NovelToon NovelToon

Ronin Pengembara

Pria Berjubah Cokelat

Sagard, merupakan sebuah kota yang masih di bawah pemerintahan Kerajaan Mondu. Hampir seluruh bangunannya terbuat dari kayu. Tentunya bukan kayu biasa. Melainkan kayu terbaik yang pernah ada di Gatara. Di pintu gerbangnya yang juga terbuat dari kayu, setiap pukul empat subuh, para petugas membuka pintu itu. Sebab, pintu itu juga menjadi perputaran ekonomi. Ketika melewati pintu itu, kita akan disambut oleh pasar yang tertata dengan rapi. Mau beli apa pun, semuanya ada di sini.

Di siang hari yang terik, ada seorang pria memakai jubah warna cokelat yang menutupi seluruh tubuhnya hingga setengah betis, memakai caping warna jerami, dan samar-samar terlihat dia membawa pedang katana dari balik jubahnya. Pria itu berjalan perlahan melewati pintu gerbang yang sudah terbuka lebar itu. Dia berjalan melewati banyak sekali orang-orang yang keluar-masuk kota. Ada juga yang memakai kereta kuda untuk mengangkut barang-barang. 

Sesampainya di tengah pasar, pria itu berhenti di seorang pedagang buah-buahan. Pedagang bertubuh gemuk dan berkumis tebal dengan pakaian warna cerah itu menyambutnya.

“Selamat datang di Sagard. Kota yang penuh dengan keindahan seni ukir kayunya. Setiap malam, akan ada kerlap-kerlip lampu di penjuru kota. Kamu akan suka hahaha,” sapa pedagang itu.

Tetapi pria berjubah cokelat tak menanggapinya sehingga membuat pedagang itu berhenti tertawa.

“Jadi, Anda mau beli apa, tuan?” tanya pedagang itu kemudian.

Pria berjubah cokelat itu menyibakkan jubahnya lalu melempar uang satu koin. Dengan sigap pedagang itu menangkap koin itu.

“Satu koin perak cukup untuk membeli buah-buahan sebanyak dua biji saja,” kata pedagang itu sambil memasukkan koin tersebut ke dalam kantung celananya.

Tanpa berkata apa pun, pria berjubah cokelat langsung mengambil dua buah apel dan kembali berjalan menyusuri jalanan pasar. Hingga sampai di sebuah penginapan sederhana. Di mana atapnya terbuat dari jerami. Dia masuk dan menuju petugas resepsionis perempuan.

“Masih ada kamar yang kosong,” kata petugas perempuan itu.

Pria berjubah hitam tak berkata-kata. Seperti yang dia lakukan sebelumnya. Dia melempar beberapa uang koin ke atas meja. Petugas resepsionis melihat koin tersebut yang ada lima.

“Untuk satu malam dan satu porsi sarapan. Silakan,” katanya sambil menyodorkan kunci kamar.

Pria berjubah cokelat langsung mengambil kunci itu dan masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Di kamar, dia melepas jubahnya, terlihat perawakannya yang berotot, kulitnya putih, rambutnya agak bergelombang ketika dia melepas capingnya. Pedang katananya yang terselip di pinggang sebelah kanan dia taruh di sudut ruangan. Dia langsung berbaring di kasur dan beristirahat.

***

Malam hari, pria berjubah cokelat itu keluar menuju sebuah bar sederhana. Di sana banyak sekali pria-pria sedang minum-minum. Tak sedikit juga yang ditemani oleh wanita-wanita penghibur. Tetapi pria berjubah cokelat itu tidak peduli. Dengan santai dia berjalan dan duduk di depan bar. Dia menundukkan kepala sehingga si bartender tidak bisa melihat wajahnya karena terhalang oleh caping.

“Anda mau pesan apa, Tuan?” tanya bartender.

“Makanan dan segelas air putih,” jawab pria berjubah cokelat dengan suara yang lembut.

Seorang pria bertubuh besar, ototnya terlihat sangat terlatih, berambut agak panjang, yang duduk di pojokkan bersama wanita penghibur tertawa mendengar jawaban pria berjubah cokelat.

“Hahaha! Pergi ke bar hanya minum air putih?” ledek pria bertubuh besar.

Pria berjubah cokelat hanya diam. Ketika makanannya datang, dia langsung menyantapnya. Sementara pria bertubuh kekar merasa kesal karena dia diacuhkan. Dia lalu berdiri dan berjalan mendekati pria berjubah cokelat itu.

“Hei, kalau diajak mengobrol, kamu harusnya jawab atau balas,” katanya sambil mendekatkan wajahnya dan matanya melotot.

“Maaf, saya tidak ada urusan dengan Anda,” balas pria berjubah cokelat.

“Rupanya kau belum tahu siapa aku.”

Seketika orang-orang di dalam bar tertawa.

“Hajar dia Bedro,” ucap salah seorang pria.

“Sepertinya dia orang baru. Harus diberi tahu bagaimana caranya sopan santun di kota ini!” teriak seorang pria yang lain dari kejauhan.

Bedro menunduk lalu berkata, “Hei, kau dengar mereka? Kau sudah tahu siapa aku, hem?”

Pria berjubah cokelat tidak menghiraukan. Dia terus makan dan meneguk air putih. Bedro semakin kesal karena dari tadi dia diacuhkan. Dengan penuh emosi Bedro menarik makanan pria bejubah cokelat lalu membantingnya ke lantai. Semuanya terdiam karena tahu jika Bedro marah, akan mengerikan sekali. Bahkan si bartender pun lari karena ketakutan,

“Aku katakan sekali lagi. Kalau diajak mengobrol, kau harusnya jawab,” Bedro menggebrak meja sampai-sampai semua orang dibuat kaget.

Tetapi pria berjubah cokelat tetap tenang. Dia malah menghabiskan air putihnya. Bedro semakin tersulut emosi. Dia hendak memukul peria berjubah cokelat itu dengan tangan kanannya. Tetapi entah kenapa, pria berjubah cokelat menghindar dengan menundukkan badannya ke bawah lalu dengan cepat, dia berputar dan kembali berdiri dan kini berada di belakang Bedro.

Semua orang tertegun melihat kecepatan pria berjubah cokelat itu.

“Cepat sekali dia menghindar,” sahut salah seorang pria.

Bedro memutar badan ke kanan sambil tangan kanannya mengepal berharap bisa mengenai pria berjubah cokelat. Tetapi pria berjubah cokelat dengan mudah melompat ke belakang. Bedro berlari dan melayangkan pukulan dengan tangan kanan tepat mengarah ke pipi kiri pria berjubah cokelat. Dengan cepat pria berjubah cokelat menunduk lalu menghunus katananya sehingga ujung gagang katana tersebut mengenai perut Bedro. Seketika Bedro terpental ke belakang dengan punggung menghempas ke lantai. Dia lalu kesakitan bahkan mulutnya mengeluarkan darah.

Semua orang yang ada di bar hening. Pria berjubah cokelat itu dengan tenang berjalan ke tempat dia makan tadi lalu menaruh beberapa uang koin. Dia berbalik dan berjalan ke luar. Orang-orang yang terdiam merasa takut ketika pria berjubah cokelat itu berjalan melewati mereka.

“Me...mengerikan,” ucap salah satu orang ketika pria berjubah cokelat itu sudah pergi.

***

Esok paginya, kabar kekalahan Bedro pun menyebar di kalangan para penjahat kota Sagard. Bahkan, dia diledek oleh teman-teman kelompoknya. Bedro yang selama ini pemberani dan selalu menang, kalah telak hanya dengan satu serangan. Di sebuah gedung kelompok penjahat itu berkumpul, mereka meledek Bedro. 

Gedung berlantai tiga itu terletak di sudut utara kota yang terkenal daerah kumuh. Terbuat dari kayu tapi tidak rapuh walau umurnya sudah tua. Rayap pun, tak sanggup memakannya. Sementara itu ketua kelompok hanya duduk diam sambil memejamkan mata ketika hampir semua anggota meledek Bedri.

“Bos Gardi, bagaimana ini? Anak buah kesayanganmu kalah hanya dengan satu serangan di bar tadi malam? Hahaha,” ucap salah seorang anggota sambil tertawa puas.

Gardi masih diam. Kulitnya yang agak gelap membuat dia semakin ditakuti. Matanya tajam, rambutnya merah menjuntai, dagunya lancip, dan badannya besar lagi kekar. Dia selalu membawa senjata andalannya, yaitu sebuah tongkat besi yang memiliki duri-duri tajam.

“Di mana dia sekarang?” tanya Gardi sambil membuka mata.

“Dia di rumah sakit. Lukanya lumayan parah,” jawab salah satu anggota.

“Bukan dia. Melainkan pria berjubah itu.”

“Menurut anggota kita yang memata-matai, dia masih ada di penginapan dekat pasar.”

“Kapan dia akan keluar?”

“Siang ini.”

***

Pria berjubah cokelat itu keluar dari penginapan. Dia berjalan keluar ke pintu gerbang melewati pasar. Ada dua orang pria yang mengikutinya diam-dia dari belakang. Tentunya pria berjubah cokelat itu tahu dia sedang diikuti. Jadi dia berjalan ke selatan pintu gerbang ke sebuah bukit yang diselimuti oleh rerumputan. Bukit itu tingginya sekitar lima puluh meter. Di atas bukitnya, tidak ada apa-apa kecuali batu-batu besar yang berserakan. 

Setelah berjalan menyusuri jalan setapak, dia sampai di atas bukit itu. Di sana, Gardi sedang duduk bersila di atas batu paling besar sambil memejamkan mata. Tongkat berdurinya tergeletak di sebelah kanannya.

“Aku kira, anak buahku akan susah mengarahkanmu ke sini,” ucap Bedro. Dia membuka matanya, mengambil tongkat berdurinya lalu melompat dan berdiri sekitar lima meter di depan pria berjubah cokelat itu.

“Sebelum pergi dari kota ini, sepertinya ada masalah yang harus aku selesaikan,” balas pria berjubah cokelat itu.

“Nama?”

Pria berjubah cokelat itu heran.

“Siapa namamu?” tanya Gardi sekali lagi.

“Ran,” jawab pria berjubah cokelat itu singkat.

“Ran? Sepertinya kau bukan orang biasa.”

“Aku adalah seorang ronin yang mencari orang bernama Garun.”

“Belum pernah aku dengar nama itu.”

Gardi bersiap. Dia memegang erat tongkat berdurinya. Lalu dia berlari melesat secepat angin dan mengayunkan tongkat berdurinya ke arah Ran. Tetapi dengan cepat Ran menghunus katananya dan menahan tongkat berduri milik Gardi.

“Ternyata kau lumayan juga,” ucap Gardi sambil tersenyum menyeringai.

“Ayo kita selesaikan sehingga aku bisa pergi dari kota ini dengan tenang,” balas Ran.

Mereka kemudian bersiap dengan jurusnya masing-masing untuk mengalahkan satu sama lain.

 

Bersambung...

Siapa Yang Kau Cari

Gardi melompat dan mengayunkan tongkat besi berdurinya secara horizontal dari atas ke bawah. Ran menahan dengan katananya. Lalu sekuat tenaga dia ayunkan katananya ke kanan sehingga membuat Gardi terpental dan berguling tetapi dia langsung berdiri lagi.

“Dari mana kau tahu aku bersembunyi di sini?” tanya Gardi.

Ran menjawab, “Hanya menebak saja. Lagi pula, aku kurang nyaman diikuti oleh dua orang anak buahmu itu,” sambil melirik kepada anak buah Gurdi yang bersembunyi di balik bebatuan besar.

“Instingmu tajam juga. Suni dan Darga yang mengikutimu itu tidak perlu repot-repot menggiringmu ke masi,” Gardi tersenyum lebar.

Ran memasukkan kembali katananya ke dalam sarung. Kemudian dia berlari dan menghunuskan katananya lagi menyerang Gruan. Dengan tenang Garun menahan dengan tongkat besi berdurinya. Mereka kemudian saling menyerang dan menahan. Semuanya terlihat seimbang.

“Kau juga ternyata lumayan,” ucap Ran ketika dia meloncat ke belakang.

“Pantas saja Bedro kalah telak. Ilmi berpedangmu jauh di atas dia,” Gardi tersenyum kemudian dia bersiap lagi.

Setelah menghembus napas panjang, Ran melepaskan capingnya. Lalu dia juga bersiap untuk menyerang atau menerima serangan. Mereka berdua lalu berlari. Ketika mereka sudah dekat satu sama lain, Ran menghunus katananya. Tetapi Gardi melompat dan kakinya menginjak dinding batu besar yang ada di sebelah kiri.

Dengan cepat dia ayunkan tongkat besi berdurinya. Ran melompat ke kanan sehingga membuat serangan Gardi meleset dan mengarah ke tanah. Gardi berputar dan menyerang kembali. Ran menahannya dengan katananya. Kemudian dia melompat dan melayangkan tendangan kaki kanan.

Gardi menahan dengan kirinya tetapi karena serangan Ran sangat kuat, dia terpental dan berguling-guling di tanah.

“Aku tidak menyangka seorang ahli pedang mempunyai tendangan yang sangat kuat,” kata Gardi sambil berdiri lalu meludah karena bibirnya berdarah.

“Selain berpedang, aku juga dilatih bertarung dengan tangan kosong,” balas Ran.

Gardi hanya tertawa kecil. Dia kemudian mengayun-ngayunkan pedang besi berdurinya. Sesekali dia putar dengan tangan kanannya. Lalu berlari dan menyerang Ran dengan mengayunkan tongkat besi berdurinya secara vertikal dari kanan ke kiri. Ran menahan dengan katananya dan dengan cepat membalikkan serangan. Gardi menunduk untuk menghindari serangan Ran. Dia lalu mengayunkan kaki kanannya mengarah ke kaki Ran. Namun Ran melompat ke belakang dan memasukkan kembali katananya ke dalam sarungnya.

Dengan cepat Ran kembali berlari lalu menghunuskan katanannya. Gardi menahan dengan tongkat besi berdurinya. Mereka pun beradu kekuatan. Saling mendorong. Decit gesekan suara perpaduan katana dan tongkat besi pun terdengar sangat nyaring.

“Mereka seimbang,” ucap Suni, pria yang berkulit gelap dan rambutnya keriting.

“Sepertinya begitu. Mereka masih adu kekuatan. Senjata mereka masih menempel satu sama lain,” kata Darga, pria kurus dengan janggut tipis.

Gardi melompat ke beakang. Dia berpijak dari bebatuan kecil ke bebatuan besar. Ran mengikutinya sambil menyerang. Sementara Gardi menahan serangan Ran. Ketika mereka berdua sampai di atas batu besar, Ran melayangkan serangan kuat. Gardi menahannya tetapi dia terpental dengan cepat dan tubuhnya menghempas ke

bebatuan berukuran sedang hingga batu itu hancur.

Suni dan Darga yang melihat kejadian itu terkejut sampai-sampai mata mereka melotot.

“Bos bisa mati,” Darga panik.

“Kita tolong dia,” Suni berdiri tetapi tangannya ditarik oleh Darga.

“Kau mau cari mati? Lihat si Ran itu. Dia levelnya jauh di atas kita bodoh!" Darga memukul kepala Suni.

Ran melompat dari atas batu dan memasukkan katananya ke dalam sarungnya.Sementara itu Gardi berusaha bangkit berdiri. Di wajahnya terlihat kemarahan yang luar biasa kepada Ran. Matanya merah, urat-urat di wajahnya terlihat semua. Dia menatap Ran dengan tajam sambil napasnya terengah-engah.

“Baru kali ini aku kewalahan melawan musuh,” kata Gardi.

“Jangan pernah menganggap remeh siapa pun musuhmu,” ucap Ran.

Gardi hanya tertawa menyepelekan. Mereka kemudian bersiap lagi untuk bertarung.

***

Kepala kepolisian kota Sagard, mendapat laporan kalau terjadi pertarungan antara penjahat terkenal Gardi dan seorang pemuda asing. Tentu saja dia terkejut. Sebab Gardi memang penjahat yang paling ditakuti di kota ini.

Kepolisian tidak bisa menangkapnya. Sebab, Gardi cukup licin dan pandai sekali menyamar. Terlebih lagi, dia mempunyai ilmu bela diri yang cukup tinggi. Peluru saja tidak cukup untuk menahannya.

“Siapa pemuda itu?” tanya kepala kepolisian kepada anak buahnya.

“Kami tidak tahu, Pak. Sepertinya, dia pendatang,” jawab anak buahnya.

“Di mana mereka bertarung?”

“Di bukit Sirna.”

“Aku akan ke sana. Kau siapkan beberapa personel.”

“Segera dilaksanakan, Pak,” anak buahnya itu pamit pergi.

Kepala kepolisian itu membuka bungkus rokoknya, menyelipkannya di bibir lalu menyalakannya dengan korek api. Wajahnya kalem, umurnya sekitar hampir empat puluh tahun, kulitnya putih, rambutnya hitam, postur tubuh tinggi, dan memakai seragam kepolisian Sagard. Seragam itu berwarna krem tua. Karena dia pangkatnya tinggi, jadi dia memakai jubah kepolisian. Di meja kerjanya, tertulis namanya, Fresa Gormon.

Setelah duduk sebentar dan menghabiskan rokoknya, Fresa berdiri lalu mengambil jubahnya dan memakainya. Berjalan keluar ruang kerjanya. Di lobi, ada sepuluh personel yang sudah bersiap. Mereka bersenjata lengkap.

“Kuda Anda sudah disiapkan di depan, Pak,” kata salah satu anak buahnya.

“Baik. Semua personel, ikut denganku,” perintah Fresa.

“Siap, Pak!” ucap seluruh personel.

Mereka kemudian berjalan keluar dan menunggangi kuda masing-masing menuju bukit Sirna. Derap kaki kuda mereka yang beradu dengan tanah membuat jalanan jadi berdebu.

***

Sementara itu Ran dan Gardi masih bertarung. Sepertinya, Gardi sudah kewalahan. Dia bahkan tubuhnya terluka karena serangan Ran. Tetapi Ran masih tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Jubahnya hanya kotor sedikit.

“Sialan. Kalau begini terus, aku bisa kalah,” ucap Gardi di dalam hati.

“Sebaiknya kau menyerah saja,” kata Ran sambil memasukkan katananya ke dalam sarungnya.

Gardi lalu berdiri. Dia tersenyum menyeringai lalu menempelkan kedua telapak tangannya sambil memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, otot-ototnya membesar. Urat-uratnya terlihat. Kemudian dia berteriak dan melesat berlari secepat kilat sambil melayangkan pukulan. Ran yang terkejut karena tiba-tiba Gardi ada di depannya, tidak sempat menghindar atau pun menahan. Jadi pukulan Ran mengenai pipi kirinya. Kali ini Ran terpental dan berguling-guling di tanah.

Ketika Ran hendak beridir, Gardi sudah berada di depannya dengan melayangkan tendangan. Ran terhempas dengan cepat dan badannya membentur bebatuan hingga hancur.

“Itu baru bos kita,” ucap Suni dan Darga secara bersamaan.

Gardi berjalan perlahan ke arah Ran yang terkapar di antara reruntuhan

bebatuan.

“Ini kekuatanku yang sesungguhnya,” kata Gardi.

Ran bangkit. Dengan tenang dia berdiri dan menatap Gardi.

“Biar aku selesaikan pertarungan ini,” ucap Ran.

Ran bersiap-siap. Kaki kanan ke depan, kaki kiri ke balakang. Katananya dia pegang di tangan kiri. Sementara tangan kanannya, bersiap menghunus. Gardi yang melihat Ran bersiap dengan jurusnya, membuatnya tersenyum.

“Apa aku juga akan mengeluarkan kekuatanmu yang sesungguhnya?” tanya Gardi.Tetapi Ran tidak menjawab.

Gardi lalu melesat berlari. Ketika tepat tiga meter di depan Ran, dengan cepat Ran menghunus pedangnya. Suni dan Darga yang melihat kejadian itu, kembali terkejut. Mereka sama sekali tidak melihat kecepatan Ran. Karena seketika Ran sudah berada di belakang Gardi. Sementara Gardi, berdiri dengan posisi memukul.

Ran memasukkan katananya ke dalam sarungnya. Saat itu juga, dada Gardi tersayat dan mengeluarkan darah yang banyak. Baik dari dadanya, atau mulutnya. Dia lalu terkapar di tanah.

“Harus aku akui, kau memang hebat,” kata Ran sambil kembali memakai capingnya yang terbuat dari jerami.

Tak berapa lama, terdengar suara siulan dan derap langkah kaki kuda mendekat. Ternyata kepolisian sudah sampai di lokasi. Melihat Gardi yang terkapar penuh luka, Fresa memerintahkan semua personelnya untuk memborgol

Gardi.

“Borgol dia dan bawa dia ke pengadilan,” perintah Fresa.

Fresa lalu melihat ke arah Ran yang sedang berdiri sambil membersihkan jubahnya. Dia mendekat lalu turun dari kudanya dan menghampiri Ran.

“Kau berasal dari mana?” tanya Fresa.

Ran menatap Fresa lalu menjawab, “Desa Tebing.

Fresa terkejut kemudian berkata, “Desa kerajaan yang sudah runtuh sepuluh tahun lalu?”

Ran tidak memberi tanggapan apa-apa.

“Aku Fresa Gormon. Kepala Kepolisian Kota Sagard. Kami berterima kasih karena kamu telah mengalahkan Gardi,” Fresa membungkuk sebagai simbol penghormatan.

“Ada dua anak buahnya yang bersembunyi,” kata Ran.

“Sudah kami tangkap,” Fresa menunjuk ke salah satu personelnya yang ternyata sudah menangkap Suni dan Darga.

Setelah Gardi yang sekarat dibawa untuk diadili, Fresa meminta Ran untuk tinggal selama beberapa hari di kota Sagard.

“Ini sebagai tanda terima kasih kami. Aku rasa, Walikota juga harus berterima kasih,” kata Fresa dengan senyuman hanyat.

“Terima kasih. Aku harus lanjutkan perjalanan,” Ran menolak.

“Apa yang kau cari.”

“Bukan apa yang aku cari. Melainkan siapa yang aku cari.”

“Kalau begitu siapa?”

“Garun. Orang yang telah meluluh lantahkan desa dan kerajaanku menjadi debu. Aku ingin membalaskan dendam,” tiba-tiba tatapan Ran menjadi tajam.

“Kejadian pemberontakan di desamu memang sangat memilukan. Tapi aku pernah membaca catatan mengenai peristiwa itu. Saat itu, umurku masih tiga puluh tahun. Catatan itu masih ada. Beritanya menyebar di mana-mana. Jika kau berkenan tinggal, mungkin kau bisa mendapatkan informasi dari catatan itu yang masih tersimpan di perpustakaan kota,” jelas Fresa.

Ran berpikir sejenak. Dia kemudian menyetujui ajakan Fresa. Lagi pula, selama ini informasi mengenai Garun sangat minim. Mungkin dengan membaca catatan itu, dia menemukan petunjuk baru.

“Ini ada satu ekor kuda lagi. Kau ikuti aku ke kota,” kata Fresa.

Mereka berdua lalu menuju kota dengan menunggangi kuda.

Bersambung...

Jamuan Makan

Langit sudah mulai gelap. Mereka berdua tiba di markas besar kepolisian kota Sagard. Ran langsung dijamu di sebuah ruangan besar. Meja makannya juga besar dan mewah. Ran dipersilakan duduk oleh Fresa. Dia lalu melepas caping yang terbuat dari anyaman mambu dan jubahnya.

“Aku ingin menjamumu dengan makan malam,” kata Fresa.

“Aku ingin ke perpustakaan kota segera,” balas Ran.

“Sabar. Lagi pula, perpustakaan sekarang ini tutup. Kau bisa istirahat di salah satu kamar calon anggota polisi di sana,” Fresa menunjuk ke luar jendela di mana terdapat bangunan kayu bertingkat-tingkat.

Ran terdiam tapi kemudian dia duduk dan meletakkan katananya di atas meja. Seketika Fresa memperhatikan katana milik Ran.

“Pedangmu itu, aku belum pernah lihat yang seperti itu,” Fresa menunjuk ke arah katana milik Ran.

“Selain ahli berpedang, guruku juga ahli membuat pedang.”

“Aku sempat memperhatikanmu bertarung dengan Gardi dari jauh. Sepertinya kau menguasai gaya

berpedang yang langka.”

“Mungkin itu karena guruku tidak pernah mengajari ilmu berpedang kepada sembarang orang.”

“Aku pernah dengar bahwa Kerajaan Desa Tebing merekrut samurai sebagai tentara elit?”

“Itu benar.”

“Seperti apa proses perekrutannya?”

“Setahun sekali, pihak kerajaan membuka rekrutmen bagi siapa saja yang ingin jadi samurai kerajaan.”

“Sama seperti perekrutan anggota tentara dan kepolisian di Sagard berarti.”

Ran mengangguk lalu melanjutkan, “Kami ditugaskan untuk misi khusus seperti pengintaian, atau pengawalan keluarga kerajaan ketika harus ke luar desa.”

“Itu berarti bukan hanya ilmu berpedang saja yang kau pelajari?”

“Guruku hanya mengajariku ilmu berpedang. Soal yang lainnya, kami menempuh pendidikan setelah

terpilih.”

“Itu berarti, ada beberapa orang yang mengajarkan ilmu berpedang?”

“Ada tiga orang.Dan guruku termasuk tiga orang tersebut.”

Tak berapa lama,makan malam datang. Beberapa orang pelayan membawa nampan berisi ikan dan ayam beserta sayuran. Ran yang baru pertama kali melihat makanan mewah, sedikit terpaku ketika wangi aroma makanan tersebut masuk ke dalam hidungnya.

“Silakan. Tidak perlu sungkan-sungkan,” ucap Fresa sambil mengambil sendok dan garpu.

Walau sempat gugup, tapi Ran menikmati jamuan makan malam itu dengan nikmat. Setelah itu, dia diantar ke gedung tempat para calon polisi dikarantina. Ran langsung tertidur lelap setelah dia mandi dan mengobati beberapa luka di tubuhnya.

***

Pagi hari, Fresa datang ke kamar Ran dan memberikan surat dari wali kota. Dia buka surat itu lalu membacanya. Hanya berisi ucapan terima kasih dengan bahasa yang formal. Ran lalu melipat surat itu dan menyimpannya di meja.

“Dia orang yang sibuk jadi tidak bisa bertemu denganmu,” kata Fresa yang langsung duduk di sebuah bangku kayu.

“Lagi pula, aku bukan siapa-siapa.”

“Ayo, aku antar kau ke perpustakaan kota.”

Ran langsung memakai jubah cokelatnya dan juga caping anyaman mambunya. Dia berjalan kaki dengan Fresa menuju perpustakaan kota yang hanya berjarak dua kilometer. Sampailah mereka di sebuah gedung kayu dengan tiga lantai. Fresa membuka pintu ganda dan mendekati seorang petugas pustakawan lelaki.

“Deri, tamuku ingin mencari sesuatu sepuluh tahun yang lalu,” ucap Fresa kepada Deri.

“Arsip seperti apa yang ingin Anda cari, Pak?,” tanya Deri.

“Koran, dan beberapa arsip berkas-berkas dari luar kota,” jawab Fresa.

“Ada di lantai tiga, Pak.”

“Ayo,” Fresa mengangguk kepada Ran.

Ran langsung mengikuti Fresa naik ke lantai tiga dan masuk ke sebuah ruangan. Ketika dibuka, seketika terlihat rak-rak tinggi berjejer seperti sebuah labirin yang memusingkan. Fresa berjalan lurus diikuti Ran yang berjalan di belakang.

“Arsip untuk koran ke sebelah kiri,” Fresa menunjuk lalu berbelok.

Setelah sampai, terlihat rak-rak berisi tumpukkan koran lama lengkap beserta tahun, tanggal, dan bulan.

“Tahun berapa kejadian tragedi pemberontakan di Kerajaan Desa Tebing?” tanya Fresa.

“Tahun tiga ratus dua puluh enam,” jawab Ran.

“Bulan?”

“September.”

“Tanggal?”

“Dua puluh tujuh.”

Mereka berdua sampai dis sebuah rak yang bertuliskan angka ‘326’. Fresa mencari rak bertuliskan ‘September’ dan tanggal yang bertuliskan ‘27’.

“Ketemu,” Fresa mengambil segulung koran lama itu lalu memberikannya kepada Ran.

Ran membaca halaman pertama dan tertulis judul berita bahwa Kerajaan Desa Tebing sudah digulingkan. Fresa mengajak Ran untuk duduk di tempat membaca yang ada di sudut ruangan dekat jendela kaca. Sesaat setelah duduk, Ran langsung membaca isi koran itu. Sementara Fresa membuka jendela kaca dan langsung menyalakan

rokoknya.

“Pagi yang indah di kota Sagard,” ucap dia sambil menghembus asap rokok yang keluar dari

mulutnya.

Tak sampai sepuluh menit, Ran sudah membaca semua isi berita dari koran tersebut. Fresa

mendekat lalu duduk dan mematikan rokoknya di asbak.

“Jadi, bagaimana?” tanya Fresa

Ran menggelengkan kepala lalu menjawab, “Informasinya masih kurang. Semua isi koran

ini tidak menyebut nama Garun. Hanya sekelompok pemberontak.”

“Kalau begitu kita cari arsip berkas-berkas dari luar kota.”

“Masih di sini?”

“Di gedung pusat arsip.”

Fresa mengajak Ran berjalan kaki lagi menuju gedung dengan sepuluh lantai yang berjarak sekitar tiga kilometer. Sampai di sana, Fresa langsung membuka pintu dan menuju seorang resepsionis untuk meminta izin masuk ke ruang arsip. Setelah mendapat izin, mereka naik ke lantai tujuh dan masuk ke sebuah ruangan yang sunyi dan dipenuhi rak-rak berisi dokumen-dokumen. Dengan sigap Fresa mencari rak bertuliskan tahun 326, bulan September dan tanggal 27.

“Ini dia berkasnya,” Fresa mengambil tumpukan berkas tebal yang sudah terkokot dengan sampul itu.

“Di sini tidak ada meja,” Ran menengok ke kiri dan kanan.

“Kita duduk di lantai saja,” balas Fresa sambil duduk bersila.

Mereka berdua lalu membuka berkas tersebut dan membaca lembar demi lembar. Di berkas ini, terdapat banyak sekali surat yang masuk ke kantor wali kota. Yang paling banyak adalah laporan soal pemberontakan di Kerajaan Desa Tebing.

“Ini arsip rahasia. Kau yakin menunjukkannya padaku?” tanya Ran.

“Tidak masalah.Aku sudah dapat izin dari wali kota,” Fresa hanya tersenyum.

Tetapi Ran kemudian merasa ada yang aneh. Dalam hatinya bertanya siapa yang mengirim surat ini?

“Aku boleh bertanya sesuatu?” ucap Ran.

Fresa hanya mengangguk.

“Surat-surat ini, siapa yang mengirim?”

Seketika Fresa tertawa kecil kemudian menjawab, “Dari dulu, kota Sagard mempunyai informan yang tersebar di semua desa dan kota yang masih dalam wilayah Kerajaan Mondu.”

“Apa Raja Mondu tahu berita soal pemberontakan di kerajaanku?”

“Pastinya dia tahu.”

“Kenapa dia tidak mengirim bantuan?”

“Harusnya kau tanyakan sama pihak kerajaanmu dulu. lagi pula, pemberontakan itu terjadi hanya dalam satu malam. Mengirim bantuan pun tak ada gunanya.”

Ran hanya terdiam.

Dari banyak surat yang masuk, tidak ada satu pun nama Garun disebut. Akhirnya Ran pun kecewa.

“Kau yakin pemimpin pemberontakan itu bernama Garun?” tanya Fresa setelah mengembalikan berkas itu ke tempat semula.

“Setelah kekacauan, aku yang melawannya. Dia sendiri yang berkata bahwa namanya adalah Garun,” jawab Ran dengan wajah yang serius.

“Kau pernah lihat dia sebelumnya?”

Ran menggelengkan kepala.

“Lalu pertarunganmu dengan dia, siapa yang menang?”

“Garun yang menang. Dia hampir membunuhku. Tetapi dia malah membiarkanku hidup. Dan akhirnya aku dilatih lagi oleh guruku selama sepuluh tahun.”

“Berapa umurmu?”

“Dua puluh tujuh.”

“Itu berarti kejadian itu waktu umurmu tujuh belas tahun?”

Ran mengangguk sambil memejamkan mata.

“Kenapa lama sekali kau berlatih?”

“Sebenarnya alau dihitung, hanya tiga tahun aku berlatih. Sisanya aku dan warga bekerja keras membangun desa agak kembali pulih.”

‘”Sekarang, siapa yang memimpin?”

“Bukan siapa-siapa. Hanya seorang pria paruh baya yang dipilih warga. Keluarga kerajaan tak ada yang tersisa. Semuanya habis dibantai oleh para pemberontak.”

“Lalu para pemberontak nasibnya bagaimana?”

“Kebanyakan kabur bersama Garun. Sedangkan yang tersisa, kami eksekusi.”

Fresa merasa

ngeri ketika membayangkan situasi yang mencekam yang dialami oleh Ran.

Untuk mengobati rasa kecewa Ran, Fresa mengajaknya makan siang di sebuah restoran mewah. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit, mereka sudah sampai di sebuah restoran megah yang bangunannya terbuat dari kayu berwarna putih susu. Ketika masuk, semua tamu berdiri dan membungkukkan badan. Mereka tahu bahwa yang datang bukan orang sembarangan.

Fresa memilih duduk di dekat jendela. Dia melepas jubahnya dan mengaitkannya di pengait. Sementara itu Ran mengaitkan jubah cokelatnya dan caping dari anyaman bambunya. Setelah duduk, Fresa memesan makanan yang banyak. Tak menunggu waktu lama, pesanannya pun datang.

“Sebelum kau pergi, izinkan aku menjamumu untuk terakhir kalinya,” ucap Fresa.

Ran hanya mengangguk sambil tersenyum. Mereka berdua lalu menikmati makan siang yang ditemani oleh alunan musik piano dan biola.

“Ke mana kau pergi setelah ini?” tanya Fresa setelah makan. Dia lalu membakar rokoknya dan mulai menghisap.

“Aku akan pergi ke Ramil,” jawab Fresa sambil melihat ke luar jendela.

“Kau tidak mau ke Kerajaan Mondu? Siapa tahu ada informasi penting.”

“Selama sepuluh tahun latihan dan membangun kembali desa, banyak orang yang pergi ke Kerajaan Mondu. Hasilnya seperti yang aku alami sekarang.”

Fresa lalu mengantar Ran ke depan pintu gerbang kota. Sebelum berpisah, Fresa memberikan Ran sesuatu.

“Pakailah ini,” Fresa menyodorkan sebuah gelang berwarna hijau.

“Gelang apa ini?”

“Gelang biasa.Hanya sebagai tanda perpisahan dan oleh-oleh.”

Dengan senang hati Ran menerima gelang itu. Kemudian dia memakainya di lengan kirinya. Fresa lalu memeluk Ran dan mengucapkan terima kasih sekali lagi karena secara tidak langsung telah membantu menangkap Gardi.

“Selamat jalan,” ucap Fresa setelah melepaskan pelukannya.

Ran pergi berjalan kaki menuju barat ke perbatasan antara Kerajaan Mondu dan wilayah padang pasir, Ramil.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!