NovelToon NovelToon

Jangan Rebut Anakku!

1 Malam Naas

Seorang pria yang sedang dikuasai emosi, memasuki klub malam langganannya. Dia langsung memasuki ruangan VIP, dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa empuk berwarna merah. Tidak lama kemudian, minumannya datang, yang dibawa oleh seorang perempuan seksi dengan gaya genitnya.

“Butuh teman juga, Tuan?”

“Pergi!” Pelayan itu langsung pergi, sebelum dia mendapatkan masalah dengan tamu VIP-nya itu.

Pria yang bernama Keanu Ainsley itu tidak ingin ditemani oleh siapa-siapa malam ini, termasuk oleh sahabatnya sendiri.

Tidak sampai satu jam, entah sudah berapa banyak minuman yang dia habiskan. Dengan tubuh sedikit sempoyongan, Keanu pergi dari sana. Dikemudikannya mobil sport miliknya, menuju apartemen mewah yang menjadi tempat dia tidur malam ini karena tidak ingin pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Meskipun dia masih cukup kuat dan sadar saat ini, tapi tetap saja jika keluarganya tahu, bukanlah hal yang baik.

Memasuki loby apartemennya, Keanu melihat seorang gadis yang juga sedang menunggu lift. Mereka masuk ke dalam lift, berdiri di masing-masing sudut.

Gadis itu merogoh tasnya, mencari sesuatu sambil bergumam pelan. Keanu melirik gadis itu, menelusuri dari atas sampai bawah. Gadis itu terlihat biasa saja, maksudnya, dia tidak memakai sesuatu yang mewah, baju, tas, atau sepatu, semuanya barang-barang biasa. Tapi wajahnya cantik.

Gadis itu melihat angka sepuluh, dan bersiap mau keluar. Pintu lift terbuka, tapi saat kakinya belum menyentuh luar, mulutnya sudah dibekap dari belakang. Dia memberontak, mencakar tangan pria yang membekapnya. Sudah pasti pelakunya adalah Keanu, karena hanya mereka berdua saja yang ada di dalam lift itu.

Keanu yang membekap mulut gadis yang bernama Rayana itu, bisa mencium aroma dari tubuhnya. Masih wangi, bahkan sangat wangi meski hari sudah larut malam.

Raya melihat lift berhenti di lantai lima belas, dan dia didorong untuk keluar. Tubuh Raya terseret di lorong, dia masih mencoba memberontak namun sia-sia. Dengan sebelah tangan membekap mulut Raya, sebelah tangannya lagi membuka pintu apartemen, Keanu lalu masuk ke apartemennya. Setelah mereka masuk ke apartemen itu, Keanu baru melepaskan tangannya.

“Si ... siapa kamu? Apa maumu?” tanya Raya terengah.

Keanu tidak menjawab, dia hanya melepaskan jasnya dengan kasar. Merasa tidak aman, Raya langsung mencoba keluar. Keanu diam saja, karena tidak mudah untuk keluar dari apartemen miliknya ini.

“Aaaa ... lepas! Lepaskan aku! Tolonggg!”

“Jangan!” teriakkan perempuan muda di tengah kegelapan malam dan di bawah kungkungan seorang pria.

Bukannya mendapatkan pertolongan atau rasa kasihan, perempuan itu malah mendapatkan tamparan yang keras. Sudut bibirnya mengeluarkan darah dengan rasa yang perih. Pipinya berdenyut kencang, dia yakin akan membengkak, bahkan matanya sampai berkunang-kunang dan kepala berdenyut.

Raya berteriak saat Keanu memeluknya dan mencium lehernya dengan kasar. Sekujur tubuhnya gemetaran, takut dengan pikirannya sendiri. Dia tidak punya harta untuk dirampok, dan harta yang paling berharga dan bisa dirampok saat ini adalah keperawanannya ....

Raya membuka matanya, air matanya kembali keluar saat mengingat apa yang sudah terjadi. Nasib sial apa yang sedang menimpanya sekarang? Dia menyingkirkan tangan yang sedang memeluk tubuhnya dengan erat. Dia ingin bangkit, tapi tubuhnya terasa sakit semua. Tidak, sakitnya tubuh tidak seberapa, hatinyalah yang paling sakit.

Mendengar suara isakan tangis, membuat Keanu terbangun. Dia melihat ada Raya di sebelahnya, lalu mencoba mengingat. Keanu tidak mengatakan apa pun, dia hanya memakai bajunya dan ke kamar mandi. Melihat Keanu masuk kamar mandi, Raya langsung memungut pakaiannya. Dipakainya baju itu yang sudah tidak layak pakai. Baju yang seperti gembel atau pakaian orang gila karena sudah sobek-sobek.

Dengan langkah tertatih, Raya keluar dari kamar itu. Dia langsung menuju pintu depan, membukanya namun tidak terbuka juga.

“Kamu tidak akan bisa keluar dari sini tanpa ijin dariku.” Suara itu mengejutkan Raya, dia kembali gemetar.

Keanu memegang pundak Raya, yang langsung ditepis oleh gadis itu. Tidak menyerah, Keanu membalik tubuh Raya, melihat wajah Raya dengan lebih jelas, karena tadi malam dirinya mabuk. Ditatapnya mata Raya, sedangkan Raya memalingkan wajahnya. Keanu menekan beberapa tombol, dan pintu terbuka.

“Kamu boleh keluar.” Tanpa berkata apa-apa, Raya langsung keluar. Keanu melihat Raya yang jalan dengan susah. Dia mengambil ponselnya dari saku jasnya.

“Bersihkan CCTV!”

“Baik, Tuan.”

Setelah memutuskan sambungan, Keanu kembali ke kamarnya. Dilihatnya lagi kasur yang ada bercak darahnya.

Raya masuk ke apartemennya, lebih tepatnya apartemen milik temannya. Dia menangis, berteriak dan menjambak rambutnya sendiri.

Kenapa nasibnya begini?

Kenapa kesialan ini harus terjadi padanya?

Bagaimana dengan masa depannya?

Apa yang harus dia lakukan?

Apa dan kenapa, itu yang selalu dia tanyakan dan tidak mendapatkan jawabannya.

Raya menepuk dadanya yang terasa sangat sesak. Dia seperti kehabisan oksigen.

Tapi biar saja dia kehabisan oksigen, bukankan itu sangat bagus? Biar dia mati, biar dia tidak lagi merasakan kesakitan ini. Agar tidak menanggung aib dan memikirkan pria yang akan menjadi suaminya nanti. Apa ada pria baik-baik yang akan menerima kekurangannya ini? Apa nanti dia akan dipertanyakan keperawanannya? Apa sebaiknya dia jujur saat ada pria yang mau menikahinya?

Pikiran tentang masa depannya yang hancur terus melintas.

Raya berjalan ke dapur, mengambil pisau kecil dari dalam laci dan siap memutus nadinya.

Namun gerakan tangannya terhenti, dia mengurungkan niatnya.

Bukan hanya karena takut menambah dosa, tapi juga tidak ingin menyusahkan sahabatnya jika dia mati di apartemen ini. Apartemen yang hanya berjarak beberapa lantai dari bajingan yang berwajah tampan tapi berhati iblis itu.

Raya mengatur nafasnya meski terasa berat. Rasa sesak itu tentu tidak bisa hilang begitu saja. Dia bukan kehilangan uang, atau ponsel, bukan juga perhiasan. Ini lebih penting dari semua itu, yang jika hilang sudah tidak bisa dicari lagi, tidak bisa dibeli, juga tidak bisa dikembalikan. Yang bekasnya akan selalu ada seumur hidup.

Raya mencoba menghibur dirinya sendiri, memberikan sugesti bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Banyak yang menikah dalam keadaan tidak perawan, bahkan menikah bukan dengan pria yang mengambil keperawanan itu, tapi mereka bisa bahagia. Pasti akan ada pria yang bisa menerima kamu. Seiring berjalannya waktu, semua akan terlupakan.”

Tapi lagi-lagi tidak mudah, tetap saja ada pikiran jelek yang mengganggu.

“Tapi para perempuan itu melakukannya atas dasar suka sama suka, bukan diperkosa. Yakin dia bisa menerima kamu? Dia akan merasa jijik di malam pertama, dan memandang rendah dirimu karena tidak bisa menjaga diri dengan baik. Bagaimana kamu bisa lupa, kalau kejadian naas ini terjadi di hari ulang tahunmu!”

Raya terduduk lesu, dia masih sesenggukan, meremas tangannya yang gemetaran, dan pisau kecil itu ada di sisinya dan tidak lama kemudian tertidur.

Raya terbangun, dia melihat kalau dirinya masih ada di lantai dapur. Matanya terasa bengkak dan berat. Setelah menghela nafas berkali-kali, Raya pergi ke kamar mandi. Membersihkan dirinya, meski dia tahu tidak akan pernah bersih seperti sebelumnya.

Ada noda hitam dalam dirinya. Noda yang tidak akan pernah bersih dan tidak akan pernah bisa dihilangkan seumur hidupnya.

Dia tahu, seberapa banyak pun dia menghela nafas berat, semua tidak akan kembali seperti semula. Apa yang telah terjadi, tidak bisa diubah lagi.

Yang bisa dia lakukan saat ini, hanya pasrah. Ya, pasrah, karena jika dikatakan ikhlas, tentu saja dia tidak ikhlas, bahkan mungkin tidak akan pernah ikhlas seumur hidupnya. Satu pikiran terlintas dalam benak Raya, haruskah dia melakukan visum sebagai bukti kasus pelecehan yang dia alami saat ini? Haruskah dia melaporkannya ke polisi?

2 Bimbang

Dia ragu untuk melaporkan ke polisi. Dilihat dari wajah dan penampilan pria itu, dia langsung tahu kalau pria itu pria kaya raya. Uang yang akan bicara. Hukum bisa disumpal dengan uang. Apalah dia yang baru saja lulus sekolah, bahkan belum menerima ijazahnya.

Lagi pula, dia malu. Ini adalah aibnya. Bagaimana nanti orang-orang akan memandang dirinya? Mungkin ada yang menatapnya kasihan. Mungkin juga akan ada yang menatap hina. Mungkin ... ah, bukan mungkin, tapi pasti akan ada yang menganggap dia mencari sensasi, ingin pansos dan lainnya. Dia sering melihat di sosial media, di mana korban menjadi tersangka akibat para netizen julid. Apalagi jika pelakunya adalah orang kaya dengan wajah tampan. Mungkin juga pria itu adalah orang penting? Raya tidak tahu. Dia hanya tahu, kalau orang-orang yang tinggal di gedung apartemen ini adalah orang kaya yang memiliki rekening tabungan di mana.

Tidak seperti dirinya.

Dia tidak memiliki rekening tabungan di bank mana pun. Bahkan uang yang dia punya, hanya numpang lewat saja, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Beruntungnya dia yang berteman seorang teman sekelasnya yang kaya.

Raya menatap wajahnya yang sebab di kaca kamar mandi.

[Raya, maaf ya, aku gak bisa datang, mau ke luar kota dengan kedua orang tuaku. Kamu menginap saja di sana berapa lama pun yang kamu mau. Ada stok makanan di kulkas dan lemari makanan.]

Raya tidak membalasnya. Dia hanya membuka lemari pakaian. Kepalanya terus saja berdenyut dengan otak yang berpikir keras.

Haruskah dia ke kantor polisi?

Haruskah dia ke rumah sakit untuk melakukan visum?

Tapi dia tidak punya uang. Uang ada, tapi tidak banyak, hanya cukup untuk hari ini saja, itu pun untuk ongkos pergi dan pulang kerja.

“Apa yang harus aku lakukan?”

Tapi aku tidak mau pasrah begitu saja. Dia lalu meraih ponselnya, dan mengirimkan pesan pada temannya.

[Riz, aku mau pinjam uang, boleh?]

[Boleh. Berapa?]

Berapa?

Raya tidak tahu berapa uang yang dibutuhkan untuk melakukan visum. Dengan cepat, dia segera mencari informasinya di internet. Hanya sekilas saja yang dia lihat, tidak dia baca seluruhnya .

Oke, ternyata bisa dilakukan di puskesmas.

[Satu juta, ada?]

[Ada. Untung saja aku menyimpan uang cash di sana. Kamu ambil saja di laci kamar, ya.]

[Makasih, Riz. Aku usahakan ganti secepatnya, tapi nyicil, ya.]

[Santai saja.]

Raya lalu mengambil baju yang tadi malam dia pakai, ingin membuangnya ke tempat sampah. Baru ingin memasukkan ke tempat sampah, tangannya berhenti. Ini adalah salah satu bukti pelecehan yang dia miliki. Hasil visum saja mungkin tidak akan cukup, dia butuh bukti lainnya meskipun dia masih ragu, apakah akan melaporkan semua ini ke kantor polisi atau tidak.

Raya lalu mengambil uang satu juta di laci, dan segera pergi ke puskesmas terdekat. Kakinya gemetaran menuju puskesmas.

“Permisi, Mbak.”

“Ya, ada yang bisa saya bantu?”

Raya menggigit bibirnya. Keringat dingin besar-besar mulai mengalir dari keningnya.

“Hm, Saya mau ....”

Raya melirik kiri kanan. Ini masih sangat pagi, di puskesmas ini banyak orang yang akan berobat.

“Apa keluhannya?” tanya mbak itu dengan khawatir melihat wajah Raya yang pucat dan berkeringat.

“Mau ... mau nanya soal ....”

“Ya?”

Untung saja mbaknya sabar, atau Raya akan dimaki-maki karena sudah memperlambat pekerjaan dan mengganggu yang lain.

Seorang pria yang memperhatikan sejak tadi, mengeryitkan keningnya. Pria itu lalu mendekat.

“Ada apa?”

Tubuh Raya semakin gemetaran dengan keringat yang semakin banyak.

“Mba, punya kartu puskesmas?”

Raya menggeleng, tangannya terkepal kuat.

“Bisa pinjam kartu identitasnya?”

“Hmmm ....”

Oke, mereka harus bersabar menghadapi remaja yang masih muda ini.

“Sa ....”

Raya ragu. Haruskah dia mundur atau tetap maju. Oke, dia memang miskin, tapi dia tidak mau ditindas dan diinjak-injak harga dirinya.

“Saya mau nanya soal ... visum,” ucap Raya dengan sangat pelan, takut ada orang lain lagi yang mendengar.

Kedua orang berjenis kelamin berbeda di hadapan Raya itu, tertegun. Bisa mereka lihat kalau gadis itu tertekan, bahkan sangat tertekan, hampir menangis.

“Ayo, kamu ikut saya,” ucap pria itu.

Bukannya ikut, Raya tetap diam namun menunjukkan sikap yang ketakutan.

“Nia, kamu dampingi dia.”

“Baik, Dok.”

“Ayo, jangan takut. Saya akan mendampingi kamu.”

Mereka melewati bagian lain dari puskesmas itu, lalu masuk ke ruangan lain yang tidak ada orang. Raya semakin ketakutan.

“Jangan takut, saya dokter Bian,” ucap dokter itu.

“Jadi, kamu mau melakukan visum?”

“Iya, Dok. Berapa biayanya?”

Dokter Bian dan Nia memperhatikan kondisi Raya. Bajunya bukan baju mewah, jadi bisa dipastikan dia bukan anak orang kaya, apalagi sampai pergi ke puskesmas yang biasanya didatangi masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

“Kamu tidak didampingi oleh pihak keluarga?”

“Gak punya.”

Nia meringis, jadi ingin menangis.

Dokter Bian menghela nafas berat.

“Kamu ... sudah melaporkan ke polisi?”

Raya langsung mengangkat wajahnya yang sejak tadi terus menunduk.

“Apa?”

“Laporkan ke polisi!”

Raya menggeleng.

“Begini, visum tidak bisa dilakukan begitu saja oleh dokter tanpa surat pengantar dari kepolisian. Jadi, kamu harus melaporkan dulu kasus kekerasan yang kamu alami, lalu pihak kepolisian akan memberikan surat pengantar.”

“Kamu, akan melaporkan masalah ini ke kepolisian, kan?”

Raya mengangguk, tapi juga menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau salah melangkah, meski hati kecilnya sangat ingin mendapatkan keadilan. Melihat keterdiaman perempuan muda di hadapannya ini, dokter Bian langsung paham. Banyak korban dari pelecehan seksual yang tidak mau melaporkan kasus itu ke polisi, dengan banyak alasan. Seperti takut aibnya diketahui banyak orang dan menjadi malu, takut kalah, dan lainnya.

“Siapa yang menjadi wali kamu?”

“Ibu panti asuhan.”

“Kamu harus menceritakan masalah ini ke ibu panti, lalu minta beliau untuk mendampingi kamu ke kantor polisi. Jangan takut, kebenaran bukankah harus ditegakkan?”

Raya semakin gemetaran. Rasanya jalannya—yang bahkan belum dimulai, sudah terasa sangat berat. Niat hati hanya ingin melakukan visum untuk jaga-jaga saja, ternyata tak semudah itu. Kalau ujung-ujungnya harus memiliki surat pengantar dari kepolisian dulu, bukankah sama saja dia melaporkan kasus yang menimpanya ini?

“Di mana panti asuhan kamu?”

“Ada di perbatasan kota, Dok.”

“Segera kamu temui ibu panti kamu, dan laporkan kasusnya ke kantor polisi.”

Mereka bisa melihat jelas keraguan di wajah Raya.

“Semua keputusan ada di tangan kamu, jangan sampai salah mengambil langkah. Ini semua demi masa depan kamu.”

Entah perkataan itu sebagai dukungan untuk melaporkannya, atau sebagai tanda apakah dia harus berhenti di sini saja, rasanya Raya tidak tahu bedanya.

“Kalau begitu, saya permisi, Dok.”

Dengan langkah gontai, Raya pergi dari klinik itu. Dia termenung di halte, memikirkan semua hal, apa yang harus dia lakukan. Masa depannya hancur di tangan pria yang sama sekali tidak dia kenal. Hidupnya saja sudah cukup kacau, ditambah masalah baru yang tidak pernah dia sangka sebelumnya. Raya memejamkan matanya, menghela nafas berat berkali-kali.

Dokter Bian yang baru saja keluar dari klinik, melihat Raya yang duduk sendirian di halte. Ada perasaan kasihan. Melihat wajah Raya, dokter Bian yakin kalau Raya masih sangat muda, mungkin masih sekolah. Wajah cantiknya yang putih mulus, tidak seperti wajah kebanyakan remaja yang suka memoles dengan alat rias. Dokter Bian masih memperhatikan Raya, menunggu sampai remaja itu pergi. Entah kenapa ada perasaan khawatir, meski sebenarnya mereka tidak saling mengenal.

Raya tersadar dari lamunannya, tapi masih seperti orang linglung.

Aku harus bagaimana ini?

Raya menepuk kepalanya berkali-kali, berharap dengan begitu semua beban ini akan hilang, meski sebenarnya dia juga sadar, kalau tidak ada gunanya, malah akan membuat dirinya semakin pusing saja.

Raya akhirnya menaiki bis, menuju panti asuhan tempat dia di besarkan. Di dalam bis pun, dia masih saja sibuk berpikir. Haruskah dia melapor atau tidak? Ini bukan hanya sebuah laporan tentang kehilangan barang berharga. Jika saja dia kehilangan emas atau uang, mungkin dia masih bisa mengikhlaskan meski berat, karena dia pun bukan orang kaya.

Tidak terasa Raya sudah tiba di halte tujuannya. Dia turun dan berjalan kaki menuju rumah panti. Sebenarnya jarak dari halte menuju panti kasih cukup jauh, tapi dia harus berhemat sebaik mungkin.

Hampir setengah jam berjalan kaki, Raya akhirnya tiba.

“Bu.” Raya sudah memantapkan hati untuk menceritakan masalahnya ke pada ibu panti, entah apa mati yang akan ibu panti katakan. Dia akan mengikuti saran dari ibu panti, karena yakin itulah yang terbaik.

3 Visum

“Loh, Raya? Ayo masuk, kamu pasti lelah,” ucap ibu panti bernama Mirna. Dia melihat wajah Raya yang dipenuhi oleh keringat besar-besar.

Ibu panti lalu melihat ke arah ujung jalan. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di ujung jalan itu. Tidak mau mengambil pusing, Mirna lalu masuk ke dalam panti.

Dokter Bian yang sejak tadi mengikuti Raya, melihat Raya yang memasuki sebuah rumah yang tidak terlalu besar, tidak juga mewah. Halamannya cukup luas dengan aneka tanaman. Dokter Bian lalu mengemudikan mobilnya dengan pelan melewati rumah itu. Sebuah papan bertuliskan RUMAH YATIM PINTU MUARA KASIH, dengan tulisan bercat hitam yang sudah mengelupas dan kusam.

Setelah memastikan rumah itu benar rumah yatim piatu, dokter Bian lalu pergi meninggalkan kawasan itu.

“Bu ....”

“Ada apa, Raya? Apa terjadi sesuatu?”

Raya mengangguk, tapi juga menggeleng. Saat ini dia benar-benar ketakutan. Tangannya saling meremas kuat. Ini baru ibu panti, bagaimana kalau nanti dia ditanya-tanya oleh polisi? Mungkin dia akan mati mendadak tanpa proses serangan jantung lebih dahulu.

“Katakan pada Ibu, ada apa?”

Ibu Mirna yakin pasti sesuatu terjadi pada anak asuhnya itu. Bukan setahun dua tahun dia mengenal Raya, tapi sudah sejak bayi.

“Aku ... Aku ....”

“Ada apa?” Bu Mirna mengusap pelan punggung Raya, lalu kepalanya, berharap dengan begitu akan memberikan ketenangan untuk anak asuhnya itu.

“Aku ... Aku di ... Diperkosa!”

“A ... Apa?”

Air mata Bu Mirna langsung keluar begitu saja. Hancur hatinya mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Raya. Memang bukan anak kandung, tapi dia sangat menyayangi Raya seperti anak sendiri. Sesak di dada, sakit di hati.

“Bagaimana ....”

“Saat itu, aku ingin ke apartemen temanku. Saat aku ingin keluar dari lift, mulutku dibekap dari belakang, dan aku diseret ke tempatnya yang ada di lantai atas, dan ....”

Raya tidak dapat lagi meneruskan kalimatnya. Tidak mau menceritakan secara detail kronologisnya.

“Kapan?”

“Tadi malam. Aku ... Tadi pagi aku ingin melakukan visum, sebagai ... Untuk jaga-jaga jika ... Tapi kata dokter, visum tidak bisa dilakukan tanpa surat pengantar dari kepolisian. Tapi, bukankah itu berarti aku harus melaporkan kejadian memalukan dan menjijikkan ini pada polisi?”

“Tentu saja kita harus melaporkan kejadian ini pada polisi, jangan sampai ada korban lainnya.”

“Tapi, aku malu. Bagaimana kalau aibku diketahui orang-orang? Di kantor polisi, pasti akan banyak wartawan yang mencari berita kriminal, kan?”

Bu Mirna menghela nafas berat. Apa yang dikatakan oleh Raya ada benarnya. Haruskah mereka tetap bungkam untuk menjaga nama baik Raya. Tapi bukankah dengan begitu, mereka menutupi kebenaran? Membiarkan kejahatan merajalela?

“Kita laporkan saja, Raya. Apa pun yang terjadi, ibu akan selalu mendampingi kamu. Kita tidak akan tahu bagaimana hasilnya kalau tidak berusaha lebih dulu.”

Bu Mirna telah memikirkan ini. Tidak perlu lama-lama, karena ini masalah serius yang harus segera ditangani, sebelum terlambat.

Saat itu juga Raya dan Bu Mirna pergi ke kantor polisi.

“Ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya salah satu polisi.

Bu Mirna segera melaporkan kasus yang menimpa Raya.

“Di mana kejadiannya?”

Raya menyebutkan nama apartemen itu, lantai berapa kejadiannya, dan di unit nomor berapa. Raya juga mengatakan masih menyimpan baju yang tadi malam dia pakai.

Polisi itu diam saja. Dia tentu sangat tahu kalau gedung apartemen itu dihuni oleh para kaum elit.

“Kami akan segera memprosesnya.”

Tiga orang petugas polisi langsung pergi ke gedung apartemen itu. Entah perasaan Raya saja atau tidak, tapi dia merasa kalau beberapa orang polisi menatap ke arah dirinya. Ada yang terlihat malas-malasan. Hatinya mengatakan hal yang tidak baik, meski otak ingin terus berpikir positif.

Tidak membutuhkan waktu lama, ketiga polisi itu tiba di sana. Tentu saja Keanu tidak ada di sana, karena sibuk kuliah. Ya, Keanu masih seorang mahasiswa namun dia juga sudah mulai bekerja di perusahaan.

Polisi mendatangi perusahaan milik keluarga Keanu.

“Tuan, ada tiga orang polisi yang ingin menemui Tuan Keanu,” ucap Bram—sekretaris papanya Keanu.

“Polisi? Ada masalah apa?”

“Saya juga tidak tahu, Tuan.”

Justin langsung menemui ketiga polisi itu.

“Ada apa, kenapa kalian ingin menemui anak saya?”

“Maafkan kamu, Tuan Justin. Anak Anda diduga telah melakukan pelecehan seksual. Untuk itu kami meminta tuan Keanu untuk datang dan dimintai keterangan.”

“Apa? Bagaimana bisa? Anak saya tidak mungkin melakukan hal itu. Pasti perempuan itu berbohong atau sengaja menjebak anak saya!”

“Sebaiknya kita bicarakan di kantor polisi saja.”

Mereka akhirnya datang ke kantor polisi. Keanu langsung dimintai keterangan. Sementara Raya pun dengan didampingi polisi perempuan, pergi untuk melakukan visum.

Justin langsung menghubungi pengacaranya. Jangan sampai masalah ini diketahui publik, meski ada beberapa wartawan di sana.

“Apa pun kebenarannya, jangan sampai Keanu dijebloskan ke penjara! Kalau perlu, singkirkan siapa pun! Ancam atau lakukan apa pun!” perintah Justin.

Di rumah sakit

Raya sedikit menghela nafas lega. Dia takut dokter yang memeriksanya adalah dokter laki-laki, apalagi kalau dokter itu sudah tua. Bukannya apa-apa, Raya masih sangat trauma. Bahkan mengobrol seperti ini dengan dokter di hadapannya saja, Raya sudah gemetaran. Tidak, dia tidak mau membayangkan visum itu dilakukan oleh dokter laki-laki, lebih baik dia mati saja.

Ternyata di sana juga ada dokter Bian. Dokter Bian tidak berkata apa-apa, tapi dia cukup lega Raya mengikuti sarannya.

Mereka memasuki ruangan pemeriksaan. Di sana, ada seorang dokter perempuan yang sudah berumur.

“Halo, saya dokter Ajeng. Siapa nama kamu?”

“Raya.”

Raya terus saja meremas tangannya saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dokter Ajeng.

“Sekarang kita lakukan pemeriksaan fisik, ya.”

Tubuh Raya semakin gemetaran. Dokter Ajeng bisa merasakan itu. Sepertinya Raya juga perlu berkonsultasi dengan psikolog.

“Ja ... Jangan, Dok!”

Raya berusaha mencegah dokter Ajeng yang ingin membuka bajunya.

“Jangan takut. Saya akan memeriksa, tidak akan menyakiti kamu.”

Air mata Raya mengalir. Kejadian tadi malam kembali terlintas di benaknya. Raya mendadak histeris. Dokter Ajeng, dibantu dengan perawat dan polisi perempuan mencoba menenangkan Raya.

Jelas sekali kalau Raya benar-benar trauma. Ini bisa menjadi salah satu rekam medis untuk dijadikan bukti kasus pelecehan ini.

Bu Mirna yang menunggu di luar, sangat cemas mendengar teriakan Raya.

Di kantor polisi

“Tidak ada buktinya!” ucap Keanu. Dalam hati, Keanu mengumpat, tapi juga dia merasa lega karena sudah menghapus CCTV itu. Bukan hanya CCTV di lantai unitnya, tapi juga di lift, dan di lantai dasar saat mereka sama-sama memasuki lift yang sama. Dia tidak menyangka gadis miskin itu cukup berani berurusan dengan dia dan keluarganya. Apa perempuan itu tidak tahu siapa dia dan keluarganya?

Tentu saja Raya dan Bu Mirna tidak tahu siapa mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!