ia terdiam sebentar, semua lantas tunduk sembilan puluh derajat.
Para rakyat miskin itu tahu siapa anak kecil ini. Walaupun ayahnya penguasa di negeri seberang, tetapi rasa hormat terjadi apabila berhadapan langsung dengan golongan paling atas. Sudah kelihatan dari pakaian yang dikenakan Gustaaff dan dua pengawalnya sangat berbeda dengan para pedagang yang hanya menggunakan baju terusan lusuh, kusam dan bolongan kecil di setiap kerah baju. Mereka juga tidak memakai sandal. Sehari-hari kaki mereka langsung mengenai tanah bisa dipastikan kaki kapalan.
“Saya mau ini.” Tunjuknya pada salah satu buah, yaitu buah pome. Lantas penjual tersebut langsung membungkus dengan porsi banyak.
Gustaaf menerimanya. Lalu bertanya, “Anak Ibu jualan? Tidak sekolah?”
Wanita itu mengangguk pelan.
“Tuan muda. Waktu untuk keluar rumah selesai. Sekarang waktunya pulang,” pinta salah satu pengawalnya.
Dari awal perjumpaan mereka, ia jadi tertarik dengan dunia luar. Ia sering berkunjung bahkan mengobrol dengan anak kecil seusianya itu.
Waktu silih berganti ia dan Van Della beranjak remaja.
Saat ini mereka berada di pinggir sungai kecil, matahari naik menyinari bumi, embusan angin menggugurkan dedaunan, pepohonan melambai-lambai disertai suara kicauan burung menambah kesan santai dan hangat.
“Gustaaff nanti jika di masa depan status sosial kita memisahkan kita dan jika kita bertemu kembali apakah kamu tetap mau bersahabat dengan ku?” Van Della bertanya, sejujurnya ia sangat takut menanyakan hal itu, ia sadar bagaimanapun kehidupannya dengan sahabatnya pasti akan terpisah. Ia akan tetap pada status sosialnya dan Gustaaf bisa saja turun, namun menurutnya hal itu mustahil mengingat kekayaan keluarga sahabatnya tiada habisnya.
Gustaaff berpikir sejenak merangkai kata-kata agar tidak membuat Van Della sakit hati.
“Begini, jika pun nanti kita terpisah bukan berarti ragamu dan semua memori tentangmu akan hilang begitu saja itu artinya semua dalam keadaan baik saat pertemuan kita di masa depan,” ujarnya.
“Janji?” tanya Van Della lalu menjulurkan jari terkecilnya. Detik-detik berlalu ia tak menimbulkan reaksi. Ia dapat melihat gadis di depannya ini ingin menangis matanya mulai berkaca-kaca. Sebelum butiran air meneteskan ia langsung menautkan jarinya. Tandanya telah terjadi kesepakatan antara mereka. Namun, tidak tahu akankah terjadi pengingkaran janji.
Selepas membuat janji mereka kembali ke tempat masing-masing. Kini Gustaaff berada di pelukan sang ibu. Tepat diatas ranjang. Sapuan hangat tangan Isabella di surai putranya, mampu membuat Gustaaf terlelap. Ibunya selalu punya cara untuk memberi kenyamanan kepadanya. Ia sangat menyayangi ibunya. Tak pernah ia langgar larangan, maupun aturan yang dibuat untuk mendisiplinkannya.
Gustaaff sekolah di Schule of Leer. Sekolah para golongan elit. Biaya yang mahal tentu iya, siswa-siswi pintar iya juga. Semua akan didiskualifikasi jika tidak memenuhi dua persyaratan utama. Dengan biaya yang mahal jangan tanya bagaimana fasilitas yang tersedia. Semua terbuat dari bahan-bahan terbaik, kualitas pendidikan baik, mutu para tenaga pendidik baik, namun rata-rata para peserta didik merasa paling diatas menyebabkan kesombongan, menganggap orang yang bukan peserta didik di Schule of Leer mempunyai pemikiran dangkal, hidup hanya mengandalkan uang yang terbatas, dan pekerjaan orang tua tidaklah menghasilkan keuangan yang signifikan setiap waktu.
Gustaaff tidaklah demikian. Hal tersebut karena ibunya, serta sahabatnya Van Della. Mereka berdua selalu menasehati jangan jadi orang diluar kepribadian tetap menjadi diri sendiri, jangan pernah mencoba hal-hal yang mampu menenggelamkan pada dasar yang paling menakutkan semuanya akan usai bila melangkah pada keburukan.
Sejujurnya jika berhubungan dengan Van Della, ia belum pernah memperkenalkannya kepada ibunya. Ia takut ibunya tidak terima. Walaupun baik namun, belum tentu semudah kata untuk menerima orang baru. Sahabatnya itu juga tidak pernah meminta untuk dikenalkan kepada keluarga Gustaaff. Ia insecure, takut tidak akan ada yang menerimanya.
“Sayang, kemari Ibu mau ngomong,” ujar Isabella yang berada di ruang tamu.
Gustaaf berjalan menuju ibunya.
“Kenapa Ibu?”
“Hari demi hari putra Ibu kian dewasa. Ibu punya pesan yang harus kamu ingat. Nanti dihari tua kamu mau kehidupan putra Ibu baik?” tanya wanita itu sambil mengusap pelan surai putranya.
“Mau Bu,” jawabnya.
“Dengar baik-baik jangan pernah berbuat buruk, jangan jauh-jauh jika kamu penjahat jangan harap anakmu akan baik, jika kamu pembohong anakmu juga akan pembohong, jika kamu pencuri, perampok, kriminal anakmu juga akan lahir menyerupai perilaku mu. Ingat, ya Sayang. Ibu mengatakan seperti ini bukan berarti kamu penjahat, pencuri atau lain sebagainya melainkan agar masa tuamu kelak akan senang, anakmu tidak akan menyusahkanmu. Ibu rasa memang waktu ini yang tepat untuk mengatakan ini, jangan sakit hati, ya Sayang,” ucap Isabella.
Ia tak menanggapi perkataan ibunya melalui perkataan melainkan perbuatan. Ia langsung memeluk ibunya.
Mereka berdua saling erat berpelukan Isabella menangis, ia bersyukur putranya dekat dengan dirinya. Apabila dekat dengan ayahnya Isabella tidak tahu akan seperti apa putranya saat ini.
...Kekuasaan dan kepunyaan yang ada padamu saat ini tidak akan abadi jika dirimu berada satu langkah dalam keburukan....
Batavia
Kota tempat para tokoh terkenal dari Belanda menghuni setiap jabatan pemerintahan. Semua penghuni pribumi mampu mereka atasi dengan cara-cara perang maupun dengan diplomasi. Namun, dominan perang yang terjadi. Di sini, Gustaaff tinggal, ia telah meninggalkan Leer, Jerman. Baginya hal ini bukanlah mudah. Dimana ia telah kehilangan memori, sahabatnya, tempat tinggalnya setelah sang ayah memutuskan untuk di Batavia. Ayahnya beralasan bahwa Batavia akan menjadi wilayah kekuasaan Gustaaff. Willem mewarisi tahta kekuasaan kepada putranya.
Kedatangan ayahnya untuk bersama dengan mereka membuat Isabella khawatir, ia tahu seperti apa sifat suaminya itu. Sangat berbeda dengan dirinya. Raut wajahnya mulai berkerut menandakan ia semakin tua sementara wajah rupawan putranya semakin mengetat bahwa kedewasaan ada padanya. Itu artinya tidak bisa ia selamanya berada di samping putranya.
Ia termenung didalam ranjangnya. Butiran air mata mulai membekas di pipinya. Ia sangat menyayangi Gustaaff. Kini ia menyerahkan diri kepada Tuhan satu-satunya yang dapat membantunya. Ia bertekuk lutut melipat kedua tangannya, menundukkan kepala lalu berdoa. Entahlah seberapa menyakitkan hatinya namun, semua terlihat jelas dari air mata yang terus mengalir itu.
Selepas berdoa ia dikagetkan dengan kehadiran suaminya dengan posisi bersikap dada dengan tatapan nyelonong.
“Hanya orang bodoh seperti dirimu yang menangis kepada yang tidak terlihat. Bagaimana mungkin mempercayai Nya padahal dirimu sendiri tidak pernah melihatnya,” sarkas Willem.
Isabella berdiri, lalu menampar wajah suaminya.
“Bagaimana mungkin seorang suami seperti dirimu, yang dirimu anggap sebagai Ayah yang baik dan suami yang baik dihadapan publik padahal pada kenyataannya orang yang berada dihadapkannya ku saat ini tidak lebih dari pecundang yang hanya berlindung dibalik kekuasaan,” balas Isabella.
Plak
Satu tamparan mengenai pipi kanan Isabella. Willem mencekik lehernya. Memojokkan kedinding kamar.
“Bisa-bisanya perempuan murahan seperti dirimu berkata hal seperti itu. Ingat baik-baik setidaknya sadarkan dirimu bahwa saya telah membelimu dengan harta dan juga seharusnya dirimu senang bahwa suamimu tidak miskin itu artinya terserah padamu untuk berfoya-foya bahkan bisa untuk memamerkan kepada teman-temanmu. Satu hal lagi dirimu hanyalah seorang perempuan dan saya laki-laki camkan ini bahwa dirimu tidak akan pernah diatas saya, jangan sok belagu berhadapan dengan saya. Paham?” semburnya.
Setelah mengatakan itu ia melenggang pergi meninggalkan Isabella yang semakin menangis tubuhnya merosot kebawah, sekarang ia paham bahwa ia serendah itu di mata suaminya. Setidaknya untuk saat ini ia akan bertahan demi putranya. Adanya penyesalan dalam dirinya mengapa ia tertarik dengan ucapan manis Willem dulu.
Di halaman belakang terlihat Gustaaff sedang menulis sesuatu di secarik kertas dengan pena bulu. Pena yang terbuat dari bulu burung yang hidup pada musim semi. Dicelupkannya ujung tangkai yang tidak ada bulunya kedalam tinta lalu digoreskan pada kertas tersebut.
“Berhenti, saya mau bicara dengan putra saya, keberatan?” tanya Willem, Willem mengatakan hal ini karena tahu bahwa putranya tidak dekat dengannya. Sebab ia selalu meninggalkan putranya untuk berkuasa.
Hanya anggukan kecil yang dilakukan Gustaaff untuk merespons.
“Begini saya rasa saya semakin tua dan sebentar lagi akan tiba waktunya pelepasan tahta di Frieslandia dan di Batavia tidak mungkin saya yang akan berkuasa. Kamu mau menggantikan Ayah?”
“Gustaaff tidak mau dan tidak akan pernah menduduki jabatan itu. Hal itu akan mampu membuat Gustaaff seperti Ayah. Diktator,” jawabnya setegar mungkin menandakan bahwa ia tidak setuju.
Willem mendorong putranya hingga tubuh Gustaaff mengenai tanah.
“Ini sebabnya jika kamu melawan. Sepertinya ibumu telah mencuci otak mu untuk melawan kepada saya. Seharusnya kalian sadar diri kika tanpa kekuasaan saya kalian akan menjadi rakyat jelata sama halnya serendah itu.” Willem menendang tubuh putranya, tangannya membogem pipi Gustaaff.
“Saya akan selalu meminta dan meminta untuk tetap menjadi pengganti saya.” Willem melangkah dengan cepat menuju kamarnya ia harus melampiaskan kemarahannya kepada Isabella.
“Isabella, ini semua ulahmu putra saya semakin hari semakin berbeda,”
Dengan sekuat tenaga Isabella mengontrol dirinya agar tidak melawan suaminya. Namun naas, saat keningnya mengalirkan darah segar setelah Willem melemparkan pigura foto.
“Puas, dirimu tidak akan pernah bahagia jika terus terpenjara dalam kekuasaan bahkan walaupun wanita-wanita hina menerima perkataan manismu saya pastikan tidak akan pernah ada sepenurut saya dan kebahagiaan akan menghancurkanmu disaat dirimu berada dititik paling bawah kehidupan,” teriak Isabella. Sebagai seorang istri seharusnya ia tidak melakukan seperti ini namun, keadaan dan laki-laki itu yang merubah perilaku.
Isabella berlari keluar tepatnya ke halaman belakang. Ia kaget mendapati putranya yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia yakin setelah melihat wajah putranya yang membiru bahwa putranya mendapatkan perilaku kasar dari suaminya.
Isabella langsung berlari ke arah Gustaaff.
“Wajahnya kenapa, Nak? Ulah ayahmu pastikan,” ujarnya pelan.
“Wajah Ibu, ulah ayah juga, ya?” bukannya menjawab Gustaaff malah bertanya balik. Diraihnya tubuh ibunya lalu didekapnya erat seakan hanya ibunya yang mencintai tanpa tuntutan. Wanita serapuh ibunya tidak akan pernah memarahinya bahkan berperilaku kasar kepadanya. Tutur kata ibunya selalu mampu membuat Gustaaff menjadi anak paling menguntungkan di dunia dengan kehadiran ibunya.
“Ibu, suatu hari akan Gustaaff kembalikan tamparan yang ibu rasakan kepada laki-laki kasar itu. Itu bukan ayah Gustaaff Bu. Kita pisah rumah darinya Ibu selalu diperlakukan kasar,” ujarnya.
“Tidak, kita harus menemaninya sampai dia sadar. Biar bagaimanapun dia ayahmu. Jangan sekali-kali berniat hal buruk kepadanya. Cukup hanya Ibu yang kecewa dengannya,”pinta wanita cantik itu. Ia tahu bahwa mudah untuk memutuskan hubungan dengan suaminya namun, ia tidak mau putranya mati kelaparan ia sudah tahu rasanya seperti apa orang yang tidak punya apa-apa.
“Sekarang pergilah ke kamarmu. Dan ingat doakan ayahmu untuk berubah menjadi baik,” pintanya.
“Pasti Bu, kalau Ibu takut untuk kembali kekamar Ibu jangan sungkan untuk ke kamar Gutaaff, Gustaaff bisa tidur di kamar yang lain Bu,” tawar Gustaaff.
“Iya Nak,” jawab Isabella. Sekarang senyuman tercetak di wajahnya. Ia beruntung memiliki putra sebaik putranya itu. Sekarang perasaannya mulai membaik.
Secarik kertas menarik perhatiannya. Ia mengambil lalu membaca.
“Van Della?” ujarnya.
“Ini tulisan Gustaaff, apakah dia mempunyai pujaan hati? Tetapi dia tidak pernah memberitahu ibunya ini,” tuturnya pelan.
“Van Della Leoni, bagaimana keadaanmu di negeri seberang? Apakah kamu tumbuh menjadi perempuan baik disana? Atau sebaiknya? Maaf menanyakan hal ini, aku akan sangat senang mendapat balasan dari surat ini.” Sepenggal kalimat yang tertulis dicakan Isabella.
Ia menyimpan surat itu dengan melipatnya kecil persegi empat. Akan ia berikan kepada putranya. “Kenapa harus dengan surat Gustaaff berkomunikasi dengannya kenapa tidak langsung bertemu?” guman Isabella, pertanyaan yang wajib dipertanyakan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!