Dear Readers, selamat datang di cerita pertamaku. Silakan dinikmati alur ceritanya, diselami setiap tokoh yang terlibat, dinikmati konfliknya dan diambil hal-hal baiknya.
Sebagai info, cerita ini akan menggunakan alur maju-mundur di beberapa bagian. Mohon untuk dimaklumi dan semoga bisa tetap dinikmati hingga akhir, ya. Terima kasih sudah mampir 🙏
***
"Tidak semua yang kau inginkan akan berjalan dengan baik." ~Diandra Lee.
.
.
.
Diandra Lee Point of View.
Aku tak tahu bagaimana aku akan menjalani hidup kemudian. Setelah pemakaman ibu kemarin, aku masih tidak bisa berpikir dengan baik. Rasanya seluruh duniaku hancur. Hanya ibu yang aku miliki di dunia ini. Kenapa begitu cepat Tuhan mengambilnya dari sisiku?
Aku Diandra Lee, seorang gadis muda yang kini resmi menjadi seorang yatim piatu, sekaligus pewaris tunggal Perusahaan Lee. Ayahku sudah lama pergi, meninggalkan aku dan ibu lebih dulu. Kini ibu pun telah menyusul ayah, meninggalkan aku sebatang kara. Usiaku masih dua puluh dua tahun dan kini aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku baru saja kembali dari Paris ketika ibu tiba-tiba masuk rumah sakit, dan setelah perjuangan panjangnya melawan rasa sakit, dia akhirnya pergi untuk selamanya. Kini, aku di rumah besar ini dan masih begitu berkabung dalam kesedihan.
Perusahaan? Aku sama sekali tidak paham apapun. Aku mencintai design, aku ingin menjadi designer terkenal, seperti impianku. Sekaligus itu menjadi hal yang ditentang ibu tentunya. Karena sibuk dengan design, aku tidak pernah belajar mengenai bisnis. Tidak ada niat untuk melanjutkan perusahaan sama sekali. Aku tidak tahu ibu akan cepat sekali meninggalkanku seperti ini. Jika tahu, mungkin aku akan mempersiapkan diri untuk menggantikan posisi ibu, mengambil alih perusahaan kami yang beromset milyaran rupiah per bulan.
Saat sedang merenungi nasibku yang terasa terlalu tiba-tiba, pelan terdengar suara langkah kaki mendekati pintu.
Tok tok tok.
"Diandra, ini Tante Luna. Kamu sudah bangun?" Suara Tante Luna yang khas, berbicara dari luar pintu kamarku.
Aku memaksa badanku untuk bangkit dari tempat tidur. Mengambil ikat rambut dan mencepol rambutku sambil perlahan menuju pintu. Aku meraih gagang pintu dan menariknya sedikit.
"Sudah Tan," jawabku. Tante Luna tersenyum.
Hanya Tante Luna yang aku punya. Tante Luna yang bisa kupercaya saat ini, selain itu tidak ada. Aku kembali masuk menuju ranjang dan duduk di tepi, diikuti Tante Luna yang masih berdiri di hadapanku, membungkuk sedikit.
"Diandra, Tante tahu ini kurang pantas karena kita masih dalam masa berkabung. Tapi, perusahaan membutuhkan kamu. Karena kamu tidak pernah bekerja di perusahaan, maka tolong pertimbangkan lagi mengenai perjodohan dengan pewaris Trahwijaya," ucap Tante Luna to the point. Aura keibuannya terpancar jelas dari matanya dan aku tahu Tante Luna pasti akan selalu berpihak padaku.
Aku menyeka wajah.
"Tante, aku tidak tahu harus berbuat apa, aku hanya punya Tante sekarang," balasku pilu.
Tante Luna menepuk bahuku.
"Percaya sama Tante. Tante tidak akan menjerumuskanmu ke dalam hal yang buruk. Bram adalah pria yang baik, keluarganya dan keluarga kita dekat. Kamu bisa belajar banyak dari Bram, dia sudah melalang buana di dunia bisnis. Lagipula usianya tidak jauh beda dengan kamu," ucap Tante Luna menjelaskan.
Aku menoleh. Penasaran.
"Berapa Tante?"
Tante Luna tersenyum.
"Masih dua puluh sembilan tahun."
***
Bram Trahwijaya Point of View.
Papa tetap dengan pendiriannya. Sepertinya aku akan kalah kali ini.
"Pa, tapi Bram sudah punya pacar, Pa!" seruku lantang. Mata Papa langsung melotot.
"Pacarmu itu hanya bermain-main, Bram. Dia model yang akan bekerja kemana-mana, lagipula Papa kurang suka dengan dia yang acuh tak acuh!" balas Papa tak kalah lantangnya.
Aku menggeleng.
"Tetep aja enggak! Dia juga pasti enggak setuju dengan perjodohan ini! Wong ketemu aja belum pernah kok," timpalku lagi, membuat Papa menghela napas frustasi.
"Bram, kamu paham kondisi perusahaan kita sekarang seperti apa? Saham kita anjlok, banyak partner yang mengundurkan diri, kita butuh dana segar, Bram. Dan dengan menikahi pewaris tunggal Lee, kita bisa bangkit lagi," jelas Papa.
Aku semakin berdecak. Ternyata memang hanya perusahaan yang ada di pikiran Papa. Beliau tidak peduli dengan perasaanku dan perasaan Zea, pacarku. Kurasa tidak ada gunanya berdebat lagi dengan Papa.
"Pa, aku tetap gak akan setuju dengan ini!" ucapku lagi, menolak mentah-mentah rencana perjodohan ini. Ini bukan zaman siti nurbaya, kan?!
Papa berkacak pinggang.
"Baiklah. Kalau kamu masih bersikeras, maka semua aset yang kamu miliki harus kamu kembalikan pada Papa! Bahkan kamu tidak perlu lagi datang ke perusahaan mulai besok!" ancam Papa tegas. Sorot matanya tajam, kali ini aku tahu Papa tidak main-main.
Aku bergidik.
"Tapi, Pa ...."
"Pikirkan sekali lagi! Hanya itu pilihan yang kamu punya, atau angkat kaki dari sini!" Lanjut Papa, tampaknya tidak mengendor sama sekali.
Aku hanya bisa terdiam. Tidak ada gunanya melawan Papa. Jika aku bersikeras, sama saja aku membiarkan perusahaan kami tamat. Jika perusahaan tamat, maka riwayatku juga akan tamat. Jika riwayatku tamat, mungkin aku akan kehilangan Zea.
Otakku berpikir keras. Sepertinya aku tidak punya pilihan.
.
.
.
🌾Bersambung🌾
~Dukung dengan like, komen dan vote ya, Readers. Makasih sudah mampir 🙏
"Kau hanya perlu melakukannya dengan baik. Sekali ini saja." ~Bram Trahwijaya.
.
.
.
Diandra tidak punya pilihan lain. Dia hanya memasrahkan semuanya pada Tante Luna. Apakah menikah dengan pewaris Trahwijaya akan membuatnya lebih baik? Entahlah. Entah siapa Bram Trahwijaya, Diandra pun enggan memikirkannya. Gadis itu masih bergelut dengan fikirannya, masih berusaha beradaptasi dengan keadaan.
Tante Luna menjelaskan panjang lebar. Perusahaan Lee sangat berkembang pesat. Begitu banyak orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari berpulangnya pimpinan mereka, yaitu ibunya Diandra yang kini menyisakan ruang kosong di posisi Pimpinan Utama. Tante Luna bercerita akan banyak pihak yang hendak mengambil posisi itu, karena silau dengan kesuksesan perusahaan. Setelah pertemuannya dengan Brio Trahwijaya, yang merupakan ayah dari Bram saat ibu Diandra berada di rumah sakit, mereka sudah berbicara masalah rencana pertunangan untuk Diandra dan Bram, yang seharusnya dilaksanakan setelah ibu Diandra pulih. Namun kenyataan berkata lain. Tuhan menyayangi ibu Diandra dan memanggilnya lebih cepat, sehingga menyisakan kesedihan yang begitu menusuk di relung hati Diandra.
Alasan terbesar Tante Luna menikahkan Diandra dengan Bram, adalah untuk Diandra belajar memimpin perusahaan. Ada beberapa koalisi yang sedang mengincar kursi pimpinan, karena menganggap tidak ada pengganti yang pantas untuk mengisi kursi itu. Diandra dianggap masih terlalu muda, terlebih dia masih anak kemarin sore dan buta soal perusahaan. Maka dari itu Bram harus mengajari Diandra memimpin perusahaan, mengajari gadis itu bagaimana menjalankan perusahaan dan mengelolanya dengan baik.
Bram di mata Tante Luna adalah pemuda yang sangat kompeten. Dia telah beberapa kali bertemu Bram dan pemuda itu menunjukkan sikap sopan, sekaligus terlihat tampan dan maskulin.
Ketampanannya diwarisi dari garis jepang ibunya, yang juga telah tiada. Wajahnya yang khas percampuran Indonesia dan Jepang, hampir mirip jika disandingkan dengan wajah oriental Diandra yang mendapat garis Korea dari sang ayah.
Di sisi lain, Bram terus memutar otak. Dia tidak bisa melepaskan segala aset yang dimilikinya seperti ancaman Papanya kemarin. Dia tahu betul kondisi perusahaan sedang tidak stabil. Perusahaannya membutuhkan sokongan untuk bertahan dan dia yakin perusahaan Lee dapat melakukan itu. Sebaliknya, wanita yang akan dijodohkan padanya adalah pewaris tunggal, yang mungkin akan memiliki banyak musuh yang ingin merebut posisi pimpinan utama. Bram tahu wanita itu tidak pernah terjun ke bisnis dan selama ini menetap dan sekolah di Paris.
Tapi bagaimana nasib hubungannya dengan Zea? Zea kini sedang berada di Italia untuk pemotretannya dan tidak lama lagi pasti akan kembali ke Indonesia. Bagaimana lelaki itu akan menjelaskan semuanya pada Zea? Bram memegangi kepalanya dan meremas rambutnya frustrasi.
Pria itu mengambil ponselnya dan dengan ragu memencet sebuah kontak. "Diandra", begitu nama itu tertulis di layar ponselnya. Setelah berfikir cukup lama, dia akhirnya memutuskan untuk menekan tombol panggil. Nada masuk berbunyi beberapa kali, yang akhirnya dijawab oleh sang pemilik telepon.
"Halo?" Sebuah suara di sebrang membuyarkan lamunan Bram.
"Halo, Diandra?" balasnya ragu.
"Iya, dengan siapa?" Suara wanita ini terkesan berat tetapi tegas.
"Diandra, ini aku Bram," ucap Bram kemudian yang diikuti hening sesaat.
"Ya, Bram ... bagaimana aku harus memanggilmu? Bram atau Mas Bram?" balas gadis itu lagi.
Bram mematung.
Apa yang baru saja diucapkan oleh wanita ini? Dia menanyakan bagaimana dia harus memanggilku?
"Bram saja," jawab Bram singkat.
"Baiklah, Bram. Apa kau tak keberatan? Kau kan tujuh tahun lebih tua dariku," ucap Diandra lagi. Kini nada suaranya terdengar lebih santai.
Bram tertawa kecil.
"Wah, rupanya kau telah tahu banyak tentangku," balas Bram berusaha lebih santai kali ini.
"Tidak banyak. Aku hanya tahu kau berusia dua puluh sembilan tahun. Dan aku dua puluh dua tahun. Haruskah aku memanggilmu Abang?"
Senyum Bram semakin melebar. Wanita ini menarik, gumamnya dalam hati.
"Tidak, Bram saja. Oh ya, apa kau punya waktu malam ini?" tanya Bram.
Diandra terdiam sesaat.
"Aku punya banyak waktu, Bram. Jemputlah aku di rumah jam tujuh malam," jawab Diandra tegas.
Bram sedikit terkejut dengan jawaban Diandra. Tidak ada keraguan dalam intonasi maupun kata-kata gadis itu. Dia mungkin telah lebih dulu bersiap untuk menghadapi apa yang sedang menanti mereka di kemudian hari.
"Baiklah. Sampai ketemu jam tujuh, Diandra."
Diandra tidak lagi menjawab, namun langsung menutup sambungan telepon itu.
Bram terdiam, memandangi ponselnya yang telah tidak lagi tersambung pada panggilan telepon.
Diandra adalah gadis muda yang tegas, simpul Bram. Lelaki itu menghela napas pelan.
Baiklah. Aku hanya perlu melakukannya. Sekali saja.
.
.
.
🌾Bersambung🌾
~Dukung dengan like, komen dan vote ya, Readers. Makasih sudah mampir 🙏
"Tak kenal maka tak sayang." ~Pepatah Lama.
.
.
.
Tante Luna menyambut kedatangan Bram malam itu dengan senyuman yang terpancar jelas di wajah cantiknya. Bram terlihat sangat tampan dengan kemeja biru muda dipadu dengan celana jeans berwarna gelap.
Sungguh lelaki itu tampak jauh lebih muda dari perkiraan usianya. Rambutnya ditata agak berantakan dan menampakkan sisi maskulin dari pria itu. Dia melebarkan senyuman, yang memperlihatkan gigi-giginya yang rapi, ketika Tante Luna menyapanya di ambang pintu.
"Masuk, Bram. Diandra masih di atas, sebentar ya..," sumringah Tante Luna menyambut Bram sembari membukakan pintu lebih lebar.
Bram mengangguk, tersenyum seraya melangkah pelan memasuki rumah kediaman keluarga Lee. Pria itu duduk di sofa panjang, dan Tante Luna duduk di sofa tepat di hadapan Bram.
"Bram, Tante to the point ya. Mohon bantu Diandra melanjutkan perusahaan. Hanya dia yang Tante punya di Indonesia. Setelah pernikahan kalian, Tante akan kembali ke Spanyol," ungkap Tante Luna lugas.
Bram mengernyitkan dahi.
"Tante mau kembali ke Spanyol? Terus Diandra bagaimana?" tiba-tiba saja Bram berkata demikian, tidak sadar.
"Kan ada kamu yang bisa jagain Diandra, nanti kalau senggang boleh main ke Spanyol ke tempat Tante, ya," balas Tante Luna lagi, tersenyum bahagia.
Bram tidak berkata-kata lagi, dia hanya tersenyum tipis. Belum apa-apa, Tante Luna sudah menitipkan dan berpesan padanya untuk menjaga Diandra, sedangkan dia saja tidak tahu bagaimana watak dan kepribadian gadis itu. Apakah dia akan bertahan? Atau dia akan menyesali kedatangannya kali ini?
Saat masih bergelut dengan rumitnya hal di fikirannya, mata Bram menangkap sosok seorang gadis yang turun dari lantai dua rumah itu, berjalan pelan dan hati-hati menuju sofa tempat dimana Bram dan Tante Luna duduk.
Itu pasti Diandra.
Bram memperhatikan dengan seksama perempuan yang baru pertama kali ini dilihatnya. Diandra menggerai rambut panjangnya, dengan make up tipis dan lipstik berwarna merah muda. Gadis itu mengenakan dress selutut dan Bram dengan jelas melihat bahunya yang terekspos. Senyum gadis itu merekah saat dia telah berdiri tak berapa jauh dari tempat duduk Bram.
"Ini pasti Bram, ayo Bram!" ujar Diandra di hadapan Bram, tanpa basa-basi.
Bram masih terdiam memperhatikan gadis itu, namun langsung tersadar begitu Diandra memiringkan kepalanya melihat Bram lebih dekat.
"Eh.. Ayo!" balasnya. Dia dengan sigap bangkit, diikuti Tante Luna yang juga bangkit dari kursinya.
"Tante, kami pergi dulu ya. Gak akan lama, kok," ucap Diandra memeluk tantenya itu.
"Lama juga tidak apa-apa, sayang," balas Tante Luna menggoda. Ia menyunggingkan senyum kepada Bram. Bram langsung salah tingkah.
"Permisi dulu, Tante," pamit Bram, diikuti dengan anggukan Tante Luna.
Diandra berjalan menuju pintu, dengan Bram di sampingnya. Lalu mereka berjalan menuju mobil Bram dan tidak membuang waktu lama, mobil itu telah menjauh meninggalkan kediaman Lee.
"Kamu mau makan apa, Diandra?" tanya Bram, sambil menyetir mobilnya yang belum tahu arah tujuan.
Diandra sedari tadi diam di sampingnya, hanya melihat keluar jendela, menatap pada pemandangan di luar sana, yang didominasi dengan lampu warna-warni.
"Ayo ke tempat makan kesukaanmu saja, Bram. Aku tidak rewel untuk makan," jawab Diandra.
Bram melirik perempuan itu sekilas. Namun Diandra tetap melihat keluar jendela.
"Baiklah, ada restoran Jepang di dekat sini, kita kesana saja. Bagaimana?" usul Bram lagi.
Diandra mengangguk.
"Okay. Aku suka makanan Jepang," jawab Diandra, kali ini melihat Bram sekilas.
Bram tersipu. Entah kenapa gadis ini sangat tenang. Gadis ini menarik, untuk beberapa hal. Dia tidak mudah terintimidasi dan tidak mudah gugup, batin Bram dalam hati.
Setelah beberapa lama memacu mobilnya, Bram lalu memarkirkan mobilnya di salah satu restoran Jepang langganannya. Mereka turun dan memesan makanan, sambil sama-sama terdiam, tanpa ada yang berbicara.
"Diandra," panggil Bram memecah keheningan.
Gadis itu sedari tadi melihat pemandangan sekitar, lalu menoleh kearah Bram.
"Hmm?" jawabnya singkat. Kali ini manik mereka saling beradu.
Bram tidak tahu harus mulai darimana. Dia sangat ingin membahas tentang perjodohan mereka, tapi masih ragu. Dan dia juga khawatir dia tidak siap dengan reaksi Diandra nanti. Dia takut gadis itu tersinggung.
"Soal perjodohan...," ucap Bram pelan, tertahan. Dia tidak dapat menemukan kata yang pas untuk melanjutkan kalimatnya.
Diandra melihat Bram dalam.
"Kamu pasti keberatan, kan? Karna mustahil pria sukses sepertimu tidak punya pacar, hmm?" tanyanya.
Bram menghela napas. Belum sempat dia menjawab.
"Bram, aku paham. Dengan pernikahan ini, ajari aku mengelola perusahaan, dan akan kubantu perusahaanmu. Simbiosis mutualisme, bukan? Kelak ketika sudah stabil, kita akan hitung persentasi keuntungan dan membaginya, lalu bisa berpisah. Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk mengajariku?", celoteh Diandra panjang lebar.
Bram terkesima sesaat dengan gadis ini. Umurnya masih muda dan masih anak kemarin sore, tapi kata-katanya langsung menohok ke dalam hati Bram.
"Hmm.. mungkin enam bulan? Atau bisa lebih cepat jika kamu cerdas," jawab Bram lantang.
Diandra memutar bola matanya.
"Baiklah. Kurasa enam bulan akan cukup, jika memungkinkan bisa lebih cepat daripada itu," ujar Diandra percaya diri.
Bram membisu seketika. Dia tidak pernah menyangka Diandra akan setenang ini, tidak goyah dan bicaranya pun tegas penuh percaya diri. Lelaki itu mengangguk.
"Aku yakin kamu akan cepat belajar," katanya kemudian, memiliki keyakinan dalam nada suaranya.
Diandra tersenyum kecil pada lelaki itu. Kemudian dia mengangguk tanda dia setuju.
Kuharap juga demikian, Bram. Aku tidak siap meninggalkan duniaku. Kuharap semuanya akan berjalan dengan baik.
.
.
.
🌾Bersambung🌾
~Dukung dengan like, komen dan vote ya, Readers. Makasih sudah mampir 🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!