...•••••••••••••••••...
...Berawal dari sebuah pertemuan yang singkat, lalu berlanjut ke cerita panjang yang terikat.......
...•••••••••••••••••...
...***...
Bagaimana jika dirimu ditatap dengan begitu intens oleh banyak orang. Apa yang kamu rasakan?, tentu saja risih bukan. Itulah yang sedang dialami oleh seorang gadis. Ia berjalan menyusuri sepanjang koridor sekolah dengan kepala yang tertunduk.
Gadis itu terus melangkah dengan berpasang-pasang mata yang tidak pernah lepas menatapnya. Ia tau persis seperti apa tatapan-tatapan yang dilayangkan untuknya tersebut. Iri?, benci?, jijik?, hina?, sudah dihapalnya luar kepala. Seolah itu sudah menjadi makanan sehari-harinya.
Risih?, tentu saja ia risih dengan segala tatapan yang seolah merendahkan dirinya. Tetapi mau bagaimana lagi, ia hanyalah gadis sederhana yang tidak akan pernah mampu untuk membeli mata yang sudah merendahkannya dan mulut yang sudah mencaci makinya. Dirinya selalu bisa diam dan tersenyum dengan penuh kepalsuan.
Dengan memandang lantai marmer putih yang dipijaknya sambil menghitung satu persatu kotak ubin yang telah dilaluinya, ia terus melangkahkan kakinya menuju kelasnya yang sudah tampak oleh mata.
Gadis tersebut sedikit mendongak kan kepalanya kesamping untuk melihat bagaimana tatapan yang selalu setia menemani setiap langkahnya itu.
Kemudian ia langsung bergidik ngeri ketika melihat tatapan-tatapan tersebut. Ia kembali memandang kebawah. Takut melihat mata mereka yang sudah seperti ingin keluar. Ia tidak ingin berdosa karena sudah membuat mata mereka keluar semua. Ampuni hamba ya Allah.
Sungguh itu bukan salah hamba.
Langkahnya terhenti ketika tanpa sengaja kepalanya menabrak sesuatu yang sangat keras. Apa itu?, tembok?,pintu?. Tapi sejak kapan SMA ALLANDRA membangun sebuah tembok ditengah-tengah koridor.
Brak
"Auhh", ringis gadis tersebut sambil memegang kepalanya yang terasa berdenyut.
"Gak punya mata?", suara bariton seseorang tersebut langsung membuat gadis berkucir kuda itu tersentak dan refleks mendongakkan kepalanya.
Matanya langsung tertubruk dengan netra coklat terang milik laki-laki yang ada dihadapannya kini.
Astaga!, jadi tadi yang aku tabrak itu dia....?
Aishh, gerutu gadis tersebut dalam hati.
"Eh lo!, orang nanya itu ya dijawab!, udah enggak punya mata, enggak punya mulut juga?", gadis tersebut lagi-lagi tersentak karena ucapan ketus laki-laki yang sedang memandang sengit kearahnya.
"Ma-maaf. Enggak sengaja", cicit gadis tersebut dan kembali menundukkan kepalanya. Sungguh ia takut dengan tatapan tajam milik laki-laki itu. Seperti siap untuk melahap dirinya hidup-hidup.
Laki-laki itu tidak menggubris sama sekali apa yang diucapkan gadis dihadapannya. Justru pandangannya beralih menatap ke name tage gadis yang sudah berani menabraknya. Kemudian ia menarik sebelah sudut bibirnya. Lalu mengikis jarak antara dirinya dan gadis yang masih setia menundukkan kepalanya itu.
"Nama sama penampilan lo enggak sinkron", bisik laki-laki itu dengan nada ketusnya dan segera berlalu meninggalkan gadis tersebut dengan tatapan-tatapan sinis yang ia dapat dari siswi-siswi yang setia menontonnya sedari tadi.
Gadis itu tidak memusingkan tatapan sinis siswi-siswi tersebut. Apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka berpikir kalau dia akan mengambil idola mereka?, tapi taukah mereka kalau dia sudah gugup setengah mati hanya karena tatapan tajam dari seorang Reagan Zarvio Allandra.
Jangankan untuk merebut, bahkan untuk menyukai pria angkuh tersebut saja tidak pernah sama sekali terbesit diotak mungilnya.
"Cukup ini pertemuan yang pertama dan yang terakhir", gumamnya.
Lalu Gadis itu kembali melanjutkan langkahnya. Ia menghembuskan nafas lega. Untung saja kelasnya sudah tampak dari ia berada sekarang. Jadi ia tidak perlu berlama-lama lagi untuk merasakan tatapan-tatapan sinis dan tajam yang sudah siap menghunus tubuhnya bagai pedang.
Sungguh pagi ini adalah pagi yang tersial selama ia hidup di dunia ini.
Ia tersenyum sumringah ketika melihat sahabatnya yang sudah berdiri diambang pintu kelas dengan senyuman tipisnya. Ah, ia sangat menyayangi sahabatnya itu. Karena hanya seorang Gina Taniara Atmaja lah yang selalu menemani harinya dan yang bisa menerima dirinya.
"Gina!", sapa gadis itu dengan ramah dan tangan yang melambai cantik didepan wajah Gina.
Gadis itu menurunkan tangannya ketika melihat wajah Gina yang terlihat sebal. Kenapa?, padahal ia merasa tidak pernah membuat masalah dengan Gina. Lalu kenapa gadis berambut pirang tersebut terlihat sebal.
"Gina. Kamu kenapa?. Aku ada salah ya?, Maaf deh kalau ada salah", Gina berdecak sebal ketika melihat sahabatnya itu selalu saja menundukkan kepalanya. Apa yang dia cari dibawah?. Semut yang menikah?.
"Ck, lo enggak ada salah. Gue hanya kesal aja lihat penampilan lo yang enggak pernah berubah. Coba deh lo fikir, kita udah kelas dua belas dan lo selalu berpenampilan kayak gini. Itu sebabnya mereka terlalu suka membully lo. Gue enggak suka lihat lo yang selalu menunduk kayak gini", cerocos Gina panjang lebar dengan wajah datarnya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan penampilan gadis itu. Hanya saja ia tak dapat menyikronkan kondisi penampilannya dengan tempat ia berada sekarang. Arinta Zarvisya Deltava tidak terlalu perduli dengan penampilannya. Menurutnya bisa bersekolah disekolah elit ini saja sudah merupakan sebuah anugerah untuknya.
Gina hanya bisa mengembuskan napas lelah ketika melihat Arinta yang masih setia menunduk. Tengkuknya tidak pegal apa?, pikirnya.
Gina menjulurkan tangan kanannya keatas kepala Arinta dan melepas ikatan kuncir kuda yang terlalu tinggi itu. Gina lalu menggerai rambut hitam legam milik Arinta yang sangat cantik ditambah gelombang diujung rambutnya menambah kesan tersendiri untuk rambut sepinggang itu.
"Nah, kan cantik kalau begini", ujar Gina sambil tersenyum tipis dengan tangan yang bersidekap di dada.
Arinta menyelipkan anak rambutnya ketelinga dan mendongakkan kepalanya. Arinta bisa melihat betapa bahagianya Gina yang terbukti dengan senyumannya. Walau tidak pernah lebar, tapi ia paham apa arti senyuman itu.
Segitu bahagianya kah gadis itu hanya karena penampilan Arinta yang diubah hanya sedikit. Lalu bagaimana jika penampilan Arinta diubah sepenuhnya?. Mungkin Gina, bahkan penghuni ALLANDRA bisa dibuat menjadi manekin dadakan.
Jika dibandingkan dengan Gina. Penampilan Arinta tidak ada apa-apa nya. Karena wajar bukan. Gina adalah anak dari salah satu pembisnis handal di Indonesia. Bahkan perusahaannya sudah terkenal di Asia.
Sedangkan Arinta?, dirinya hanyalah anak dari keluarga yang sederhana. Ayahnya yang memiliki toko kelontong walau pun kecil, tapi itu sudah cukup untuk membiayainya. Dan ibunya yang menjadi penjahit untuk menambah keuangan keluarga. Arinta juga memiliki dua adik laki-laki kembar yang sudah duduk di bangku SMA kelas satu.
"Hai guys", sapa Laily sambil mencium kedua pipi Arinta dengan entengnya tanpa melihat ringisan yang ada di wajah gadis tersebut.
Gina yang risih pun langsung menjauhkan wajah Laily yang juga ingin mencium pipi nya,"Datang-datang ngerusuh!, bukannya Assalamualaikum, langsung aja nyosor cium pipi anak orang. Entah kuman dari mana yang lo bawa", sarkas Gina membuat Laily melototkan matanya.
"Heh, sembarangan. Lo kira gue pembawa penyakit", sergah Laily yang tak terima dengan ucapan Gina.
"Iya. Udah deh Rin, enggak usah deket-deket sama pembawa virus ini", Gina merangkul Arinta dan ingin masuk kedalam kelas. Namun belum sampai masuk kedalam kelas, Arinta melepaskan rangkulan tersebut dan dengan polosnya bertanya, "Emangnya Laily bawa virus apa?", Gina yang mendengarnya refleks memejamkan mata.
Tanpa menghiraukan Gina. Arinta menghampiri Laily dengan wajah cemasnya.
"Laily, kamu sakit?, kenapa sekolah?, entar tambah parah lho. Ayo aku anterin ke UKS.", ujarnya sambil merangkul Laily dengan tujuan untuk menuntun sahabatnya itu jalan ke UKS.
"Siapa yang sakit sih, Rinta", Laily gemas melihat wajah polos sahabatnya yang bercampur cemas itu.
"Kamu kan yang sakit?, karna enggak mungkin aku yang sakit. Semalam udah minum vitamin kok. Apa vitaminnya kadaluarsa ya?, tapi belinya baru dua Minggu yang lalu, apa jangan-jangan mbak apotekernya tipu aku ya?", Arinta memegang perutnya, lehernya, kemudian dahinya dengan keringat dingin. Takut, jika dirinya memang benar terserang penyakit.
Kedua sahabatnya yang melihat kecemasan berlebihan Arinta kompak langsung menepuk jidatnya masing-masing.
"Gue enggak kuat Gin, sumpah gue enggak kuat", Laily mendramatisir dengan menutup wajah dengan kedua tangannya. Seolah-olah menjadi orang yang tersiksa. Dasar drama queen.
"Enggak waras", cetus Gina tanpa menghiraukan kedua sahabat nya yang masih sibuk dengan dunianya sendiri-sendiri. Dan segera berlalu masuk kedalam kelas.
"WOI, KALIAN BERDUA MAU MASUK ENGGAK. BEL UDAH BUNYI TUH", teriak Gina dari dalam kelas.
Arinta dan Laily yang masih diluar itu pun langsung bergegas masuk ke dalam kelas ketika melihat pak Yanto yang sudah berjalan diujung koridor. Berjumpa dengan guru BK tersebut sama saja dengan bertemu malaikat Izrail.
...~Rilansun🖤....
...••••••••••••••••••••••...
...Aku percaya takdir...
...Tapi aku tidak percaya jika kamu salah satunya.............
...••••••••••••••••••••••...
...****...
"Lai, aku enggak mau. Lagipula aku bawa bekal kok", Arinta berusaha sebisa mungkin melepaskan genggaman Laily yang ingin membawanya ke kantin. Tidak mendapatkan respon apa pun lantas Arinta melihat Gina yang berjalan dibelakangnya yang sedang bersidekap tangan didada.
"Bantuin aku please", Arinta berbisik lirih kepada Gina menggunakan puppy eyes sebagai jurus andalannya. Tidak seperti biasanya Gina yang akan luluh dengan mudahnya, justru gadis yang cuek itu mengangkat bahunya acuh tak acuh.
Arinta kembali membujuk Laily setelah melihat tidak ada yang bisa ia dapatkan dari Gina. Sudah mencoba berbagai cara agar gadis yang memiliki nama lengkap Lailydynia Saira Kundari itu bisa luluh. Tapi nihil, sama sekali tidak ada yang ingin mendengarkan nya.
Sebenarnya Arinta mengenal Laily itu baru dalam kurun satu tahun belakangan ini. Karena Laily yang merupakan murid pindahan dari luar kota.
Sedangkan untuk Gina, Arinta sudah mengenalnya sejak dua tahun yang lalu. Arinta mengenal Gina sebagai malaikat yang menolong dirinya dari bullyan orang-orang yang menganggap Arinta sebagai lalat yang hinggap diatas kue tar. Dunia itu memang kejam, tapi yang paling berbisa itu adalah mulut seseorang.
"Lo duduk disini," Laily mendudukkan Arinta dikursi kantin yang paling pojok.
"Enggak ada tapi-tapian Rinta. Dengerin gue, duduk disini dan tunggu gue", potong Laily ketika melihat Arinta yang ingin protes.
"Dan lo Gin, tolong jagain dia. Jangan sampe nih bocah kabur lagi, udah susah payah gue keluarin dia dari kandang. Kalau–"
"Udah sana pesen makanan. Gue lapar dengerin bacotan lo", Gina mendorong Laily agar segera pergi.
Laily memandang sengit kearah Gina, "Dasar anak Limbat", gerutunya dan berlalu pergi menuju stand mie ayam yang tidak jauh dari tempat mereka duduk.
"Gin", panggil Arinta yang dijawab gumam-an oleh Gina yang sedang sibuk bermain ponsel.
"Aku balik ke kelas lagi aja deh ya, aku enggak nyaman disini", Arinta melihat sekeliling kantin yang sudah mulai penuh.
Gina mendengus melihat bulir keringat yang ada di dahi Arinta, "Lo ngapain sih Rin. Asal dibawa keluar lo kayak orang ketakutan, emangnya apa sih yang lo takuti?"
"Eum, aku takut mereka datang Gin", jawab Arinta lesu sambil menunduk.
Gina menghela nafasnya, "Kalau lo takut terus, kapan lo beraninya?, hidup enggak berjalan disatu titik Rin. Lo bakal nemuin banyak orang diluaran sana yang memiliki berbagai macam watak, dan lo enggak bisa terus-terusan menghindar dari segalanya. Kalau lo begini terus, lo enggak akan bisa keluar dari ketakutan lo itu. Hadapi, ada gue dan Laily disini", jelasnya sambil menggenggam tangan Arinta yang sudah berkeringat dingin.
"Tapi kalian punya kehidupan masing-masing", cicit Arinta.
"Justru karena kami mempunyai kehidupan sendiri, lo seharusnya bisa mensugesti diri lo sendiri kalau lo mampu. Lo mampu tanpa bantuan gue sama Laily, dan lo mampu hadapin semuanya sendiri. Karena ini hidup lo Rin, dan lo harus menopangnya dengan kaki lo sendiri."
Arinta mendongakkan kepalanya, "Aku usahakan. Makasih ya, kalian selalu ada buat aku."
Gina tersenyum, "Dalam persahabatan enggak boleh ada kata terima kasih dan maaf. Kalau satu salah, berarti kita semua salah, satu yang menang berarti kita semua menang. Karena kita satu. Berbeda-beda tetap satu jua", Gina tersenyum geli mendengar ucapannya sendiri.
Arinta terkekeh pelan. Sungguh, ia amat sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Gina dan Laily. Tuhan itu memang adil, Dia tidak akan membiarkan hamba-Nya sendirian, sebab Dia tau jika kehidupan itu terlalu keras untuk gadis lemah seperti Arinta. Sudah hukum alam bukan, yang lemah adalah yang tertindas.
"Ngapain kalian pada pegang-pegangan tangan?, pada mau nyebrang?", celetuk Laily yang datang bersama sebuah nampan berisi pesanan mereka dan meletakkannya diatas meja.
"Kepo!, Kata nya lo mau ngenalin seseorang sama kita, mana orangnya?", tanya Gina sambil mengaduk-aduk mie ayam pesanannya.
"Iya ya, kok dia lama banget sih?", Laily mengecek ponselnya, mencoba menghubungi seseorang tersebut.
Arinta yang pada dasarnya parno-an terhadap orang baru pun langsung menggebrak meja sambil berteriak histeris, "Siapa?, siapa yang mau kamu bawa kesini?!"
Laily dan Gina terkejut dengan reaksi Arinta barusan.
"Rin!", panggil Laily dan mengedarkan pandangannya ke penjuru kantin. Arinta yang baru menyadari jika ia menjadi pusat perhatian pun langsung duduk sambil menunduk ketakutan.
Gina yang berada disamping Arinta mencoba menenangkannya, "Rin udah. Mau sampai kapan lo kayak gini?", cewek itu mengusap pelan punggung Arinta yang mulai bergetar.
"A...aku udah berusaha gin, tapi aku tetap enggak bisa", ujarnya terbata-bata, sebab Arinta menahan tangisnya sebisa mungkin. Arinta mengakui jika dirinya memang lemah dan payah, tapi tak pernah sekalipun ia menangis ditempat ramai. Karena baginya itu hanya akan menambah spekulasi buruk orang-orang terhadap dirinya.
"Rin, gue minta maaf ya. Karena gue enggak kasih tau lo sebelumnya kalau ada orang yang mau gue kenalin sama kalian", Laily mengambil tangan Arinta dan menggenggamnya.
Arinta mendongak, "Enggak apa-apa. Bukan salah kamu kok, aku aja yang terlalu berlebihan. Maafin aku ya udah buat kalian malu."
"Minta maaf lagi. Kalian emang budeg ya!", Gina berdecak sebal dan melanjutkan makanan nya.
Arinta dan Laily saling berpandangan lalu berseru dengan kompak,"Gina maaf!"
Gina yang sedang mengunyah pun langsung tersedak makanan, lalu ia mengambil segelas air dan meminumnya dengan tergesa-gesa.
"Kalian!", geram Gina marah dengan pandangan intimidasi yang mampu membuat kedua sahabatnya itu ketakutan. Setelah itu ia melanjutkan makannya dengan santai sambil sesekali melirik mereka yang sudah terdiam seperti patung.
Sama aja, penakut.
"Mana orang yang mau lo kenalin itu?", tanya Gina membuka obrolan setelah lama terdiam.
"Eum, lagi dijalan katanya", jawab Laily sambil melihat layar ponselnya.
"Itu siapa?, cowok kamu Lai?", tanya Arinta menambahi.
"Dia itu-, Nah itu dia!" Laily melambaikan tangannya pada seseorang yang sedang berjalan kesini. Refleks Arinta mendongakkan kepalanya melihat seseorang yang katanya akan dikenalkan oleh Laily.
Deg
Arinta membelalakkan matanya tak percaya melihat siapa yang sedang berjalan kearah meja mereka. Itu....orang itu. Orang yang mampu menarik seluruh perhatian kantin. Orang yang mampu membuat semua siswi Allandra mati ditempat jika disapa olehnya. orang itu adalah...Reagan Zarvio Allandra.
Orang yang digadang-gadang sebagai cowok terpopuler dan tertampan disekolah. Oleh karena itu ia mendapat julukan Most Wanted dan Prince Charming nya Allandra. Bukan hanya itu, ia juga terkenal karena sifatnya yang galak dan terkesan dingin pada siapa pun. Terlebih lagi jika itu adalah makhluk berjenis kelamin perempuan. Tetapi itu semua tidak menutupi kesempurnaan nya, buktinya semua cewek di Allandra mengagumi dirinya. Idola cowok itu bahkan bukan hanya perempuan, yang laki-laki pun ada. Sebab ia yang terkenal dengan kepintarannya dan kemahirannya dalam bermain basket. Reagan memang pentolan emas dari Allandra.
...~Rilansun🖤....
...••••••••••••••••••••...
...Tuhan tau jika tidak semua orang suka dengan matahari, maka dari itu Dia juga menciptakan malam. Tapi pada hakikatnya matahari tetaplah sumber kehidupan....
...•••••••••••••••••••••...
...***...
"Reagan!", panggil Laily.
"Mati, tadi aku nabrak dia. Dia bakal kenalin aku enggak sih?," batin Arinta ketakutan. Cewek itu langsung mengambil buku novel yang tadi untung dibawanya. Lalu menutupi wajahnya dengan buku tersebut.
"Hai", sapa Reagan sedikit kaku. Arinta yakin sapaan itu pasti bukan ditujukan kepada dirinya dan juga Gina.
"Kamu kemana aja sih kok lama banget", keluh Laily sambil bergelayut manja di lengan Reagan.
"Sorry tadi aku kumpul dulu sama teman", jelas Reagan sambil mengelus puncak kepala Laily. Tentu saja, itu semua tidak terlepas dari pandangan orang seluruh kantin.
Bukannya dia seram ya?, tapi itu.....
Lagi-lagi Arinta bergumam dalam hatinya.
Kyaaa, itu seriusan kak Reagan yang galak itu?
Gue mau jugaaaa
Elus kepala aku dong kak, kepala aku panas nih
Ih, centil banget sih tu cewek
Arinta yang mendengar bisik-bisik tersebut. menggelengkan kepalanya pelan. Minta dielus?, kepalamu yang ditabok nanti.
"Reagan, kenalin ini-"
"Duh, aku ke kelas dulu ya. Aku baru ingat belum ngerjain tugas dari buk Santi, aku pergi dulu ya", Arinta buru-buru pergi dari sana sambil terus menutupi wajahnya dengan buku.
"Eh, Rin!, tungguin dulu. Gue belum kenalin kalian", teriak Laily mencoba menghentikan Arinta. Tetapi itu tak membuat Arinta berbalik. Ia terus berjalan pergi, tanpa menoleh sedikit pun.
"Gin, dia ini...", Laily beralih kepada Gina yang sedang sibuk bermain ponselnya. Kenapa punya teman satu pun enggak ada yang beres, keluh Laily dalam hati.
"Udah kenal. Sepupu gue", jawab Gina lalu memasukkan ponselnya kedalam saku rok nya, "Lo mau jadi patung berdiri disitu terus?", tanya Gina sinis melihat Reagan yang tak kunjung duduk.
Reagan mendengus lalu duduk di kursi yang Arinta duduki tadi.
"Oh, jadi lo sepupunya Reagan. Kok gue nggak tau ya", celoteh Laily.
"Sepupu jauh", jawab Reagan datar.
"Jauh kepala lo. Jadi yang semalam nginap dirumah gue siapa?, Anjing nyasar?", tanya Gina sengit yang hanya dibalas Reagan dengan mengangkat bahunya acuh tak acuh.
"Oh, jadi lo cewek yang diceritain sama si kuyuk satu ini sampai buat gue rela harus begadang. Dasar bucin", Gina menabok kepala Reagan tanpa sungkan sedikit pun.
Laily yang mendengarnya pun langsung blushing seketika.
"Engak usah sok pakai blush-blush segala. enggak cocok tau enggak lo", sarkas Gina yang membuat Laily mencebikkan bibirnya.
"Kenapa sih lo, pms?", tanya Reagan datar sambil menyeruput jeruk panas milik Arinta tadi.
"Eh, itu punya Arinta", seru Laily.
"Tau. Main seruput aja, kebiasaan", tambah Gina.
"Arinta?", tanya Reagan mengernyitkan dahinya. Sepertinya tidak asing.
"Itu, yang barusan tadi pergi. Namanya Arinta, dia anaknya emang gitu, pemalu dan introvert banget. Dia suka takut kalau jumpa orang baru", jelas Laily
"Segitunya?", tanya Reagan.
"Ya, dia kan enggak kayak lo. Yang nggak ada malu-malu nya", celetuk Gina sarkas.
"Sembarangan", balas Reagan sambil menempeleng kepala Gina.
"Woi, ini kepala difitrah ya", Gina berdiri lalu dengan tak kalah kuatnya ia membalas meninju kepala Reagan, "Mampus mati lo!", umpat Gina puas melihat wajah kesakitan Reagan. Kemudian cewek itu segera bergegas pergi dari sana.
"Woi, mau kemana lo?", teriak Laily.
"Cari Arinta!", balas Gina berteriak sambil berjalan pergi meninggalkan kantin.
"Bar-bar", Reagan menyentuh kepalanya yang terasa berdenyut. Salahkan otaknya yang lupa jika Gina itu jago seni bela diri. Diwaktu mereka masih duduk di bangku sekolah dasar, sepupunya itu bahkan sudah jago silat. Bukannya memilih bermain boneka atau sejenisnya seperti kebanyakan anak perempuan lainnya, Gina justru memilih menghabiskan waktunya untuk belajar seni bela diri. Jika ditanya alasannya, maka ia akan menjawab untuk membasmi buaya-buaya berlidah ular.
"Duh, sakit ya. Gina emang gila!", Laily mengelus kepala Reagan yang sedikit membengkak, "Kamu tunggu sini ya, aku ambil es batu dulu buat ngompresin kepala kamu itu", Reagan melirik Laily yang masih setia melihat lukanya yang sebenarnya tidak sakit. Lalu ia mengangguk sekilas ketika Laily menaikkan alisnya.
"Yaudah kamu tunggu disini ya", lantas Laily pergi menghampiri stand mang Jajang penjual minuman.
Reagan memandangi punggung mungil Laily yang mulai menjauh. Kemudian gerakannya yang ingin mengambil ponsel dari saku celananya terhenti ketika Reagan melihat secarik kertas dibawah meja dekat kakinya. Reagan mengambilnya dan pada saat ia ingin membacanya, Laily lebih dulu datang dengan sebungkus es batu. Lalu Reagan memasukkan secarik kertas tersebut kedalam sakunya.
...***...
"Aish, sial banget sih. Kenapa harus jumpa dia lagi coba?"
"Tapi itu beneran monster yang aku tabrak tadi?, tapi kok tadi dia lembut banget?, apa mungkin dia punya kepribadian ganda?", Arinta bergidik ngeri ketika membayangkan hal tersebut. Dari novel-novel dan artikel yang pernah dibacanya. Alter ego itu suatu penyakit yang sangat merugikan bagi diri orang yang mengidapnya dan orang-orang di sekitarnya. Karena kepribadian ganda itu cenderung melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan kepribadian aslinya. Bahkan itu bisa menelan banyak korban jiwa.
"Siapa yang punya kepribadian ganda?", Arinta terlonjak kaget ketika merasakan sebuah tepukan dipundaknya. Lantas ia menoleh kebelakang dengan takut. Kemudian menghela nafas lega ketika tau itu sahabatnya, Gina.
"Kok kamu disini?, Laily mana?", Arinta melihat kebelakang Gina yang tidak ada siapa-siapa.
"Pacaran", jawab Gina singkat dan menarik Arinta untuk kembali melanjutkan jalan mereka menuju taman belakang sekolah.
"Pacaran?, siapa yang pacaran?", tanya Arinta polos. Karena setahunya diantara mereka bertiga belum ada yang berpacaran.
Gina menoleh kearah Arinta, "Dedemit", jawabnya asal.
Mendengar itu sontak membuat Arinta menghentikan langkahnya, "De-dedemit?, kamu bisa lihat hal yang kayak begituan?", tanya Arinta dengan polosnya.
Gina menghela nafasnya lelah lalu mengangguk mengiyakan.
"Beneran Gin?, kok aku baru tau. Tapi kamu lihatnya dimana?"
"Kantin, ditempat duduk kita tadi."
"Hah?, berarti pas kita duduk dia ada dong?"
"Ada", Gina memejamkan matanya. Teman nya ini polos atau bodoh sih?.
"Tapi pas–"
"Stop!", Gina menyela Arinta yang ingin melanjutkan keabsurd-an ini lebih jauh lagi, "Laily ada di kantin dan dia lagi sama Reagan", jelas Gina pelan-pelan supaya otak kecil sahabatnya itu bisa mencerna dengan sempurna setiap kalimat yang ia ucapkan.
"Oo, jadi yang pacaran itu Laily", Arinta mengangguk-anggukan kepalanya, "Apa?!, pacaran? Laily pacaran sama monster itu?", pekiknya setelah benar-benar mencerna ucapan Gina barusan.
Gina mengernyitkan dahinya bingung. Monster?, setahunya Laily itu pacaran dengan sepupunya, Reagan. Tapi....Ah, sudahlah. kini Gina juga merasa semenjak menjalin persahabatan dengan kedua sahabat tidak beresnya itu membuat satu persatu kabel diotaknya putus. Bisa gila dia lama-lama.
"Udah enggak usah dipikirin mereka. Mending kita makan asam jawa", Gina merangkul pundak Arinta sambil menunjukkan sekantung plastik yang berisi buah berwarna coklat tersebut.
Arinta memandang kantung itu dengan mata yang berbinar. Kemudian ia langsung mengambilnya dan mendekapnya erat-erat di dada. sementara itu, Gina yang melihatnya lantas menggeleng-gelengkan kepala takjub melihat keantusiasan Arinta. Jika sudah menyangkut asam jawa, Arinta bisa lupa dengan segalanya.
Membuat mood seorang Arinta itu berubah sangat sederhana, cukup beri ia asam jawa, pancake dan novel, maka cewek itu akan langsung senang tujuh keliling. Bahkan ia akan tersenyum sepanjang hari. Arinta itu memang unik dan menarik.
"Lo nanti kerja?", tanya Gina.
Dua tahun belakangan ini Arinta memang sudah bekerja paruh waktu disalah satu toko roti milik Mamanya Gina. Arinta sangat bersyukur dengan ia yang bekerja ditempat tante Hanna. Selain ramah, tante Hanna juga orang yang humoris. Bahkan ia tidak membeda-bedakan antara dirinya dan Gina. Arinta merasa memiliki dua ibu sekarang, dan itu suatu hal yang sangat ia syukuri.
Tanpa menoleh sedikitpun kearah Gina, Arinta menganggukkan kepalanya.
"Bareng gue?", Gina mengambil duduk di bangku taman yang terletak dibawah pohon yang rindang. Meskipun terletak dibelakang sekolah, tapi taman ini sangat bersih dan rapi. Tidak ada daun yang berserakan, tidak ada sampah yang dibuang sembarangan. Semuanya bersih. Selain jarang dikunjungi, taman belakang sekolah juga setiap hari dibersihkan oleh Pak Yono, petugas kebersihan di Allandra.
"Boleh", jawab Arinta sambil mengemut asam jawa. Tak tanggung-tanggung, cewek itu langsung memasukkan empat biji sekaligus. Gina yang melihat itu lantas meringis. Ia yang tak makan saja bisa merasakan asamnya buah tersebut. Gina selalu bertanya apakah lambung gadis tersebut tidak sakit. Tapi lagi dan lagi dengan lugas Arinta menjawab tidak. Lambungnya tahan banting, katanya. Sudah diberi imunisasi.
Arinta tersenyum sambil menatap buah asam yang berada ditangannya. Setidaknya ini bisa membuatnya lupa betapa sialnya ia hari ini. Dari menabrak idola sekolah, menjadi pusat perhatian di kantin, dan bertemu sekali lagi dengan orang yang ia taruh diurutan paling awal dalam list orang yang tak ingin ia temui selama ia bersekolah di Allandra.
Sungguh hari yang sial.
...~Rilansun🖤...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!