NovelToon NovelToon

Benci Jadi Cinta

Bab. 1

”Namaku Rodriguez .”

Suaranya pelan dan serak, seperti angin padang pasir.

Suara itu lembut, Tapi Azura Tidak terkecoh karenanya. Seperti halnya angin, Si Pemilik Suara Pasti Bisa berubah ganas Kalau terdesak. Dan mengingat Siapa Pemilik Suara Itu, kemungkinan yang ditakutkannya tersebut mungkin saja terjadi. Nama Rodriguez Sudah berkali­-kali disebutkan di Acara­-Acara TV Dan Radio sepanjang Hari Itu. Semalam Aktivis keturunan indian itu melarikan diri dari

penjara Alcatraz di San Francisco , yang jauhnya sekitar delapan puluh kilometer. Pihak-­pihak yang berwenang sedang menyisir seluruh daerah itu untuk mencari pelarian Tersebut.

Dan ternyata orang ini berada di dapurnya!

”Aku butuh makanan. Dan istirahat. Aku tidak akan menyakitimu kalau kau mau bekerja sama,” katanya di Telinga Azura.

”Kalau Kau Mencoba berteriak, Aku

Terpaksa mesti menyumbat mulutmu.

Mengerti?” Azura mengangguk, dan lelaki itu melepaskan bekapan tangannya dengan hati­-hati.

Azura langsung Megap­-Megap Menarik Nafas. ”Bagaimana kau bisa

Sampai di sini?”

”Sebagian besar dengan jalan kaki,” sahut lelaki itu tak acuh.

”Kau tahu siapa aku?”

”Ya. Mereka sedang mencarimu di mana­mana.”

”Aku Tahu.” Kemarahan Azura Tadi sudah mereda. Ia bukan pengecut, tapi ia juga tidak bodoh.

Apa yang mesti ia lakukan? Mustahil melawan lelaki itu. Dengan mudah ia akan menundukkan Azura, dan Dalam Proses Itu Mungkin Azura Akan Terluka. Tidak, Satu-­Satunya cara yang mungkin untuk menghadapi lelaki itu adalah dengan menggunakan akal, sambil menunggu kesempatan untuk melarikan diri.

”Duduk.” Rodriguez Mendorong Bahu Azura dengan kasar.

Tanpa protes Azura Melangkah ke meja di Tengah dapur, meletakkan dompetnya, dan menarik kursi, lalu Duduk Dengan hati­-hati.

Mengira Azura Sudah Menyerah, dengan Santai Rodriguez menutup pintu kulkas. Dapur itu menjadi Gelap. Azura Bangkit Dari kursinya Dan bergerak ke pintu belakang. Tapi Rodriguez Sudah meraihnya sebelum ia sempat maju dua langkah, memegangi Pinggangnya dengan lengan sekuat baja, dan menariknya.

”Mau ke mana?”

”Me…menyalakan lampu.”

”Duduk.”

”Para tetangga akan tahu…”

”Kubilang duduk! Sampai kuberi perintah.” Ia menarik Azura dan mendorongnya ke kursi.

Karena sangat Gelap, Azura Tidak Melihat dudukan kursi itu Dan hampir Jatuh.

”Aku cuma ingin membantu,” katanya.

”Para Tetangga Akan Tahu Ada Yang Tidak Beres kalau mereka melihatku masuk, tapi aku tidak menyalakan lampu.” Alasannya itu Bohong belaka, Dan ia Merasa lelaki itu mengetahuinya.

Azura Tinggal di Sebuah kompleks

kondominium yang masih baru, di pinggiran San Francisco. baru sedikit unit yang terjual. Pantas saja lelaki ini memilih Rumahnya Untuk Bersembunyi, Karena lokasinya Terpencil.

Azura Mendengar Suara denting logam dalam kegelapan. Suara itu membuatnya ketakutan, seperti seekor Binatang Hutan yang kecil dan gemetar mendengar desir dedaunan yang menandakan kehadiran seekor predator

di dekatnya. Rodriguez telah melihat Rak pisau mengambil meja dekat wastafel, dan ia mengambil Salah Satu pisau Itu.

Azura, Yang semula mengira lehernya Akan digorok, jadi Tertegun Namun lega Karena Masih hidup, Ketika lampu dapur justru dinyalakan.

Sejenak sinarnya terasa membutakan. Namun akhirnya matanya bisa menyesuaikan diri. Lelaki itu masih memegang pisau panjang yang berkilat-­kilat Tersebut.

Azura Menyapukan Pandangannya Pada Sosok Rodriguez yang cokelat, lengannya yang berbobot, bahunya yang kekar, Terus ke dagu yang keras dan persegi, Hidung mancung yang sempit, dan terakhir sepasang

mata paling dingin yang pernah dilihatnya.

Selama ini ia sudah sering mendengar istilah ”mendebarkan”. berkali­kali ia sendiri menggunakan istilah itu untuk menggambarkan berbagai peristiwa yang dialaminya.

Tapi belum pernah ia menemukan situasi

atau sesuatu yang benar­benar cocok disebut ”mendebarkan”. baru kali ini.belum pernah ia melihat sorot mata penuh kebencian dan kepahitan semacam itu.

Tidak seperti Bagian-­Bagian wajahnya yang lain, yang jelas-­jelas khas wajah orang Arab Amerika, mata lelaki itu adalah mata orang kulit putih. Warnanya kelabu sangat pucat, hampir transparan, hingga pupilnya terlihat begitu gelap dan hitam. Sepasang mata itu memandang tak berkedip, tampak sangat kontras di wajah berkulit gelap yang garang dan keras itu. Azura terpukau melihatnya.

”Mau ikut makan?” Tanyanya menantang sambil mengulurkan seiris sosis dengan ujung Pisaunya.

Azura mengangkat kepala dan memajukan dagunya dengan menantang Pula.

”Tidak, terima kasih. Aku mau

menunggu saat makan malam dengan suamiku.”

”Suamimu?”

”Ya.”

”Di mana dia?”

”Di kantor, tapi sebentar lagi dia pulang.”

Lelaki itu menggigit sepotong roti dan mengunyahnya dengan santai, gayanya membuat Azura ingin menamparnya.

”Kau pembohong besar,” katanya.

”Aku tidak bohong.”

Lelaki itu menelan makanannya.

”Aku sudah menyelidiki seisi rumah ini sebelum kau pulang, Miss Azura

Andrews.

Tidak ada laki­laki di sini. Sekarang Azura tersekat. Dikuatkannya hatinya dan

dicobanya menenangkan debar jantungnya. Telapak Tangannya berkeringat dan ia menangkupkan keduanya di bawah meja.

”Dari mana kau Tahu namaku?”

”Surat-­Suratmu.”

”Kau memeriksa Surat-­Suratku?”

”Kau kedengarannya kaget. Apa ada yang ingin kausembunyikan, Miss Azura?”

Azura tidak mau terpancing.

Ia tetap menutup mulut. ”Kau mendapat Tagihan telepon Hari ini.”

Seringai lelaki itu membuat kemarahan Azura merebak lagi.

”Mereka Akan menangkapmu kembali dan

mengirimmu ke penjara.”

”Ya, aku tahu.” Respons yang tenang itu membuat Azura Terdiam.

Semula ia ingin Coba-­Coba mengancam, Tapi sekarang jadi terasa percuma. Maka ia cuma mengawasi ketika lelaki itu mengangkat karton susu ke mulutnya, mendongakkan kepala sedikit, dan minum dengan haus. Lehernya berwarna cokelat gelap, jakunnya bergerak­gerak seperti pendulum seorang ahli hipnotis. Azura merasa tergelitik melihatnya. Lelaki itu menghabiskan seluruh

isi karton, lalu meletakkan kardus kosong itu dan membersihkan mulutnya dengan punggung tangannya yang masih memegang pisau.

”Kalau Kau Tahu Mereka Akan menangkapmu, Kenapa kau mempersulit dirimu sendiri?” Ia bertanya sekadar

ingin tahu.

”Kenapa Tidak menyerahkan Diri Saja?”

”Sebab ada sesuatu yang mesti kulakukan,” katanya murung.

”Sebelum terlambat.” Azura Tidak Banyak Bertanya lagi.

Ia merasa bisa berbahaya kalau Tahu lebih banyak tentang Rencana-Rencana kriminal lelaki itu. Tapi kalau ia bisa mengajak

orang ini bercakap­cakap, mungkin Rodriguez akan mengendurkan kewaspada'annya dan Azura bisa lari ke pintu belakang. Begitu berada di garasi, ia akan memencet tombol pintu otomatis dan.

”bagaimana kau bisa masuk kemari?” Tanyanya cepat.

baru saat ini ia menyadari bahwa tidak ada tanda­tanda Orang ini Masuk Dengan paksa ke rumahnya.

”Lewat jendela kamar tidur.”

”Dan bagaimana kau bisa lari dari penjara?”

”Aku menipu seseorang yang memercayaiku.” Mulut Keras lelaki itu membentuk senyum pahit.

”Tentu saja dia Bodoh mau Percaya Pada seorang Napi. Semua orang Tahu bahwa Seorang Napi Tak Bisa dipercaya. benar kan,

Miss Azura?”

”Aku tidak punya kenalan Seorang Napi,” Sahut Azura pelan, karena tak ingin membuat lelaki itu marah.

Ia tak suka melihat tubuh orang itu sepertinya siap melenting setiap saat karena tegang.

Azura jadi sangat menyadari akan Bisiknya sendiri rambutnya yang pirang, matanya yang biru, dan kulitnya yang putih. Ekspresi sinis lelaki itu berubah menjadi kegeraman.

”Kurasa kau memang tidak punya

kenalan Seorang Napi.” Sekoyong­-konyong, dengan ge-”Lewat sangat cepat, ia menyelipkan pisau di tangannya ke balik celananya dan menarik Azura.

”bangun!”

”Kenapa?” Azura terkesiap ketakutan saat lelaki itu menariknya dengan kasar sampai ia berdiri.

Ia mencengkeram bahu Azura dan mendorongnya keluar dari dapur. Saat melewati pintu, ia mematikan lampu. Lorong itu gelap dan Azura berjalan Tersandung­-Sandung di depan Lelaki itu membawanya ke arah kamar tidur.

Azura merasa mulutnya kering oleh rasa takut. ”Kau sudah mendapatkan semua yang kauinginkan.”

”belum semuanya.”

”Katamu kau ingin makanan,” sahut Azura dengan panik sambil menyeret kakinya di karpet.

”Kalau kau pergi sekarang, aku janji tidak akan menelepon Polisi.”

”Oh ya? Sayang sekali aku tidak percaya padamu,

Miss Andrews,” kata lelaki itu dengan suara halus mengejek.

”Aku sumpah!” Teriak Azura

Tubuhnya terasa lemas dan suaranya bernada panik.

”Aku sudah banyak dijanjikan ini­ itu oleh Laki-Laki kulit putih… dan Wanita kulit putih. Aku sudah belajar untuk tidak percaya.”

”Tapi aku tidak ada sangkut­pautnya dengan itu.

Aku… oh, Tuhan, apa yang akan kaulakukan?”

Lelaki itu mendorongnya masuk ke kamar tidur, lalu

menutup pintunya.

”Tebak saja, Miss Azura.” Ia memutar tubuh Azura dan memojokkannya di antara

pintu dan tubuhnya yang keras.

Dicekalnya leher Azura, lalu membungkuk di atas wajah gadis itu.

”Menurutmu, Apa Yang akan kulakukan?”

”Aku… aku… tidak tahu.”

”Kau bukan jenis perempuan tertekan yang suka membayangkan adegan perkosaan, bukan?

Hmmm?”

”Tidak!” Azura Terengah.

”Kau tidak pernah membayangkan diperkosa oleh orang liar?”

”Tolong lepaskan aku.” Azura memalingkan kepala.

Lelaki itu membiarkannya, tapi tidak dilepaskannya. Ia malah semakin mendekat, dengan kurang ajar menekankan tubuhnya di tubuh Azura dan memerangkap Azura di belakang Lelaki itu dengan kekuatannya.

Bab. 2

”Sudah kubilang aku butuh makanan dan istirahat.” Ada nada baru yang aneh dalam suara lelaki itu. Sedikit kasar.

”Kau sudah beristirahat.”

”Maksudku tidur, Miss Azura. Aku butuh tidur.”

”Maksudmu… kau ingin tinggal di sini?” tanya

Azura terkejut.

”berapa lama?”

”Sampai aku memutuskan untuk pergi,” sahut lelaki itu tenang.

Ia menyeberangi kamar dan menyalakan

lampu di samping tempat tidur Azura.

”Tidak mungkin!”

Lelaki itu kembali ke tempat Azura berdiri di dekat pintu dan meraih tangannya. Ditariknya Azura di belakangnya.

”Kau tidak dalam posisi untuk berdebat.

Aku memang belum mencelakaimu, tapi itu tidak berarti aku tidak akan melakukannya kalau terpaksa.”

”Aku tidak takut padamu.”

”Kau bohong.” Lelaki itu menyeretnya ke kamar mandi yang berhubungan dengan kamar tidur dan membanting pintu.

”Atau kau mestinya takut. Dengar

baik­baik,” katanya dengan gigi dikatupkan.

Ada sesuatu yang mesti kulakukan, dan tidak ada seorang pun yang bisa mencegahku, apalagi seorang putri kulit putih

seperti kau. Aku telah menghantam seorang penjaga

sampai pingsan untuk bisa lolos dari penjara, dan aku

sudah jalan kaki sejauh ini. Aku tidak akan kehilangan

apa pun, selain nyawaku, dan di penjara nyawa tidak

ada artinya. Jadi, jangan macam­macam, Nona. Kau

mesti menerimaku tinggal di sini sebagai tamumu, sela-

ma yang aku inginkan.

” Untuk menekankan ancamannya, ia mencabut pisau itu lagi dari balik celananya.

Azura menarik napas kaget, seolah perutnya disentuh dengan ujung pisau itu.

”Itu lebih bagus,” kata le laki itu, melihat ketakutannya.

”Sekarang duduklah.” Ia memberi isyarat dengan dagunya ke arah toilet duduk.

Azura, masih terus menatap pisau itu, mundur sampai

ia membentur toilet, lalu duduk di situ.

Rodriguez meletakkan pisaunya di tepi bathtub, jauh dari jangkauan Azura. Ia melepaskan sepatu bot dan kaus kakinya, lalu mulai menarik kemejanya yang compang­-camping dari dalam celana jeans­nya. Azura, yang

duduk diam seperti patung, tidak mengatakan apa­apa saat lelaki itu melepaskan kemejanya.

Ia mulai membuka sabuk keperakan di pinggangnya. ”Kau mau apa?” tanya Azura was-was.

”Mau mandi.” Rodriguez membuka sabuknya, membiarkannya menggantung lepas saat ia membungkuk untuk menyalakan keran di bathtub. Lalu ia membuka

ritsleting jeans­nya. Suara air yang memancar keras itu

tak bisa menyamarkan bunyi tarikan ritsleting tersebut.

”Kau mau mandi di depanku?” teriak Azura.

”Supaya aku bisa mengawasimu.” Dengan tenang lelaki itu menurunkan celananya.

Azura memejamkan mata, merasa pening. Dicengkeramnya tepi dudukan toilet itu agar ia tidak jatuh. belum pernah ia merasa begitu dihina dan semarah ini dalam hidupnya.

Lelaki itu melangkah ke bawah pancuran air, tanpa menutup tirai. Azura memalingkan kepala dan menarik napas beberapa kali, untuk menenangkan diri.

”Ada apa, Miss Azura? belum pernah melihat

laki­laki telanjang? Atau kau gugup karena yang kau lihat adalah orang Indian yang telanjang?”Azura menoleh dengan tajam, tersengat oleh nada mengejek lelaki itu.

Ia tidak mau orang ini menganggapnya sok malu­malu kucing atau rasis. Tapi ia tak bisa

membalas ucapan lelaki itu. Ia seolah lumpuh melihat gerakan lelaki itu menyabuni tubuh telanjangnya. Air dari pancuran itu pasti panas, sebab kaca­kaca di situ mulai berkabut dan hawa terasa hangat. Kabut itu menempel di kulit Azura juga, dan ia hampir tak bisa menghidup udara berat yang lembap itu ke dalam paru-parunya.

”Seperti kau lihat, kami Narapidana juga punya alat yang sama dengan lelaki lain,” kata lelaki itu sambil menyabuni bagian bawah tubuhnya.

Tidak sama seratus persen, pikir Azura, sementara matanya melirik cepat ke bagian bawah tubuh lelaki itu.

”Kau vulgar,” katanya ketus.

”Dan seorang kriminal pula.”

Lelaki itu tersenyum sinis dan melepaskan ikat kepalanya, lalu melemparkannya ke tumpukan pakaiannya yang lain. Ia membasahi rambutnya di bawah pancuran,

lalu mengambil sebotol sampo.

Diciumnya isi botol itu, lalu dituangkannya isinya sedikit ke tangannya, dan diusapkannya ke rambutnya.”baunya lebih enak daripada sampo di penjara,” katanya sambil terus menggosok.

Azura tidak menjawab, sebab ia sedang sibuk membuat rencana. Lelaki ini tentunya perlu waktu agak lama untuk membilas rambutnya, bukan? Azura tidak punya banyak waktu untuk berpikir. Sekarang pun lelaki

itu sudah mulai membilas rambutnya.

Di meja samping tempat tidurnya ada telepon. Kalau ia bisa mencapainya dan menelepon nomor darurat sebelum…

Lelaki itu kembali menunduk di bawah pancuran. Tidak ada waktu lagi.

Azura bergerak ke arah pintu, menariknya dengan cepat, hingga lengannya serasa akan putus, dan menyerbu ke dalam kamat tidur. Dalam sekejap ia berhasil

mencapai meja kecil itu. Dengan panik ia mengangkat

telepon dan mulai memencet nomor­-nomor yang sudah begitu ia ingat.

Ditunggunya nada panggil itu. Tidak ada apa­apa. Sial! Apa ia salah memencet nomor?

Ia memutus sambungan dan mencoba lagi. Tangannya gemetar hebat, hingga ia hampir­hampir tak bisa menggenggam telepon itu. Sambil menoleh panik ia terkejut melihat Rodriguez muncul di ambang pintu, di antara kamar tidur dan kamar mandi. Lelaki itu bersandar dengan santai, mengawasinya.

Sehelai handuk melingkar di lehernya. Selebihnya ia telanjang. Air menetes-­netes dari rambutnya yang basah, meluncur di tubuhnya yang kecokelatan. Di tangan

kanannya ia menggenggam pisau itu sambil mengetuk-ngetukkan sisinya yang tidak tajam di pahanya yang telanjang.

Azura baru menyadari bahwa ia tidak akan pernah bisa memakai telepon itu. ”Kau memutus teleponku.”

”Ya, begitu aku masuk kemari.”

Dengan cepat Azura menarik kabel telepon itu dari balik meja.

Penghubung yang biasanya ditancapkan ke

tembok sudah rusak diinjak tumit sebuah sepatu bot. Ia menjadi frustrasi. Dan sangat marah. Ia marah karena lelaki itu tampak begitu tenang, sementara ia sendiri merasa begitu bodoh. Ia menyumpah­nyumpah

dan melemparkan telepon itu ke arah Rodriguez, lalu melesat ke arah pintu, berusaha meloloskan diri dengan segala cara. Ia tahu usahanya akan sia­sia, tapi ia mesti melakukan sesuatu. Ia berhasil mencapai pintu, bahkan ia bisa membukanya sedikit sebelum lelaki itu mengulurkan tangan dan mendorong pintu itu hingga menutup lagi. Azura membalikkan tubuh dengan jemari siap mencakar.

”Hentikan!” perintah lelaki itu, lalu menyambar kedua lengan Azura.

Pisaunya melukai lengan atas Azura.

Azura menjerit kesakitan. ”bodoh kau!”

Lelaki itu memekik kaget ketika Azura mengangkat lututnya dan menghantarkannya ke selangkangan lelaki itu.

Meleset, tapi lelaki itu jadi kehilangan keseimbangan saat berusaha menghindar.

Kulit lelaki itu masih basah dan licin, dan dengan mudah ia bisa menangkis pukulan-pukulan Azura. Dalam beberapa saat saja ia sudah berhasil menelikung lengan Azura.

”buat apa melawan seperti itu? Kau bisa terluka,” bentaknya. Wajahnya dekat sekali dengan wajah Azura dan dadanya turun­naik kelelahan.

Sorot kemarahan di matanya membuat Azura ketakutan, tapi Azura tak mau memperlihatkannya. Ia justru melotot pada lelaki itu.

”Kalau kau mau membunuhku, cepat lakukan,” kata-nya.Ia sama sekali tidak siap ketika lelaki itu menyentakkannya berdiri.

Gigi Azura bergemeletuk ngeri. Ia masih mencoba mengumpulkan keberaniannya ketika melihat pisau itu berkelebat ke arah pipinya dengan satu gerakan cepat. Ia mencoba menjerit, tapi yang keluar hanya erangan pelan saat ia melihat sejumput

rambutnya tergenggam di tangan lelaki itu. Helai­-helai rambut pirang di tangan cokelat itu menunjukkan beta-

pa lemahnya ia di tangan lelaki itu.

”Aku tidak main­main dengan ucapanku, Nona,”

kata Rodriguez, masih dengan napas terengah.

”Aku tidak akan rugi apa pun. Kau coba macam­macam lagi, bukan hanya rambutmu yang kutebas. Mengerti?”Dengan terbelalak ngeri memandangi rambut itu.

Azura mengangguk. Rodriguez membiarkan rambut di tangannya jatuh melayang ke lantai.

Kemudian dilemparkannya handuk itu pada Azura.

”Lenganmu berdarah.” Azura baru menyadarinya. Ia terkejut melihat tetesan darah mengalir dari luka di atas pergelangan tangannya.

”Ada bagian lain yang terluka?” Azura menggeleng.

”Pergilah ke tempat tidur.”

Rasa takut meliputi diri Azura karena ia diperintah-perintah seenaknya di rumahnya sendiri oleh seorang pelarian dari penjara.

Tanpa memprotes sepatah pun ia

mematuhi perintah itu. Lengannya sudah tidak berdarah lagi sekarang. Ia menyingkirkan handuknya dan berbalik menghadap Sanderanya.

”buka pakaianmu.” Tadi ia mengira takkan bisa merasa lebih ketakutan lagi. Ternyata perkiraannya salah.

”Apa?” desisnya.

”Kau sudah dengar apa kataku.”

”Tidak.”

”Kalau kau membantah, kau akan terluka lebih parah daripada sekadar goresan di lenganmu itu.” Mata pisau itu berkilat­-kilat dalam cahaya lampu ketika lelaki itu mengacungkannya di depan wajah Azura.

”Kurasa kau tidak akan menyakitiku.”

”Jangan terlalu yakin.” Sepasang mata yang dingin dan tidak berperasaan itu menatapnya dengan garang, dan Azura terpaksa mengakui bahwa kemungkinan ia tidak akan terluka lebih jauh lagi sepanjang malam ini tampaknya kecil.

”Kenapa… kenapa aku mesti membuka… pa…pa…”

”Kau benar­benar ingin tahu?” Tidak, rasanya ia tak ingin tahu, sebab ia bisa membayangkan jawabannya, dan kalau lelaki itu benar­benar mengucapkannya, ia pasti akan semakin ketakutan.

”Tapi kalau kau bermaksud memerkosaku, kenapa kau tidak…”

”buka pakaianmu.” Lelaki itu mengucapkan setiap kata dengan tegas.

Kalimat itu keluar dari bibirnya yang keras seperti potongan­-potongan es.

Azura tak punya pilihan. Kalau menuruti perintah lelaki itu, setidaknya ia masih punya waktu lebih banyak untuk hidup. Mungkin seseorang akan meneleponnya dan mendapati teleponnya tidak berfungsi. Perusahaan telepon akan mengirim orang untuk mengecek, bukan?

Atau barangkali akan ada yang datang. Anak penjual koran, misalnya. Apa pun mungkin ter jadi kalau ia bisa membuat lelaki itu berlama­lama. bahkan mungkin saat ini polisi sudah mengepung rumahnya, setelah berhasil melacak jejak Rodriguez kemari.

Bab. 3

dengan mata sekeras kristal. Rasa harga diri membuat Azura tak mau memohon­mohon, apalagi ia yakin kalaupun ia memohon, lelaki itu tidak akan tergerak sedikit pun.Dibukanya kancingnya satu per satu.

”Cepat!” Azura menatap lelaki telanjang yang hanya berdiri beberapa meter darinya itu.

Rodriguez dengan tenang Membalas tatapan marahnya. Sengaja Azura berlama-lama melepaskan kancing-­kancingnya, untuk menguji kesabaran si lelaki. Akhirnya semua kancing sudah dibuka.

”Lepaskan pakaianmu.” Rodriguez membuat gerakan tegas dengan pisaunya.

Sambil menunduk Azura melepaskan blusnya, tapi lalu menggunakannya untuk

menutupi dadanya.

”Turunkan.” Tanpa menatap lelaki itu, Azura menjatuhkan blusnya ke lantai.

Setelah melewati keheningan yang panjang, lelaki itu berkata,

”Sekarang yang lainnya.” Saat itu sedang musim panas di San Francisco. Azura

menutup studionya lebih awal sore itu, sebab ia tak punya janji temu lagi. Setelah berolahraga di klub kesehatan, ia pulang hanya mengenakan rok, blus, dan

sandal santai, karena tak ingin memakai stoking.

”Roknya, Azura,” kata lelaki itu dengan tekanan tegang pada suaranya.

Azura Merasa terhina Mendengar lelaki Itu menyebutkan nama depannya. Kemarahannya semakin memuncak. Dengan geram dibukanya kaitan roknya dan

dibiarkannya Rok itu jatuh ke lantai.

Mendengar suara tersekat dari mulut lelaki itu,

Amengangkat kepala. Wajah lelaki tampak sangat tegang, dan matanya menelusuri tubuh Azura seperti

sepasang obor yang berkelap­-kelip.

Memang tidak Transparan, Tapi sangat bagus dan tidak menyisakan apa pun untuk imajinasi orang yang melihatnya. Pemandangan ini tentunya akan sangat berpengaruh bagi orang yang baru kabur dari penjara.

”branya.”

Sambil berusaha menahan air matanya, Azura menurunkan tali bra, melepaskannya dari lengannya, dan

memegangi bagian depannya sebelum melepaskan kaitan di bagian depan.

Rodriguez mengulurkan tangannya.

Azura terlompat releks.

”berikan padaku,” kata lelaki itu dengan suara serak.

Tangan Azura gemetar saat menyerahkan bra sutra berenda itu padanya. Pakaian dalam itu jadi tampak semakin feminin di tangan Rodriguez yang sangat maskulin. Lelaki itu merasa bahan halus bra yang masih terasa hangat tersebut. Suatu perasaan aneh merambati Azura saat memandangi jemari lelaki itu menggosok-gosok bahan pakaian dalam di tangannya.

”Dari sutra,” guman Rodriguez dengan suara pelan.

Diangkatnya bra itu ke wajahnya dan didekatkannya ke hidungnya. Lalu ia mengerang sambil memejamkan mata dan mengernyit sejenak.

”Aromanya… aroma perempuan yang enak.”

Azura baru menyadari bahwa lelaki itu sedang bicara pada diri sendiri, bukan padanya, juga bukan tentang dirinya.

Rupanya bagi orang itu perempuan mana

pun sama saja. Azura tidak tahu apakah ia jadi lebih ketakutan atau justru lebih tenang mendengarnya.

Saat-­saat menegangkan itu berakhir ketika Rodriguez melemparkan bra tersebut dengan gerakan marah. ”Ayo,sisanya.”

”Tidak, kau mesti membunuhku dulu.” Lama lelaki itu memandanginya.

Azura tidak tahan menantang matanya yang menjelajahi sekujur tubuhnya, jadi ia memejamkan mata.

”Kau cantik sekali.” Azura tegang, mengira lelaki itu menyentuhnya. Tapi Rodriguez justru berbalik membelakanginya, kelihatannya kebingungan, entah karena sikap keras kepala Azura atau karena mendadak merasa tidak sampai hati

Apa pun yang dirasakannya, yang jelas lelaki itu kini sangat marah. Ia mengaduk­-aduk isi beberapa buah laci, dan akhirnya menemukan apa yang dicarinya. Ia beranjak kembali ke arah Azura dengan dua pasang stoking.

”berbaring.” Ia menyibakkan penutup tempat tidur di belakang Azura yang berdiri kaku ketakutan.

Azura berbaring, tubuhnya tegang karena ngeri, dan ia terbelalak ketakutan ketika lelaki itu berlutut di atasnya. Tapi Rodriguez sama sekali tidak memandanginya. Wajah lelaki itu kaku dan tegang saat ia menarik satu lengan Azura ke arah besi kepala tempat tidur.

”Kau mau mengikatku?” tanya Azura dengan suara gemetar.

”Ya,” sahut lelaki itu dengan singkat.

Diikatnya pergelangan tangan dengan stoking itu dan disambungkannya ke besi tempat tidur.

”Ya Tuhan!” berbagai bayangan mengerikan memenuhi benak Azura.

Lelaki itu tersenyum sinis, seolah

bisa membaca pikirannya dan melihat ketakutannya.

”Tenang, Miss Azura. Sudah kubilang aku cuma ingin makanan dan istirahat, dan itulah yang akan kulakukan.” Masih tetap kaku oleh rasa takut.

Azura berbaring Diam ketika lelaki itu mengikatkan pergelangan tangan satunya ke pergelangannya sendiri, dengan stoking yang

sebuah lagi. Setelah mereka saling terikat, Azura memandangi lelaki itu dengan heran.

Rodriguez mematikan lampu dan berbaring di sampingnya, memunggunginya.

”Kau bangsat!” Azura menyentakkan,

stoking yang mengikat mereka.

”Lepaskan aku!”

”Tidurlah.”

”Kubilang lepaskan aku!” teriak Azura sambil mencoba duduk.

Lelaki itu berbalik dan menariknya dengan

kasar, hingga ia berbaring lagi. Meski tak bisa melihat sosoknya dalam gelap, Azura bisa merasakan ancaman dari tubuh orang yang berbaring begitu dekat dengannya itu.

”Aku tak punya pilihan lain. Aku mesti mengikatmu.”

”Kenapa kau menyuruhku membuka pakaian?”

”Supaya kau tidak bisa melarikan diri. Aku yakin kau tidak bakal kabur malam­-malam dalam keadaan begini. Selain itu…”

”Selain itu apa?” tanya Azura dengan marah.

Setelah diam sejenak, jawaban lelaki itu terdengar dalam gelap, seperti seekor kucing hitam yang mengendap diam­diam,

”Selain itu, aku ingin melihatmu begini.”

* * * * *

”BANGUN!” Dengan enggan Azura membuka mata.

Ia tak ingat, kenapa ia merasa takut untuk terbangun. Kemudian ia merasa bahunya diguncang­guncang dengan kasar, dan ia baru ingat apa yang terjadi. Ia membuka mata dan

setengah terduduk sambil menutupi tubuhnya yang telanjang dengan selimut. Disibakkannya rambutnya yang acak­-acakan dari mata dan ia menatap wajah Rodriguez yang tampak samar­-samar.

Semalam lama sekali ia baru bisa tidur. Ia cuma berbaring di samping lelaki itu, mendengarkan suara napasnya yang teratur.

Ia tahu bahwa lelaki itu tidur nyenyak. Ia sudah berusaha melepaskan lengannya dari

ikatan, sampai seluruh tubuhnya sakit, tapi usahanya sia­-sia. Sambil menyumpah­-nyumpah akhirnya ia menyerah dan berusaha menenangkan diri. Akhirnya ia tertidur juga.

”bangun,” ulang Rodriguez dengan garang.

”Kenakan pakaianmu. Kita berangkat.” Kedua pasang stoking yang semalam digunakan untuk mengikatnya sudah tergeletak di kaki tempat tidur.

Kenapa ia tidak terbangun ketika ikatannya dilepaskan? Apakah sentuhan lelaki itu begitu halus dan ringan? Samar­-samar ia ingat merasa sangat kedinginan saat subuh tadi. Apa lelaki itu kemudian menyelimutinya?

Ia juga merinding membayangkan itu.

Ia lega melihat Rodriguez sudah mengenakan pakaiannya yang kemarin. Sebagai ikat kepala, lelaki itu menggunakan bandana katun milik Azura. Anting-anting dan kalungnya masih ada, berkilau di kulitnya yang kecokelatan. bisa mencium aroma sampo di rambut hitamnya yang kelam.

Azura memusatkan pikiran pada keadaan saat ini.

”berangkat? Ke mana? Aku tidak mau ke mana-­mana denganmu.” Lelaki itu menunjukkan sikap tak peduli.

Ia membuka lemari Azura dan mulai memeriksa pakaian di gantungan. Gaun­-gaun rancangan desainer dan blus-blus dari sutra dilewatkannya. Ia mengambil sepasang

celana jeans lusuh dan kemeja biasa, lalu melemparkannya ke tempat tidur, ke arah Azura.

Lalu ia membungkuk untuk memilih sepatu, dan mengambil sepasang sepatu bot bertumit pendek. Ditaruhnya sepatu itu di lantai dekat tempat tidur.

”Kau bisa berpakaian sendiri atau…” Ia diam sejenak, mata kelabunya menelusuri sosok Azura di balik selimut.

”…aku yang memakaikan semuanya padamu. Pokoknya lima menit lagi kita berangkat.” Gaya berdirinya sangat menantang.

kaki terentang, dada membusung, dagu terangkat tinggi. Keangkuhan dan rasa percaya diri terpancar di wajahnya.

Tapi Azura tidak mau menyerah begitu saja.

”Kenapa kau tidak membiarkan aku tetap di sini?”

”Pertanyaan tolol, Azura. Tidak pantas kau bertanya begitu.” Azura membenarkan dalam hati.

begitu lelaki ini pergi, ia pasti akan lari sambil menjerit­jerit, sampai seseorang mendengarnya. Polisi akan bisa melacak jejaknya sebelum ia mencapai batas kota.

”Kau adalah jaminanku. Semua napi pelarian yang pintar akan membawa sanderanya.”

Azura maju selangkah. ”Dan kesabaranku padamu sudah semakin tipis. bangun dari ranjang itu!” bentaknya.

Meski merasa marah, Azura menuruti perintahnya. Ia bangun sambil tetap menutupi tubuhnya dengan selimut.

”Setidaknya berbaliklah sementara aku berpakaian.” Satu alis hitam lelaki itu terangkat sedikit.

”Kau meminta seorang Napi untuk berlaku sopan?”

”Aku tidak punya prasangka rasial.” Lelaki itu memandangi rambut pirang Azura yang

acak­-acakan dan tersenyum mengejek.

”Tidak, kurasa memang tidak. Aku malah ragu kau sadar akan kehadiran kami di luar sana.” Lalu ia berbalik dan keluar dari kamar itu.

Dengan marah Azura mengambil pakian yang sudah dipilihkan lelaki itu. Ia menemukan sebuah bra dan celana dalam di tumpukan pakaian yang dilemparkan lelaki itu ke lantai setelah mengobrak-­abrik semua lacinya semalam.

Begitu selesai mengenakan jeans­nya, Azura bergegas ke jendela dan membuka kerai­-kerai. Ia meraih kait jendela dan membukanya, tapi sebuah lengan cokelat Yang kuat terulur dari belakangnya dan mencengkeram

pergelangan tangannya.

”Aku mulai bosan dengan segala ulahmu ini,

Azura.”

”Dan aku juga mulai muak dengan caramu yang kasar,” teriak Azura sambil mencoba melepaskan lengannya.

Lelaki itu melepaskannya setelah mengunci jendela dan menutup semua kerainya kembali. Dengan kesal Azura memijat­-mijat pergelangannya sambil melotot marah. Ia tidak pernah suka pada orang yang kasar.

”Dengar, Nona, kalau bukan karena memerlukanmu sebagai sandera, aku tidak bakal membiarkanmu hidup. Jadi, jangan banyak ulah.” Ia membalikkan tubuh

Azura dan mendorong sambil memegang tengkuknya.

”Jalan!” Ia menyuruh Azura ke dapur, lalu mengambil termos dan sekantong makanan.

”Rupanya kau sudah mengumpulkan keperluanmu,” Sindir Azura.

Dalam hati ia menyumpahi diri sendiri

karena tidur terlalu nyenyak. Padahal ia mungkin bisa meloloskan diri dari jendela kamar ketika lelaki itu sedang membuat kopi dan menjarah lemari makanannya.

”Kau akan senang aku membawa makanan ini ke tempat tujuan kita.”

”Ke mana kita mau pergi?”

”Ke tempat kaumku tinggal.”

Ia tidak menjelaskan lebih lanjut. Sambil mencengkeram lengan atas Azura, dibawanya gadis itu ke garasi. Ia membuka pintu penumpang mobil Azura, lalu menyuruh masuk. Ia sendiri duduk di belakang kemudi.

Termos dan kantong makanan itu diletakkannya di kursi, di antara mereka.

Dimundurkannya kursinya agar kakinya yang panjang bisa ditempatkan dengan lebih nyaman. Lalu dibukanya pintu garasi dengan remote yang selalu diletakkan Azura di dasbor. Setelah mobil berada di luar, ia menutup pintu garasi dengan cara yang sama. Di ujung jalan, dengan cekatan ia mengarahkan mobil ke tengah arus lalu lintas di jalan besar.

”berapa lama aku dibawa pergi?” tanya Azura.

Pertanyaannya biasa saja, sama sekali tidak sesuai dengan matanya yang sibuk memandang ke sana kemari.Tapi Rodriguez sengaja tidak mau berlama­lama mendekatkan mobilnya dengan mobil lain, sehingga Azura

tidak sempat mengadakan kontak mata dengan pengemudi atau penumpang kendaraan di sekitarnya. Tidak ada mobil polisi di dekat mereka. Rodriguez mengemudi dengan hati-­hati, dalam batas kecepatan yang

diizinkan. Ia tidak bodoh.

Ia juga tidak banyak bicara. Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Azura.

”Orang-­orang akan mencariku. Aku punya usaha sendiri di rumah. Kalau aku tidak muncul, orang­orang akan mencariku.”

”Tuangkan kopi.” Azura ternganga mendengar perintah yang diucapkan dengan angkuh itu.

seolah­-olah lelaki itu seorang

pahlawan, sedangkan ia adalah pelayannya.

”Persetan.”

”Tuangkan kopi.” Kalau lelaki itu berteriak kepadanya atau marah-marah, mungkin ia akan melawan dengan kegarangan yang sama. Tapi lelaki itu bicara dengan suara pelan dan tenang, seperti ular yang melata keluar dari gua. Azura merinding ngeri mendengar nadanya. Sejauh ini lelaki ini tidak menyakitinya, tapi orang ini jelas berbahaya.

Pisau dapur itu masih terselip dipinggangnya. Sekali pandang ke mata kelabunya yang keras sudah cukup untuk membuat Azura yakin bahwa orang ini

Adalah musuh yang tidak boleh disepelekan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!