NovelToon NovelToon

DR. ROMANTIC (ARDA & KANIA)

Part 1 : Rawat Inap

"Kenapa sih harus diciptakan benda yang namanya jarum suntik?!!" geram Kania.

Sejak kecil selalu ditakut-takuti dengan menggunakan kata dokter, sehingga membuat rasa takut Kania pada kata dokter terbawa hingga sekarang.

Untuk membawa Kania berobat, mamanya harus menggunakan seribu cara supaya putrinya mau. Karena gadis itu selalu histeris ketika mendengar kata dokter. Inginnya sembuh, tetapi tidak mau ke dokter, bahkan untuk meminum obatnya pun sangatlah susah.

Semua sudah berlalu, sudah ada peningkatan dari sosok Kania. Meskipun ia masih takut dengan peralatan medis, tapi, ia sudah bisa menelan obat tanpa diperintah terlebih dahulu.

Saat ini, papanya sakit dan harus menjalani rawat inap di sebuah rumah sakit. Kania yang merupakan anak yang masih tinggal bersama orangtuanya pun menjadi pendamping papanya selama dilakukan rawat inap, lebih tepatnya bersama papanya, karena mamanya sudah meninggal. Sementara kedua kakaknya sudah berumahtangga dan memiliki rumah masing-masing.

''Semangat sembuh ya, Pak, besok dokter lain yang praktek, bukan saya, karena saya akan cuti.'' ujar dokter wanita itu setelah selesai memeriksa.

''Sudah mendekati waktu melahirkan ya, Dok?'' tanya Kania menimpali.

''Iya Dek,'' jawab dokter yang perutnya sudah semakin membesar itu.

''Semoga Bu dokter selalu sehat ya dan lancar persalinannya nanti.'' ucap Rianto.

''Aamiin, terima kasih, Pak.'' ucap dokter tersebut ramah.

Kania senang dengan pelayanan tenaga kesehatan yang ramah-ramah meskipun saat melihat jarum suntik ia selalu menutup matanya. Ia pernah mengalami kejadian yang kurang mengenakkan saat beberapa tahun yang lalu. Semua itu masih membekas di hati Kania ketika ekspresi wajah yang jutek dan nada bicaranya yang ketus.

Tidak bisa disamaratakan, Kania sekarang bisa melihat keramahan dokter yang mengurus papanya.

''Gimana sekarang rasanya, Pa? sudah banyak perubahan apa belum?'' tanya Kania.

''Sudah membaik, Papa sudah tidak pusing lagi, di sini juga sudah nggak sesak, sakit-sakit di badan juga sudah nggak terlalu kayak kemarin.'' jelas papa sembari menunjuk pada dadanya.

''Syukurlah, Pa, kalau sudah membaik.'' jawab Kania senang karena menginap di rumah sakit tentu saja tidak enak.

Keesokan paginya, jam kontrol dokter biasanya pukul 08.00 WIB. Kania masih menunggu kedatangan dokter yang belum juga datang.

Di saat Kania berdiri di tengah pintu, dokter yang ia tunggu akhirnya muncul juga. Tetapi karena dokter itu mengenakan masker, Kania tidak bisa melihat jelas bagaimana wajahnya, apalagi jaraknya masih dari ujung ke ujung. Ia hanya langsung menilai bahwa dokter tersebut berperawakan tinggi, putih, sepertinya tampan, jarak yang semakin mendekat membuat aroma wangi tubuh dokter itu tercium oleh Kania.

''Permisi,'' ucap dokter yang diikuti oleh asistennya itu.

Kania langsung tersadar.

Kania mempersilahkan masuk sembari mengikuti dari belakang. Dan tidak lupa menghirup aroma wangi tubuh dokter itu lagi.

"Kayak pernah kenal sama bau wangi ini," bathin Kania.

Kania hanya bisa melihat jelas bahwa dokter itu memiliki perawakan yang tinggi, sepertinya ia memiliki tubuh yang macho. Setelah dekat, ternyata nyali Kania ciut, ia tidak berani menatap ke arah wajahnya.

"Kayaknya ganteng nih!" bathin Kania.

''Gimana, Pak, keadaan hari ini?'' tanya dokter tersebut sembari memeriksa kondisi jantung papa Kania.

''Saya rasa sudah membaik semua, Dok.'' jawabnya.

"Syukurlah,"

''Saya yang akan menggantikan dokter Vika untuk beberapa waktu ke depan, selama beliau masih cuti ya, Pak.'' jelas dokter tersebut.

''Ohh, iya Dok.'' jawab papa.

Dokter tersebut melirik ke arah Kania yang berdiri di samping kaki papanya. Kania yang menyadarinya pun langsung menunduk dalam dengan perasaan takut.

''Apakah yang mendampingi Bapak di sini hanya satu orang saja?'' tanya dokter tersebut yang tidak melihat orang lain di sini.

Kania langsung sedikit mendongak.

''Saya anak kandungnya kok, dan kakak saya ganti-gantian kemarin, Dok. Karena saya pengangguran jadinya standby di sini.'' jawab Kania.

''Sstt, hati-hati kalau bicara, Kania. Kamu 'kan bekerja, hanya saja sedang cuti demi Papa.'' timpal papa sedikit berbisik.

Dokter itu hampir tertawa mendengar jawaban Kania, untung saja tertutup dengan masker.

Setelah itu, ia menjelaskan tentang kondisi papa Kania yang menurut pemeriksaannya sudah cukup membaik. Jika terus membaik, besok sudah bisa pulang ke rumah.

''Kalau sudah enakan, bisa di bawa jalan-jalan santai ya, Pak ... kalau hanya tiduran nanti kurang gerak.''

''Baik Dok.''

Kania menatap dokter itu, jantungnya berdebar-debar.

"Serasa kedatangan orang terdekatku, oh my GOD!" bathin Kania.

"Husstt, Kania! jangan macam-macam! bisa jadi dia suami orang! jangan jadi pelakor kamu!!" imbuh Kania masih membathin.

Dokter dan asistennya meninggalkan ruangan itu. Sementara papa yang masih duduk pun langsung meminta bantuan putrinya untuk membantu jalan-jalan di ruangan itu.

''Itu dokter kayaknya cerewet ya, Pa?'' ujar Kania.

''Hust, namanya juga dokter, Nia ... pasti kasih saran ini itu untuk pasiennya.'' jawab papa.

Kania selalu merinding melihat alat-alat medis itu. Saat dokter ataupun perawat tengah memasukkan obat melalui infus, Kania memilih untuk mengalihkan pandangannya.

Di rumahnya, Kania hanya tinggal bersama papa dan dua asisten rumah tangga setelah mamanya meninggal. Hal itu yang membuat Kania tidak bisa jauh dari papanya, apalagi melihat kesibukan dari kedua kakaknya yang semakin jarang berkunjung ke rumah. Dan kakak sulungnya yang tinggal di luar pulau.

Kania sendiri bekerja di tempat papanya sendiri, tapi, ia juga tidak ingin membuat kecemburuan sosial. Kania tetap diperlakukan seperti karyawan lain. Contohnya pada saat ini, ia membuat surat cuti dengan perihal yang sesuai.

Usia Kania saat ini masih 23 tahun, ia baru saja lulus S1 tahun kemarin. Ia mengambil manajemen dan mendapatkan hasil yang cukup baik, meskipun bukan yang terbaik.

''Hari ini nggak ada yang datang, Pa, bang Dion lagi ada meeting ke luar kota.'' ujar Kania setelah membaca pesan dari kakaknya.

''Ya sudah nggak papa, namanya juga lagi sibuk.'' jawab papa mengerti.

Kania menikmati makan malamnya setelah membelinya dari kantin rumah sakit. Ia melihat jam masih menunjukkan pukul 20.10 WIB. Dari ruangan lain masih terlihat ramai. Apalagi di ruangan umum yang satu kamar berkapasitas 2 sampai 4 pasien. Kania tidak ingin papanya kurang istirahat, ia pun memilih VIP. Karena terkadang yang membuat ramai itu adalah para pembesuk pasien. Sampai terkadang tidak memperhatikan kondisi pasien yang ingin istirahat tenang.

''Permisi,''

Kania langsung terkejut dan spontan menutupkan tutup kotak nasinya saat mendengar suara yang datang.

''Iyaa,'' jawab papa dan Kania bersamaan.

''Untuk keluarga Bapak Rianto, bisa ke ruangan dokter ya, bawa fotokopi kartu keluarga, karena kemarin belum ada.'' ujar seseorang itu.

''Ohh, iya-iya, baik.'' jawab Kania.

Papa hanya bisa mengucap terima kasih.

Kania melupakan bahwa kemarin waktu pendaftaran belum memberikan kartu keluarga karena ketinggalan. Sementara siang tadi ia menyempatkan diri untuk mengambil ke rumah.

''Aku ke ruangan dokter dulu ya, Pa. Papa istirahat aja dulu, nanti sekalian mau beli cemilan di depan, hehe''

''Iya, Papa juga sudah mulai mengantuk. Kamu kalau lapar, jangan ditahan ya, biar Papa aja yang sakit, kamu harus sehat.'' balas papa.

Kania mengangguk sembari tersenyum, tak lupa mengangkat jempolnya supaya papa bisa merasakan energinya yang terus positif.

Part 2 : Apa Kabar Kania?

Setelah menyelesaikan makan malamnya dengan cepat, Kania mengambil fotokopi kartu keluarga yang masih ia simpan di dalam tasnya. Setelah itu ia bergegas menemui dokter.

''Kalau ada apa-apa langsung panggil petugas ya, Pa.'' ujar Kania menunjuk pada telepon.

Papa mengangguk.

Pria yang menyampaikan pesan itu sepertinya langsung ke belakang. Mungkin waktu tugasnya sudah selesai dan hendak pulang.

''Ini di pencet belnya? di ketuk? atau bilang permisi?'' gumam Kania setelah di depan ruangan dokter.

Perihal rumah sakit dan semacamnya membuat Kania mudah ngeblank. Aroma obat-obatan, peralatan medis, gambar-gambar tentang penyakit membuat Kania ingin tutup mata sepanjang jalan. Tapi, ia takut nabrak, akhirnya terpaksa tetap membuka matanya, meskipun harus sering-sering mengusap keringat dinginnya.

Kania akhirnya memilih untuk menekan bel, dan tak lama kemudian pintu itu terbuka. Kania melangkahkan kaki kanannya terlebih dahulu.

''Permisi, Dok.'' ucap Kania sopan setelah pintu terbuka.

Dokter itu masih mengenakan maskernya, ia terlihat mengangguk sembari mempersilahkan Kania masuk dan duduk.

''Silahkan duduk, Kania Rianti Putri.'' titah dokter tersebut.

Kania mengangguk.

''Terima kasih, Dok.'' jawab Kania langsung duduk.

Tapi, satu detik kemudian, Kania langsung mendelik, ia mendongak menatap dokter tersebut dengan tatapan heran. Karena di pendaftaran kemarin, ia hanya menuliskan Kania, tanpa nama lengkap. Apalagi ini dokter pengganti.

''Dokter tau nama saya?'' tanya Kania penasaran.

Dokter itu mengangguk membuat Kania tersenyum kepedean dan juga salah tingkah. Ia menjadi lupa bagaimana dokter itu bisa tau nama lengkapnya.

''Oh, iya, ini kartu keluarganya, Dok.''

Kania menyodorkan satu lembar kertas itu di meja.

"Maaf Dok, kenapa harus ke Dokter ya kasih kartu keluarganya? biasanya di sana," tanya Kania penasaran.

Dokter tersebut menerima dan membacanya, kemudian menatap Kania sembari meletakkan kertas itu ke sisi meja. Ia tidak menjawab pertanyaan tersebut.

''Apa kabar Kania? sepertinya kamu sudah lupa?'' tanya dokter tersebut.

Kania langsung mengernyitkan keningnya tanpa menjawab, ia menebak-nebak, tapi, takut salah orang.

Dokter itu malah terkekeh sendiri, dan tak lama kemudian, ia membuka masker yang sedari tadi menutup separo wajahnya.

Tanpa kata-kata, kedua bola mata Kania langsung membulat sempurna. Kini ia langsung paham dan mengenali, siapa dokter yang berhadapan dengannya itu. Wajah itu tidak berubah, ia masih sangat mengenalinya meskipun sudah bertahun-tahun menghilang.

Beberapa tahun yang lalu, kakaknya yang duduk di bangku sekolah menengah atas sering mengajak beberapa temannya untuk datang ke rumah, sekedar bermain PlayStation. Di antara mereka, Kania yang masih duduk di bangku sekolah dasar sering mencari perhatian pada salah satu teman kakaknya itu.

Ntah pengaruh dari mana, di suatu hari Kania mengungkapkan cinta pada teman kakaknya itu. Jawaban yang di terima oleh Kania sangat membuatnya bersedih. Laki-laki itu justru menertawakan dirinya, mencubit pipi dan juga hidung gadis kecil itu. Tak lupa juga ceramah panjang lebar tentang anak kecil belum boleh bicara soal cinta.

''Kakak, aku cinta sama Kakak.'' ungkap Kania waktu itu.

''Hahaha, apa, Kania? hahaha''

Laki-laki itu justru tak bisa menghentikan tawanya. Kania hanya bisa menangis dan membenci satu teman kakaknya itu. Ia sangat tersinggung dan sakit hati atas respon tersebut hingga akhirnya ia menjaga jarak.

Untuk kedua orang tua Kania, mereka tidak begitu memahami teman-teman dari anak-anaknya. Mereka cukup senang jika anak-anaknya bermain dan kumpul di rumah. Terkhusus untuk saat itu yang masih menjadi anak-anak sekolah.

Ingatan itu kembali lagi setelah sekian lama. Kania kembali membenci dokter itu. Ia langsung beranjak dari kursi yang berhadapan dengan meja dokter.

"Halloo, jangan melamun." ujar dokter itu dengan melambaikan tangannya di depan mata Kania.

''Maaf Dok, permisi,'' ucap Kania cepat dan ingin segera meninggalkan ruangan itu tanpa menatap dokternya.

Dokter itu pun langsung bergerak cepat, lebih dari yang Kania kira. Ia langsung menutup pintu ruangannya dengan remote.

''Hey, Kania? why?'' tanya dokter itu menahan lengan gadis itu.

Kania membuang pandangannya ke samping. Ia masih enggan menjawab, apalagi menatap dokter itu. Padahal tadi sempat terpikat dengan suara dan tubuh sang dokter, apalagi sorot matanya yang tajam dan juga teduh. Namun, ketika sudah mengetahui siapakah orang dibalik maskernya, Kania tidak jadi terpikat.

''Bisa dibukakan pintunya? bukankah Dokter masih harus praktek lagi?'' tanya Kania tanpa menatap.

''Tidak, papa kamu pasien terakhir yang saya kontrol saat ini,'' jawabnya.

Kania terdiam.

''Hey, Kania sayang, apa kamu nggak kangen sama Kakak?'' tanya dokter itu yang merubah nada bicaranya seolah-olah masih sangat akrab.

Dulu, ketika setiap bertemu, Kania langsung menempel seperti perangko. Dokter yang bernama Arda itu yang juga penyayang anak kecil tidak merasa keberatan dengan sifat manja Kania. Justru kakak Kania yang sering mengusir adiknya itu karena di anggap mengganggu.

Bertahun-tahun berlalu, Kania dan Arda tidak pernah bertemu lagi, apalagi setelah kemarahan Kania terhadap penolakan dari Arda, gadis kecil itu tak lagi suka menempel. Setelah lulus sekolah, Arda melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.

''Nggak!'' jawab Kania ketus.

Ekspresi kemarahan Kania masih sama seperti beberapa tahun yang lalu, yaitu sangat menggemaskan, sehingga membuat Arda tak kuasa menahan tawanya.

''Saya mau dibawa kemana! lepaskan!'' pekik Kania saat Arda menarik tangannya.

Arda membawa Kania agar duduk di kursi yang sebelumnya. Ia pun langsung berjongkok dan menatapi wajah gadis itu. Gadis kecil yang kini sudah beranjak dewasa, tetapi ia masih terlihat imut sekali.

''Kakak sama sekali tidak menduga bahwa hari ini kita bertemu lagi,'' ujar Arda.

Kania masih enggan untuk menjawab.

"Kania," panggil Arda.

"Oke, Kakak minta maaf," ucapnya.

''Maaf, saya harus segera menemani papa.'' ujar Kania.

''Papa kamu aman dan sudah ada yang menjaganya, ini rumah sakit keluarga saya.'' balas Arda.

Kania langsung mengangkat wajahnya. Arda pun langsung semakin tersenyum. Meskipun dulu ia menolak Kania dengan alasan anak kecil, nyatanya ia selalu merindukan adik temannya itu. Karena kepolosan Kania tidak pernah ia jumpai di anak-anak lainnya.

Dan, sekarang melihat perubahan Kania membuat jantungnya berdebar kencang. Seperti ada rasa yang sudah tertanam sejak dulu.

''Kania, kamu nggak ada niatan mengulang apa yang pernah kamu katakan dulu ke Kakak?'' tanya Arda.

''Sudah lupa!'' jawab Kania ketus lagi.

Arda melihat Kania memegang ponsel, ia langsung mengambilnya. Meskipun Kania hendak merebut, Arda berhasil menahan dan juga berhasil mendapatkan nomor ponsel Kania.

''Kita ketemu lagi di lain waktu ya.'' ujar Arda sembari berdiri dan memberikan jalan pada Kania.

Kania langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.

"Hati-hati, jangan ceroboh lagi kalau jalan," ujar Arda sembari mengusap kepala Kania, namun langsung ditepis oleh gadis itu.

Kania keluar dari ruangan dokter itu tanpa menoleh-noleh ke kanan kiri. Niat awalnya untuk mencari cemilan terlebih dahulu pun akhirnya ia urungkan. Jantungnya berdebar tak karuan, ia hampir saja menabrak tiang koridor. Untung saja tidak berpapasan dengan siapapun. Jika hanya terpantau dari kamera cctv ia tidak peduli.

Sementara itu, Arda kembali duduk, senyum di bibirnya masih terjaga ketika membayangkan pertemuan tak terduganya hari ini dengan Kania.

''Sepertinya kali ini, Kakak yang mencintaimu, Kania.'' gumam Arda.

Part 3 : Sempit Sekali Dunia Ini!

Pagi itu, kamar pasien VIP tempat papa Kania di rawat mendapatkan kiriman satu paket sarapan. Lengkap dengan buah-buahan, minuman, dan juga cemilan.

Awalnya Kania sempat berpikir siapa yang mengirimkan semua itu, tetapi ia tak membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan jawabannya.

''Terima kasih,'' ucap Kania sopan.

''Sama-sama, permisi.'' balas wanita itu lalu pergi.

Kania kembali masuk, bahkan kiriman itu lebih cepat dari pengantaran jadwal sarapan untuk pasien.

''Pagi-pagi sekali kamu sudah pesan sarapan?'' tanya papa.

''Ohh, iya Pa, Nia sudah lapar,'' jawab Kania berbohong.

''Ya sudah, langsung di makan saja, mumpung masih pada anget-anget,'' suruh papa.

Kania terpaksa harus mengiyakan. Semua menu sangat menggiurkan cacing-cacing di dalam perutnya.

Tak lama kemudian, sarapan untuk papanya pun datang. Kania langsung menunda sarapannya dan mempersiapkan untuk papanya terlebih dahulu. Satu telur ayam kampung sudah Kania kupaskan, daging ayam juga ia potong menjadi kecil-kecil supaya papanya tinggal menyendok saja. Tak lupa juga kuah sop berwarna bening itu.

Jika kemarin pagi sarapannya dengan bubur, kali ini nasi putih lembut, lengkap dengan sayur, lauk pauk, dan juga buah.

''Ini, Pa.'' ujar Kania.

Papa langsung menegakkan posisi duduknya. Kania menggeser meja makan agar papanya lebih nyaman.

Mereka berdua pun sama-sama sarapan, rencananya hari ini sudah diizinkan untuk kembali ke rumah. Apalagi melihat dari perkembangan papa sudah semakin membaik.

''Permisi,'' ucap seorang yang datang.

Keduanya langsung menoleh, dokter dan asistennya datang untuk mengontrol kondisi papa.

''Selesaikan saja dulu, tidak apa-apa,'' ujar dokter itu.

''Tapi, masih beberapa suap lagi, Dok.'' balas papa yang hendak menghentikan sarapannya.

''Tidak apa-apa, Pak, saya tunggu.'' balasnya yang diiringi dengan senyuman, sekilas ia melirik pada gadis itu.

Kania menutup kembali makanannya. Melihat Arda yang mencuri pandang kepadanya membuat Kania tidak nyaman. Ia pun langsung izin ke kamar mandi untuk mengendalikan perasaannya yang sedang tidak karuan.

Arda hanya bisa tersenyum tipis di dalam masker.

''Maaf, Pak, apakah Bapak papanya Dion?'' tanya Arda pura-pura masih ragu.

Papa yang baru selesai sarapan, langsung mengangguk.

''Dokter kenal dengan anak saya?'' balasnya senang.

''Saya Arda, Pak, teman sekolah Dion waktu SMA. Saya dulu sering main ke rumah untuk bermain PlayStation.'' jawab Arda menerangkan.

Arda mengulurkan tangannya dan langsung disambut ramah oleh pak Rianto.

Papa mencoba untuk mengingat-ingat, tetapi tetap saja tidak ingat karena memang jarang berbaur dengan teman anak-anaknya.

Di waktu yang sama, Kania keluar dari kamar mandi.

''Waduh, sepertinya saya memang nggak ingat wajah teman-teman dari anak-anak saya, Dok, hehe''

"Apalagi sekarang sudah tambah tua, maaf ya, Dok." sambung pak Rianto merasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Pak," jawab Arda mengerti.

''Kania, Pak dokter ternyata teman dari abang kamu, lho.'' ujar papa senang.

''Ohh, iya.'' jawab Kania sembari membereskan wadah sarapan papa.

''Kamu kenal?'' tanya papa lagi.

''Nggak, Pa. Teman bang Dion 'kan banyak, nggak cuma satu orang saja.'' jawab Kania malas.

Papa menjadi tidak enak melihat jawaban putrinya itu.

''Maaf ya, Dok.'' ucap papa.

Arda mengangguk sambil tersenyum.

''Tidak apa-apa, Pak, memang benar apa yang dikatakan sama Kania.'' jawab Arda.

Arda langsung menanyakan kondisi pagi ini, papa terlihat sudah lebih fit. Lanjut memeriksa kondisi dengan peralatan medisnya. Sedangkan Kania seperti biasa yang langsung mengalihkan pandangannya.

''Jadi, hari ini sudah bisa pulang ya, Dok?'' tanya papa yang sudah tidak betah berada di sini.

''Setelah melihat perkembangan Bapak yang semakin membaik, hari ini boleh pulang ya, Pak. Lanjut istirahat di rumah, dan jangan lupa untuk kontrol lagi.'' ujar Arda.

''Baik, Dok.'' jawab papa.

"Kania, nanti ke ruangan saya ya untuk mengurus penyelesaiannya." suruh Arda.

"Biasanya dibagian administrasi," balas Kania.

"Niaa," panggil papa menekankan suaranya meskipun lirih.

"Iya Pa," jawab Kania yang akhirnya mengiyakan apa yang disuruh oleh Arda.

Pak Rianto menatap punggung dokter Arda yang keluar dari ruangannya, lalu beralih menatap Kania yang masih membereskan sisa sarapannya.

"Nia, tolong lebih sopan ya sama dokter tadi. Papa lupa tadi siapa namanya." ujar papa pelan.

"Namanya Arda." jawab Kania.

Setelah sarapan, Kania menemani papanya untuk berjemur di depan. Apalagi cuaca hari ini cukup cerah sehingga tepat untuk berjemur.

"Kamu 'kan tadi disuruh sama dokter Arda buat ke ruangannya." ujar papa.

"Ma-, eh nanti, sebentar lagi, Pa. Kalau Papa sudah cukup berjemurnya dan sudah ke dalam lagi, baru deh aku ke ruangan dokter itu." jawab Kania.

"Dokter Arda, kamu tadi sebut namanya," ujar papa.

"Hemm,"

Sudah cukup berjemur, papa dan Kania kembali masuk ke dalam ruangan. Papa kembali mengingatkan Kania untuk ke ruangan Arda.

"Nia ..,"

"Iya Pa, aku ingat kok. Sebentar ya," sahut Kania menahan rasa sebalnya.

Saat membuka ponselnya, ada pesan masuk dari nomor baru. Kania langsung mengernyitkan keningnya.

"Kenapa sayang?" tanya papa.

"Nggak papa, Pa, temanku pagi-pagi sudah kirim pesan mau pinjam duit." jawab Kania berbohong lagi.

"Ya kalau kamu tau betul keadaannya gimana dan orangnya nggak susah ya ditolong aja, siapa tau dia benar-benar butuh." ujar papa menasehati.

"Siap komandanku," jawab Kania ingin tertawa.

"Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang sedang berbohong ini." bathin Kania tertawa.

Pesan masuk itu Kania yakini dari nomor Arda, karena berisikan kata ditunggu. Kania menarik napas dalam-dalam sejenak.

"Ini hp Papa, aku mau ke ruangan dokter," ujar Kania sembari menyodorkan ponsel papanya yang sedari kemarin ia bawa. Saat mengisi data pasien, Kania pun menyantumkan nomor papanya.

"Iya," jawab papa sembari menerima ponselnya.

Kania kembali menarik napas dalam-dalam saat berada diluar ruangan. Ia menatap ruangan papanya sekilas.

"Padahal rasa sakit itu sudah lupa, eh, malah ketemu lagi! sempit sekali dunia ini!!" gerutu Kania dalam hati.

Dengan langkah yang malas dan terpaksa, Kania menuju ruangan dokter. Tak lupa ia menekan bel yang ada didekat pintu. Tak lama kemudian pintu itu terbuka dan Kania langsung masuk setelah mengucapkan kata permisi.

"Silahkan duduk, Kania." titah Arda karena Kania masih berdiri di belakang kursi.

"Nggak papa, saya berdiri saja." tolak Kania yang sudah ingin buru-buru keluar dari ruang itu.

Arda membuka masker dan juga kacamatanya, lalu berdiri mendekati Kania berdiri.

"Jangan mendekat! jangan macam-macam! saya bisa teriak kalau anda mau berbuat m3sum!" seru Kania mengancam.

Arda tertawa kecil lalu melipat kedua tangannya di depan dadanya.

"Kamu kira Kakak ini seperti dukun c4bul, hem?" balas Arda.

"Mirip! 11-12!" balas Kania ketus.

Arda kembali tertawa, ia masih belum menyangka Kania kecil sudah tumbuh dewasa dan ia masih mengingatnya dengan jelas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!