NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikah Demi Adikku (Naik Ranjang)

Bab 1 Permohonan terakhir

Di salah satu ruang rawat VIP rumah sakit terdengar lantunan merdu surah yasiin yang dibacakan oleh suami dari pasien kanker yang terbaring lemah dengan berbagai alat medis terpasang ditubuhnya.

Uhuuukkk

Uhuuukkk

"Sayang!"

Sang suami langsung menyudahi bacaannya saat mendengar suara batuk istrinya.

"Sayang minum dulu." Dengan perlahan dia membantu istrinya untuk bisa minum dalam keadaan berbaring.

"Abang.." panggilnya dengan suara yang seakan tidak lagi tembus itu.

"Iya sayang. Abang disini."

Dipeluknya erat tubuh lemah istrinya yang kini dia pangku sambil bersender di sandaran ranjang yang dibuat sedikit tegak.

"Adek sudah nggak kuat, bang. Rasanya sakiiit.."

Tidak ada yang bisa dilakukannya selain memeluk dan menciumi kening istrinya yang sedang kesakitan itu. Lantunan sholawatpun dia bisikkan ditelinga istrinya.

"Ridhoi adek, bang." Rengeknya lemah.

Air mata menetes dari pelupuk mata suaminya, Alden Rezqiano Adnan.

Saat bersamaan, kedua orangtua mereka pun datang.

"Lisa, sayang!" Seru Sarah yang langsung melangkah cepat menghampiri putrinya, Khalisa Maisara.

"Mama.." Sapanya sambil tersenyum.

"Sakit ya nak?" Ujar Sarah prihatin sambil menggenggam tangan putrinya itu.

"Ma, aku nggak kuat lagi.." Adunya merengek lemah.

"Putri papa yang cantik ini pasti kuat, nak." Sahut Faheem Barda, papanya.

Alden tetap memeluk istrinya dengan penuh kasih. Air matanya pun terus menetes membasahi jilbab istrinya.

"Abang, maukah abang membantuku?" Ucapnya kemudian.

"Sayang butuh bantuan apa?"

Sebentar Khalisa tampak menarik napasnya yang semakin terasa sesak.

"Tolong, menikahlah dihadapan adek sekarang. Adek ingin melihat abang menikah sebelum adek pergi ke syurga." Ucapnya pelan namun jelas dan juga tanpa terbata bata.

Mendengar permintaan yang terdengar mengada ngada itu, Alden pun berniat mengabaikannya. Karena dia yakin istrinya itu sedang melantur karena pengaruh obat.

Sementara kedua orangtua mereka terdiam menatap iba sekaligus terkejut mendengar permohonannya yang meminta suaminya menikah lagi dihadapannya saat ini juga.

"Pa, nikahkan kak Caca sama abang Alden." Ujar Lisa sambil meraih tangan papanya.

"Sayang, abang tidak akan menikah dengan siapapun. Adek satu satunya istri yang sangat abang sayangi." Sahut Alden dengan suara lantang nan tegas.

"Aku mohon bang. Aku hanya akan tenang meninggalkan abang apabila abang menikahi kak Caca." Ucapnya dengan suara lemahnya.

"Tidak. Abang tidak bisa."

"Tolong adek kali ini saja bang. Ini permohonan terakhir adek." Lisa menyentuh wajah suaminya sambil menangis.

"Abang tidak bisa, dek." Tolak Alden yang ikut menangis.

Lalu tiba tiba napas Khalisa terdengar sangat berat. Dia bahkan tampak semakin pucat dan terakhir mengatakan sakit di dadanya.

Melihat itu, Faheem langsung menekan tombol darurat untuk memanggil dokter agar datang ke ruangan itu.

"Sayang bertahanlah. Abang mohon.."

Orangtua Alden dan orangtua Khalisa menangis sedih melihat keadaan Khalisa yang semakin memprihatinkan.

Tidak berselang lama dokter pun masuk keruangan itu. Mereka memeriksa Khalisa yang tampaknya memang tidak akan bertahan lama. Mendengar itu Faheem langsung menelpon putrinya Caca untuk segera datang ke rumah sakit.

Adnan sang besan pun juga menelpon anak anaknya yang lain untuk setidaknya melihat Khalisa disaat saat terakhirnya.

"Menurut prediksi kami, mbak Khalisa tidak akan bertahan lebih lama lagi. Dia sudah berusaha keras untuk melawan penyakitnya, tapi sepertinya takdir berkata lain." Ujar dokter yang selama ini telah membantu Khalisa melawan kanker ganas ini sejak enam bulan terakhir.

"Mas, anakku.." jerit pilu Sarah memeluk suaminya.

"Sayangku, Lisa." Sahut Nadin mertua Lisa atau mamanya Alden.

Faheem mendekati Alden yang setia menggenggam tangan Khalisa. Dipegangnya bahu menantunya itu dengan lembut.

"Papa tidak bermaksud memaksamu. Tapi, Lisa tidak punya banyak waktu lagi. Bagaimana kalau kamu mewujudkan permohonan terakhirnya?" Faheem menyarankan.

"Papa kamu benar, nak. Sepertinya Khalisa berusaha bertahan sampai sejauh ini untuk melihat kamu mau memenuhi keinginannya untuk menikahi kakaknya." Celetuk Adnan, papa Alden.

Nadin menghampiri Sarah untuk memeluk besannya itu yang terus menangis.

"Sabar ya jeng." Ujarnya.

Sarah hanya bisa mengangguk dalam tangisannya. Saat ini dia ingin berteriak agar Alden tidak menyetujui untuk menikahi Caca yang adalah putri suaminya dari mantan istri pertamanya. Ya, Caca adalah kakak seayah oleh Khalisa. Dan selama ini hubungan Khalisa dengan kakaknya Caca sangat dekat.

"Pa, aku tidak akan menduakan Khalisa selama dia masih di sini, bersamaku. Aku sudah berjanji padanya akan menjadikannya khadijahku selama hidupnya. Dia masih disini bersamaku, mana mungkin aku mengingkari janjiku padanya."

"Lisa bertahan hanya untuk melihat kamu menikahi Kakaknya. Apa kamu tidak kasihan pada istrimu. Lihatlah dia kesakitan, Al." Faheem mencoba membujuk menantunya itu.

Alden tampak sangat stress dengan desakan ini. Dia tidak bisa berpikir jernih saat situasi seperti ini.

Tapi, melihat wajah cantik istrinya menahan rasa sakit dan semakin pucat membuatnya merasa tidak tega.

"Maafkan abang, sayang. Abang sangat mencintai adek. Selamanya hanya adek yang ada dihati abang. Tapi, kalau memang permohonan terakhir adek ingin melihat abang menikah lagi.."

Alden tidak mampu melanjutkan kata katanya. Digenggamnya erat tangan istrinya itu, lalu dicium keningnya sambil menangis dan air matanya itu menetes dipipi istrinya.

"Baiklah, abang akan mengabulkan permohonan terakhir adek." Gumamnya dengan masih mengecup kening Khalisa.

Saat bersamaan, detak jantung Khalisa terlihat kembali normal di layar pendeteksi bersamaan dengan kedatangan Caca yang langsung membuka pintu ruangan itu.

"Lisa!" Seru Caca dengan raut wajah panik.

Semua orang menoleh padanya dan Lisa pun membuka matanya.

"Kamu kenapa, dek? Kenapa kamu tidak pernah memberitahu kakak kalau kamu sakit?" Celoteh Caca menangis melihat keadaan Lisa yang terbaring lemah diranjang rumah sakit.

"Kakak datang.." Ucap Lisa tersenyum senang menyambut kedatangan Caca.

Sementara Alden langsung membelakangi istrinya tanpa melepas tautan tangan mereka. Kini Alden berada di sebelah kanan Lisa dan Caca berada di sebelah kiri Lisa.

"Kak, menikahlah dengan abang Alden.." Gumam Lisa yang membuat Caca langsung melepaskan tangan adiknya.

Tapi sebelum tangan itu menjauh dengan sekuat tenaga Lisa meraih dan kembali menggenggam erat tangan kakaknya.

"Aku mohon, kak?!" Ujarnya semakin lemah.

Detak jantungnya melemah.

"Aakhhh.. Allahuuu sakittt..."

"Adek kenapa?" Caca khawatir melihat Lisa yang tiba tiba merasakan dadanya sangat sakit, jauh lebih sakit dari sebelumnya.

"Sayang, kamu harus bertahan. Abang selalu disini.." Bisik Alden ditelinga istrinya.

"Aku mohon, menikahlah. Aku ingin melihat kalian menikah. Aku sudah tidak kuat menahan rasa sakit ini.." Ucapnya lemah.

Dengan kekuatan tersisa, dia memohon pada kakaknya dan suaminya untuk segera menikah.

Penghulu datang tepat waktu. Faheem menghubungi mereka tepat setelah dia menelpon Caca.

Alden hanya bisa diam saja tanpa bisa melakukan apapun untuk menolak. Begitu juga dengan Sarah dan Nadin yang paling menentang pernikahan antara Alden dengan Caca. Tapi apa boleh buat, ini permohonan Khalisa.

Saat bersamaan juga Kakak Alden, Rahayu dan adiknya Rani pun tiba diruangan itu. Dan mereka melihat pemandangan yang membuat mereka bingung sekaligus merasa tidak suka.

"Ma, ada apa ini?" Tanya Rahayu dan Rani berbarengan.

Nadin hanya menggeleng saja tanpa memberi jawaban.

Dan saat ini, tepat di depan Khalisa, Alden menjabat sekali lagi tangan papa mertuanya. Didekat mereka sudah ada penghulu dan juga dua orang saksi yang memang dibawa langsung oleh pihak penghulu atas perintah dari Faheem.

"Alden Rezqiano Adnan, aku nikahkan engkau dengan putri kandungku yang bernama Shaima Afsha Hanum..."

Air mata Alden menetes saat dia melafalkan akad yang sakral itu tepat dihadapan istrinya. Hatinya hancur dan tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini.

Tangan Khalisa dan Caca saling berpegangan erat dan mereka menangis bersama. Bedanya, Khalisa menangis haru, karena dia akan pergi dengan tenang meninggalkan suaminya ditangan kakaknya sendiri. Sedangkan Caca menangis karena sedih melihat adiknya dan juga sedih karena telah dinikahi oleh suami adiknya sendiri.

Nyiiittt

Terdengar suara pendeteksi jantung yang menandakan bahwa pasien telah meninggal bertepatan dengan kata sah yang diucapkan saksi pernikahan suaminya dengan kakaknya.

"Lisa!!" Jerit Alden dalam tangisnya.

Dipeluknya erat tubuh kaku istri tercintanya.

"Abang Ridho dek. Abang Ridho padamu sayang." Ucap Alden melepas istri tercintanya.

Sarah dan Nadin pun berlari menghampiri Lisa. Mereka bahkan sampai mendorong agar Caca menjauh dari ranjang Lisa. Dan Caca hampir jatuh jika saja Adnan tidak menahan tubuhnya.

"Om.."

"Kamu baik baik saja?"

Caca menggelengkan kepalanya. Tentu saja dia tidak baik baik saja. Rasa sedih dan juga takut menjadi satu dalam dirinya. Sedih karena Lisa dan takut karena telah dinikahi pria asing yang bahkan hanya mengenalnya sebatas nama saja itupun dari Lisa.

Setidaknya itu yang diyakini Caca. Dia merasa Alden tidak mengenalnya karena memang Caca dan Alden tidak pernah bertemu secara langsung kecuali di hari pernikahan Khalisa dan Alden setahun yang lalu.

Terlebih, Caca memang sudah memilih tinggal sendiri di apartemen kecil yang dekat dengan kantor tempatnya bekerja. Karena itu jugalah dia tidak tahu tentang penyakit yang mulai diderita Khalisa enam bulan terakhir.

.

.

Halo teman teman!! 👋👋

Author datang dengan karya baru lagi nih. Yuk buruan mampir.

Jangan lupa beri masukan buat karya terbaru Author ya teman teman.

salam dari Author untuk teman teman semua.

Semoga sehat selalu, dimudahkan segala urusan dan juga dilancarkan rezeki kita semua. Aamiin.

Salam bahagia dari Author. Jangan lupa senyum dan jangan lupa bahagia 😊😍☺

Bab 2 Kehilangan

Hari pemakaman Khalisa

Kehilangan Khalisa membuat Alden sangat terpukul. Dia sangat menyayangi istrinya itu. Sangat sulit baginya untuk menerima kenyataan bahwa istri yang telah menemaninya selama satu tahun terakhir ini, kini telah pergi meninggalkannya untuk selamanya.

"Bro yang sabar ya." Ucap sahabat baik Alden.

"Allah lebih sayang Khalisa, bang. Dia sangat baik dan suka menolong siapa saja yang kesusahan. Ridhoi Khalisa bang. Agar dia tenang dan bisa tidur nyeyak ditempat peristirahatan terakhirnya." Sambung istri dari sahabatnya itu yang juga sangat mengenal Khalisa.

"Terimakasih." Sahut Alden singkat.

Disaat orang orang menghampiri Alden sebelum mereka meninggalkan TPA dimana Khalisa sudah selesai dimakamkan, Caca masih berdiri tidak jauh dari makam adiknya itu. Dia tidak lagi menangis seperti tadi malam hingga pagi ini.

"Umi, apa yang akan terjadi padaku selanjutnya?" Gumamnya seakan dia bicara pada almarhumah uminya.

"Caca!" Adnan menyapa menantu barunya itu.

"Om." Sahut Caca.

Dia langsung mencium punggung tangan papa dari pria yang telah menikahinya tadi malam.

"Panggil saja papa, nak." Ucapnya ramah dengan suara lembut.

"Kamu wanita hebat nak. Kamu pasti kuat melewati semua ini. Dan papa harap, kamu mau menunggu sampai Alden bisa menerima kehadiran kamu dalam hidupnya. Kamu juga, setidaknya cobalah untuk menerima jalan takdir ini.."

"InsyaAllah, pa." Sahut Caca ragu.

Hanya Adnan yang memperhatikan Caca saat ini. Sementara Abi nya sibuk menenangkan mama tirinya yang tampak sangat terpukul karena kehilangan putri semata wayangnya.

Selama ini, hubungan Caca dengan mama tirinya itu tidaklah baik. Sarah sangat membenci Caca. Entah mengapa, padahal jelas jelas Sarahlah yang menjadi penyebab perceraian Abi dan Umi nya dulu.

Harusnya Caca yang membenci Sarah. Tapi, ini terbalik, justru Caca tidak pernah sedikitpun membenci mama tirinya itu. Yang ada Caca ingin sekali menganggap Sarah sebagai pengganti umi nya.

Sejak Umi nya meninggal sepuluh tahun yang lalu, Caca diajak oleh Faheem untuk tinggal bersama. Ternyata keputusan Caca menyetujui ajakan abi nya, malah membuatnya tersiksa.

Setiap hari Sarah menyiksanya. Untungnya kalau ada Khalisa, Sarah tidak bisa menyiksa Caca. Karena Khalisa sangat menyayangi Caca.

Kini Khalisa yang sangat menyayanginya telah pergi lebih dulu. Caca tidak punya siapapun lagi yang menyayanginya termasuk Abi nya sendiri. Meski sebenarnya Faheem sangat menyayangi Caca, tapi tidak bisa karena Sarah akan mengamuk apabila Faheem memberi perhatian pada Caca.

"Caca, papa angkat telpon dulu ya!" Seru Adnan.

Dia melangkah agak menjauh dari Caca untuk menjawab telepon dari rekan bisnisnya.

Rahayu dan Rani mendekati Caca. Mereka menatap sinis pada Caca yang memasang wajah datarnya.

"Akhirnya, kamu bahagia kan bisa menikah dengan Alden." Sindir Rahayu.

"Apa maksud mbak Ayu?" Sahut Caca.

Rahayu tersenyum sinis. "Udahlah, Caca. Kamu itu tidak usah pura pura dihadapan aku. Aku tahu, kamu sudah lama kan menunggu momen dimana kamu bisa menjadi istri dari Alden Rezqiano Adnan."

Rahayu mendorong bahu Caca dengan telunjuknya. Diikuti dengan Rani yang juga melakukan hal yang sama pada Caca.

Dua beradik itu sangat membenci Caca. Dulu Rahayu adalah senior Caca saat kuliah. Nah pria yang disukai Rahayu malah suka sama Caca. Itulah yang menyebabkan Rahayu sangat membenci Caca sampai saat ini. Padahal, Rahayu sudah menikah dan sudah punya dua orang putra kembar saat ini.

Sedangkan Rani, juga memiliki masalah yang sama. Baru baru ini Rani menyukai seorang pria yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Caca. Tapi, ternyata pria itu malah menyukai Caca dan itu dijadikan oleh Rani sebagai alasan dia membenci Caca. Padahal, saat ini pria itu sudah menikah dengan wanita lain dan bukan Caca.

"Dasar murahan!" Ejek Rahayu.

"Berapa sih satu jam nya, neng?" Rani ikut mengejek dengan mengucapkan kalimat yang sangat merendahkan Caca.

"Ups sekarang kan sudah menikah dengan pria kaya raya. Bakalan jadi ratu dong, yang kerjaannya duduk manis di rumah."

"Nggak punya harga diri banget sih jadi perempuan. Kok ya tega mengambil suami adik sendiri."

"Iya lagi, padahal dulu mati matian menolak lamaran bang Alden." Sindir Rani ketus.

Rani dan Rahayu terus terusan menyindir Caca. Dan Caca hanya diam tanpa berniat meladeni mereka. Toh apa yang mereka tuduhkan tidak ada yang benar satu pun. Jadi ya, terserah mereka saja, biar capek sendiri.

Faheem memapah Sarah untuk meninggalkan TPU. Nadin pun memapah Alden yang tampak sangat lelah tidak bertenaga lagi setelah kehilangan separuh jiwanya.

"Abang!" Rani membantu mamanya memapah Alden menuju mobil.

Rahayu ikut mengekor dibelakang mereka.

Saat Alden melewati Caca, dia sempat menatap raut wajah datar Caca. Tapi, hanya sekilas karena Mamanya dan adiknya membawanya lebih cepat melewati Caca.

Mereka semua pulang menuju rumah kedua orangtua Khalisa. Karena nanti malam sampai dua malam kedepan akan diadakan baca yasiin bersama di rumah duka itu.

Caca sendiri memilih mendekati makam Khalisa. Dia pulang terakhir.

"Dek, maafkan kakak ya.."

"Kakak sangat menyayangi Lisa. Hanya Lisa yang selalu baik sama kakak. Sekarang, kakak sendirian dek. Tidak ada lagi yang akan menemani kakak saat kakak sedih. Tidak akan ada lagi yang marah marah karena khawatir kakak sakit. Tidak akan ada lagi yang membawakan obat untuk kakak dan tidak akan ada lagi yang ngomel ngomel karena kakak telat pulang." Tuturnya sambil memegang lisan adiknya.

"Adek bahagia disana ya. Kakak janji akan menjaga posisi adek sebagai istri dari suami yang sangat adek cintai. Kakak tidak akan pernah menggantikan posisi adek di hatinya. Kakak hanya akan menjaga tempat adek dengan baik."

Terakhir Caca mencium lisan makam Khalisa. Barulah kemudian dia pamit meninggalakan tempat itu. Tempat kembali yang abadi.

"Kakak pamit dulu ya, sayang. Tunggu kakak di sana dengan nyaman."

Caca melangkah perlahan meninggalkan TPU dengan perasaan yang campur aduk tak karuan. Rasa sakit kehilangan orang yang sangat dicintainya kembali harus dia rasakan setelah sepuluh tahun yang lalu saat umi nya meninggal.

"Satu persatu orang orang yang menyayangiku dan yang aku sayang meninggalkan aku. Andai boleh meminta, harusnya aku saja yang lebih dulu pulang.." Gumamnya sambil melangkah semakin jauh dari makam Khalisa.

Bab 3 Mencoba bertahan

Hari ke empat sejak kepergian Khalisa. Rumah duka sudah kembali sunyi. Keluarga Adnan sudah pulang ke rumah mereka masing masing karena acara pengajian pun sudah usai.

Kini tinggal Sarah, Faheem dan Caca di rumah itu. Sarah masih tetap sedih dan tidak berselera makan. Sedangkan Faheem sudah harus masuk kerja lagi hari ini. Sudah terlalu lama dia cuti.

Sepeninggal Abi nya, Caca memilih tetap di rumah untuk menemani mamanya. Tapi, ternyata kehadiran Caca justru bertambah membuat Sarah merasa tidak nyaman, dihinggapi rasa amarah dan juga benci yang meluap.

"Ma, makan dulu. Ini aku buatkan bubur ayam kesukaan mama."

Caca meletakkan semangkuk bubur ayam diatas meja nakas samping ranjang Sarah.

Piyaaarrr...

Sarah membuang bubur itu beserta mangkoknya ke lantai begitu saja, hingga mangkok itu pecah berserakan bersamaan dengan bubur ayam nya.

Caca dengan sabarnya mengumpulkan pecahan mangkok kaca itu, lalu mengepel sisa tumpahan bubur di lantai.

"Aku sangat membencimu. Kamu melakukan semua ini untuk membalas dendam padaku?! Aku yang merebut suami umi kamu itu. Harusnya kamu balas saja aku. Kenapa kamu malah membalas pada putriku. Dia tidak bersalah.." Teriak Sarah memaki.

Sarah bahkan sampai mendekati Caca dan menarik kuat rambut Caca yang tersimpan dibalik jilbab pasminanya.

"Aku tidak pernah berpikir seperti itu, ma.."

"Bohong. Aku tahu diam diam kamu sudah merencanakan semua ini. Kamu pura pura baik pada Lisa supaya kamu bisa merebut suaminya. Aku tahu itu, dasar murahan.."

"Ma sakit!!" jerit Caca.

Sarah menarik kuat bagian jilbab Caca hingga terlepas. Lalu dia menarik rambut Caca sangat kuat sehingga membuat tubuh Caca tertarik kearah mama tirinya itu.

"Rasakan ini. Lebih baik kamu mati. Aku tidak sudi kamu menggantikan posisi anakku sebagai istri dari menantuku."

"Sakit ma, lepas!!"

Sarah menarik Caca keluar dari kamar. Dan dia berencana mendorong tubuh Caca terjun bebas dari lantai dua rumahnya.

"Kamu harus mati. Kamu harus pergi dari dunia ini menyusul ibu mu itu."

Caca ditarik hingga berdiri tepat di depan tangga dengan posisi rambutnya masih ditarik kuat oleh Sarah. Jika rambut itu dilepas, sudah pasti Caca akan jatuh terjun bebas di tangga.

Caca bukan tidak bisa melawan, tapi dia memang tidak pernah terbiasa untuk melawan. Karena dia selalu diajarkan oleh Umi nya untuk tidak melawan ibu tirinya itu.

"Ma, maafkan aku ma. Aku tidak akan pernah menggantikan posisi Caca. Aku juga tidak mau menikah dengan suaminya, ma.." Ucap Caca menjelaskan dalam keadaan menahan rasa sakit kepalanya yang rambutnya ditarik kuat oleh mama tirinya itu.

"Mati saja kamu.."

Sarah melepas rambut Caca dan Caca pun tersungkur jatuh di tangga.

Bruuuggg

Braaakkk

Saat itu juga Alden membuka pintu rumah itu dan dia melihat Caca yang berguling jatuh di tangga pun langsung mengejar Caca.

Dengan sigap Alden membantu Caca, sehingga saat tubuh Caca hampir menyentuh lantai, dia pun langsung membantu Caca dengan menjadikan tubuhnya sebagai tameng.

Sarah melotot melihat Alden yang tiba tiba datang. Dia pun langsung berakting seakan Caca jatuh sendiri.

"Caca!!" Jeritnya berlari menuruni tangga dengan wajah pura pura cemas.

Sedangkan Caca yang tahu bahwa Alden yang kini menyanggah tubunya pun pura pura pingsan saja. Dia tidak ingin menjelaskan apapun tentang apa yang terjadi.

"Caca, kamu baik baik saja?"

Alden memeriksa wajah tangan dan kaki Caca. Dia tampak sangat khawatir.

"Ya ampun, Caca. Dia jatuh terpeleset. Tadi mama meminta bantuan untuk turun." Celoteh Sarah menjelaskan.

"Ma, Caca pingsan. Aku izin membawanya ke rumah sakit. Takutnya ada bagian tubuhnya yang terluka." Pamit Alden.

"Iya, silahkan nak. Tapi mama tidak bisa ikut. Mama merasa tidak enak badan."

"Mama istirahat saja di rumah. Nanti aku akan mengabari mama."

Alden langsung menggendong tubuh Caca ala bridal style. Melihat itu tentu saja membuat Sarah bertambah marah dan membenci Caca.

"Dasar murahan. Beraninya dia mengambil perhatian Alden. Oh sungguh Lisa ku yang malang. Betapa Lisa sangat mencintai Alden, eh malah direbut oleh wanita tak berperasaan itu." gerutu Sarah terus menyalahkan Caca.

Sementara itu, Caca kini sudah berada di mobil Alden. Dia didudukkan di bangku belakang, sementara Alden menyetir mobilnya menuju rumah sakit.

"Aku baik baik saja." Ucap Caca yang membuat Alden terperangah kaget.

Dia menoleh ke belakang dan mendapati Caca terlihat memijat kepalanya dan berusaha menutupi kepalanya dengan tangannya. Ya, jilbab Caca sudah ditanggalkan oleh mama tirinya.

"Kamu harus diperiksa. Siapa tahu ada luka dalam." Sahut Alden yang kembali fokus menatap kedepan.

"Tidak usah. Aku baik baik saja. Aku hanya pura pura pingsan karena malu, kamu datang tiba tiba saat aku tidak memakai jilbab." Sahut Caca.

Alden tak menjawab. Dia terus melajukan mobilnya tanpa melirik ke belakang. Karena dia tahu Caca tidak nyaman. Memang status mereka sudah menikah dan tidak ada salahnya Caca tidak berjilbab di hadapan Alden. Tapi, semuanya terlalu mendadak dan Caca tidak nyaman.

Mobil Alden berbelok masuk ke area toko hijab. Caca tidak menyadari itu, karena dia terus menunduk dan berusaha melindungi kepalanya.

Alden langsung turun dari mobilnya, masuk ke toko hijab itu dan membelikan satu jilbab pasmina yang dia tahu Caca selalu memakai jilbab pasmina seperti yang dia beli saat ini.

Setelah mendapatkan apa yang dia cari, dia kembali ke mobil.

"Nih.."

Alden mengulurkan paper bag berisi jilbab yang dibelinya tadi pada Caca.

"A-apa ini?"

Tidak ada jawaban dari Alden, karena dia sudah kembali melajukan mobilnya.

Caca melihat isi paper bag yang ternyata adalah jilbab pasmina. Tanpa pikir panjang dia langsung memakainya dan meski tanpa jarum pentul, Caca bisa memakainya dan tetap menjulurkan pasminanya untuk menutupi bagian dadanya.

"Terimakasih." Ucapnya.

Alden tidak merespon. Dia hanya terus fokus menatap jalanan di depannya yang mulai semakin padat, karena ini jam jam saatnya anak sekolah pulang.

Mobil berhenti di perempatan lampu merah. Caca melirik keluar mobil.

"Kita mau kemana?" Tanya Caca ragu.

Jalan yang ditempuh bukan jalan menuju rumah sakit.

"Papa memintaku menjemput kamu."

"Untuk apa?"

"Karena kamu menantunya." Jawab Alden singkat padat dan jelas.

Benar. Caca kini sudah menjadi menantu di keluarga Adnan untuk menjaga posisi Khalisa. Caca sempat lupa, karena dia sibuk meratapi kepergian adik yang sangat disayanginya itu.

Mobil kembali melaju saat lampu hijau menyala. Alden tidak bicara sama sekali, dia tampak sangat dingin seperti biasanya. Ya, dia sangat dingin pada wanita kecuali istrinya Khalisa.

"Dek, maafkan kakak. Akan kakak coba untuk bertahan demi adek." Gumam Caca dalam hatinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!