Dean Alexandre— seorang penulis cerita fantasi. Ia masih amatiran. Perawakannya biasa saja. Dia laki-laki pemalu yang suka berimajinasi tentang naga, mahkluk halus, monster, gadis cantik, android dan sihir. Semuanya dia toreh di dalam buku sketsanya. Saking terlalu asyik dia mencorat-coret buku sering Bu Grace marah dan menjewer kupingnya.
"Dean!" panggil Grace dengan tegas.
Dia terhenyak, lalu berdiri spontan. Murid-murid tertawa melihat kekonyolan dirinya—yang bingung seraya garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Sudah berapa kali, ibu bilang, kan. Jangan melamun!" bentak Grace. Dia datang dan berdiri di sisi Dean. Mata bulatnya melihat buku gambar Dean. Lalu tangannya yang gemuk menarik buku sketsa milik Dean.
Srek! Bunyi buku yang hampir robek.
"Tulisan apa ini jelek sekali!" Grace Tangan gemuk itu membolak-balik halaman buku milikku.
"Apa ini?"
"Bagaimana bisa kamu mencorat-coret buku matematika!" hardik Bu Grace.
Plok!
Ibu Grace menampik muka Dean dengan buku matematika. Semua teman kelas tertawa lagi melihatnya yang gugup dan salah tingkah. Dean memperbaiki gagang kacamata yang miring.
"Berdiri di sudut kelas, angkat kaki satu, cepat!" perintah guru gemuk itu.
Hah ....! Dia mendesah lemas. Ini mengapa dia membenci kelas Matematika. Itu karena ayah dan ibu memasukkan dia di kelas ini. Apalagi dia harus berusaha lulus dari kelas matematika. Buang-buang waktu, bukan?
Apakah kalian senang belajar matematika? Oh iya, kalau begitu kita sama, ya. Aku tidak suka pelajaran yang satu ini, dengan langkah gontai, aku ke depan kelas, berdiri di sudut dengan satu kaki dan menarik telinga.
Malu? Tentu saja. Apalagi ada seorang gadis yang kusukai sedang menatapku dan tersenyum menahan tawanya. Betapa bodohnya aku saat itu.
Ting Dong Ding
(bel pergantian pelajaran)
Asyik! Bel pergantian pelajaran telah menyelamatkan aku. Bisa menulis lagi seperti biasa, gumam Dean.
"Besok, kamu tetap dihukum, jangan lupa, kerjakan bab 230-240, ya. Itu sebagai hukuman tambahan," tukas Bu Grace tersenyum penuh kemenangan.
Apa! Oh, tidak!
Tugas pelajaran yang memuakkan ini semakin banyak dan membuatnya pusing. Dia merasa seperti orang yang bodoh karena terus belajar berhitung. Apakah dia harus berhitung terus sampai botak?
...----------------...
Saat sekolah telah sepi, hanya dia sendirian di kelas. Tentu saja ini adalah hal yang sangat baik dan dia bersemangat. Seperti sekarang ini—hanya ada dirinya dan buku kosong yang biasanya dipakai untuk corat-coret. Buku itu tidak istimewa, tapi dia suka karena biasanya menggambar karakter orang-orang itu tidaklah mudah. Dia sampai tertidur saking terlalu bersemangat.
Apa yang ada di dalam benak seperti dirinya ini, dia tuang ke dalam coretan, termasuk sebuah kisah manis dua orang itu...
Ya,h ... Dia memang suka menulis. Baginya dengan menulis cerita anak-anak, dia tidak merasa bosan.
Kalau seseorang bertanya apa cita-cita Dean?
Tentu saja dia akan menjawabnya. Dia ingin jadi komikus!
Cita-citanya dilarang orang tuanya—yaitu menjadi seorang penulis cerita komik. Sudah dua karya yang dia buat, tetapi hanya disimpan saja. Semuanya tak pernah dia terbitkan, karena dia takut ditolak, sih...
Sungguh! Dean benar-benar suka dengan komik! Dia sampai terobsesi dengan dunia lain. Bumi yang lain.
Dia akan bayangkan bagaimana kalau ada dunia lain selain bumi.
Langit. Kerajaan itu merupakan impiannya. Dia akan tempatkan semua karakter yang dia buat di tempat itu, misalnya para elf, sistem, monster, dan makhluk langit yang luar biasa kekuatan mereka. Tentu saja dia akan mencurahkan ide-idenya itu dalam gambar yang menarik dan cerita yang disertai balon-balon bicara.
Aku akan menghidupkan mereka lewat buku anak-anak ini, gumam Dean.
Namun, dia harus merahasiakan ini kepada orangtuanya.
Suatu hari, mereka menantangnya, kalau dia bisa menghasilkan $1000 untuk mereka, maka dia tak perlu lagi belajar di kelas matematika. Dia akan bebas melakukan apa saja. Bahkan dia akan dipindahkan ke kelas komik.
Dean semakin bersemangat!
Seperti pada hari ini...
"Seperti biasa, apa yang harus aku tulis, ya? atau aku menggambar saja, ya?" gumamnya.
Tanpa sadar dia menggambar dua monster besar dengan wajah tertutup oleh topeng. Kitsune Mask. Dia menamakan mereka droid. Robot setengah monster dengan wajah tertutup topeng. Dia mulai mencorat-coret lagi, menulis kisahnya di buku yang masih kosong. Buku sketsa polos miliknya yang belum dipakai paling sedikit ada lima belas buku. Hehehe ...
"Bagaimana kalau mereka berkelahi dengan seorang perempuan?" gumamku.
...
...----------------...
Dean menggambar seorang gadis bersurai ungu. Warna ungu adalah warna yang bagus untuk mata dan rambutnya. Gadis itu menyerang sang monster, mereka berkelahi dengan sengit. Monster melukainya dan....
Tanpa terasa hari telah senja. Dean lelah menulis, semuanya telah diselesaikan, tinggal mewarnainya.
"Tampak bagus..."
"Kelas akan dikunci, Nak. Semua orang sudah pulang, tapi mengapa kamu masih di sini?" tegur pak Benny sekuriti di sekolah. "sebentar lagi, Pak. Sepuluh menit," jawabnya.
Dia membereskan semua peralatan gambar dan buku-buku pelajaran. Sebuah benda berkilauan di bawah meja. "Eh, apa itu?" Dia pungut benda itu.
Oh, ini hanya sebuah pena biasa lalu menyimpannya.
...----------------...
Di rumah, Dean menaruh tasnya setelah masuk ke pintu utama. Duduk bersandar di sofa cokelat. Sisi—seekor pudel putih datang menghampiri dan menjilati kaki tuannya.
"Kamu sudah lapar, ya Sisi?" tanya Dean mengusap bulu-bulu putih Sisi.
Dean mengambil makanan hewan di rak bawa, membuka laci ke dua, menuangkan susu dan makanan khusus anjing pudel. Lalu Dean pun segera mandi....
Ia merasa lantai kamar mandinya bergetar.
"Gempa!?" serunya panik.
Dean segera menyambar handuk yang ada di sudut pintu kamar mandinya dan melilitkan ke tubuh lalu berlari keluar. Akan tetapi, tiba-tiba saja ia terpeleset.
BRAK!
"Aduh, sialan!" dia mengusap kepalanya yang terbentur.
Dean berpegang di gagang pintu. Serta Merta lantai kamar mandinya miring dan menjadi terbalik. Dean pun oleng karena ketakutan, ia berpegang pada satu sisi dinding dan menyenderkan tubuhnya di dinding agar tak jatuh. Namun, sia-sia saja sikap tubuhnya. Dean malah terjerembab dan lantai kamar mandi bergerak lagi ke samping. Dean terlempar ke kanan.
ARGH!!
"Ada apa ini heh, kenapa lantainya terbalik?"
Di tengah kepanikan, Dean berusaha berpikir jernih. Ia menganggap keadaan ini hanya ada di dalam dunia imajinasi saja. Ini tak nyata.
Dean memukul dan mencubit pipinya. Ia merasa sakit.
"Apa yang terjadi? Apa ini?"
"Aaaaaaaaaah! Ayah, ibuuuu tolong!"
Dean sadar, percuma ia berteriak-di rumah ia sendirian. Kedua orangtuanya sedang berlibur ke luar negeri. Ia hanya berdua dengan seekor pudel. Terdengar gonggongan Sisi. Pudel itu rupanya berada di depan pintu kamar mandinya.
"Sisi jangan ribut!" Dean merangkak. Ia merasa kamar mandi itu tidak lagi dalam posisi normal. Miring persis bentuk jajaran genjang, atau biasa disebut bentuk layang-layang. "Aku harus keluar!"
Dean berhasil sampai di depan pintu kamar mandinya. Ia berusaha meraih gagang pintu.
Klik ... Klik (bunyi gagang pintu)
Dua kali ia memutar dan mendorong paksa. Pintu itu seperti besi yang kokoh, bergeming. Ia tidak berhasil keluar. Hewan peliharaan Dean terus ribut menyalak. Ia harus berpikir jernih. Harus!
"Sisi, diamlah!"
Dean melihat sekeliling. Ia mendapatkan ide. Ada handuk yang terjatuh tadi dan tangkai tirai di bathtub. Dean pun meraih tirai itu perlahan-lahan dan berhasil. Ia memasukkan tiang besi ke bagian bawa pintu, sialnya. lubang garis pintu terlalu kecil untuk tiang korden. Dean terpaksa mendobrak pintu. Ia mengambil posisi, berlari dan mendobrak keras berkali-kali.
Dean pun berhasil keluar dalam keadaan yang kacau. Sysi menjilati tuannya. Ia melihat tuannya terluka.
"Oh sial, apa yang terjadi. Mengapa kamar mandinya seperti ini?" Dean panik.
Dean masih tidak percaya lantai kamar mandinya berubah dan bergeser membentuk layang-layang. Ia ragu, apa ini rumahnya atau ia sudah tidak tinggal di rumah. Pernah ia bermimpi, ia berada di dimensi waktu yang lain. Bukan dimensi bumi, ia telah berpindah ke dimensi yang lain. Itu hanyalah mimpi seorang bocah. Dean merasa agak pusing. Ia pun berdiri masuk ke kamar lalu tertidur.
Di dalam mimpi, Dean melihat dirinya berada di tempat yang aneh. Ia berada di langit. Langit yang luas, awan-awan abu-abu dan beberapa ekor burung terbang melintasi dirinya. Seorang penunggang kuda berjalan cepat ke arahnya lalu menabraknya.
"Dean Alexandre. Ternyata pemuda ini sudah dewasa Lama tidak berjumpa, Dean!"
Dena termangu. Ia berada di bawah kaki kuda hitam dan penunggangnya.Siapa orang ini kok kenal denganku? Gumamnya.
"Welcome to Sky High, Dean Alexandre!"
"Hah? Apa?!"
Apa maksudnya? Siapa penunggang kuda itu, dan apa maksudnya dengan ... High apa, Sky high katanya? High yang itu—tapi tidak mungkin, kan. Itu cuma di buku ku. Buku gambar dengan cerita anak-anak. Mustahil!
Continue _
Karya ini merupakan karya jalur kreatif
Sosok makhluk cantik dan seksi duduk berpangku kaki di depan Dean. Perempuan itu mengawasinya. Gerakan Dean tak luput dari dua maniknya yang menarik. Warna ungu.
"Hei, siapa kau dan dari mana kau masuk?" Dean terbelalak menatap tubuh perempuan itu yang hampir tidak memakai baju layak. Tubuhnya langsing bak gitar tanpa dawai, warna ungu itu juga sungguh memesona. Tanpa sadar liur Dean terus membasahi dagunya.
"Oooh ... Jijik banget!"
Tangan si Cantik mengulur ke depan, mungkin ia bermaksud bersalaman.
"Kamu ... Alexandre Dean lahir 2009 di desa terpencil tanpa nama, memiliki kemampuan menggambar dan membuat coretan tanpa makna, anak dari nyonya Beatrice Alex dan tuan John Alexandre. Perkenalkan, saya–,
"Hei, dari mana Anda tahu nama orang tuaku?" Dean berteriak penuh emosi, dadanya turun naik. Ia tidak mengenal siapa perempuan itu, tetapi satu hal yang ia curigai. Penyusup! Ada penyusup cantik yang masuk ke rumahnya.
"Perkenalkan saya Sistem Jennifer Lucas."
"Sistem, Jennifer Lucas?"
Dean tergelak.
"Hahahaha ... Anda Jennifer? Bukannya itu nama gadis yang ku gambar di buku ceritaku?"
Eits! Tunggu dulu, apa ini suatu kebetulan? Bukannya cewek yang ada di buku itu rambut dan matanya sama persis. Pakaiannya yang aneh kekurangan bahan, dan kulit putih mulus? HAH, APA-APAAN INI!?!
Semuanya nyata!
Gadis bersurai ungu dan manik keunguan, bajunya mirip ksatria wanita yang menjadi favoritku. Bedanya dia bicara padaku. mengaku sistem dan namanya Jennifer? Apa ini di dunia imajinasi?
Ribuan pertanyaan Dean di kepalanya. Namun, tidak satupun bisa dia jawab. Ia seperti orang bodoh hanya bisa duduk melongo.
"Anda tidak apa-apa, Tuan?"
Dean bagai tersambar petir segera berdiri dan lari sekuat tenaga. Ia mendorong perempuan itu dan berusaha membuka semua jendela di rumahnya, tetapi ia malah limbung dan terseret ke bawah.
"Aaaaaaaaaah!"
Rumah itu seolah bergerak miring ke kanan. Dean kehilangan keseimbangan dan jatuh lagi. Ia berpegang di ujung sofa.
"To-tolong a-aku!"
Si rambut ungu bergerak cepat menarik lengan Dean dan menariknya ke dalam pelukannya. Dean merasakan jantungnya terasa lari dan meninggalkan rongga di dadanya. Berdebar kencang. Matanya membelalak. Ini baru pertama kalinya ia berpelukan dengan seorang perempuan.
Perempuan asing lagi.
Dean cepat-cepat melepaskan pelukannya dan mundur secara refleks.
"Eeh, makasih," tukasnya dengan gugup.
"Tidak apa-apa." Seperti robot perempuan itu tersenyum kikuk.
"Kau ini humanoid atau berpura-pura saja?"
"Saya sistem, Tuan. Kalau Tuan Dean memanggil saya Humanoid, terserah saja, sih yang penting anda tidak terluka. Apakah tuan penasaran dengan saya?"
Dean mengangguk bego.
"Saya ini sistem. Sistem yang ada di dimensi dunia lain. Apakah tuan tidak ingat, tuan sendirilah yang menciptakannya. Sebuah dungeon di dimensi lain. Dungeon dan kerajaan, monster dan para petinggi penjaga gerbang. Semua itu diciptakan oleh Anda sendiri, Tuan Dean Alexandre." Perempuan ungu menjelaskan panjang lebar. Dean hanya manggut-manggut tetapi masih tidak percaya. Ia ada kuasa apa menciptakan dungeon dan tetek bengek lainnya. Memangnya dia seorang player atau semacamnya? Memangnya dia profesor Gary atau orang penting pertama yang membuat game dungeon? Aneh. Ini sangat aneh. Tidak semudah itu dia percaya dengan perempuan di hadapannya ini. Bisa saja kan kedoknya bukan itu, dia mengarang semuanya dan bilang dia adalah sistem dan dia diciptakan oleh Dean sendiri. Bisa saja perempuan ini salah seorang antek kejahatan atau dia seorang penjahat kelas dunia.
Dean tidak akan mudah memercayai si Rambut ungu itu.
"Ehem, kamu sudah makan, ayo makan bersama?" Dean malah mengajaknya makan. Apa otak Dean sudah tidak waras?
Si rambut ungu mengangguk. Tersenyum manis. Mereka duduk dengan canggung di meja makan, saling berhadapan.
"Apakah sistem bisa makan?"
"Tentu saja tidak bisa, tetapi dalam wujud manusia mungkin bisa menghirup aroma makanan saja," jawabnya lugas.
Perempuan itu menunjuk bagian bawah Dean.
"Sebelumnya, Tuan harus memakai pakaian, burungnya kelihatan, tuh."
Spontan saja Dean melihat apa yang ditunjuk gadis itu. Rasa gugup dan mau menguburkan diri sendiri, Dean seperti orang kerasukan lari masuk ke kamarnya. Tak lupa mengunci pintunya. "Apa aku begitu bodoh?"
Dean sudah memakai baju tentunya lengkap dengan celana boxer. Ia duduk santai di meja makan bersama perempuan yang mengaku sebagai sistem. Perempuan itu kalau diperhatikan cukup cantik, manis dan sopan. Bajunya saja yang tidak sopan, terlalu terbuka di bagian leher dan dadanya. Dress tanpa lengan di atas pusar. Rok atau entahlah seperti hanya kain kecil yang menutupi pahanya dan area sensitifnya. Mirip player wanita di sebuah game yang pernah ia mainkan dulu. warna baju putih bergaris kuning senada dengan kain di bawahnya. Sepasang sepatu boot putih bergaris kuning. Rambutnya dikepang dua. Agak kuno. Warna ungu lilac yang sama persis dengan manik matanya, lembayung pucat terkesan feminim. Tangannya saling bertumpu, ia terus menatap Dean.
"Bisakah kau tidak memandangi orang makan?" Dean bertanya untuk menghilangkan rasa gugupnya. Ia tidak suka kalau sedang makan diperhatikan dengan dalam.
"Kalau begitu, saya tunggu di situ saja, ya, Tuan?" Perempuan itu berdiri, berjalan ke sana lalu duduk di sofa dengan posisi berpangku kaki.
Terserah! Dean ingin mengucapkan kata itu, tetapi ia hanya mengangguk diam. Rasa makanan di depannya tak enak, seolah ia makan beling, tenggorokannya menjadi sakit dan berdarah.
"Sekarang apa yang harus kulakukan?" tanya Dean setelah selesai makan.
"Sekolah, Tuan."
"Ya, ada apa dengan sekolahku?" Dean merasa sia-sia bicara dengan orang asing.
"Sekolah itu bernama Sekolah Langit. Setara dengan sekolah menengah atas atau SMA. Tuan harus masuk di sekolah Langit, daftarkan diri Anda."
"Apa?"
Dean terkekeh. Apalagi ini. Sekolah Langit apaan, hehehehe, dia ini ada-ada saja. Dia sedang membual.
"Jangan tertawa!" hardik gadis itu.
Matanya tiba-tiba berkilau putih, warna ungu bercampur dengan putih mengerikan. Ia menatap lekat sepasang manik milik Dean. Laki-laki atletis itu bergidik melihat apa yang terjadi. Sistem bisa marah juga, ya, pikirnya. Dean mengira sistem hanyalah robotika biasa, nyatanya dia seperti manusia yang memiliki emosional.
Lantai di meja makan miring kembali, Dean terseret ke kiri. Lagi-lagi ia mengalami hal serupa di kamar mandi. Apakah ini ulah sistem yang sedang marah. Dean tidak ingin tahu. Tangannya sibuk memegang ujung meja yang miring.
"Rupanya ini ulahmu, ya Sistem cantik! Kau mau membunuhku, ya."
"Makanya dengarkan baik-baik!"
Perempuan yang mengaku sistem itu berdiri tegak di depan lantai miring. Ia berjalan perlahan-lahan dan membungkuk di depan Dean. Jennifer mengangkat dagu Dean.
"Ayo sekolah bersamaku di Langit!" ajak gadis ungu.
Continue _
{Karya ini merupakan karya jalur kreatif}
Aku ... Dean. Kalian pasti mengenal siapa aku. Aku adalah siswa bodoh yang sering dimarahi oleh guru. Kebodohan yang selalu ditindas di sekolah lamaku.
Cita-citaku ingin menjadi komikus. Sudah dua buku yang aku buat dengan gambar aneh tak berguna—itu menurut ayah dan ibu. Mereka bilang buktikan. Tunjukkan kepada orang kalau aku juga bisa berguna, menghasilkan uang yang banyak.
Namun, tidak semudah itu karena buku gambarku tidak pernah ku terbitkan. Tentunya ada sebuah alasan, ya ... aku takut ditolak.
Satu hari, aku menemukan diriku tertidur di atas buku gambarku.
Ketika itu hari sudah senja, dan aku masih berada di kelas.
Tiba-tiba saja sesuatu terjadi pada diriku, aku mendapati tubuh ini telah masuk di ruangan aneh. Ruangan itu bersinar-sinar. Ruangan yang tadi hanya kamar mandi kecil yang sederhana—mengeluarkan cahaya putih kebiruan. Aku di dalam ruang sistem.
Lantai yang ku pijak menjadi miring. Tentu saja aku terpeleset berkali-kali, karena bentuk ruang berubah seperti layang-layang.
Tubuhku terpental ke sana-kemari sampai akhirnya aku berusaha berpegang pada satu sisi dinding dan berhasil. Aku bisa keluar dari kamar mandi . Awalnya kupikir karena aku yang sudah jadi superior. Ternyata ada sesuatu di sini. Sesuatu yang berwujud wanita—dia perempuan yang cantik dan mengaku adalah sistem.
Sistem yang berada dalam rupa manusia.
Aku bertanya padanya dari mana dia masuk dan siapa dirinya, tidak ada jawaban yang bagus. Semua penuh dengan teka-teki misterius. Perempuan itu rambutnya ungu lilak, mata yang ungu kemerahan bak lembayung senja yang romantis. Dia tidak romantis, dia agak kasar. Saat aku mengajak dia makan, dan membujuknya untuk keluar— perempuan itu bertindak kejam .
Dialah yang membuat lantai menjadi miring dan membanting aku berkali-kali. Sistem keparat!
Entah apa yang dia lakukan dengan rumahku. Berteriak minta tolong pun percuma saja. Dia sudah membungkam mulutku dengan semua alasan. Ayah dan ibu sedang berlibur dan aku hanya sendirian saja.
Aku harus mengusir si rambut ungu! Akan tetapi, bukannya dia pergi, eh dia malah memaksa aku harus masuk di sekolah—yang katanya berada di atas langit.
Apa maksudnya? Sekolah yang berdiri di atas langit? Hahaha ... sangat lucu. Ia mencoba bercanda dengan ku.
Mana ada sekolah yang berdiri megah di langit dan kokoh. Memiliki siswa monster dan segala kehebatan modern yang tidak kuketahui. Satu lagi alasan yang tidak masuk akal. Kata perempuan ungu itu, akulah yang telah menciptakan semuanya. Sekolah Langit, para monster, Guru aneh, serta sistem, yaitu dirinya. Kalau begitu bukannya aku harus bertanggungjawab? Lantas, tanggung jawab yang seperti apa, ada syaratnya agar aku bisa tahu apa yang terjadi di sana, yaitu dengan menjadi siswa langit.
Aku harus masuk dan bersekolah di langit. Maksudnya aku jadi murid pindahan di sana dan mengikuti program studinya—secara langsung. Sistem yang akan menjadikan aku murid SMA langit. Aku sih ... setuju aja.
Sudah pagi rupanya, terdengar si Koko berkokok tiga kali.
Suara kokok ayamku itu pasti membangunkan tetangga.
...----------------...
Dean mengucek kedua matanya, kedua tangannya direntangkan. Sudah pagi lagi....
Semua hanya mimpi.
"Untung saja itu cuma mimpi, kesannya seperti nyata dan menggemaskan. Apalagi membayangkan kembali si Rambut ungu itu. Oh! Bodinya benar-benar memabukkan!"
Dean tertawa geli, tanpa sadar ia memalingkan wajahnya ke kanan.
Aaaa!!
"Sedang apa kau?!" Dean memekik tertahan.
Dean melompat dari ranjangnya kaget melihat siapa yang sedang pulas di sisinya.
Perempuan cantik itu.
Perempuan yang tidur tanpa mengenakan sehelai benang pun. Ia tidur dengan santai. Dean memalingkan wajah karena malu sembari tangan kirinya melempar selimut di tubuh Jennifer.
"Tutupi tubuhmu dasar memalukan!"
"Hai morning, tuan Dean!" sapa wanita. Tangannya merentang ke atas.
Hai! Mengapa dia begitu santai?
"Sedang apa kau perempuan?" tanya Dean tidak senang.
Dean segera turun dan lari keluar karena dirinya malu melihat tubuh perempuan itu yang belum juga memakai baju.
Benar. Pasti hanya mimpi. Kalau ini mimpi ayo bangunlah, Dean.
PLAK!
Aduh. Sakit sekali. Ini bukan mimpi?
Semua sudah terlanjur terekam di benaknya, apa yang dia lihat. Dean laki-laki kan normal. Tentu saja ada tiang yang tegak berdiri tapi bukan tiang bendera. Dean melihat ke bawah sambil memegang ujung bajunya.
"Sialan!" Ia kaget sekali, karena perempuan itu sudah ada di bawah kakinya memelototi jamur miliknya.
"Apa-apaan kau, pergi!" usir Dean mundur sedikit. Perempuan itu cuma terkikik geli.
"Tuan, kenapa lari?" tanyanya seolah tidak terjadi apa-apa.
Perempuan itu mengikutinya, menggamit lengan Dean dengan manja.
"Kau sistem mesum. Kenapa tidak pakai baju, pakai bajumu dulu!" desaknya.
"Bukannya tidur tanpa busana itu sungguh enak, tuan," kata Jennifer lugu
"Kau pikirkan saja sendiri." Wajah Dean begitu merah seperti tomat.
Tunggu dulu! Bukannya semua itu hanya mimpi? Mengapa perempuan itu masih ada di sini?
Di mana bukuku?
Dean mencari bukunya di bawah kolong, di meja, di manapun tetapi ia tidak menemukannya. "Tuan, apa yang kau cari?"
"Saya mencari buku sketsaku, apa kau melihatnya?"
Perempuan itu menunjuk sebuah buku tergeletak di sisi nakas.
"Apakah buku ini, tuan?"
Dean cepat-cepat merebut buku di tangan Jennifer. Kosong melompong? Tidak mungkin. Buku itu kosong tidak ada coretan di dalamnya. Apakah coretannya terhapus atau bagaimana, semuanya membuat Dean sakit kepala. Ia merobek semua kertas di bukunya sampai pada sampul buku. Dean mengernyit. Di sana tampak sebuah peta.
"Peta apa ini, sistem?"
"Itu adalah letak Sekolah Langit. Artinya Tuan harus ke sana. Sky High sudah di depan mata, bukankah tuan harus bergegas ke sana dan menjadi siswa baru Langit?"
Dean merasa dirinya pusing. Ia terhuyung kemudian tidak sadarkan diri.
*********
Tampak seseorang berdiri di sana, di depan sebuah gerbang besar. Gerbang utama yang panjang, bangunan itu berdiri kokoh dijaga oleh dua petinggi. Mahkluk yang tinggi dengan leher panjang, memakai topeng kitsune. Topeng adalah simbol yang menutupi wajahnya yang aneh. Sebelah robotika dan sebelahnya lagi monster. Penjaga gerbang dengan dua tombak Lone Lancer di tangan mereka. Salah satu mahkluk itu segera mengetahui ada musuh yang mendekat ke gerbang sekolah.
"Salam!"
"Huh, tikus sedang apa di sini?"
"Mengapa dia mengatai tikus, Jennie?" bisik Dean pada gadis sistem.
Gadis itu melipat tangannya di dada dan dagu terangkat sedikit,
"Karena tuan Dean kecil, makanya ia mengatakan anda tikus. Tenang saja, tuan. Mereka tidak mampu mengalahkan dirimu," tukas Jennie.
Jennifer atau Jennie memberikan sebuah bola kecil ke tangan Dean.
Apalagi ini??
"Gunakan ini, tuan. Cukup dengan menekan tombol merah kecil di sisi kiri," kata Jennifer.
Dean yang melihat benda bulat mirip bola hamster itu. Ia tidak yakin bisa masuk begitu saja di istana Langit. Benda itu cukup sederhana, hanya ada dua tombol merah dan hijau di sisi kiri-kanannya.
"Apa ini berguna, Jennie?"
Dean ragu-ragu, tetapi Jennie segera menekan tombol red power di sisi kanannya. Benda itu berubah bentuk seperti seekor hewan. Harimau besarnya tiga kaki di atas kepala Dean. Laki-laki itu melongo gugup.
"Hewan itu bisa mati, kenapa kau bawa harimau, Jennie?" Dean tidak habis pikir, bagaimana mungkin harimau bisa mengalahkan dua raksasa itu.
"Hahaha! Tikus itu membawa temannya, Mut. Tikus kuning yang imut. Apa dia enak dimakan?" tanya monster satunya pada monster yang sedikit lebih tinggi.
Ia mengayunkan Lone Lancer miliknya ke harimau tadi, tetapi apa yang terjadi. Harimau mengaum keras—tapi tidak menghindari serangan si monster. Tombak Lancer mengenai tubuh harimau dan meledak.
DUAR! Ledakan cukup hebat merobohkan sebagian tembok dan tanah berlubang.
Monster bernama Mar tersurut. Lane Mar menggeram murka. "Kurang ajar!"
"Jangan main-main denganku!" bentaknya gusar. Mar menusuk Dean dengan kecepatan tidak terkira. Jennifer menarik kedua lengan Dean dan mengangkatnya ke depan. Mereka melompat gerbang itu. Dean merasa dirinya terbang dan tidak lagi berada di tanah.
"AAAA!"
Dean merasa ujung tombak tajam milik Lane Mar mengenai batok kepalanya.
"Meleset, sial!" maki Mar. Ia meraih dengan tangannya yang sebesar meja makan, berusaha menangkap Dean. Jennifer menendang ujung jari Lane Mar.
"ARGH. BIADAB, TIKUS SIALAN!"
Jennifer yang memiliki pedang tingkat tinggi Prototipe Archaser menghalangi tombak Lone Lancer. Sisi kiri-kanan dari pedang itu berkilauan memancarkan muatan listrik keunguan.
"HIYAAAAAAHHHH!"
DUAR! DUAR!
bunyi keras membahana, menghancurkan gerbang utama Langit. Dean ternganga. Apakah ia menggambarkan bagian ini juga, ah sepertinya tidak pernah. Jennifer berhasil menggagalkan setiap serangan yang dilancarkan Lane Mar.
"BERHENTI KALIAN!"
Suara itu begitu keras. Jennifer menoleh arah suara yang berteriak tadi. Seorang dengan jubah putih, berdasi biru tua datang mendekat. Keduanya tangannya berada di belakang badannya. Orang tua itu memandangi gerbangnya yang rusak. Ia geleng-geleng kepala.
"Ulah siapa ini?" tanya orang itu.
Tak ada yang bicara. Monster maupun Dean dan Jennifer hanya diam saja.
"Saya tanya, ulah siapa yang membuat rusak gerbang sekolahku, hah?"
Semuanya menunduk.
Orang tua itu menatap satu-satu semua yang ada di sana.
"Kau ... siapa?"
"Saya–,
"Dia adalah siswa baru kelas satu yang akan mendaftar di Sky high, Tuan. Namanya Dean Alexandre." Belum Dean memperkenalkan dirinya, Jennifer sudah lebih dulu bicara.
"Oh, ya. Kalian sudah keterlaluan. Masuk sekolah saya dengan paksa lalu merusak fasilitas sekolah, kalian akan mendapat sangsi," tukasnya tak ramah. Matanya menatap Dean. Tatapannya penuh selidik. Kemudian mata elang itu beralih ke Jennifer.
"Dan kau wanita cantik, siapa kau?"
"Saya sistem yang menjaganya. Saya adalah Jennifer Lucas."
"Hem..."
Sorot mata orang tua itu sungguh kurang ajar. Ia menelisik baju yang dikenakan Jennifer. Melihat hal itu, Dean mau membuka mulutnya untuk protes, tetapi Jennie mencubitnya. Matanya Jennifer seolah bicara, "diamlah..."
"Anak baru, kau harus ganti rugi! Kau, wanita, ikut saya!"
Jennifer melirik Dean. Ia menggunakan empati. "tolong jangan bikin onar, tahan diri. kalau soal ganti rugi, biar saya yang tangani, tuan Dean tidak perlu repot-repot!"
Apa sesusah ini, ya bersekolah di Langit? Sekolah ini namanya Sekolah Tinggi Langit, tentu saja semua yang ada di sini adalah para monster dan orang-orang hebat. Sekolah yang mirip dengan SMU biasa, tetapi tidak biasa karena semua yang ada di sini bukan manusia. Mereka monster, robot dan orang yang menggunakan kekuatan sihir. Mengapa aku harus ada di sini, satu-satunya manusia biasa? Ini tak masuk akal! Aku tidak mau sekolah di tempat aneh ini, apa sebaiknya aku pulang saja, ya...
Dean yang duduk termangu menatap dua makhluk tadi yang dikalahkannya. Monster itu sedang berbicara dengan temannya. Kira-kira begini percakapan yang sempat didengarnya,
"hei, Lane Mut kau tahu anak muda cebol tadi?"
"tidak, untuk apa mencari tahu yang tidak penting!"
"rupanya dia boleh juga, dia jago berkelahi."
"Cih, dia curang! Ada sistemnya!"
"Wanita itu, ya? Bukannya dia pernah kemari beberapa tahun silam?"
"Huh, benar, kita harus waspada, siapa tahu dia orang yang dicari Profesor Stevenson!"
"Namanya kalau tidak salah Jennifer Lucas?"
"Lucas yang itu, ya?"
"Awasi dia!"
Dean sengaja mencuri dengar setiap detail yang mereka bicarakan. Memangnya mereka mengenal Jennie? Jennie dicari-cari oleh siapa dan apa hubungannya dengan aku yang masuk ke sini? Ah, bodoh amat. Seharusnya aku tidak usah mencampuri urusan orang lain.
Yah begitulah.
Akhirnya aku diterima di sini dan dinyatakan tidak lulus ujian pertama.
Ujian pertama adalah "masuk tanpa ada yang rusak." Aku malah menghancurkan gerbang sekolah. Anehnya aku malah diterima di sini karena tidak lulus ujian ramah-tamah.
Continue _
{Karya ini merupakan karya jalur kreatif}
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!