Pagi yang begitu cerah terasa begitu hangat, suasana sejuk juga ikut mendominasi membuat Vania enggan membuka matanya. Namun suasana pagi ini terasa begitu asing, pagi yang kini dia rasakan terasa begitu janggal, kesunyian pagi yang biasanya terasa begitu hampa kini tak menghampiri paginya, kenyamanan tempat tidur yang empuk nan lembut kini tak terasa nyaman malah seperti hamparan tanah yang berbalik menyakiti tubuhnya.
Dengan paksa, Vania menyadarkan diri dari lelapnya. Gemuruh orang-orang di sekitarnya terdengar begitu jelas memaksa dia untuk tersadar. Saat matanya perlahan terbuka, kejanggalan itu benar-benar nyata.
"Di mana ini?" Kaget bukan main, kepalanya terasa begitu pusing terlebih keadaan yang begitu asing, langit-langit ruangan ini jauh berbeda dengan keadaan kamar nya, bahkan keadaan sekitar pun terlihat begitu asing, membuat dia begitu tercengang, dia ingin bangun untuk memastikan, tapi naas, kepalanya yang terasa pusing membuatnya begitu berat untuk bangun.
"Ummi... Wanita ini sudah bangun."
Teriakan seseorang terdengar begitu jelas dan langsung keluar dari ruangan itu, Vania semakin kebingungan. Di mana ini, dan situasi apa ini? Satu, dua, tiga, bahkan lebih dari itu kini beberapa orang wanita berpakaian sar'i mengerumuni nya yang tengah berbaring di tempat tidur.
"Nak, kamu sudah bangun?"
Pertanyaan lembut seorang wanita paruh baya terdengar begitu lembut, bahkan tangannya langsung mengelus kepala Vania, membuat gadis itu tertegun.
Vania hanya bisa terdiam, bungkam sejuta basa, bingung dengan keadaannya sekarang. Bak berada di kerumunan bidadari surga yang cantik nan anggun, dia di buat tergagap. "Di mana ini, dan siapa mereka?" Vania hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, apakah ini mimpi. "Tidak mungkin ini di surga kan? kau hanya berstatus Islam di KTP saja Vania," batinnya lagi semakin kalang kabut, jangan berpikir yang tidak-tidak, dia tidak mau mati dulu karena belum menikah dengan kekasihnya.
"Nak, apa kamu baik-baik saja?"
"Dimana ini? Dan kalian siapa?" Vania kini bicara, dia yakin ini bukan mimpi, bukan pula sedang di kelilingi bidadari, karena jelas dia baru ingat kalau semalam dia sedang party di sebuah bar, dan minum minum bersama teman-temannya, "Aisst, kenapa kepala ku terasa begitu berat." batinnya kembali menggerutu, terlebih kenapa ingatan nya hanya sampai di sana. Dia tidak ingat kenapa dia bisa berakhir di tempat asing ini.
"Jangan memaksakan diri untuk bangun, Nak. Ini minum dulu!"
Lagi-lagi wanita paruh baya satu ini begitu lembut memperhatikan Vania, setelah duduk di tepi ranjang, beliau langsung membantu Vania untuk bangun dari tidurnya dan membantu menyandarkan kepalanya.
"Terima kasih, Bu." Vania langsung mengambil gelas air minum itu dan meneguknya, setelah di perhatikan, sepertinya wanita paruh baya ini merupakan tetua dari wanita-wanita bersayr'i yang mengerumuninya. "Bisa jadi beliau yang tadi di panggil, Ummi." batinnya lagi masih dengan memperhatikan orang-orang yang mengerumuninya. "Ini di mana?"
"Kau di pesantren. Apa kau tidak ingat kejadian semalam, dasar tidak tahu malu."
Seorang dari empat wanita yang ada di dalam tiba-tiba sewot sendiri, satu wanita itu terlihat berbeda dari tiga wanita anggun yang lainnya, bahkan dari cara memandang Vania pun terlihat begitu kesal.
"Wus... Jangan begitu bi Narmi!" Seorang wanita lainnya yang terlihat begitu muda berusaha menegur. Setelahnya langsung kembali menatap Vania dan berusaha menjelaskan apa yang tengah terjadi. "Maaf, biar Azzura yang memperkenalkan diri dulu Ummi."
"Iya, bicara lah. Kalian sepertinya seumuran."
"Perkenalkan, saya Azzura. Ini Ummi Aisyah, beliau Ustadza...." Ingin menjelaskan, tapi perkataan Azzura terhenti saat isyarat Ummi memberi tahu untuk tidak lebih dari itu. "Maaf, beliau Ibu Kak Afham yang semalam bersama kakak. Dan ini bunda saya." tuturnya menunjuk sosok wanita yang berdiri persis di sebelah kanan nya. "Dan ini bi Narmi, ibu kantin di pesantren ini." lanjut nya menjelaskan. Tatapan Azzura seolah menyiratkan kalau tak harus menanggapi ucapan bi Narmi tadi.
Vania sampai tertegun, mimpi apa dia semalam sampai bisa terdampar di sebuah pesantren yang isinya sudah pasti orang-orang alim, yang menjunjung tinggi norma norma Agama. Dia malu sendiri kan, terlebih dia ingat saat keluar rumah kemarin dia menggunakan baju seksi.
"Loh, pakaian ku?" Vania sampai tercengang kaget, bahkan dia langsung meraba tubuhnya dia balik pakaian yang tertutup itu, apa yang terjadi padanya sampai pakaian yang seksi itu menghilang dan kini pakaian tertutup yang menempel di tubuhnya. "Apa yang terjadi?" ucapnya penuh tanya. Dan kenapa sekarang raut wajah semua orang jadi berubah. Apa dia benar-benar berbuat salah.
"Jangan pura-pura lupa. Dasar gadis tidak tahu diri. Gara-gara kamu seisi pesantren jadi kacau. Gara-gara kamu nama baik Gus Afham jadi tercoreng." Lagi-lagi bi Narmi sewot. Bagaimana dia tidak kesal, wanita asing yang tidak tahu siapa dia bahkan dari mana asalnya ini benar-benar bak sebuah petaka. Tiba-tiba ada di komplek pesantren dengan keadaan mabuk berat dan Gus Afham yang merupakan pemuda baik-baik harus ikut terseret dalam kekotorannya.
"Bi Narmi, bicaranya baik-baik." Azzura lagi-lagi berusaha meredam keadaan. Semuanya tahu keadaan ini benar-benar mencengangkan dan begitu di sayangkan, dan kenapa pula harus pas menimpa Kak Afham. Tapi tidak harus mengecam wanita ini berlebihan, ini musibah, jadikan kejadian ini jalan untuk meningkatkan kesabaran mereka.
"Akh, jangan terlalu baik Nak Azzura. Bibi kesal, masa iya Gus Afham harus menikahi wanita ini. Sungguh di sayangkan, dasar wanita tidak tahu malu."
"Bi Narmi!" Ummi Aisyah kini yang angkat bicara, jangan melebihi batas, meski mungkin salah, mencaci bukan hal yang benar. Dia juga berulang kali menghela nafas, bingung harus memulai dari mana, jujur kejadian ini juga benar-benar menjadi pukulan keras untuk dirinya dan mencoreng nama baik pesantren dan keluarga besar nya. Namun, dia yakin Allah punya rencana baik untuk semuanya.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Semuanya telah Allah atur, Ummi Aisyah hanya bisa berpasrah dan melihat takdir apa yang akan Allah tunjukkan kepada keluarganya.
"Nak, sekarang perkenalan diri mu, dan hubungi lah kedua orang tua mu!"
Vania sendiri tercengang hampir tak bisa berkutik, apa tadi katanya? menikahi! Siapa yang akan menikah dan siapa yang akan di nikahi, kenapa dia yang di sudutkan dan seolah dia yang salah. "Menikah, Afham? Tolong jelaskan. Aku tidak mengenal kalian, aku bahkan tidak mengenal siapa itu Afham, kenapa dia harus menikahi ku?"
Pikiran Vania kacau, kepala yang sudah pusing kini semakin pusing tujuh keliling, dia harus bangkit dan pergi dari sini, dia harus pulang. Orang-orang di sini benar-benar tidak waras. "Permisi, aku harus pulang. Kalian tidak mengenal ku dan aku pun tidak mengenal kalian." Dia benar-benar bangkit, langsung melangkah beranjak keluar tanpa mempedulikan orang-orang yang sedari tadi mengerumuninya. Saat langkahnya sampai di pintu keluar kamar, seorang lelaki bertubuh tinggi dan berbadan kekar terlihat berdiri persis di depan mata nya.
Langkah Vania pun terhenti, saat sorot mata mereka saling bertemu tiba-tiba tatapan Vania meredup, lelaki berwajah tampan itu memiliki bola mata indah seolah dengan tatapan nya saja bisa merubah emosi yang murka nan gundah itu menjadi lebih terarah.
"Tunggu..." Sorot mata Vania kini kembali menatap lelaki itu, meyakinkan kembali, dan benar saja, kilas balik kejadian semalam sedikit demi sedikit kini terlintas di benak nya. "Astaga.... My gad!" Tanpa sadar dia langsung membungkam mulutnya dan menunduk malu. Haruskah dia menggali lubang saja untuk keluar dari situasi ini, "Ma-maaf," bibirnya tergagap, kedua tangannya bahkan sampai meremas pakaiannya saking gugupnya. Ingin rasanya dia mengutuk dirinya sendiri sampai hilang kendali.
"Siapa nama mu, Dek. Aku Afham. Untuk membereskan semuanya akan lebih baik aku mengetahui nama mu." Pemuda yang bernama Afham itu masih berdiri tegak tanpa pergerakan, hanya matanya yang bergerak ke arah lain tak lagi memandang wanita asing yang harus di nikahi nya itu.
"Vania." Hanya itu yang keluar dari bibir Vania, antara canggung dan malu, dia mendadak lemas, aura lelaki ini benar-benar berbeda, dia bak menjadi sebuah kutu yang hanya menjadi kotoran saja. Namun terlepas dari itu, dia baru tersadar akan perkataan Bi Narmi tadi, kenapa pula Afham harus menikahi nya hanya karena insiden semalam. Mereka tidak sampai tidur bersama, dia hanya memeluk dan mencium lelaki ini, itupun karena efek minuman sialan yang menghilangkan kesadarannya, tak lebih dari itu kenapa harus sampai menikah segala.
"A-anggap saja kejadian semalam tidak pernah terjadi."
"Duduklah Dek Vania, biar kita bicarakan dulu."
"Tidak, aku harus pulang. Maaf semalam aku sedikit mabuk, tidak perlu berlebihan menyikapi nya."
Afham, sampai menghela nafas berat. Kalau saja dengan kata maaf semua masalah akan berakhir, dia tidak akan sepusing ini, bahkan dia pun tidak akan mendapatkan amukan dari sang Abie, karena di klaim telah menodai marwah seorang wanita, padahal dia hanya korban saja.
"Astaghfirullah. Ya Allah, jalan apa sebenarnya yang akan Kau berikan kepada hamba." Afham lagi-lagi hanya bisa menghela nafas melihat kepergian wanita asing itu dengan tatapan kosong, detik selanjutnya dia langsung melangkah mengikuti nya karena sudah tahu apa yang akan terjadi.
Amukan massa kembali bergemuruh saat Vania terlihat keluar dari rumah, bahkan lemparan kerikil mulai mengenai tubuh kecil Vania yang mulai bergetar ketakutan.
"Nikahkan mereka, dasar penzina!"
"Hukum mereka!"
Tubuh Vania merosot ambruk, bergetar hebat merasa ketakutan, kedua tangannya bergerak reflek menutup wajahnya saat buat kerikil itu mulai mengenai kepalanya, seumur hidup kejadian ini yang begitu mengerikan yang pernah dia alami, "Ada apa ini? Dad... Tolong Vania."
Afham yang kaget akan perlakuan warga langsung berlari menghampiri Vania, dia tidak mengira warga akan se-brutal itu memperlakukan nya. "Hentikan, Bu, Pak. Mohon hentikan. Iya, saya akan menikahinya."
"Paman, Bibi. Ini hanya kesalahpahaman. Kalian percaya pada ku, 'kan?" Suara Afham sampai terdengar paruh, menundukkan kepalanya sembari bertekuk lutut di hadapan orang tua paruh baya itu untuk mengharap keadilan dan belas kasih mereka. "Aku tidak mungkin melakukan hal kotor itu, Paman." ujarnya lagi memberikan pembelaan.
Tragedi ini benar-benar bak badai besar untuk nya, semuanya di luar kuasa, niat hati ingin menolong dia malah terseret dalam arus besar yang menelannya dalam-dalam hingga masuk pusaran yang begitu menyesakkan. "Astaghfirullah. Ya, Allah. Ampuni kehinaan hamba sampai Engkau berikan ujian yang begitu berat." Kedua mata Afham sampai terpejam, dia hanya bisa pasrah, entah jalan apa yang akan Allah tunjukkan untuknya.
Bak tersambar petir, Ustadz Ali sendiri masih terdiam, termenung lemas menatap keponakannya sembari merangkul menenangkan sang istri; Alika yang masih terlihat syok dengan kejadian ini. Bagaimana tidak, di waktu sepertiga malam yang biasa orang gunakan untuk bermunajat, tiba-tiba gemuruh orang-orang kampung terdengar bising mulai memasuki pekarangan pesantren, menggegerkan semaunya.
Orang-orang bergemuruh mengacungkan obor nya, tak peduli meski kala itu gerimis menyelimuti membasahi pakaian dan tubuh mereka, mereka terus merajuk, memukul kentongan dengan begitu kencang seolah ada tragedi yang begitu mencengangkan, dan betapa kagetnya Ustadz Ali saat beliau membuka pintu rumah, sosok keponakannya tiba-tiba tersungkur di depannya dengan penampilan yang begitu lusuh.
Bahkan teriakan masa yang menyuarakan kalau Afham telah berzina bak tusukan anak panah yang menancap dalam hati. Itu tidak mungkin, Ustadz Ali lebih mengenal seperti apa keponakannya, meski penampilannya sekilas seperti lelaki berandal dengan polesan rambut pirang nya, tidak mungkin Afham melakukan hal kotor itu. Namun, hatinya bak kembali teriris, di kala matanya melihat sosok gadis cantik yang sama-sama di seret oleh warga, dengan busana mini bahkan sudah setengah terbuka.
"Berikan keadilan, Ustadz. Apa yang di lakukan Nak Afham merupakan hal yang hina. Kami semua tidak mau ikut menanggung dosa jika membiarkannya." Teriakan masa kembali terdengar, bagi mereka yang merupakan masyarakat yang berpegang teguh pada ajaran Islam dan tentunya itu juga dalam bimbingan Ustadz Ali, ini merupakan penghinaan yang besar. Sosok putra pemilik yayasan Ponpes ini, bahkan keponakan Ustadz pembimbing masyarakat di sini malah melakukan perlakuan kotor yang bisa berdampak buruk untuk semuanya. "Berikan hukuman yang setimpal, Ustadz!" desak masa dengan penuh amarah.
Ustadz Ali sampai semakin gundah, dia tidak bisa bertingkah gegabah. Terlebih dia harus menunggu Kakak iparnya, yang merupakan orang tua keponakannya ini. "Tenang, bapa Ibu semaunya. Biarkan saya bicara dulu dengan Afham. Kita bereskan masalah ini dengan baik-baik."
"Membicarakan apa lagi, Ustadz. Sudah jelas Afham telah berzina."
"Iya, Ustadz. Saya melihat sendiri keponakan Ustadz sedang berciuman dengan wanita itu. Bahkan wanita itu sudah hampir tak mengenakan busana."
"Astaghfirullah." Afham sampai tersentak, kesaksian bapak-bapak yang sedang meronda itu tidak lah benar, "Pak, semuanya tidak seperti yang bapak-bapak lihat. Saya benar-benar tidak melakukan hal itu." Ia hanya bisa membela diri, tapi percuma semaunya tidak ada yang percaya. Karena jelas sebagian apa yang mereka lihat benar adanya.
"Kau masih berani mengelak?"
Tubuh Afham seketika kembali tertekuk, hancurlah citranya di depan semua masyarakat, percuma dia terus membela diri, jelas dia memang telah berciuman dengan wanita yang tak di kenalnya itu, lebih tepatnya bukan berciuman, tapi dia di cium paksa, wanita itu yang tiba-tiba menarik dan memeluknya dengan paksa dalam keadaan tidak sadarkan diri bahkan tiba-tiba menciumnya dengan brutal. Dan sialnya saat ingin mendorong menjauhkan wanita asing itu, orang-orang yang meronda memergokinya, dan terjadilah kesalahpahaman ini. Dan sekarang dia tidak bisa meluruskan kesalahpahaman itu karena wanita sang pelaku utamanya sudah tidak sadarkan diri sejak tadi.
"Berikan mereka hukuman, Ustadz."
Teriakan masa kembali terdengar, Ustadz Ali hanya bisa menghela nafas, bagaimanapun sesuai yang para saksi lihat, apa yang di lakukan Afham salah, perbuatan yang tak terpuji bahkan melanggar norma-norma agama, dan sebuah dosa.
"Maaf, Afham. Paman tidak bisa berbuat apa-apa, kau memang salah. Bagaimanapun alasan mu, terima lah karena ini mungkin teguran untuk mu." Ustadz Ali langsung mendekat, perlahan membungkuk menyentuh kuda pundak keponakannya itu. Berusaha memberikan keringanan karena sepertinya apa yang di lakukan lelaki yang baru berusia dua puluh enam tahun ini belum melebihi batas sampai ke perbuatan yang lebih intim.
"Untuk meredam masalah ini, dan rasa tanggung jawab mu dengan apa yang telah terjadi, bagaimana kalau kamu menikahi gadis itu. Ini semua semata untuk menjaga Marwah kalian berdua." ujarnya memberi nasihat.
"Paman?" Afham sampai terperanjat. Apa memang harus berakhir dengan menikah? Dia bahkan tidak mengenal wanita itu sama sekali. Dan lagi sudah jelas wanita asing itu sedang mabuk-mabukan, haruskah dia menikahinya.
"Iya. Nikahkan saja mereka, Ustadz. Apa yang di lakukan mereka sudah mencoreng nama baik Pesantren. Menikahkan mereka adalah solusi yang terbaik." Teriakan masa kembali terdengar, biar kedua anak muda itu jera. Dan untuk kedepannya tidak akan ada hal serupa yang terjadi pada anak muda di luaran sana.
"Abie!" Suara Azzura tiba-tiba terdengar memanggil Ustadz Ali, yang merupakan Ayahnya. Dengan terburu-buru dia melangkah ke luar menghampiri Abie nya untuk menyampaikan sesuatu.
"Apa, Nak. Apa wanita itu sudah siuman?" Ustadz Ali langsung bertanya, pasalnya saat wanita asing itu pingsan tak sadarkan diri, dia langsung meminta putrinya yang merupakan mahasiswi kedokteran untuk merawat dan memeriksa keadaannya.
"Belum Abie." Azzura terlihat ragu-ragu untuk bicara, sesaat dia melihat keadaan Kakak sepupunya yang terlihat mengkhawatirkan, sekarang dia bisa mengerti dengan apa yang Kakak sepupunya alami tadi, dia percaya kalau Kak Afham hanyalah korban. "Bie, wanita itu terpengaruh alkohol dan obat-obatan, kemungkinan untuk bisa siuman sangat lama." bisiknya dengan ragu. Dan tentunya itu membuat Abie nya kaget.
Afham yang mendengar itu bahkan lebih kaget, dia sampai langsung mengangkat kepala nya menatap adik sepupunya itu. "Obat-obatan?" tanyanya memastikan.
"Iya Kak Afham." Azzura langsung mengangguk, sejauh ini itu yang dia ketahui setelah pemeriksaanya. Bahkan mungkin karena itulah wanita itu sampai pingsan tak sadarkan diri sampai sekarang, tubuhnya menahan keras rangsangan obat itu sampai terjadinya penyumbatan pada sel saraf nya, dan lagi konsumsi alkohol yang berlebih, menjadi pemicu utamanya.
"Astaghfirullah....." Afham sampai menghela nafas berat, siapa sebenarnya gadis itu, dan karena tragedi ini haruskah dia berakhir menikahinya. "Ya Allah. Tunjukkan lah kemurahan, Mu!"
Afham bukan ingin berburuk sangka ataupun melihat penampilan seseorang hanya dengan melihat sampul nya saja, tapi jika jelas demikian jauh dari kata baik, wanita asing itu benar-benar wanita yang jauh dari kata mengenal agama. Bahkan mungkin tidak seiman dengan nya, bagaimana bisa dia memperistrinya.
"Masuklah dulu ke dalam Nak Afham, bersihkan tubuh mu, biar Paman meredakan amarah warga, dan bibi mu akan menghubungi Bang Ansell."
...***...
Plak...... Sebuah tamparan keras mendarat di rahang Afham. Ansell yang merupakan sang ayah dari pemuda itu tak bisa mengendalikan emosi nya setelah mengetahui kejadian ini, dia benar-benar murka pada sang putra membuat keadaan di dalam rumah menjadi begitu mencekam. Tak habis pikir, Ansell benar-benar malu sendiri melihat tingkah putra pertamanya ini.
"Abie..." Suaranya begitu paruh. Afham hanya bisa menahan rasa sakit, lebih tepatnya bukan menahan sakit akan tamparan itu, melainkan menahan sakit akan kekecewaan sang Abie dan Ummi nya dengan apa yang menimpa nya. "Maaf, Bie, Ummi." ucapnya lirih.
"Kau pikir ini bisa selesai dengan kata maaf!" Suara Pak Ansell kembali menggema, dia benar-benar kacau, antara kecewa dan kasihan. Dia hampir kehabisan kata-kata bagaimana harus menyikapi kejadian ini.
"Habib, tentang lah." Aisyah mulai bicara, air mata yang hampir saja terjatuh melihat keadaan putranya kini dia seka, dan langsung menghampiri sang suami untuk menenangkan nya. Iya, dia juga terpukul dengan keadaan ini, tapi tidak harus terpuruk dan berlarut-larut, semua ada jalan keluarnya, semua ada cara untuk memperbaikinya.
"Habib, manusia tempat salah, namun ada jalan taubat untuk membersihkan segala kesalahannya. Jangan terlalu marah pada Afham, dia memang berbuat salah, tapi dia akan bertanggung jawab atas semuanya."
Iya, hanya itu yang bisa Ummi Aisyah lontarkan, tidak akan ada suatu masalah yang berat jika kita menghadapi semuanya dengan lapang dada, kembalikan semuanya dengan hati ikhlas karena yakinlah skenario Allah lebih indah dengan sebuah hikmah yang ada di balik semuanya.
"Astaghfirullah...." Pak Ansell hanya bisa menghela nafas panjang sambil memijat pelipisnya, benar kata sang istri, di pikiran seperti apapun kalau hanya mengikuti amarahnya semua masalah ini tidak akan mendadak berubah menjadi baik-baik saja. "Gus Ali, mari kita bicara. Ajak juga para tokoh masyarakat untuk berunding bersama."
Para orang tua lelaki sudah pindah ke ruangan lain, di ruangan itu kini tertinggal Ummi Aisyah, Bunda Alika, dan Azzura yang tengah melihat sosok Afham.
Ummi Aisyah langsung mendekat, duduk di samping putra nya itu dan perlahan memeluknya, "Kau, seorang lelaki. Kau pasti lebih kuat dari Ummi, Nak " ucapnya berusaha menghibur perasaan sang putra. Dia yang lebih tahu keadaan putranya, Afham akan begitu terpuruk jika sang Abie kecewa kepada dirinya.
Pasti sulit, di saat pandangan orang-orang begitu memojokkan nya, bahkan sedikit pun tak percaya padanya, Afham juga harus menerima kemarahan sang Abie yang begitu di hormati nya.
"Tak apa-apa, Nak. Disaat kamu merasa lelah dengan semuanya, rasanya ingin menyerah. ingatlah selalu. 'Lā yukallīfullāhu nafsān illā wus'ahā' Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
"Terima kasih, Ummi."
Keadaan sudah semakin mereda, Vania hanya bisa duduk diam di antara orang-orang asing yang sukses membuat dirinya begitu menderita, bangun-bangun dari tidurnya tiba-tiba dia harus di nikahi lelaki yang tidak dia kenal bahkan saat mau kabur dari keadaan ini dia malah mendapati kekerasan dari warga sekitar.
Sungguh kesialan yang sempurna, hanya karena dia mabuk dan lepas kendali dia harus berakhir seperti ini, padahal kalau di lingkungan sekitarnya ini merupakan hal wajar, berpelukan dan berciuman adalah hal yang lumrah terlebih dalam hubungan berpacaran. Tak mengenal norma agama bahkan tak mengenal dosa, semua orang sudah menganggap hal itu tidak apa-apa.
Sekilas, Vania tersadar, ternyata begitu banyak dosa yang telah dia lakukan, namun saat mengingat kembali kejadian pahit ini dia begitu kesal, kenapa semua ini harus menimpa dirinya. Dia tidak mau, dia tidak terima jika harus menikah dengan lelaki yang tak di kenalnya, bahkan jelas tingkat keimanan mereka juga berbeda, lelaki yang kini duduk di hadapannya benar-benar bukan lelaki yang pantas untuk nya.
"Daddy, cepat kesini. Hanya Daddy harapan Vania." Dia hanya bisa memohon dalam hati. Berharap besar Daddy-nya bisa menyelamatkan nya dari orang-orang di sini, dia percaya dan berharap Daddy nya juga akan menentang keinginan mereka. Karena jelas orang-orang pesantren ini sudah kelewatan batas.
...***...
Sementara itu keadaan di Mansion keluarga Edward. Pak Edward sudah di buat kalang kabut, Vania yang tidak pulang semalaman bahkan tidak bisa di hubungi membuat dia begitu khawatir, dan saat jam sembilan pagi mendapat kabar dari Vania, dia malah semakin khawatir karena putrinya itu menghubungi nya menggunakan ponsel orang lain bahkan suaranya terdengar begitu ketakutan.
"Cepat Pak, kita langsung menuju Pesantren di ujung kota jalan simpang karya." ucapnya pada sang sopir yang akan mengantarkan nya, bahkan tak lupa dia membawa beberapa bodyguard, berjaga-jaga dia akan membutuhkan mereka jika Vania benar-benar dalam keadaan yang tidak dia inginkan.
"Loh, bukannya alamat itu begitu jauh, Pak." Pak Supri sampai kaget sendiri, bagaimana ceritanya nona muda nya itu bisa berakhir di tempat jauh bahkan sebuah pesantren, padahal yang dia tahu nona muda nya itu begitu manja dan nakal. Setiap keluar rumah pasti bersenang-senang dan berfoya-foya dengan teman sosialita nya, bahkan selalu di temani sopir pribadi nya yang selalu mengantarkan beliau kemana-mana.
"Jangan banyak bertanya, cepat jalan!" Edward tidak menggubris pertanyaan sopir nya itu, meski dalam hati dia juga begitu penasaran apa sebenarnya yang terjadi dengan putrinya, sopir Vania pulang seorang diri dan Vania tidak ada kabar jelas itu membuat nya frustasi, namun sekarang dia tidak ingat memperkeruh pikiran nya, sudah ada kabar dari Vania saja itu membuat hatinya sedikit lebih tenang. "Cepat, Pak!"
Keadaan di Mansion yang sama, di sebuah ruangan yang jauh dari perhatian para pelayan, Amora beserta ibunya terlihat begitu gelisah, kabar kalau Vania sudah memberi kabar membuat Amora begitu gundah.
Bahkan wanita yang merupakan adik sepupu Vania itu langsung menghubungi seseorang untuk memastikan sesuatu, "Heh Jasmine, apa kau yakin Vania tidak akan mengingat semuanya?" tanyanya dengan begitu gugup. Matilah dia kalau semuanya terbongkar begitu saja.
"Tidak akan Amora, tenang lah, orang-orang ku membius nya saat menculik Vania di toilet Bar semalam. Sudah jelas dia tidak akan ingat apapun apalagi dia sudah mabuk berat."
"Kau bilang tentang." Amora semakin kesal, enak sekali temannya itu menyuruh dia tentang padahal rencana mereka untuk menjebak Vania hancur berantakan. "Sudah ku bilang langsung saja jebak dia, kenapa harus membawanya ke tempat jauh. Kau bisa kan menyuruh orang-orang mu untuk membawa Vania ke hotel."
"Aku tidak segila dirimu Amora, aku masih menyayangi diri ku sendiri, aku tidak mau berurusan dengan keluarga Edward. Kau tahu sendiri kan, semua hotel di kota berada dalam kekuasaan keluarga Edward, kalau membawa Vania ke hotel untuk menjebak nya, itu sama saja aku menggali kuburan ku sendiri."
"Aisst, dasar tidak becus." Amora semakin frustasi, rupanya salah besar dia bekerjasama dengan Jasmine bodoh yang tidak bisa di andalkan, "Lantas, apa yang terjadi semalam, orang-orang mu tidak mengirimkan foto apapun dan Vania menghilangkan tanpa kabar?"
"Saat efek obat bius nya menghilang, Vania terbangun dan efek obat perangsang nya mulai bereaksi membuat nya berteriak dan meronta ingin keluar mobil. Dan sial nya saat itu ada seseorang yang sama sama melewati jalanan itu dan menolongnya, orang-orang ku tidak mau menganggu resiko dan mereka semua langsung kabur."
"Assist sialan. Jangan sampai Vania mengingat semuanya, dia pasti akan memburu orang-orang mu. Kau tahu kan seperti apa Om Edward?" Amora hanya bisa menghela nafas berat, semuanya sudah terjadi, dia hanya bisa memperingati teman nya itu untuk menutupi kejadian ini rapat-rapat.
"Iya, aku tahu itu. Makanya sejak awal aku sudah menyuruh orang-orang ku untuk langsung pergi keluar kota bahkan ke luar negeri kalau mereka ingin hidupnya baik-baik saja."
Amora langsung mengakhiri panggilan itu, sekarang sudah sedikit lega meski dia tidak akan tahu kedepannya akan seperti apa.
"Bagaimana Amora, semuanya baik-baik saja?" Laura langsung bertanya untuk memastikan, dia yang merupakan adik ipar dari pak Edward ikut khawatir dengan keadaan putrinya, persetan dengan apa yang akan terjadi dengan Vania, sedari awal rencana ini memang untuk kebaikan putrinya agar bisa lebih unggul dari Vania yang selalu menjadi penghalang kebahagiaan putrinya.
"Tidak apa-apa, Mom. Semuanya baik-baik saja. Ayo kita ikuti Om Edward, kita tetap harus terlihat baik di hadapan mereka."
...***...
Mobil Pak Edward sudah memasuki pekarangan pesantren, dia langsung tercengang saat melihat keadaan sekitar, begitu banyak orang, bahkan beberapa mobil mewah terparkir di sana.
"Pak apa tidak salah Nona muda di sini?" Pak sopir juga sampai kebingungan, keadaan ini malah seperti suasana tegang di mana orang-orang berkumpul untuk melakukan demo, "Lihat Pak, bahkan sepertinya semua warga kampung sedang berkumpul di sini." tuturnya lagi.
"Diam kau, cepat turun." Edward malah langsung menarik kerah baju sopir nya itu, dia mempekerjakan nya bukan untuk menjadi penakut melainkan untuk menjadi tameng keluarga nya. "Ayo...!" Paksa nya lagi. Dia yakin Vania ada di dalam rumah yang ada banyak orang di sana. Karena Vania tadi mengatakan kalau dia ada di rumah pemimpin pondok pesantren yang bernama Hidayatul Mubtadi'in ini.
Edward melangkah dengan perlahan menuju rumah itu di ikuti sang sopir dan ketiga bodyguard nya, dan tentunya kedatangannya menggegerkan warga yang sedari tadi berkerumun di sana. Semua bertanya-tanya siapa beliau, tampangnya begitu bukan orang sembarangan bahkan tampangnya pun menyeramkan terlebih datang ke sana membawa beberapa pengawal.
"Dad- Daddy..." Vania sontak langsung berlari menghampiri sosok yang sudah dia tunggu, dia langsung memeluk Daddy-nya itu dan melupakan ketakutannya. "Vania takut Dad, Vania ingin pulang." lirihnya lagi tanpa melepaskan pelukannya.
Edward ikut sedih, hati orang tua mana yang tidak akan terluka melihat putri semata wayangnya bergetar ketakutan seperti ini, dia benar-benar tidak akan memaafkan orang-orang yang telah melukai putrinya ini. "Jangan menangis, sayang. Daddy di sini, kamu sekarang baik-baik saja."
Orang-orang di sekitar hanya bisa melihat itu, para warga saling berbisik, merasa kaget karena ternyata gadis yang berzina dengan Gus Afham semalam bukan wanita biasa, gadis ini sepertinya orang kaya dan terpandang dari cara mereka melihat orang tuanya.
Afham sendiri sesaat tertegun jadi ini orang tua gadis ini, mampukah dia meluruskan kesalahpahaman tentang kejadian malam tadi dan akankah ayah gadis ini akan memaafkan nya. "Ya, Allah. Mudahkan lah semuanya." Hati Afham sudah benar-benar pasrah, dia terima jika harus menikahi gadis ini, dia akan terima jika kedepannya cemoohan orang-orang akan terus di lontarkan padanya, ini jalan hidupnya, pasti ada hikmah di balik semuanya.
Setelah menenangkan Vania, Edward langsung melepaskan pelukannya untuk memastikan apa yang telah terjadi, begitu banyak orang, matanya kini mengitari setiap orang yang ada di dalam, sungguh pemandangan yang jarang dia lihat, setiap wanita mengenakan pakaian sopan dengan kerudung syar'i yang menyempurnakan keanggunannya dan seseorang mengenakan pakaian Koko seolah menunjukkan kalau beliau ustadz di pesantren ini.
Sesaat dia berpikir, jadi begini keadaan di sebuah pesantren, orang-orang benar-benar menjunjung tinggi norma agama bahkan begitu sopan saat memandang nya, matanya kini langsung melihat sosok lelaki muda di samping Pak Ustadz tadi.
Afham yang merasa tatapan nya saling bertemu dengan ayah dari gadis itu langsung mengangguk pelan, "Assalamualaikum, Pak. Silahkan duduk terlebih dahulu." tuturnya sembari menunjuk kursi kosong di depannya.
Edward sesaat tertegun, "Waalaikumsalam..." rasanya begitu kaku. Kata itu tidak pernah ia ucapkan kecuali saat ada meeting dengan salah satu rekan bisnisnya yang begitu ia hormati. Hanya rekan bisnis satu-satunya itu yang selalu ia percaya dan begitu jujur dalam bekerja, dia tiba-tiba jadi mengingat nya.
"Loh, Pak Ansell!" Edward kaget bukan main, baru saja dia mengingat rekan bisnisnya ini, orangnya malah langsung ada di hadapannya.
Pak Ansell yang baru terlihat memasuki ruangan itu juga ikut kaget, "Pak Edward." panggilnya dengan seulas senyum, dia langsung menghampiri Edward dan menyalami nya ala rekan kerja yang sudah seperti keluarga. "Saya tidak mengira kita akan bertemu di sini, ada perlu apa Bapak di sini?"
Mereka yang bercakap-cakap Afham dan Vania yang kaget. Vania sampai syok, kenapa bisa sang Daddy mengenal Ayah dari lelaki yang akan menikahinya. Begitupun dengan Afham.
"Masyaallah... Rupanya Abie mengenal Ayah gadis ini."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!