NovelToon NovelToon

Second Chance

Nino Sudah Mati?

Selamat pagi. Ya, hari ini matahari sudah menampakkan dirinya, itu artinya, hari ini adalah hari memulai aktivitas. Hiruk pikuk kota sudah mulai menyapa telinga seorang pemuda.

Di sebuah kamar yang bernuansa monokrom, nampak seorang pemuda yang masih betah berkencan dengan kasur dan selimutnya, sambil menjelajahi dunia mimpi.

Sang ibunda ratu yang melihat kelakuan putranya hanya mendengus kesal, sembari mengelus dada.

“Salah mengidam apa aku, waktu hamil dia dulu?” pikir sang nyonya besar.

Dengan segera ia melangkah mendekati ranjang berukuran king size milik sang putra, dan menyibak selimutnya.

“Bangun Pangeran malas, ini sudah pagi, bahkan matahari pun sudah nampak, tapi kau masih mengarungi dunia mimpi. Sana mandi dan bersiaplah untuk bekerja?!” ujar sang nyonya sambil menarik telinga putranya.

“Auch, lepaskan telingaku, dasar Ibu tiri Cinderella, ini sakit!” pekik pemuda tersebut sambil mengaduh kesakitan.

“Apa katamu, kau mengatai mommy-mu sendiri Ibu tiri Cinderella, asal kau tahu, ya. Aku yang bersusah payah mengandungmu selama 9 bulan 10 hari, hingga kau keluar dari perutku dan lahir ke dunia, jadi sudah dipastikan bahwa kau adalah darah dagingku, dan aku bukanlah ibu tiri!”

“Siapa tahu itu hanya karangan semata, tidak ada yang tahu, bukan karena aku masih bayi?” gumam pemuda tersebut, walau dengan suara sepelan mungkin tapi naas sang ibu masih mampu mendengarnya.

Dengan kekuatan penuh sang nyonya itu menggulingkan anaknya, sampai terjatuh dari ranjang.

Brak!

“Auch!”

“Anak kurang ajar, sudah sana mandi dan bersiap, aku tidak ingin memiliki anak pengangguran!” sentak Nyonya Besar itu.

Segera saja pemuda tersebut bangun dari lantai kamarnya yang dingin, dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Bersamaan dengan itu Nyonya Besar keluar dari kamar sang putra dan menuju ke ruang makan, di sana suami dan putrinya sudah menunggu.

“Dia sudah bangun?” tanya suaminya.

“Tentu saja, walau dengan keadaan bersungut-sungut sembari memberikan sumpah serapah padaku, yang penting anak pemalas itu sudah bangun dari tidurnya,” ujar wanita paruh baya itu pada suaminya.

“Tidak baik marah-marah di pagi hari, Sayang,” peringat suaminya dengan sabar.

“Selamat pagi,” sapa seorang pemuda saat sampai di ruang makan tersebut.

“Pagi Nino, ya ampun, kau ini seorang guru, tak baik jika terlambat, bagaimana pun juga kau akan menjadi contoh untuk anak didikmu,” peringat ayahnya.

“Kenapa? Lagi pula yayasan sekolah itu, kan, milik keluarga kita, Dad,” balas Nino.

“Meski sekolah itu milik kita, bukan berarti kau bisa seenaknya, kau mengerti, Anak muda?!” ayahnya berucap tajam.

“Hem.”

Mereka pun melanjutkan sarapan bersama, dan setelah selesai, Nino beserta adiknya pamit untuk bekerja dan kuliah.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Nino harus mengantar adiknya terlebih dahulu, sebelum berangkat bekerja.

“Kau bisa telepon supir keluarga kita untuk menjemputmu, jangan naik angkutan umum sendirian seperti kemarin. Kau ini berasal dari keluarga terpandang, apa kata orang jika ada yang melihatmu menggunakan transportasi umum seperti orang miskin, nanti?” nasehat Nino panjang lebar.

Nina sang adik hanya memutar bola matanya malas, ya ampun kakaknya ini sangat kuno sekali seperti jaman kerajaan saja, masih mementingkan derajat dan status keluarga.

Memangnya apa yang salah dari hidup sederhana?

“Roda kehidupan itu terus berputar, tidak selamanya kita selalu berada di atas,” jawab Nina lantas keluar dari mobil Nino.

“Anak itu benar-benar sulit jika diberi tahu,” gumam Nino, kemudian ia menjalankan mobilnya menuju ke sekolah tempat ia mengajar.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Namanya Giovanni El Nino, atau biasa disapa Nino. Seorang guru mata pelajaran Biologi, di salah satu sekolah elit bernama Harapan Bangsa.

Sebenarnya menjadi guru bukanlah keinginannya. Ia adalah seorang penyanyi ternama, namun karena permintaan sang ayah, ia terpaksa vakum dari dunia keartisan yang membesarkan namanya itu.

Selama ia menjalani dunia keartisan pun walau ia salah satu penyanyi ternama, tapi perangainya sangatlah buruk. Sifatnya yang sombong dan merasa superstar membuatnya selalu memandang rendah orang lain.

Ia juga sering bergonta-ganti manager, dikarenakan sang manager sudah tidak kuat menghadapi sikap Nino yang suka sewenang-wenang.

Selain menjadi penyanyi ia juga menjadi bintang film dan model. Dalam memilih lawan mainnya pun ia harus ikut turun tangan. Lawan mainnya harus cantik, dan juga tidak boleh menyimpan perasaan padanya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Kembali ke saat ini, ya ia menjadi seorang guru mata pelajaran Biologi, di sekolahnya sendiri, selain itu dia dikenal sebagai guru kedisiplinan, walaupun ia sendiri tidak disiplin, sangat aneh bukan?

Saat ini ia masuk ke dalam kelas X-C. Kelas memang sudah mulai sepi, karena ia sedikit terlambat masuk hari ini, tapi tak apa, sekolah ini milik keluarganya, jadi ia bebas.

“Bangun!” ujar seorang siswa yang diketahui sebagai ketua kelas mereka, kemudian diikuti oleh siswa lainnya yang bangkit berdiri seperti ketua kelas.

“Ucapkan salam!”

“Selamat pagi, Pak Guru!” seru para murid.

“Hem. Oke sepertinya hari ini masuk semua ya, atau ada yang izin hari ini?”

Semua muridnya terdiam, Nino hanya menghela nafas. Apa muridnya itu sakit tenggorokan atau tak memiliki pita suara, mengapa ketika ia bertanya, mereka hanya diam saja?

Lalu Nino mengabsen mereka satu-persatu kemudian baru memulai kegiatan belajar mengajar.

“Nah, karena kita, sudah mempelajari tentang tumbuhan walaupun baru awal dan hanya sebentar, Bapak akan bertanya pada kalian secara acak,” ujar Nino.

Para siswa di kelas tersebut hanya mendelik horor. Ya Tuhan, haruskah mereka senam jantung pagi ini, tidakkah gurunya itu memberikan ruang bernafas sedikit saja untuk mereka?

“Mulai dari kau yang paling ujung. Dea, apa fungsi dari jaringan Floem?”

“Fungsi dari Floem adalah mengangkut zat makanan dari hasil fotosintesis, Pak,” jawab Dea.

“Bagus, lalu kau Bobby, apa yang dimaksud dengan kambium?”

“Kambium adalah lapisan jaringan meristematik pada tumbuhan yang sel-selnya aktif membelah dan bertanggung jawab atas pertumbuhan sekunder tumbuhan,” jawab Bobby. Nino mengangguk lagi.

“Berikutnya, Anna. Kambium dibagi menjadi berapa kelompok?”

“Dua kelompok, Pak. Yaitu kambium felogen (gabus) dan kambium vascular (pembuluh)”

“Baik, berikutnya kau. Apa fungsi dari jaringan gabus, Vian?!”

Vian hanya diam seribu bahasa, matanya melirik ke satu objek, raut wajahnya seperti terlihat memuja pada objek penglihatannya

“Vian?” panggil Nino.

Masih tidak ada tanggapan.

“Rhodophyta Algavian!” seru Nino kesal.

“Ah, iya, Pak. Maaf. Apa tadi pertanyaannya?”

“Ck, jika seperti itu lagi, kusarankan kau pindah ke sekolah khusus, kau tahu maksudku, bukan?!”

“Maaf, Pak.” ujar Vian dengan kepala menunduk.

“Jelaskan fungsi jaringan gabus, Vian!”

“Jaringan gabus berfungsi untuk mengendalikan masuk dan keluarnya air, mencegah serangan hama, dan beberapa fungsi mekanik lainnya. Ke arah dalam, kambium gabus pada beberapa spesies tumbuhan menghasilkan lapisan kulit bergabus yang disebut feloderm (phelloderm),” jelas Vian.

“Bagus, kalau begitu kita lanjutkan pelajaran kita!”

Kegiatan belajar mengajar pun dilanjutkan dan selama pelajaran berlangsung tidak ada satu pun murid yang tidak memperhatikan, karena jika itu terjadi maka kau dipastikan mendapatkan nilai merah di raport-mu nanti.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Tak terasa hari sudah menjelang petang, itu adalah saat-saat guru-guru, serta para siswa pulang sehabis kegiatan ekstrakurikuler.

Saat hendak pulang, tiba-tiba tangan Nino ditahan oleh seseorang. Nino yang terkejut sontak menoleh dan detik berikutnya ia hanya memutar bola matanya malas, “Ada apa?”

“Pak Nino, bisakah kita pulang bersama, saya tak membawa kendaraan,” ujar Esther guru mata pelajaran Sejarah.

Nino menyentak tangan Bu Esther, “Maaf saya sibuk, jika Anda tak membawa kendaraan, lebih baik Anda pulang saja dengan taksi.” ujar Nino lalu meninggalkan Esther yang terbengong-bengong begitu saja.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Di sisi lain Vian menghampiri gadis pujaan hatinya, “Dea, ayo kita pulang bersama!” ajaknya.

“Eh? I-itu aku tidak bisa, aku sudah dijemput oleh supir suruhan ayahku, maaf ya, Sayang,” jawab Dea.

Sayang? Ya kalian tidak salah dengar, Dea gadis yang mendapat julukan Princess SMA Harapan Bangsa itu adalah kekasih dari Rhodophyta Algavian si bintang sekolah, namun sayangnya tidak termasuk jajaran siswa top meski ia jenius sekali pun.

Dikarenakan remaja tersebut berpenampilan Nerd dan sangat kuno. Dengan rambut yang licin dan klimis dan kacamata yang setebal pantat botol membingkai matanya serta baju seragam yang sangat rapi dengan kancing baju yang terkancing hingga atas, tak lupa baju seragamnya juga dimasukkan ke dalam celana.

Benar-benar rapi.

“Ah, begitu ya. Baiklah tak apa mungkin lain kali. Kalau begitu hati-hati di jalan, ya?!” ujar Vian, Dea hanya mengangguk. Kemudian Vian bergegas untuk pulang dengan motornya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Kembali lagi ke Nino, ia saat ini sedang mengendarai mobilnya bergegas untuk pulang sesekali menggerutu, “Apa-apaan dia itu, seenaknya saja menarik tanganku, dasar wanita tak punya harga diri, jika kau tak membawa kendaraan pribadimu, naiklah kendaraan umum. Apa gunanya fasilitas umum jika tidak bisa dimanfaatkan!?”

Ia terus menggerutu sambil mendengarkan musik dengan headset yang terpasang di telinganya.

Sepertinya kali ini tingkat kewaspadaannya kurang sehingga ia tak melihat sebuah truk yang melaju berlawanan arah dengannya sedang mengalami rem blong.

Ckit... Brak!

Nino yang terkejut, membanting setir guna menghindari truk tersebut namun naas ia malah menabrak pembatas jalan serta tempat sampah yang terbuat dari beton dengan kerasnya, hingga membuat kaca mobil bagian depan pecah serta bagian depan mobilnya ringsek.

Nino juga ditemukan tak sadarkan diri dengan kepala yang bersimbah darah.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Keluarga Nino datang ke rumah sakit, setelah mendapat telepon dari polisi dan mengatakan bahwa Nino mengalami kecelakaan.

Di sana sudah ada polisi yang menunggu.

“Apa Anda keluarga Tuan Nino?”

“Iya, kami keluarganya, bagaimana keadaan anak saya, Pak?” tanya ibunda Nino.

“Sedang dalam penanganan Dokter. Saat ini Dokter bahkan belum keluar, kita tunggu Dokter, Nyonya.”

Lama mereka menunggu sampai akhirnya Dokter pun keluar.

“Dokter, bagaimana keadaan anak saya?”

“Tuan Nino mengalami cedera kepala yang parah akibat benturan selain itu Beliau kehilangan banyak darah. Beruntung kami masih punya persediaan golongan darah yang sama dengan Tuan Nino, akan tetapi maaf saat ini Tuan Nino mengalami koma,” jelas Dokter itu.

Keluarganya merasa sangat sedih dan terpukul akan apa yang terjadi pada Nino.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Di sisi lain...

“Di mana aku mengapa di sini semuanya berwarna putih, apa aku sudah mati?” gumam Nino.

“Selamat datang di api penyucian, dunia antara Surga dan Neraka,” sambut seseorang yang memiliki sayap putih bersih dan seorang lagi memiliki sayap berwarna hitam.

“Apa?!” pekik Nino membuat Malaikat serta Iblis di depannya terkejut.

“Biasa saja dong, tidak perlu gas pol begitu kagetnya, kita juga kaget tahu?!” protes Iblis.

“Aku sudah mati?” tanya Nino pada Malaikat dan Iblis itu.

“Belum, kau saat ini sedang di bawah Alam sadarmu, bisa dibilang kau sedang koma,” jelas Malaikat.

“Kami akan mengajakmu untuk melakukan tur sebentar, mengenai Surga dan Neraka, kau ingin ikut yang mana dahulu?”

“Tentu saja, aku memilih Surga, masa iya aku memilih Neraka, tidak ada manusia yang mau tinggal di tempat itu,” jawab Nino.

“Cih, sombong sekali dia, lagi pula siapa juga yang ingin memiliki anak buah sepertimu, yang kejahatannya saja melebihi para petinggi Iblis di Neraka, bisa-bisa mereka mengadakan pensiun massal jika kau di sana!?” batin Iblis itu.

“Baiklah, kau ikut aku!” perintah Malaikat itu.

Nino segera menuruti perintah sang malaikat untuk mengikutinya, “Eh, kau tidak ikut kami tur?” tanya Nino.

“Aku dilarang masuk ke kawasan Surga. Mereka akan berdemo jika aku menginjakan kaki di sana,” jelas si Iblis.

Nino tertawa dan kemudian masuk ke dalam Surga bersama Malaikat.

Kesempatan

Mereka mulai memasuki gerbang Surga. Di dalam sana sangat indah sekali Nino sampai terkesima melihat keindahan Surga, rasanya tenang dan damai. Banyak orang di sana mengenakan pakaian serba putih. Mereka nampak gembira dan ramah, bahkan ada yang beberapa kali menyapa Nino dan sang malaikat kala mereka lewat.

Nino melihat burung-burung yang berkicau dengan merdu, dengan semilir angin yang seolah menuntun dan menyertai mereka sepanjang perjalanan.

Ia juga melihat pohon-pohon rindang dan berbuah lebat dan kelihatan manis.

“Wah, baunya harum!” batin Nino kala aroma buah mangga itu menyapa indera penciumannya.

Ia terus melirik buah mangga yang seakan-akan memanggilnya dan menyuruhnya untuk mencicipi.

“Argh, sial! Baunya membuatku ingin makan,” umpat Nino dalam hati.

“Dilarang mengumpat saat di Surga, mulutmu kotor sekali!?” ujar Malaikat yang masih menatap lurus ke depan.

“Dari mana kau tahu, kalau aku baru saja mengumpat?” tanya Nino.

“Level pertanyaanmu rendah sekali, tentu saja karena aku adalah seorang malaikat. Aku bisa mendengar suara hatimu,” jelas Malaikat itu lagi.

“Apakah buah mangga itu bisa dimakan?” tanya Nino yang mulutnya sudah merasa gatal sedari tadi, karena ingin menanyakan perihal mangga yang menggoda imannya itu.

“Tentu saja bisa, tapi kau belum boleh mengambilnya,” jawab Sang malaikat.

“Kenapa tidak boleh? Pelit sekali,” cibir Nino.

“Buah itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang baik, penghuni Surga. Sedangkan dirimu saja statusnya belum jelas, apakah kau akan tinggal di Surga, Neraka, atau pun masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia,” jelas Malaikat.

“Apa aku hanya memiliki hidup sesingkat itu?” tanya Nino merasa tertegun.

“Kenapa?”

“Apa aku benar-benar akan mati?”

“Memangnya kau masih ingin hidup di dunia?”

“Tentu saja aku ingin, aku belum siap mati!” pekik Nino.

“Kenapa belum siap?”

“Ya, karena aku memiliki dosa.”

“Kupikir orang sepertimu, tidak pernah memikirkan dosa.”

Nino hanya cemberut mendengar perkataan Malaikat itu.

“Kaupikir aku tidak tahu, hidupmu seperti apa selama di dunia?”

“Selama ini aku menjalani hidupku dengan baik. Tidak ada masalah,” jawab Nino.

“Pembohong!” cibir Malaikat.

“Malaikat tidak boleh mencibir, kau ingin dipecat oleh Tuhan?”

“Manusia sepertimu memang membuat tenaga dan emosiku terkuras dengan cepat. Aku heran, apakah Tuhan sedang merasa bosan saat menciptakan dirimu?” tanya Malaikat.

“Justru saat menciptakan diriku, suasana hati Tuhan sedang baik, bahkan sangat baik. Oleh karena itu aku terlahir ke dunia dengan paras yang tampan, otak yang cemerlang, sehingga menjadi idola para wanita,” sombong Nino.

Malaikat itu hanya menampilkan ekspresi datar, saat Nino menyombongkan dirinya.

“Ya Tuhan ingin sekali aku menendang hamba-Mu yang overdosis rasa percaya diri ini,” batin Sang malaikat merasa kesal.

“Ayo kita jalan lagi, ada yang ingin kutunjukkan padamu, dari pada mengobrol denganmu hanya membuatku naik darah, lebih baik kau diam!” perintah Malaikat.

Nino hanya menurut saja, menurutnya Malaikat di depannya ini agak aneh dan sangat moody, layaknya gadis remaja.

“Bukannya sedari tadi dia yang mengajakku berbicara, kenapa aku yang disalahkan?” gerutu Nino dalam hati.

“Tidak boleh menggerutu, aku bisa mendengar suaramu!”

“Maaf, aku tidak sengaja.”

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Selama itu pula Nino mengunci mulutnya, namun matanya tak melepaskan dari pemandangan indah sejauh mata memandang.

“Kau ingin tinggal di sini?” Malaikat itu bertanya sembari berjalan, namun sayang tidak ada tanggapan dari Nino.

“Dia tidak mengacuhkan pertanyaanku, berani sekali?” batinnya merasa dongkol dengan Hamba Tuhan yang berjalan di belakangnya itu.

Nino masih sibuk dengan melihat pemandangan Surga. Di saat yang bersamaan, ada Malaikat lain yang lewat dan berpapasan dengan dirinya.

“Bidadari yang cantik,” batin Nino seraya tersenyum tidak jelas.

Malaikat yang menjadi pemandunya untuk melihat suasana Surga pun hanya mendengus kesal.

“Dilarang menggoda Malaikat di sini.”

“Siapa yang menggoda, aku tidak menggoda Malaikat itu!” sangkal Nino.

“Akan tetapi kau mengatakan dia cantik. Kau tidak boleh memiliki perasaan terhadap Malaikat. Dunia kalian berbeda!” peringat Malaikat itu.

Nino hanya diam terlalu malas menanggapi Malaikat yang memiliki banyak aturan itu. Ia tidak boleh melakukan ini dan itu.

Sampai akhirnya mereka telah sampai di sebuah tempat, yang Nino sendiri tidak paham tempat apa itu, yang jelas tempat tersebut berisi kumpulan jam dinding dengan gerak jarum jam yang berbeda-beda.

“Apa Surga juga membuka tempat reparasi jam?” tanya Nino, “maksudku, lihatlah tempat ini, banyak sekali jam dinding di sini!”

“Kau diam dan lihat saja, dulu. Aku akan menjelaskannya untukmu, tempat apa ini!” jawab Malaikat.

Nino kembali mengunci mulutnya, kala mendapat tatapan tajam, bagai pedang yang bisa menikam jantungnya kapan saja.

“Baiklah, tempat ini dinamakan dengan jam kehidupan. Kau tahu, kenapa?” tanya Malaikat, dan Nino menggeleng karena benar-benar tidak tahu.

“Jam ini menunjukkan berapa tahun lagi usia manusia di dunia, yang dilihat dari segi amal dan perilaku.”

Nino masih mengerutkan keningnya, bingung.

“Jika jarum jam bergerak normal, maka orang itu berarti, melakukan amal baik, tapi terkadang melakukan hal buruk pula. Jika jarum jam bergerak lambat, berarti mereka diberkati, karena sudah pasti mereka orang baik,” jelas Malaikat panjang lebar.

Nino memperhatikan jam dinding itu dengan seksama, “Tunggu, jam ini memiliki nama?”

Malaikat itu mengangguk, “Ya, nama jam itu adalah nama mereka yang masih hidup di dunia.”

“Jika jam itu menunjukkan usia manusia di dunia, seharusnya aku juga memilikinya. Akan tetapi mengapa tidak ada jam dindingku di sini?!” tanya Nino dengan penekanan.

“Eh, itu—ada kok, tentu saja jam milikmu ada, karena kau belum sepenuhnya mati,” jawab Malaikat gugup.

“Lalu di mana kalian meletakkannya?” tanya Nino terkesan menuntut.

“Baiklah kau ikut aku. Aku akan mengantarmu ke tempat, di mana jam milikmu berada.” ujar Malaikat itu sambil beranjak dari tempatnya. Mau tak mau, Nino harus mengikutinya.

Mereka terus menyusuri jalan setapak Surga. Kali ini mereka berjalan dalam diam. Lebih tepatnya Nino yang mendiamkan sang malaikat, karena merajuk perihal jam dindingnya yang tak ada di Surga.

“Kalian akan pergi?” tanya Malaikat lain yang kebetulan berpapasan.

“Aku akan mengantarnya berkeliling, dan mungkin tugasku sudah selesai, sebentar lagi,” jawab Malaikat yang menemani Nino.

Setelah menjawab pertanyaan Malaikat lain, mereka pergi menuju gerbang Surga. Nino mengerutkan kening, mengapa ia dibawa kembali ke gerbang Surga?

“Oh, kalian sudah selesai?” tanya Iblis yang sedari tadi menunggu di depan gerbang dengan wajah tertekuk.

“Mengapa wajahmu kusut begitu?” tanya Malaikat Surga.

“Kaupikir kakiku tidak pegal menunggu kalian sambil berdiri?!” jawab Iblis tersebut dengan nada sinis.

“Maaf kalau lama. Kau tahu sendiri jalan setapak kami itu, sepanjang apa?”

“Lain kali siapkan sebuah kursi dan seporsi daging hewan untukku makan dan bersantai,” ujar Iblis itu.

“Dasar Iblis tidak tahu diri!” desis Malaikat Surga itu kesal.

“Terima kasih, kuanggap itu sebuah pujian, kami para iblis sudah terlalu biasa dengan omongan pedas kalian, bahkan sepedas omongan manusia yang sedang dipenuhi rasa iri dengki terhadap manusia lain,” jawab Iblis itu santai.

“Lupakan, sekarang giliranmu membawanya berkeliling. Ah, katakan juga di mana letak jam dinding kehidupannya berada!” perintah Malaikat tersebut.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Dan di sinilah mereka, tepatnya Iblis dan Nino, mereka memasuki kawasan Neraka. Hawa panas langsung menyapa indera perabanya.

“Jadi kau ingin mencari letak jam kehidupan?” tanya Iblis itu mencoba basa-basi.

“Tepat sekali. Malaikat itu menunjukkan padaku jam kehidupan manusia, tapi di sana tidak ada jam dinding bertuliskan namaku!” pekik Nino kesal.

Iblis tersebut hanya mendengar pekikan Nino saja, tanpa berniat menanggapi.

“Ah apakah di sini tidak ada Air conditioner atau es jus. Rasanya panas sekali?!” keluh Nino.

“Kaupikir ini Warung. Di Neraka mana ada es jus?!” kesal Iblis itu.

Mereka melewati ruang penyiksaan, banyak orang berteriak meminta ampun serta pertolongan.

“Apa mereka tidak bisa lebih halus lagi dalam memberikan hukuman. Tolonglah perlakukan mereka dengan lembut?!” pinta Nino.

“Apa otak manusia ini bergeser dari tempat yang seharusnya, sejak kapan Neraka mengenal kata lembut dalam memperlakukan seseorang?” batin Iblis itu heran.

“Apa kau mengerti definisi Iblis dan Neraka, Nak?” tanya Iblis itu penasaran sekaligus dongkol dalam hatinya.

“Dasar Iblis tidak punya hati,” cibir Nino.

“Tentu saja kami tidak punya hati, karena kami bukanlah Malaikat Surga. Kau tahu itu dengan baik,” sahut Iblis dengan raut wajah kesal.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Dan setelah memakan beberapa waktu, sampailah mereka ke tempat yang di tuju.

“Dengar Bocah, aku tidak ingin berbasa-basi denganmu. Kau ingin melihat jam dinding milikmu, bukan? Nah, itu dia di sebelah sana.” tunjuk Sang iblis pada satu objek.

Mata Nino membola, bagaimana bisa jam dinding miliknya ada di tempat terkutuk ini? Kurang ajar.

“Kenapa jam dindingku ada di sini?!” tanya Nino marah.

“Apa Malaikat Surga tidak menjelaskan cara kerja jam dinding kehidupan?”

“Tadi sudah menjelaskannya, tapi aku merasa tidak pernah berbuat jahat.” jawab Nino sambil menerawang.

“Kau selalu tinggi hati, selalu meremehkan orang lain, angkuh, bersikap acuh tak acuh. Itu semua adalah sifat yang disukai oleh bangsa kami, Nak—,” jelas Iblis itu.

“—maka dari itu jam dindingmu kami bawa ke mari, untuk kami jadikan kipas angin di Neraka ini, karena di Neraka itu panasnya luar biasa kau tahu?!” jelas Iblis tersebut.

“Akan tetapi aku belum mati secara resmi!”

“Itulah kenapa, kami para Iblis dan Malaikat berbaik hati padamu. Kau masih diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri,” ujar Iblis itu sambil menatap Iblis perempuan yang lain.

Nino pun ikut melirik apa yang sedang menjadi objek penglihatan Iblis di sampingnya itu.

“Apa bagusnya Medusa, sampai kau meliriknya penuh damba?”

“Anak kecil tak perlu ikut campur!” delik Iblis itu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Mereka kembali di tengah-tengah gerbang, Malaikat dan Iblis pun berdiri di hadapan Nino.

“Jadi, apa kau bersedia memperbaiki hidupmu?” tanya Malaikat itu memastikan.

“Iya, aku bersedia. Mana mungkin aku membiarkan jam dinding kehidupanku berada di Neraka?!”

“Baiklah-baiklah, kau diberi kesempatan untuk memperbaiki hidupmu, tapi ingat, kau hidup sebagai roh!”

“Lalu bagaimana aku bisa berbuat baik jika hidup sebagai roh?”

“Kau akan hidup menggunakan tubuh orang lain,” sambung Iblis tersebut.

“Lalu roh orang itu bagaimana?”

“Tenang saja semua itu sudah diatur oleh Tuhan,” jawab Iblis.

“Kau akan hidup sebagai kepribadian yang lain dari si pemilik tubuh,” jelas Malaikat.

“Ah, seperti itu,” ujar Nino.

“Baiklah, kau sudah siap?” tanya Malaikat dan Nino mengangguk.

Kemudian berjalan melewati portal dunia.

Kisah Cinta Yang Kandas dan Kecelakaan Vian

Nino sudah kembali ke bumi. Dia masih setia menunggu pemilik tubuh yang sedang merampungkan kisah hidupnya. Katanya, sih begitu.

Saat ini entah mengapa Nino bisa terdampar di sebuah sekolah tempat ia mengajar. Lebih parahnya lagi, dia terdampar di kelasnya.

“Hei, kalian semua, hari ini kita berencana membesuk wali kelas kita, kalian ingin ikut tidak!?” tanya salah seorang siswa yang diketahui menjabat sebagai Ketua kelas.

“Hah, kalau itu alangkah baiknya perwakilan saja,” jawab siswa lain.

“Itu benar, dan lebih baik lagi jika yang membesuk Pak Nino pengurus kelas saja,” usul siswa lainnya.

Semua siswa di kelas itu mengangguk menyetujuinya.

“Apa selain pengurus, tidak ada yang ingin ikut membesuk?” tanya Ketua kelas lagi.

Tidak ada jawaban.

Tidak tahu saja bahwa diskusi mereka sedari tadi disaksikan oleh Nino yang berdiri di pojok kelas, meski begitu tak ada seorang pun yang mampu melihatnya.

Nino menekuk wajahnya, anak-anak didiknya seakan tak berniat membesuknya yang baru saja mengalami musibah, sungguh ia merasa kecewa.

“Mereka benar-benar tidak tahu sopan santun, seharusnya mereka membesukku!” marah Nino.

“Kau akan tahu alasannya mengapa mereka tak ingin membesukmu,” kata Malaikat yang menjadi pengawas Nino.

“Huh?” beo Nino.

“Teman-teman, haruskah kita membawa sesuatu untuk Pak Nino?” tanya Ketua kelas kembali.

“Tidak usah saja, kudengar di ruang guru tadi, beliau sedang mengalami koma, memangnya orang koma bisa makan, tidak bukan? Sia-sia saja makanan yang kita beli menggunakan uang kelas,” sahut salah satu siswa.

“Kau ini yang benar saja, apa benar Pak Nino sedang koma?” tanya siswa lainnya.

“Serius, mana mungkin aku bercanda, dan kalian tahu apa penyebab Pak Nino kecelakaan!?”

“Apa?” tanya semua siswa itu penasaran, mungkin hanya ada dua siswa yang bersikap biasa saja.

“Beliau menabrak pembatas jalan dan juga tempat sampah yang terbuat dari beton, dengan kecepatan yang lumayan tinggi!” serunya.

“Wah! Tak kusangka orang yang menerapkan kedisiplinan justru melanggar peraturan lalu lintas, hingga menabrak pembatas jalan dan tempat sampah,” komentar seorang siswa laki-laki.

“Rasakan itu, dasar Killer Bear!” ujar siswa lain berjenis kelamin perempuan.

“Sepertinya kau memiliki dendam pada Pak Nino?” tanya sang ketua kelas.

“Tentu saja, dia pernah menghukumku dengan kejamnya untuk berdiri di bawah terik matahari. Bukan itu saja, dia bahkan mengolokku dengan kata-kata pedasnya, dan menyita semua alat makeup milikku!” serunya kesal.

“Wajah saja tampan, tapi sayang tak memiliki hati, tidak tahukah dia jika makeup, itu barang penting kaum hawa?” keluhnya.

“Aku juga pernah mendapatkan hukuman darinya, membersihkan toilet selama 3 bulan di bawah pengawasannya langsung, itu sangat mengerikan!” komentar siswa laki-laki.

“Killer Bear itu juga tak pernah memberikan nilai tambah bagi siswanya yang sudah berusaha keras!” seru siswa lainnya lagi.

“Baiklah kita tak akan membawa apa pun,” putus Ketua kelas.

“Maaf menyela, sebaiknya tetap membawa buah tangan untuk keluarganya yang menunggu,” interupsi Vian.

Semua temannya serentak menoleh ke arahnya.

Sadar menjadi pusat perhatian, Vian pun menundukkan kepalanya.

“Mereka benar-benar kejam, bagaimana mungkin mereka memberikan penilaian seperti itu terhadapku?” kesal Nino.

“Itu sebabnya kau tidak pernah bersikap baik pada muridmu, kau terlalu keras pada muridmu, bahkan tidak pernah memberikan apresiasi pada prestasi muridmu di sekolah,” jelas Malaikat itu.

Nino masih saja diam dan terus memperhatikan muridnya dari pojok kelas.

“Bagaimana kalau siang atau sore nanti Vian juga ikut membesuk ke rumah sakit?” usul si sekretaris kelas.

“Eh, t-tapi aku bukan pengurus kelas,” jawab Vian terbata.

“Ayolah Vian, kita menunjukmu bukan tanpa alasan, kau ini, kan bintang sekolah, dan mungkin menjadi murid kesayangan para guru termasuk Pak Nino. Pak Nino pasti akan bangga padamu seandainya dia tahu,” bujuk si bendahara kelas.

Teman-teman sekelasnya melirik Dea, bermaksud supaya Dea mau membantu mereka membujuk Vian.

Mengerti isyarat teman-teman sekelasnya, Dea pun menghela nafas, “Vian, kau, kan anak baik. Jadi, bagaimana kalau sore nanti kau ikut pengurus kelas membesuk Pak Nino? Ayolah, pacarku, kan baik hati.”

Vian berpikir sejenak, “Kalau aku ikut, nanti bagaimana kau akan pulang?”

“Aku ada ekstrakurikuler sore nanti, hari ini jadwal tim cheerleader latihan jadi, aku akan dijemput oleh supir nanti,” ujar Dea.

Vian mengangguk, “Baiklah, aku nanti akan ikut membesuk kalau begitu.”

Nino hanya menatap Dea, “Sepertinya dia menyimpan rahasia besar.”

“Aku tidak tahu jika kau pintar menganalisis sesuatu,” sindir Malaikat.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Dan di sinilah mereka sekarang, tepatnya di sebuah rumah sakit pusat, setelah tadi mampir sebentar ke toko buah dan toko roti untuk membeli buah tangan.

Langsung saja mereka menuju kamar rawat Nino setelah diberitahu oleh perawat yang berjaga.

“Permisi.” ucap Vian sembari membuka pintu ruang rawat Nino.

“Iya, ada perlu apa?” tanya wanita paruh baya, yang diketahui sebagai Ibu Nino.

“Ah, maaf mengganggu waktunya sebentar, Bibi. Saya Vian, dan ini teman-teman saya, kami adalah murid Pak Nino, kami ke sini bermaksud membesuk Pak Nino sekaligus ikut berduka atas kecelakaan yang dialami beliau,” jelas Vian.

“Kalian murid-murid Nino, kalau begitu masuklah, dan terima kasih sudah mau membesuk Nino,” ucap wanita paruh baya itu tulus.

“Eum, kami juga ingin memberikan ini untuk Bibi, mohon diterima.” ujar Vian, dan teman-temannya memberikan bingkisan yang mereka bawa untuk buah tangan.

“Ya ampun, kalian tidak perlu repot-repot membawa ini semua, tapi terima kasih,” ucap Ibu Nino itu.

Vian dan teman-temannya merasakan atmosfer yang canggung tiba-tiba, karena mereka belum pernah bertemu langsung keluarga Nino sebelumnya.

“Kalau boleh tahu bagaimana awal kejadiannya Bibi? Maaf jika pertanyaan saya menyinggung Bibi,” ujar Vian merasa tak enak hati.

“Ah tidak, santai saja, yang Bibi dengar dari polisi, Nino berusaha menghindari truk yang sedang mengalami rem blong, tapi ia terlambat dan akhirnya menabrak pembatas jalan dan tempat sampah,” jelas Ibu Nino.

“Ternyata begitu kronologi aslinya, kejam sekali Guru dan teman-teman menyebarkan berita tidak benar,” batin Vian merasa miris.

“Maaf, apa kau Vian, murid yang berprestasi itu?” tanya Ibu Nino.

“Eh?” kaget Vian, ia mulai salah tingkah.

“Kau Rhodophyta Algavian, bukan?” tanya Ibu Nino lagi.

“I-iya Bibi. Saya Rhodophyta Algavian,” jawab Vian dengan senyum canggung.

“Ternyata benar. Nino pernah bercerita tentangmu, pada kami semua.”

Vian hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia merasa malu dan tak enak hati.

“Bi-Bibi terlalu berlebihan, aku biasa saja,” Vian menyangkal dan mencoba merendah.

Ibu dari Nino itu hanya memandang putranya yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, pun begitu juga dengan Vian dan teman-temannya, kondisi Nino memang sangat memprihatikan, berbagai alat medis terpasang di tubuhnya.

“Semoga kondisi Pak Nino segera membaik, Bibi,” ujar Vian berusaha menguatkan Ibu Nino.

Waktu terus berlalu, Vian dan teman-temannya pamit pulang karena jam besuk sudah berakhir.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sesampainya di rumah, Vian segera makan malam dan membersihkan diri, Vian melanjutkan belajar, namun tiba-tiba ia teringat sesuatu.

“Besok tanggal 14 Februari, ya. Ah, aku hampir lupa dengan hari spesial itu, besok, kan sudah 2 bulan kami menjadi sepasang kekasih. Aku akan memberikan kejutan untuk, Dea. Dia pasti merasa terkejut sekaligus terkesan?!” ujar Vian.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hari yang dinanti pun tiba. Sore itu Vian sudah berada di atap gedung sekolahnya, ia juga membawa gulungan kain yang kemudian ia bentangkan, sehingga tulisan dalam kain tersebut.

HAPPY VALENTINE ANDREA DIONISIA, I LOVE YOU. Tulisan itu dicetak dalam ukuran besar.

“Dea, hari ini merupakan hari kasih sayang, dan tepat pada hari ini pula, sudah 2 bulan kita menjadi sepasang kekasih. Semoga, kita selalu bersama selamanya, aku mencintaimu!” teriaknya dengan lantang hingga menyita atensi warga sekolah.

Mereka sudah berbondong-bondong dan berkumpul untuk melihat aksi Vian, beberapa siswa langsung menyoraki Dea, dan menggodanya, sementara yang saat ini tengah menjadi sorotan hanya tersenyum paksa, meskipun dalam hati ia ingin memaki perbuatan sang kekasih.

“Benar-benar norak!” cibir Nino yang saat ini sedang berada di atap bersama Malaikat yang selalu mengawasinya.

“Memangnya kau tidak pernah melakukan hal semacam itu?” tanya Malaikat ingin tahu.

“Aku?” beo Nino sambil menunjuk dirinya sendiri, “aku tidak perlu melakukan usaha ekstra untuk menarik para wanita, mereka akan datang sendiri tanpa aku minta.”

Malaikat itu hanya mendengus tak senang, menurutnya manusia di sampingnya ini sangat overdosis percaya diri.

Vian masih berada di atap sekolah. Senyumnya yang cerah, secerah pelangi belum juga sirna dari wajah tampannya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Malam harinya, Vian hendak menemui sang kekasih, dengan membawa sekotak hadiah yang akan ia berikan pada pujaan hatinya itu.

“Ia pasti akan terkejut sekaligus terharu dengan kejutanku,” gumam Vian sambil terus berjalan.

“Mau bertaruh, menurutmu siapa yang akan terkejut, kekasihnya atau dia sendiri?” tanya Nino pada Malaikat itu.

“Jika dilihat dari situasinya sedari tadi, aku rasa remaja polos itu yang akan terkejut. Oh aku tidak yakin jika ia sudah remaja, mengapa sifatnya masih polos sekali?” heran Malaikat itu, tidak habis pikir.

“Hanya kurang pergaulan saja, hidup anak itu hanya dipenuhi dengan belajar dan belajar. Terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, dan tidak memahami apa itu hubungan asmara,” ujar Nino.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Setelah sampai di tempat tujuan. Benar dugaan Nino dan Malaikat itu, Vian hanya bisa terpaku melihat pemandangan di depannya. Ya, ia melihat kekasihnya bermesraan dengan lelaki lain bahkan bercumbu dengan sangat panas.

Api cemburu berkobar dan menguasai hatinya, ia berjalan dengan cepat ke arah sang kekasih, lalu menarik lengannya hingga tautan itu terlepas.

Dea dan kekasih gelapnya terkejut dengan aksi tiba-tiba yang dilakukan oleh Vian.

“Mari kita lihat drama picisan hari ini,” ujar Nino.

“Apa yang kau lakukan, Vian?!” sentak Dea.

“Kau yang apa-apaan. Kau ini kekasihku, tapi berani-beraninya kau bermain api di belakangku?!” ucap Vian dengan penuh amarah.

“Ah, jadi kau sudah melihat apa yang kami lakukan, ya? Baguslah dengan begitu aku tak perlu sembunyi-sembunyi lagi, biar kuperjelas, aku memang tidak pernah menyayangimu, kau dan segala tingkahmu yang memalukan itu membuatku muak. Aku berpacaran denganmu itu karena supaya aku mendapatkan nilai yang baik di setiap mata pelajaran. Jadi, aku harap kau jangan terlalu senang dahulu, Vian!” peringat Dea.

“A-apa. Jadi, semuanya itu hanyalah kebohongan?” tanya Vian tak percaya.

“Tentu saja, seharusnya kau itu sadar diri, dengan penampilanmu yang seperti itu, kaupikir kau bisa menjerat para wanita, kelakuanmu yang terlalu norak serta wajahmu yang di bawah standar itu hanya membuatku malu?!” sentak Dea.

Vian hanya terdiam, namun hatinya telah hancur berkeping-keping mendengar kenyataan pahit yang meluncur deras dari mulut kekasihnya itu sendiri.

“Pasti rasanya sangat menyakitkan,” gumam Nino.

“Oh, aku serasa melihat belati tak kasat mata yang menghujam jantung anak itu,” timpal Malaikat.

“Jadi, mulai sekarang kita putus, aku sudah tidak ingin bersamamu, dan sudah tidak tahan dengan dirimu yang kadang mempermalukanku!” putus Dea sepihak.

Vian masih terdiam di sana. Tak lama kemudian ia membalikkan badannya dan pergi meninggalkan tempat itu, dengan sejuta kepedihan di hatinya.

“Kasihan,” komentar Nino namun masih mempertahankan suaranya yang datar.

“Anak yang malang,” timpal Malaikat.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Vian berjalan tak tentu arah, ia hanya mengikuti langkah kakinya yang membawanya entah ke mana. Matanya pun tak memperhatikan jalan yang ia lalui.

“Mau ke mana dia?” tanya Malaikat.

“Mengapa ia berjalan kaki, bukankah ia tadi membawa motor. Dasar bodoh?!” ujar Nino.

“Memangnya efek dari patah hati sedahsyat itu, ya?” tanya Malaikat penasaran.

“Tergantung bagaimana orangnya dan bagaimana cara menyikapinya,” jawab Nino.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Cukup lama Vian berjalan sambil melamun, pikirannya seolah terlempar ke belakang mengingat kejadian di tempat ia bertemu dengan sang kekasih dan berakhir dengan menyaksikan pengkhianatan yang terjadi di depan mata.

Salah apa dirinya, mengapa dia mengalami kejadian yang menyakitkan seperti ini? Seingatnya dia telah memperlakukan kekasihnya dengan baik, ia juga sangat menjaga dan menghargai Dea sebagai wanitanya. Akan tetapi apa yang ia dapatkan?

Hingga kejadiannya begitu cepat, dari arah berlawanan sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, dan menabrak Vian, membuat Vian tumbang dan tak sadarkan diri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!