"Quinshaaaa..." Tangis pilu seorang gadis 27 tahun yang bernama Qiana, di depan jenazah adik satu-satunya yang bernama Quinsha. Quinsha, tengah pulang lebih dulu meninggalkan dirinya. Tangan Qiana gemetaran saat membaca surat yang ditulis adiknya sebelum meninggal. Kertas yang Qiana pegang jatuh ke lantai, lantaran syok dengan isi surat tersebut. Yakni, permintaan terakhir almarhumah agar menggantikan dirinya menjadi istri Danial, dan menjadi ibu pengganti bayi yang baru dilahirkan Quinsha beberapa jam yang lalu. Dunia seolah runtuh bagi Qiana. Qiana di hadapkan dalam pilihan yang sulit. Jika menikah dengan Danial, berarti harus rela meninggalkan Edwin sang kekasih yang tiga bulan lagi akan menikahinya.
************************************
"Mas, aku tidak kuat lagi" Lirih Quinsha.
"Kamu harus kuat sayang... demi anak kita," Di peluknya erat istrinya yang tak berdaya di ruang ICU. Air mata Danial tak tertahan lagi merembes keluar. Pria itu takut akan kehilangan istri tercinta yang dia nikahi satu tahun yang lalu. Pasalnya sejak anaknya lahir, Quinsha terus merancau.
Pernikahan manis antara Danial dengan Quinsha dikarunia anak laki-laki tampan dan lucu yang di lahirkan tiga jam yang lalu. Tetapi pendarahan hebat membuat Quinsha harus masuk ruang ICU.
"Mas, Kak Qiana kemana?" Tanya Quinsha. Qiana adalah kakak perempuan Quinsha, saat ini tengah mengurus perkebunan milik keluarga Rahardyan sang papa, yang berada di bogor. Quinsha merasa hidupnya takkan lama lagi. Ia memusatkan kesadaran, walaupun terasa dadanya ada yang menghimpit. Masih sempat berpikir mencari ibu untuk anaknya agar ia pergi dengan tenang. Hanya Qiana kakak kandungnya itu yang pantas menggantikan dirinya dari pada orang lain, lantaran masa depan anaknya akan dipertaruhkan.
"Dia di perkebunan sayang..." Jawab Danial menggenggam erat tangan Quinsha, lalu mencium tangan istrinya lembut. Tidak tahu apa yang istrinya rencanakan.
"Mas... tolong panggilkan Kak Qiana, aku ingin berbicara dengannya" Ucapnya sudah tersendat-sendat.
"Tapi aku tidak tahu nomor teleponnya sayang. Nanti aku minta Mama sama Papa. Beliau sedang dalam perjalanan kemari,"
***********
"Jadi begini konsep pernikahan kita nanti sayang..." Ujar Edwin pria itu tengah membahas acara pernikahan yang tinggal tiga bulan lagi akan dilaksanakan.
"Terus... kita akan mengundang berapa orang Mas?" Tanya wanita yang tak lain adalah Qiana. Diusianya yang sudah 27 tahun, sudah tidak ada kata pacaran bagi Qiana. Edwin pria yang baru di kenalnya kurang lebih 6 bulan itu begitu mengajak menikah, Qiana antusias menerima.
"Undang saja semua teman-teman kamu sayang. Kita akan rayakan pernikahan kita semeriah mungkin," Tegas Edwin.
Setelah membicarakan pernikahan mereka, kemudian menikmati makan siang. Karena saat ini tengah berada di restoran. Qiana menyuap nasi kebuli cocok disantap saat musim hujan dan cuaca dingin di puncak.
Kriiing... kriiing... kriiiing.
Handphone Qiana begetar, ia memandang wajah Edwin tanda minta izin mengangkat panggilan. Edwin pun mengangguk, tahu apa maksud calon istrinya itu. Qiana pun beranjak dari duduknya meninggalkan Edwin. Tiba di tempat yang sepi, deringan handphone pun mati. Segera ia melihat siapa yang telepon ternyata dari mama tercinta. Qiana menghubungi kembali nomor mamanya. Mama mengatakan agar Qiana pulang saat ini juga ditunggu disalah satu rumah sakit di Jakarta. Perbincangan selesai, Qiana kembali menemui Edwin.
"Mas, aku di suruh pulang ke Jakarta saat ini juga. Bagaimana ini?" Tanya Qiana bingung. Dengan wajah sedih gadis cantik itu menceritakan bahwa ibunya menyuruh datang ke rumah sakit. Apa lagi sang mama menangis saat berbicara di telepon. Itu artinya ada anggota keluarganya yang sakit.
"Habiskan dulu makanan kamu," Titah Edwin, setelah menenangkan wanita yang dicintainya itu.
Qiana menuruti kata Edwin makan walaupun hanya sedikit karena sudah tidak berselera. Hanya beberapa suap Qiana pun menyudahi makan lalu pamit pulang. Dengan mobilnya, Qiana pulang seorang diri tanpa Edwin. Lantaran, calon suaminya itu sedang ada urusan bisnis dengan klienya yang tidak bisa dia batalkan.
Di dalam mobil pikiran Qiana tidak tenang, membayangkan jika papanya yang sakit. "Ah tidak" Ia membantah batinya sendiri. "Tapi kan kata mama rumah sakit keluaga? Berarti Dek Quinsha melahirkan dong" Qiana melepas stir, sedetik kemudian menepuk kening. Karena terlalu panik tidak berpikir ke arah sana. Pikiran Qiana sedikit tenang kala yang ia tangkap hanya lahiran justru kebahagiaan yang keluarga besarnya terima. Dari bogor ke Jakarta ia tempuh 1,5 jam melaui tol, kendaraan miliknya pun tiba di rumah sakit.
Tiba di parkiran, ia mengulang kembali panggilan, mamanya mengatakan bahwa Quinsha berada di ruang ICU.
"Ruang ICU?" Pikiran Qiana kembali kacau kala mengingat ruang ICU, itu artinya adiknya ada apa-apa. Tiba di ruang tersebut jerit tangis keluarga terdengar memilukan hati. Dengan langkah tergesa-gesa Qiana membelah kerumunan keluarga. Tampak seorang pria yang tak lain Danial menangis tergugu di dada istrinya yang sudah terbujur..
"Quinshaaaa..." Jerit Qiana setelah menyadari apa yang terjadi merangkul tubuh adik kandungnya. Jika Danial bagian dada, Qiana bagian perut. Kakak Ipar dan adik ipar itu menangisi orang yang mereka sayangi.
"Qiana... Danial... relakan Quinsha Nak," Ujar Afrida, ibu kandung Qiana dan Quinsha, berusaha untuk tegar merelakan putri keduanya yang telah mati syahid. Ibu paruh baya itu membangunkan tubuh putri sulungnya. Sementara Rahardyan sang papa membangunkan Danial. Menantunya itu tidak mau melepas tubuh almarhumah istrinya. Padahal jenazah akan segera dibawa pulang ke rumah duka.
Sore hari nya, semua keluarga dari pihak Danial maupun Quinsha masih mengelilingi gundukan tanah peristirahatan terakhir Quinsha.
"Selamat jalan adikku..." Ucap Qiana mengusap gundukan tanah di sela-sela isak tangis.
"Selamat jalan istriku..." Ucap Danial memegang batu nisan yang tertulis nama Quinsha Jasmine.
Malam harinya di rumah duka, semua keluarga di kumpulkan oleh Rahardyan. Kecuali Danial, pria itu masih mengurung diri di dalam kamar. Padahal Azhari papa Danial beserta istri pun berada di tempat itu. Rahardyan hendak mengutarakan pesan terakhir yang di ucapkan putrinya.
"Qiana... sebaiknya kamu membaca surat ini Nak," Halina mama Danial memberikan sepucuk surat titipan Quinsha dua jam sebelum menghembuskan napas terakhir kepada Qiana.
Dengan tangan gemetaran Qiana membuka lipatan kertas yang di tulis dengan tangan tidak rapi. Air mata Qiana mengalir deras, membayangkan ketika adiknya menulis pasti dalam keadaan lemas.
*Assalamualaikum*
*Kak Qiana, maafkan adikmu yang selalu merepotkan Kakak. Selalu membuatmu kesal, dan sudah jahat telah melangkahi Kakak menikah lebih dulu. Saat ini aku akan merepotkan untuk yang terakhir, Kak. Jika umur aku tidak panjang. Tolong menikahlah dengan Mas Danial. Aku percaya, hanya kak Qiana yang mampu merawat keponakan Kakak*
...*Quinsha Jasmine*...
.
.
Qiana terkejut bukan main dengan isi surat yang ditulis adiknya. Kertas berwarna putih itu lepas dari tangan dengan sendirinya. Sudah syok lantaran kehilangan adik satu-satunya kini di tambah lagi syok dengan permintaan almarhumah Quinsha.
"Qiana, batalkan pernikahan kamu dengan Edwin Nak. Demi keponakan kamu" Rahardyan sang papa membuka percakapan setelah sesaat di ruang keluarga itu hening.
"Biar aku pikirkan dulu, Pa. Maaf, aku ingin sendiri dulu." Pungkas Qiana. Gadis itu terpaksa melenggang pergi, walaupun dia tahu bahwa ini tidak sopan meninggalkan dua keluarga yang sedang membicarakan pernikahannya. Toh, pria yang bersangkutan pun tidak ada di tempat ini juga. Qiana menuju kamar, saat hendak masuk, ia berpapasan dengan adik iparnya yang akan dijodohkan denganya itu. Kamar Qiana dan Quinsha memang bersebelahan.
Qiana melirik sekilas wajah dingin yang tak peduli dengan kehadirannya itu melewatinya begitu saja. Qiana juga masa bodoh dengan adik ipar yang jaim dan sok itu.
"Aaaagggg...." Teriak Qiana, setelah mengunci pintu. Ia jatuhkan tubuhnya di kasur dalam posisi terlentang. Pikiranya melanglang buana. Berpisah dengan Edwin? Pria baik dan sayang kepadanya. Terlebih, mereka sudah merencanakan pernikahan secara matang.
Lalu pria angkuh itu yang akan menjadi suaminya? Oh tidak! Batinya menolak keras pernikahan itu. Danial selama setahun menjadi adik iparnya. Qiana hanya disapa beberapa kali, itupun hanya menanyakan jika tidak ada Quinsha 'kemana adikmu pergi?
"Hiks hiks hiks. Kenapa kamu harus memberi aku pilihan yang sulit adikku? Kenapa... hiks hiks hiks. Jika kamu ingin aku merawat anakmu, akan aku rawat dengan senang hati. Tetapi kenapa harus mengganti posisi kamu berada di sebelah suami kamu adikku..." Rancau Qiana, ia menangis memeluk lutut.
Tok tok tok
"Masuk" Jawab Qiana serak, segera mengusap air matanya menatap pintu siapa yang datang ternyata mamanya.
"Qiana... maafkan mama sayang..." Afrida memeluk tubuh putrinya merasa bersalah. Afrida sadar, anak pertamanya ini selalu mengalah. Dulu, rela adiknya menikah lebih dulu lantaran keluarga Danial tidak ingin anaknya berpacaran lama-lama. Lalu sekarang, Qiana harus mengalah lagi. Dipaksa meninggalkan pria yang dicintai, dipaksa menjadi pengganti adiknya.
"Ma, tolong aku Ma..." Ucap Qiana memelas. Jika ada jalan lain ia tidak ingin menikah dengan Danial, dan tidak ingin membatalkan pernikahannya dengan Edwin.
"Sayang... kamu sayang dengan adik kamu?" Tanya Afrida.
"Tentu sayang sekali Ma"
"Nah, mama minta tolong berkorbanlah demi Quinsha sayang. Agar dia tenang disana. Mama tahu kamu anak baik. Quinsha menyerahkan suami dan putranya untuk kamu bukan tanpa alasan sayang. Coba kamu pikir, jika Danial menikah dengan wanita lain dan wanita itu hanya ingin hartanya saja, kasihan kan, keponakan kamu yang menjadi korban," Afrida memberi gambaran yang pahit dulu. "Sekarang... kamu istirahat, dan pikirkan matang ya. Nak," Pungkas Frida lalu meninggalkan putrinya setelah memberi ciuman manis.
Qiana mengangguk lalu menyentak tubuhnya ke kasur. Selang waktu lima menit handphone nya bergetar. Ia ambil handphone yang tergeletak di ranjang sebelahnya. Nama pria yang dia cintai, siapa lagi jika bukan Edwin itu yang muncul. Qiana tidak berani mengangkat telepon itu justru meletakan di dada. Air matanya berderai entah apa yang akan dikatakan kepada Edwin tentang masalah ini. Betapa kecewanya Edwin, jika tahu dia akan menikah dengan pria lain.
Kriiing... kriiing... kriiing...
Panggilan yang sempat dimatikan oleh si penelpon pun berdering kembali. Kali ini Qiana menggeser tombol hijau menempelkan ke telinga.
"Sayang... kenapa kamu tidak menjawab panggilan aku?" Tanya Edwin di seberang sana.
"Aku ketiduran Mas," Jawab Qiana mendengar suara pria itu pun lagi-lagi air matanya terjun kembali membasahi handphone.
"Oh... pantas. Suara kamu serak. Oh iya. Ada apa kamu disuruh pulang ke Jakarta Qi?"
"Emm, tidak ada apa-apa, Mas. Adik aku melahirkan," Jawab Qiana lalu menggigit bibirnya belum berani bercerita kepada Edwin untuk saat ini.
"Alhamdulillah..." Terdengar suara Edwin turut bahagia.
"Alhamdulillah.. " Lanjut Qiana, ingat usia Edwin saat ini sudah 30 tahun, tentu saja sudah siap mempunyai generasi penerusnya.
"Terus kapan kita mau pesan baju pengantin sayang?" Tanya Edwin.
Qiana meletakan handphone menutup mulutnya agar suara tangisnya tak terdengar oleh Edwin. Mendengar pertanyaan Edwin, dada Qiana bagai tersayat sembilu.
"Hallo... Hallo..."
Qiana tak mampu lagi untuk berkata-kata membiarkan handphone nya mati. Hingga beberapa menit setelah agak tenang, Qiana pun mengirimkan pesan. Mereka ngobrol lewat pesan dan ditutup emote love masing-masing.
*********
Malam harinya, Qiana sulit sekali memejamkan mata. Ia lantas turun dari lantai dua hendak ambil minum. Ia ambil air dingin dari kulkas kemudian duduk di meja makan.
"Oeeekk... oeeekk..." Suara tangisan berasal dari kamar atas. Qiana lalu mendongak melihat dari bawah. Pintu kamar pria dingin itu terbuka. Padahal Qiana baru saja turun tidak memperhatikan pintu maupun tangisan bayi.
"Oeeeekk... Oeeeekk..."
Tangisan pun semakin kencang hingga beberapa saat belum juga diam. Hati Qiana tergerak untuk melihat keponakannya yang belum dia temui saat kehadirannya tadi pagi.
"Cup... cup sayang..." Ucap mama Afrida, yang tengah menggoyang-goyang cucunya dalam gendongan. Sementara Danial kebingungan sendiri apa yang harus dia lakukan. Padahal sudah membuat susu untuk Nazran Azhari Naqan yang dipanggil Nazran itu, tetapi anaknya tak mau diam.
Qiana masuk ke kamar almarhumah adiknya, lalu mendekati bayi montok dalam gendongan mamanya. Mata Qiana melirik pria angkuh itu masih dalam mode dingin.
"Ma, coba. Aku yang menggendong," Pinta Qiana.
"Oeeekk... Oeeekk..." Nazran kembali berteriak. Mama pun menyerahkan cucunya kepada Qiana.
Qiana menggendong keponakannya menepuk-nepuk pelan bokong bayi laki-laki itu, hanya dengan hitungan menit, kemudian tertidur. Mama Afrida tersenyum melihat putrinya menggendong cucunya.
"Kamu memang luar biasa sayang." Puji Afrida. Sementara pria yang awalnya kebingungan tadi melempar pandangan ke arah lain pura-pura tidak mendengar.
Qiana lantas menidurkan Nazran di box bayi. Matanya mengembun, kala memperhatikan wajah bayi itu tidak meninggalkan almarhumah Quinsha, plek ketiplek sama. Jika baru melihat sekali wajah Azran seperti anak perempuan.
"Aku keluar Ma," Pamit Qiana, diikuti Afrida.
"Kan, apa Mama bilang. Azran itu membutuhkan kamu. Sekarang jangan menolak lagi ya Nak, demi keponakan kamu," Mama Afrida memegang pundak putrinya dengan raut wajah memohon. Mama dan anak itu berhenti di depan pintu kamar Qiana.
Qiana menarik napas berat lalu menganggukkan kepala dengan berat pula. Mama tersenyum mencium dahi putrinya itu sebelum akhirnya menuruni anak tangga.
Qiana berdiri bersandar tembok memejamkan mata. Entah benar atau tidak keputusan yang ia ambil kini. Nyatanya ada anak yang masih merah membutuhkan dirinya. Ia tidak peduli dengan dirinya sendiri, yang penting anak adiknya, papa, mama semua bahagia.
"Maafkan aku Mas Edwin, aku terpaksa mengambil jalan ini. Mungkin kita memang bukan berjodoh. Aku doakan kamu mendapat wanita baik. Karena kamu pria baik yang pernah aku temui," Monolog Qiana sambil melangkah ke kamar.
...~Bersambung~...
Pagi hari, sorot matahari menembus jendela kamar. Seorang gadis cantik, merasakan hawa hangat menerpa wajahnya. Ia lalu membuka mata yang masih berat, lantaran semalaman tidak bisa tidur. Setelah subuh, hawa kantuk menyerang hingga saat ini bangun pun kesiangan.
Ia adalah Qiana, segera membuka selimut lalu turun dari ranjang duduk memindai sekeliling kamar. Tampak gorden sudah ada yang menarik, jendela pun sudah dibuka, jika bukan bibi pasti mamanya yang membukanya.
"Kok nggak ada yang bangunin aku sih!" Gumamnya lantas berjalan gontai ke kamar mandi. Qiana menyisir rambutnya setelah selesai mandi. Di depan cermin bibirnya cemberut lantaran melihat penampilannya berantakan, kemudian memoles wajahnya sedikit, sebelum akhirnya ke luar kamar. Ia melihat pintu kamar sebelah, apakah keponakannya rewel atau tidak. Tidak ada suara dari dalam, Qiana pun menuruni tangga.
Di meja makan masih sepi hanya ada mama seorang tetapi bukan di tempat tersebut melainkan duduk di sofa.
"Mama..." Ucapnya. Qiana terkejut ketika sang mama menoleh, matanya sembab kebanyakan menangis. "Mama menangis?" Tanyanya, lalu duduk di sebelah Afrida.
"Hiks hiks hiks. Semalam Mama mimpi Qin, adik kamu pulang," Kata Afrida menyimpan duka yang mendalam. Yang namanya orang tua ditinggal anaknya, sudah pasti sulit melupakan. Apalagi baru dua hari meninggalnya Quinsha.
"Aku pun sama Ma," Jawab Qiana, bukan menghibur tetapi justru turut menangis.
"Sudahlah... jangan terlalu disesali. Kasihan Quinsha di sana," Ucap Rahardyan, yang baru saja selesai mandi lalu mengajak anak istrinya pindah ke meja makan.
"Nazran sudah bangun Ma?" Tanya Qiana menatap ke lantai atas.
"Nazran dijemur bibi di halaman," Jawab Afrida.
Tak tak tak.
Langkah kaki dari lantai dua seketika mengalihkan pandangan Qiana dari luar. Ia melirik pria yang berjalan menunduk dengan ekpresi yang sulit di artikan. Tanpa permisi atau basa basi langsung saja menarik kursi segera bergabung.
"Dasar pria tidak punya sopan santun" Batin Qiana, dalam hati mendengus kesal. Jika dengannya boleh bersikap begitu, tetapi dengan mama papanya seharusnya mengucap sesuatu.
"Setelah kami keluar tadi malam, apakah Nazran rewel kembali Dan?" Tanya mama, membuka pembicaraan.
"Nangis sekali Ma, tapi pas saya kasih susu tidur kembali," Jawab Danial. Semua lantas diam sarapan pagi tidak ada yang semangat, lantaran masih berduka.
Tidak lama kemudian kedua orang tua Danial pun datang. Tentu akan membahas Danial dan Qiana.
"Besok pagi, kalian harus sudah menikah," Ucap Azhari setelah semua berkumpul.
Wajah Qiana seketika pucat mengingat pernikahannya, mengapa terasa ngeri sekali. Jika menikahnya dengan Edwin tentu akan lain ceritanya. Tetapi keputusan ini sudah ia pikirkan semalaman sampai tidak tidur.
"Menikah bukan berarti saat ini juga Papa. Setidaknya menunggu sampai Quinsha 100 hari," Tolak Danial.
"Apa kamu lupa, permintaan terakhir istri kamu Danial?" Tanya Azhari. Papa dan anak itupun berdebat, dan saling ngotot.
Keluarga Rahardian hanya diam mendengarkan karena Qiana sudah menerima pernihan tersebut. Danial lagi-lagi meninggalnya mertua dan orang tuanya naik ke lantai dua.
Dua pasang pasutri itu hanya bisa menatap Danial dari belakang. Sementara Qiana hanya menunduk.
Sementara Danial di kamar meninju bantal, mengapa istri tercintanya pergi begitu cepat. Danial flashback sebelum istrinya meninggal.
Flashback on.
"Mas... kamu mencintai aku bukan?" Tanya Quinsha menatap suaminya di samping dengan mata redup.
"Kenapa kamu tanyakan itu sayang? Jelas iya, makanya kamu yang kuat ya. Berjuanglah demi aku dan anak kita."
"Aku tidak kuat lagi Mas. Jika kamu benar-benar mencintai aku, apakah kamu mau menuruti permintaan terakhir aku?"
Bukan jawaban yang Quinsha dapat, tetapi air mata Danial mengalir deras. Walaupun belum tahu permintaan istrinya itu apa, Danial takut.
"Ma-mas," Panggil Quinsha terbata-bata. Namun Danial seolah membisu, hanya mencium punggung tangan Quinsha berkali-kali.
"Ma-ma... Pa-pa... tolong telepon Kak Qiana se-sekarang," Pinta Quinsha semakin tersendat-sendat.
"Baik sayang..." Sambil menangis, Afrida menghubungi Qiana.
"Ma- mas... Kak Qiana sebentar lagi datang. Tolong menikahlah dengannya demi anak kita saat ini juga,"
"Sayang... jangan bicara begitu, kita akan membesarkan anak kita bersama-sama sayang..." Tangis Danial pecah.
"Ma-mas... berjanjilah padaku. Ma-mas mau kan menikah dengan Kakak,"
Karena tidak tega istrinya berbicara terus, Danial pun mengangguk. Quinsha kemudian minta pulpen yang berada di saku baju Azhari sang mertua. Kemudian, menatap kertas yang menempel di ranjang pasien.
Azhari tanggap apa yang diinginkan Quinsha, segera merobek kertas yang tertulis nama pasien tersebut. Azhari lalu memberikan kepada menantunya. Quinsha berkedip minta dibangunkan oleh Danial.
Danial pun naik ke ranjang, dalam posisi duduk menempelkan kepala Qiana yang sudah lemas itu di dadanya.
Quinsha pun menulis surat, sesekali pulpen dan kertas yang ia pegang jatuh. Entah beberapa kali Danial memungut pulpen dan kertas. Yang terakhir, Quinsha tak mampu lagi memegang benda tersebut.
Dengan mudahnya Quinsha menghembuskan napas terakhir di dada suaminya.
"Quinshaaaa... huaaaa... bangun istriku. Bangun sayaaang... huaaaa..." Danial merengkuh tubuh istrinya mendekapnya erat. Namun, Quinsha telah pergi. Pergi untuk selamanya.
Bukan hanya Danial yang histeris, Afrida dan Rahardyan pun sama.
Flashback off.
"Quinshaaaa..." Teriak Danial, di dalam kamar. Pria itu menangis sejadi jadinya.
"Oeeekk... Oeeekk..."
Danial sampai tidak menyadari jika putranya sudah ditidurnya bibi di box, setelah selesai dijemur. Namun, karena teriakan Danial, Nazran pun akhirnya terbangun lalu menjerit-jerit.
Danial segera bangkit dari ranjang mendekati box menggendong putranya. Hingga beberapa saat Nazran tak juga berhenti menangis.
Qiana yang hendak ke kamarnya mendengar tangisan Azran segera membuka kamar adik iparnya itu.
Dalam diam, Qiana mengambil alih Nazran dari gendongan Danial, lalu menidurkan di kasur memeriksa popok. Pantas saja keponakannya menangis ternyata sudah penuh air seni. "Emm pipis ya..." Qiana pun ambil popok di dalam box dengan cekatan menggantinya tanpa ingin tahu seperti apa ekpresi wajah adik iparnya.
*************
Sah
Sah
Sah
Keesoakan harinya pernikahan kilat pun telah di laksanakan dan hanya di hadiri oleh orang-orang terdekat. Dari pihak mempelai wanita maupun pria.
Ya. Kini Danial telah naik Ranjang dan sudah sah menjadi suami kakak iparnya. Selang beberapa jam, Danial memboyong anak dan istri terbarunya itu pindah ke rumahnya yang sebelumnya ia tinggali bersama Quinsha. Rumah yang telah menjadi saksi bisu, bagaimana suami istri yang sebelumnya sama-sama merajut tali kasih antara Danial dan Quinsha.
Dengan menggendong Nazran, Danial berjalan lebih dulu diikuti Qiana yang tengah menarik koper masuk ke dalam rumah tersebut. Tentu Qiana tidak asing, karena tidak jarang dia diajak Quinsha berkunjung bahkan bermalam di rumah itu.
"Itu kamar kamu!" Ketus Danial menghentikan langkahnya menunjuk kamar tamu. Pria itu menoleh Qiana yang hanya diam mematung.
Qiana menatap Danial dari belakang hingga masuk ke kamarnya bersama Nazran. Ia menarik napas berat lalu membuka kamar tamu. Kamar yang sering dia tiduri ketika Quinsha ditinggal suaminya pergi keluar kota tak jarang Qiana menemani.
...~Bersambung~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!