NovelToon NovelToon

Welcome Back Cecil

Tak Ada Hari Secerah Mentari

Cecil

Sinar mentari terasa cerah pagi ini. Rasanya baru semalam hujan turun amat deras mengguyur muka bumi ini, menyisakan bau tanah yang lembab namun kini udara dingin bekas semalam terganti dengan hangatnya sang mentari.

Sayangnya, meski hari cerah, di mataku semua hari selalu suram, kelabu, gelap dan seolah menyimpan kejutan menakutkan di dalamnya. Aku menghela nafasku dalam seraya memberanikan diri memasuki bangunan yang selalu riuh dengan suara tawa. Bahkan suara tawa itu terlalu kencang sampai menutupi suara tangisanku saat aku disakiti.

...Stop bullying. Stand Up. Speak Out. ...

Sebuah poster yang ada di depan sekolahku. Cih, semua tulisan di poster itu palsu! Hanya pencitraan semata. Bagaimana kalau pelaku bullying adalah anak dari pemilik yayasan sekolah? Apakah tulisan di poster itu masih berarti? Apakah ada keadilan di sekolah ini? Jangan harap!

Namaku Cecilia Pramesta Putri, siswi kelas 12 sekaligus siswi pindahan di sekolah menengah atas ini. Sejak pertama aku menginjakkan kakiku di sekolah bergengsi ini, tak sekalipun hidupku tenang. Tak sekalipun aku bisa belajar tanpa diganggu oleh sang penguasa sekolah. Tak sekalipun aku bahagia. Sekolah ini ibarat neraka berkedok lembaga pendidikan. Palsu semua, cih!

Aku tidak takut.

Aku tidak mundur.

Namun aku tak berani bersuara seperti isi poster tersebut. Aku tak mau Papaku yang akan kena imbasnya kelak. Aku hanya bisa bertahan. Sabar. Hanya setahun lagi dan aku bisa keluar dari neraka ini.

Kunaiki anak tangga menuju ruang kelasku. Baru saja membuka pintu, sebuah ember berisi tepung yang diletakkan di atas pintu dengan sengaja tumpah mengenai tubuhku. Aku bak pisang goreng yang berselimut tepung, semua putih dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tepung tersebut bahkan ada yang terhirup dan membuatku terbatuk-batuk.

Suara tawa teman-teman jahanam di kelas bak musik sumbang di telingaku. Mereka bahagia di atas penderitaanku. Bagi mereka apa yang terjadi padaku adalah perbuatan yang lucu. Cih! Lucu apa? Dasar kalian semua titisan iblis!

Kutepuk seluruh tubuhku yang penuh tepung. Kubiarkan debu tepung terbang mengenai siapa saja. Aku tak peduli. Kubersihkan semampuku lalu duduk manis di kursiku. Tak lama, guru Bahasa Inggrisku masuk. Ia menatapku dengan kening berkerut. "Cecil, kamu ... kenapa? Kamu yang membuat kelas penuh tepung? Cepat bersihkan!"

See?

Bahkan guru yang seharusnya menjadi tempatku meminta perlindungan pun menyalahkanku, bukan membelaku. Aku berdiri dan membersihkan bekas tepung seraya menyimak pelajaran yang diberikan. Masih ada saja yang menertawakanku. Nafasku mulai sesak, cepat-cepat aku mengambil Ventolin milikku. Jangan sampai penyakit asma-ku kumat. Mereka pasti akan tambah senang nanti.

Kuberikan tatapan tidak suka pada Lisa Anggada, anak dari Anggada Yudha, pemilik yayasan sekolah serta bos di tempat Papaku bekerja. Ia tersenyum mengejek padaku. Aku tahu, ini perbuatannya. Bukan sekali saja ia melakukan ini padaku, sudah tak terhitung berapa kali ia membullyku namun semua teman sekelasku mendukungnya. Mereka takut pada Lisa, saking takutnya mereka bahkan sampai tak punya hati nurani lagi.

Aku kembali duduk di kursiku setelah membersihkan tepung. Aku hendak mengambil tas milikku di laci ketika kurasakan jariku digigit sesuatu. Aww!

Aku berdiri dan terkejut saat seekor tikus loncat dari laciku. Jariku berdarah dan terasa sakit akibat gigitannya. Kelas langsung ramai karena tikus yang ingin kabur. Mereka berteriak ketakutan dan naik ke atas kursi. Kelas langsung gaduh.

Tak ada yang menanyakan keadaanku. Tak ada yang peduli. Semua ketakutan karena tikus. Tak ada yang bertanya tentang lukaku. Semua hanya memikirkan keadaannya sendiri.

"CECIL! Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membawa tikus ke sekolah?" Lagi-lagi guruku menyalahkanku. Apa beliau tak tahu kalau aku juga korban? Tak lihat jariku yang berdarah? Aku mungkin tertular penyakit dari hewan menjijikkan itu tapi kenapa malah aku yang disalahkan?

"Bu-bukan aku yang membawanya, Bu," kataku dengan suara terbata.

"Keluarkan tikus yang kamu bawa, saya tunggu kamu di ruang BP!"

Bu Guru lalu pergi meninggalkan teman-temanku yang menyorakiku. Aku harus mengusir tikus padahal darah bekas gigitan tikus masih menetes dari tanganku. Tak ada yang peduli padaku sama sekali. Mereka tahu bukan aku pelakunya namun mereka memilih ikut menyalahkanku. Tak ada yang membelaku. Kalian sungguh kejam! Kalian tak punya hati nurani!

Aku melirik gadis yang duduk di kursi belakang, Anita. Ia sama sepertiku, sasaran bullying teman-teman namun Anita lebih beruntung. Setidaknya ia tak pernah mengalami hal-hal berat seperti yang kurasakan saat ini. Anita hanya dikerjai yang ringan saja. Baik aku maupun Anita hanya bisa pasrah dengan nasib kami. Tak ada yang berani melawan penguasa sekolah. Punya senjata apa kami untuk melawan? Bisa makin berat hidup kami kalau melawan Lisa Cs.

Aku hanya bisa mengutuk dalam hati. Aku tak berani melawan mereka. Aku hanya batu kerikil kecil di antara batu besar. Jika aku melawan, maka aku akan hancur. Satu keberuntunganku hari ini, tikus itu pergi tanpa perlu susah payah aku tangkap.

Kini aku harus pergi ke ruang BP. Aku harus mempertanggung-jawabkan kesalahan yang bukan kulakukan. Di jalan, aku berpapasan dengan Leon, teman akrabku satu-satunya di sekolah ini. "Cecil? Tangan kamu kenapa?"

Aku tak menjawab pertanyaannya. Leon menarik tanganku dan membawaku ke ruang UKS. Ia mengobati lukaku dan tak lagi bertanya apa yang terjadi. Leon berbeda dibanding yang lain. Hanya Leon yang masih memiliki hati nurani di sekolah ini. Sayangnya, Leon adalah kekasih Lisa.

"Aku ... tak apa. Terima kasih," kataku dari hati yang paling dalam.

"Keterlaluan mereka!" Leon nampak murka dan mengepalkan tangannya sampai buku jarinya memutih.

"Aku ... harus pergi ke ruang BP."

Baru saja aku hendak keluar ruangan, tangan Leon menghentikanku. "Katakan saja yang terjadi dengan jujur. Kamu berhak membela diri."

Aku mengangguk pelan. Kulepaskan tangan Leon dan siap menerima apapun yang terjadi di ruang BP. Aku berkata jujur dan membela diri pun tetap saja tak dipercaya. Aku kalah dibanding seisi kelas yang bersaksi kalau aku memang membawa tikus ke sekolah. Aku pun dihukum mengepel satu lantai sepulang sekolah.

"Cecil? Kamu sedang apa?"

Aku mengangkat wajahku dan melihat Leon berdiri di depanku yang sibuk mengepel lantai.

"A-aku ... sedang mengepel lantai," jawabku dengan gugup.

"Ck! Mereka benar-benar keterlaluan ya!" Leon nampak sangat marah. Wajah tampannya memerah dan buku tangannya memutih karena menahan amarah.

"Ma-maaf," kataku dengan takut. Lagi-lagi aku selalu gugup saat berbicara. Ini yang membuatku tak bisa membela diri dan selalu dibully.

"Kamu tak salah tapi kenapa kamu yang menanggung semuanya. Aku akan membuat mereka meminta maaf secara benar padamu dan tak akan membuatmu menderita lagi!" Leon mengeluarkan ponsel miliknya dan terlihat amat marah. Aku melanjutkan pekerjaanku dan terkejut saat Leon mengabarkan sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

"Aku berhasil! Lisa dan teman-teman yang lain menyesal dan akan minta maaf sama kamu. Mereka meminta kamu datang ke tempat ini." Leon memberikan secarik kertas padaku. "Mereka menunggumu."

Benarkah apa yang Leon katakan? Haruskah aku mempercayainya?

*****

Sebuah Gudang

Cecil

"Kenapa? Kamu ragu? Kali ini aku minta kamu percaya sama aku. Tadi saat kutelepon Lisa, ia awalnya tak mau mengakui. Kami bertengkar hebat dan akhirnya aku berhasil meyakinkan Lisa untuk meminta maaf sama kamu. Ia terdengar amat menyesal dengan perbuatannya. Kamu mau 'kan menerima permintaan maaf dari Lisa?" Leon menatapku dengan lekat. "Kamu mau aku temani?" Leon kembali membujukku untuk datang ke tempat di mana Lisa akan meminta maaf langsung padaku.

Hati kecilku meragu namun aku tak mau mengecewakan Leon, temanku satu-satunya di sekolah ini. Kalau bukan Leon yang kupercaya, siapa lagi? Anita? Anak itu bahkan tak mau berurusan denganku karena takut dibully lebih parah lagi.

"Aku ... akan memaafkan Lisa. Aku akan pergi kalau kamu juga pergi," jawabku.

"Tentu. Ayo kita pergi sekarang!" Aku dan Leon pun pergi ke alamat yang diberikan oleh Lisa.

Kami memasuki kawasan pabrik yang menurut Leon adalah milik keluarga Lisa. Leon memarkirkan motor miliknya di tempat parkir. Motor tidak boleh memasuki area pabrik jadi kami harus berjalan kaki untuk sampai di tempat Lisa dan teman-temannya yang sedang belajar sambil bekerja.

Di tengah perjalanan, ponsel Leon terus berdering. Aku meminta Leon mengangkatnya. Raut wajah Leon langsung berubah muram, sepertinya ada sesuatu yang terjadi.

"Kenapa?" tanyaku pada Leon setelah ia menutup panggilannya.

"Cil ... Mamaku jatuh di kamar mandi. Tak ada orang di rumah selain asisten rumah tanggaku. Aku khawatir dengan keadaan Mama. Aku harus membawa Mama ke rumah sakit. Maaf, Cil, sepertinya aku tak bisa menemani kamu," jawab Leon dengan wajah yang sangat serius.

"Iya, tak apa, Leon. Pergilah. Sudah dekat kok tempatnya. Aku bisa sendiri. Mama kamu yang lebih penting, cepatlah bawa Mama kamu ke rumah sakit." Tanpa pikir panjang aku membiarkan Leon pergi.

"Maafin aku ya, Cil. Aku tak bisa mengantarmu. Tenang saja. Semua akan baik-baik saja. Aku percaya, Lisa tulus mau berteman sama kamu, buktinya dia mengajak kamu belajar sambil bekerja di perusahaan Papanya. Nanti kabari aku ya. Aku pergi dulu." Leon pun pergi meninggalkanku.

Aku melanjutkan langkahku menuju alamat yang diberikan oleh Leon. Rupanya gudang tempat Lisa sedang bekerja berada di bagian paling belakang area pabrik. Aku berhenti di depan gudang No. 28. Suasana sekitar gudang agak sepi, mungkin karena hari sudah mulai sore dan pekerja lebih banyak berada di gudang depan.

Pintu gudang terlihat terbuka sedikit. Aku mengetuk pintu namun tak ada yang menjawab. Aku beranikan diri untuk masuk ke dalam gudang yang lumayan besar tersebut.

"Lisa?" Aku memanggil nama Lisa namun tak ada yang menjawab panggilanku.

Aku mendengar suara dari sudut pojok, aku pikir Lisa pasti ada di tempat tersebut. Aku pun berjalan menghampiri. Aku semakin jauh melangkah masuk ke dalam gudang besar yang hanya terdengar suara langkah kakiku saja.

"Lisa?" Aku kembali memanggil nama Lisa namun tetap saja tak ada yang menyahut. Aku ingin berbalik dan pulang saja namun aku takut mengecewakan Leon yang sudah berusaha mendamaikanku dan Lisa.

Aku menatap tumpukan plastik dan barang produksi pabrik yang tersusun rapi di rak yang tinggi. Ruangan ini memang gudang tempat penyimpanan barang-barang pabrik. Entah pekerjaan apa yang dilakukan oleh Lisa dan teman-temannya di gudang ini.

Sambil menengok ke kiri dan kanan, aku terus melangkah menuju tempat yang tadi mengeluarkan suara. Aku berbelok diantara rak besar dan terkejut melihat ada seorang laki-laki yang duduk sambil menunduk. Aku tak bisa melihat jelas wajahnya karena rak tinggi di kedua sisi yang penuh barang-barang membuat cahaya lampu terhalang.

"Pe-permisi. Apa ... Lisa ada? " tanyaku pada laki-laki tersebut.

Laki-laki tersebut mengangkat wajahnya dan menatapku dengan lekat. Kedua keningnya bertaut seolah mencoba mengenali siapa diriku. Ia masih muda, mungkin sebaya denganku. Apakah laki laki itu juga salah satu peserta magang? Apakah dia tahu dimana Lisa? Aku coba tanya saja deh.

"Aku temannya Lisa. Kata Lisa, dia ada di sini. Apakah kamu melihat Lisa?" tanyaku dengan polosnya.

Laki-laki tersebut berdiri dan berjalan menghampiriku dengan langkah yang agak gontai. "Lisa?" Ia menunjuk ke ruangan di belakang rak. Rupanya setelah kami berada cukup dekat aku bisa melihat laki-laki itu dengan jelas. Wajahnya lumayan tampan namun matanya merah dan aku mencium bau yang sama sekali belum pernah aku hirup sebelumnya.

"Makasih." Cepat-cepat aku berjalan melewatinya dan masuk ke dalam ruangan yang ada di pojok belakang rak besar. Di dalam ruangan, ada beberapa rak berisi kardus. Aku kembali memanggil nama Lisa namun bukan Lisa yang datang melainkan pemuda itu yang ternyata berjalan mengikutiku. "Benar Lisa di sini?"

Laki-laki itu tersenyum penuh maksud padaku. Bulu kudukku meremang. Kali ini aku menangkap sinyal bahaya, sepertinya laki-laki ini punya maksud lain padaku. Cepat-cepat aku berjalan menuju pintu namun sayang ia menutup dengan rapat dan menahan pintu tersebut dengan tubuhnya.

"Kamu mau apa?" Aku mundur satu langkah.

"Kamu cantik, Lisa." Ia berjalan mendekatiku. Bau yang tadi kuhirup kembali memenuhi indra penciumanku. Jangan-jangan ... ini bau alkohol? Apa laki-laki itu sedang mabuk?

"Mau apa kamu? Aku ke sini mau ketemu Lisa."

Ia kembali tersenyum dan terus menatapku dengan tatapan bak singa lapar. Ia lalu berjalan mendekatiku. Aku terus mundur sampai menabrak tembok. "Panas sekali." Laki-laki itu membuka kancing bajunya. "Aku mau kamu!"

Aku berusaha lari namun ia langsung menangkap tubuhku dengan mudahnya dan memelukku dengan erat. Aku kalah kuat. Tenaganya amat besar meski sedang mabuk. "Mau apa kamu? Lepasin! Aku akan teriak!" ancamku.

Laki-laki itu tak peduli. Ia terus memegang tubuhku dan bahkan menciumku dengan paksa. Aku mendorong tubuhnya tapi ia semakin nekat saja. Ia membuka paksa bajuku. Aku kalah tenaga. Aku berteriak minta tolong. "Tolong! Tolong! Lepaskan aku!"

Dengan mudahnya laki-laki itu menjatuhkan tubuh mungilku ke lantai.

Brakk!

Kepalaku terbentur meja lumayan kencang. Rasanya sakit sekali dan semua seakan berputar. Bukannya menolongku yang tak berdaya, laki-laki itu malah membuka rok-ku.

Tubuhku terasa lemas Aku tak bisa bergerak. Kepalaku sakit dan aku hanya bisa menangis. Aku bahkan tak bisa berteriak. Aku tak bisa melawan saat ia merenggut kesucianku dengan paksa. Ia tertawa dan tersenyum puas. Wajahnya, matanya dan tawanya terus terbayang meski mataku penuh dengan air mata.

Aku terus berdoa dalam hatiku semoga Lisa datang dan menolongku. Semoga ada yang membantuku dari laki-laki biadab ini.

Jangan ... Jangan sakiti aku! Rasanya aku ingin berteriak namun tak bisa. Aku hanya menangis saat ia menuntaskan gairahnya. Laki-laki itu tak peduli padaku. Dasar laki-laki biadab! Aku pun jatuh pingsan dan tak sadarkan diri.

Entah berapa lama aku pingsan, saat terbangun aku merasakan udara panas berada di sekelilingku. Kepalaku sakit dan aku sesak nafas. Laki-laki itu sudah tidak di atas tubuhku lagi. Ke mana laki-laki itu? Dia meninggalkanku setelah merenggut kesucianku, dasar kurang ajar! Aku akan membunuhnya nanti!

Aku merasa udara di sekelilingku semakin panas. Dengan tubuh yang gemuk redam, bagian inti yang terasa amat sakit, kepala terluka dan pakaian yang koyak, aku berusaha bangun namun kepalaku yang terbentur meja begitu pusing dan membuatku kembali terjatuh. Aku membuka mataku lebih lebar dan melihat kalau ternyata gudang tempatku berada saat ini dipenuhi api.

Sekuat tenaga aku berusaha menyeret tubuhku keluar dari gudang ini. Aku harus menyelamatkan diriku. Aku harus hidup dan membalas semua perbuatan orang-orang yang telah mencelakaiku. Aku terus menyeret tubuhku keluar dari gudang. Sayangnya, belum sempat aku keluar dari ruangan, aku mendengar sebuah ledakan dan aku tak sadar apa yang sudah terjadi. Semua gelap. Apakah aku akhirnya mati?

****

Si Bengek Jadi Atlit Taekwondo

Cecil

Ya ... aku pasti sudah mati. Mana ada yang selamat dari ledakan dan kebakaran seperti yang kualami? Aku pasti sebentar lagi akan berada di tempat yang damai tanpa ada orang yang menyakitiku lagi. Sekarang waktunya aku membuka mata dan melihat tempat yang damai tersebut. Tempat dimana tidak ada Lisa dan teman-temannya serta laki-laki biadab yang sudah merenggut kesucianku itu.

Aku membuka mataku dan cahaya putih yang masuk membuatku silau. Aku menutup kembali mataku dan merasakan tanganku ada yang menyentuhnya. Apa malaikat yang kini menyentuhku?

"Cecil? Kamu sudah sadar, Sayang?" Suara lembut memanggil namaku. Itu suara Mama.

Bukankah Mama masih hidup? Apa aku selamat? Aku kembali membuka mataku yang kini sudah terbiasa dengan cahaya silau. Semua serba putih. Apakah aku sudah di surga? Namun kenapa aku masih bisa mendengar suara Mama?

"Cecil? Ya Tuhan, akhirnya kamu sadar juga, Nak." Mama berdiri dan menatapku dengan tatapan khawatir. Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah penuh kekhawatiran yang menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. "Mama panggil dokter dulu ya!"

Dokter? Memangnya di surga ada dokter? Kuedarkan pandanganku melihat ke arah kiri dan kanan. Ruangan ini serba putih. Ada tiang infusan yang terhubung dengan tanganku. Tak lama datang Dokter dan perawat yang langsung memeriksaku. Tak mungkin ini di surga. Berarti aku masih hidup? Bagaimana dengan tubuhku? Aku pasti mengalami luka bakar yang sangat serius. Apakah aku akan lumpuh? Aku ingat sekali pangkal pahaku begitu sakit akibat ulah laki-laki biadab itu. Kesucianku sudah hilang, apakah aku juga akan kehilangan rahimku?

"Ma." Aku memanggil Mama dengan pelan dan agak lemah.

"Iya, Sayang? Apa yang kamu rasakan? Mana yang sakit?" Mama menggenggam tanganku dan menatapku dengan khawatir.

"Ini ... di mana?"

"Di rumah sakit, Sayang. Kamu jatuh pingsan karena kelelahan. Untung saja ada Mbak Iyem yang menemukan kamu." Mama lalu berbicara dengan dokter.

Mbak Iyem? Bukankah Mbak Iyem adalah asisten rumah tangga kami yang terpaksa kami pecat karena kami tak punya uang lagi untuk membayarnya? Kenapa Mbak Iyem yang menemukanku?

"Untunglah kata Dokter kamu tidak apa-apa." Mama kembali setelah berbicara dengan Dokter. "Kamu mau coba duduk, Sayang?" Mama lalu meninggikan posisi tempat tidurku. Kini aku bisa melihat sekelilingku. Aku berada di rumah sakit, tepatnya di kamar VVIP. Apakah Papa punya uang untuk membayar tagihan rumah sakitku nanti?

Aku mengangkat tanganku dan terkejut saat mendapati tanganku masih putih dan mulus. Tak ada luka bakar sama sekali. Aku menyingkap selimutku dan kakiku baik-baik saja. Bagian bawahku juga tak sakit padahal jelas-jelas laki-laki itu sudah merenggut kesucianku.

Aku menyentuh wajahku dan merabanya. Semua baik-baik saja. Bukankah aku pingsan di dalam gudang dan terbakar sampai mati setelah diperkosa oleh lelaki biadab itu? Kenapa aku bisa baik-baik saja? Kenapa aku bisa ada di rumah sakit? Kenapa aku masih hidup?

"Ma, yang menemukanku adalah Mbak Iyem? Memangnya Mbak Iyem masih bekerja di rumah kita?" Seingatku, Papa terpaksa memecat Mbak Iyem karena bangkrut. Mama sampai menangis saat Mbak Iyem pergi karena sudah kami anggap keluarga sendiri.

Mama tertawa mendengar pertanyaanku. "Tentu saja, Sayang. Kalau tak ada Mbak Iyem, siapa yang mau bersihin rumah kita? Rumah kita besar, Mama mana kuat bersihin sendirian? Bisa encok pinggang Mama nanti."

Rumah besar? Bukankah rumah kami yang besar sudah dijual untuk membayar hutang Papa di bank? Kenapa Mama bilang rumah kami besar? Memang sekarang kami kaya lagi?

"Ma, sudah berapa lama aku pingsan?" tanyaku lagi.

"Sudah 2 jam, Nak. Mama dan Mbak Iyem begitu khawatir jadi langsung membawa kamu ke Rumah Sakit. Dokter bilang kamu anemia karena kelelahan belajar. Lain kali, jangan terlalu lelah ya belajarnya."

Aku kelelahan belajar? Seingatku, aku memang pernah belajar keras sampai begadang dan aku pingsan tapi itu sudah lama sekali, sekitar 2 tahun yang lalu. Masa sih aku berada di masa lalu? "Ma, memangnya sekarang tanggal berapa?"

Mama menyebutkan tanggal dan tahun yang ternyata benar mundur 2 tahun dari hari yang seharusnya. Aku menutup mulutku, rasanya semua tak bisa dipercaya. Aku belum meninggal dan aku bahkan kembali ke 2 tahun lalu, sebelum keluargaku jatuh miskin, sebelum aku hidup di neraka dan mati terbakar di gudang setelah dinodai oleh lelaki jahat itu. "Mama serius?"

"Iya, Sayang. Masa sih Mama bohong sama kamu? Nih kamu lihat saja sendiri." Mama menunjukkan kalender di ponsel miliknya. Ternyata benar. Aku tidak meninggal dan aku malah kembali ke masa lalu. Kenapa aku bisa kembali ke masa lalu?

"Kenapa? Kamu pusing? Mau Mama panggilkan Dokter lagi?" tanya Mama dengan kening berkerut.

"Tak perlu, Ma. Aku sudah sehat. Kapan aku bisa pulang?" Aku harus memeriksa sendiri kebenarannya. Apa benar aku memang kembali ke 2 tahun sebelum hari naas itu?

Setelah diijinkan pulang, aku dibawa Mama pulang ke rumah lama kami. Rumah besar saat hidupku masih sangat nyaman dan bisnis Papa masih sukses. Ternyata benar, aku kembali ke waktu 2 tahun yang lalu. Apakah semua ini mungkin? Mau tak percaya tapi memang benar terjadi. Aku sampai mencubit pipiku, rasa sakit kini kurasakan. Semua ini nyata, bukan mimpi. Aku masih hidup dan aku kembali ke masa lalu.

Bayangan mati terbakar setelah dinodai oleh lelaki tak dikenal membuatku marah. Semua yang terjadi pasti ulah Lisa. Ia sengaja menjebakku dan berniat membakarku hidup-hidup. Apa ia juga yang membayar laki-laki bejat itu untuk menodaiku? Kalau memang benar, ia tak layak mendapat ampunan. Aku akan membalas semua perbuatannya padaku.

Aku masuk ke dalam kamar dan membuka laci lemari. Kenapa tidak ada Ventolin di laci tempat tidurku?

"Ma, dimana Ventolin-ku?" tanyaku pada Mama yang sedang membawakan buah untukku.

"Ventolin? Apa itu?" tanya balik Mama.

"Itu loh, alat untuk sesak nafas kalau asmaku sedang kumat," jawabku.

"Asma? Sejak kapan kamu asma? Kalau kamu asma dan tergantung sama alat seperti itu, Mama pasti tak akan ijinkan kamu jadi atlit taekwondo. Sudah, istirahatlah. Kamu pasti masih pusing." Mama menaruh buah untukku lalu pergi.

Aku tidak punya asma? Benarkah? Aku kini juga atlit taekwondo? Masa sih? Bukankah aku tak kuat berlari dan suka sesak? Mana mungkin aku atlit taekwondo? Aku berjalan mendekat ke piagam yang ada di dinding. Mataku terbelalak membaca tulisan yang tertera di dalamnya.

...Juara 2 Taekwondo Tingkat Nasional...

Wow, bagaimana mungkin aku kini juara taekwondo? Aku, si asma yang biasa dijuluki si bengek sama Lisa Cs ternyata seorang juara taekwondo? Amazing!

Ternyata hidupku memang benar telah berubah. Aku kembali ke masa lalu. Papaku masih kaya dan aku kini bukan si bengek yang lemah. Aku atlit taekwondo! Kalau begini caranya, aku pasti bisa membalas dendamku pada Lisa Cs.

"Wah, bisnisnya menjanjikan ya." Papa masuk ke kamarku sambil menelepon seseorang. Papa memelukku dan mengusap rambutku. "Kalau saya invest untuk pembangunan Mall Opra, pasti saya akan untung besar bukan?"

Mall Opra adalah proyek mangkrak dan Papa jatuh miskin karena ikut investasi di Mall Opra. Aku tak mau hidupku sengsara seperti sebelumnya. Aku tak mau Papa berakhir menjadi anak buah Papanya Lisa. Aku harus hentikan Papa sebelum semuanya terlambat.

"Jangan, Pa! Jangan invest di sana!" teriakku.

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!