Semilir angin dengan obrolan-obrolan santai antara Salsa dengan teman-temannya juga dengan Dafian, kekasihnya, seusai menyelesaikan UAS sungguh meringankan beban pikiran. Soal-soal yang dianggap jebakan batman dan memuakkan tadi seolah sirna dan berubah menjadi lelucon yang tak berarti ketika Salsa sudah berkumpul bersama komplotannya yang aneh tapi setia kawan.
Pembicaraan ngalor-ngidul tentang dosen-dosen pengawas yang nyebelin dan gampang ditipu hingga pembicaraan soal rencana healing ke suatu tempat bersama setelah urusan UAS selesai mengisi obrolan singkat mereka. Salsa yang sangat ingin pergi berlibur ke tempat-tempat pedesaan dengan suasananya yang sejuk dan nyaman, Rere yang ingin makan makanan yang enak-enak dan murah meriah, Sita yang ingin ke pantai dan teriak sekuat tenaga, sementara Mesya yang ingin mengabiskan waktu di salon memanjakan diri. Sementara Dafian, dia hanya ngikut kemana pun Salsa berada, yang penting dimana pun ada jaringan internet yang mumpuni untuknya tetap bisa bermain game online bersama teman-teman onlinenya juga.
Meski jengkel Salsa mendengarnya, tapi Salsa memilih untuk mengabaikan saja rasa jengkelnya. Lagi pula ini adalah Dafian, sejak awal mereka kenal, Salsa sudah tahu bahwa Dafian adalah seorang gamer, walaupun belum terlihat penghasilannya dari hobi yang dilakukan Dafian, dan seringnya mengabaikan Salsa dengan alasan bermain game, setidaknya Dafian tidak mengabaikannya karena perempuan lain.
"Oh my God!" Tiba-tiba Mesya memekik dengan suaranya yang mengejutkan Salsa, Sita, Rere dan Dafian di bawah gazebo yang teduh itu.
"Apaan sih, Mes?" Gerutu Rere sambil mengusap telinganya, kerena kebetulan dirinya duduk di sebelah Mesya.
"Ada itu! Ada itu!" kata Mesya heboh.
"Itu apaan?" tanya Sita.
"Tuyul?" Celetuk Rere.
"Nona Salsa." Sebuah suara bariton agak-agak serak becek yang khas LAKIK banget membuat kepala Salsa, Rere, Sita, dan Dafian menengok ke arah sumber suara.
"Halo Mas Ares!" Mesya yang menyahut alih-alih Salsa.
Sosok lelaki dengan perawakannya yang tinggi, tegap, berpakaian serba hitam berdiri disana, di depan empat wanita dan satu lelaki, menghalau sinar matahari petang yang hangat.
Bukan, dia bukan malaikat maut pencabut nyawa di petang hari, yeah, meski ekspresi wajahnya mungkin masih lebih ramah malaikat maut.
"Ares?" Salsa menatap malas. Sementara Mesya langsung mencabut sumpit yang dia pakai untuk menggelung rambut panjangnya dan membiarkan rambutnya langsung tergerai seperti gorden dan memeriksa giginya pada layar ponsel, memastikan tidak ada sisa tahu Sumedang yang bertengger manis.
Akhirnya kedatangan Ares membuat Dafian menunjukkan eksistensinya, dia mengalihkan wajahnya dari layar ponsel dan membenarkan posisi duduknya disebelah Salsa. Ia mungkin mulai merasa harus melindungi sumber hot spot dan sumber kuota internetnya dari invasi mendadak.
"Ngapain lo disini?" tanya Salsa dengan nada ketusnya.
"Untuk menjemput Nona." Lanjut Ares, yang matanya hanya fokus pada Salsa, meski senyumnya Mesya sudah mengalahkan luasnya samudera.
"Jemput? Nggak bisa! Gue mau jalan." jawab Salsa dengan nada ketusnya.
"Tuan Fariz minta saya untuk jemput Nona sekarang."
"Nanti gue yang antar Salsa pulang." Tiba-tiba Dafian bersuara.
"Tuh, denger kan? Nanti gue diantar sama Dafian. Jadi jangan ganggu, lo pulang aja sana." Usir Salsa.
"Kalo Salsa nggak mau, saya mau kok dijemput Mas Ares, langsung ke pelaminan juga oke." Mesya nyeletuk, langsung saja disenggol dahsyat oleh Rere.
Tapi Ares si manusia batu jaman purba sama sekali tidak teralihkan dari tugasnya untuk menjemput Nona mudanya meski Mesya sudah menebarkan pesona terbaiknya.
"Nona pulang dengan saya." Ucap Ares tegas. Tak terbantahkan.
Salsa tahu betul penolakan yang dia lakukan hanya akan terbuang sia-sia, karena manusia batu didepannya itu lebih pas disebut robot dari pada manusia. Ares sama sekali tidak fleksibel. Apa yang sudah ditugaskan padanya, tidak akan bisa diubah oleh sistem kerja otaknya. Dia akan tetap membawa Salsa pulang bersamanya meski dia harus berkelahi dengan sekawanan beruang ganas sekali pun.
"Gue pulang bareng Dafian. Ngerti nggak?" kata Salsa dengan ketusnya tak lupa dengan tatapan penuh ketidaksukaaan.
"Tidak." jawab Ares singkat. Benar-benar seperti robot yang sudah terprogram. "Pulang dengan saya sekarang, atau saya terpaksa membawa Nona dengan paksa."
"Ish, apaan sih! Gue nggak suka ya dipaksa-paksa!" Omel Salsa.
"Gue nanti yang antar Salsa, apa kurang jelas?" Dafian berdiri sok gagah di depan Ares, tapi sayangnya tidak memberikan efek apapun pada Ares. Dia hanya melirik pada Dafian lalu berkata, "Saya tidak ada urusan denganmu."
Salsa pun ikut berdiri diantara Ares dan Dafian. Rere langsung menyerahkan tas Salsa kepada Ares, dari pada keributan terjadi dan membuat mereka menjadi tontonan, mengingat ada Maya di kejauhan yang sudah bersiap untuk menonton Salsa yang membuat drama.
"Ada Maya, Sal, dah lah ngalah aja, dari pada jadi bahan olok-olokan Maya." Bisik Rere.
Salsa berdecak sebal. Kenapa setiap kali Ares muncul, dia selalu merasa sial!
Mau tak mau Salsa meminta maaf pada Dafian karena dia harus menuruti perintah Fariz melalui asistennya yang semenyebalkan batu kerikil yang masuk ke dalam sepatu. Dan juga pada Sita, Rere dan Mesya karena harus meninggalkan tempat lebih dulu.
Beberapa meter sebelum mendekat pada mobil sedan yang terparkir, Salsa nekat kabur dari pengawasan Ares dengan berlari dengan gerakan yang tiba-tiba, tapi kaki Ares tentu saja lebih panjang, dan lari Ares dua kali lipat lebih cepat, jadi usaha Salsa hanya sia-sia. Malah sekarang, Ares terpaksa membopong Salsa seperti sekarung beras diatas pundak kanannya.
Salsa tidak meronta, percuma, dia tahu itu. Dan juga terlalu malu karena sekarang dirinya kini menjadi tontonan anak-anak kampus yang berada di pelataran parkir. Hanya tinggal menunggu waktu sampai hal memalukan ini sampai dikuping Maya.
Di dalam mobil, Ares diam seribu bahasa, memang begitu orangnya. Dia hanya bersuara jika perlu. Meski Salsa mengomel sepanjang jalan.
"Puas banget kan lo udah bikin gue malu?! Besok satu kampus bakalan mengolok-olok gue gara-gara lo!"
"Kalau Nona tidak kabur, saya tidak akan membawa Nona seperti tadi." jawab Ares dengan logis sesuai dengan fakta.
Tapi Salsa sudah kepalang benci dan tidak menyukai Ares, jadi, apa pun yang dikatakan Ares tetap tidak terasa benar di pusat pendengarannya.
"Lihat aja, gue akan minta Kak Fariz pecat lo!" Ancam Salsa.
* * *
Sesampainya di rumah, Salsa langsung menuju ruang kerja dimana beberapa hari belakangan ini Fariz lebih sering menghabiskan waktunya bekerja di dalam ruang kerja dari pada ke kantor. Meski pun sama saja, karena dimana pun Fariz berada, pria itu selalu mengerjakan pekerjaan.
"Kak!" Salsa langsung membuka pintu tanpa berniat untuk mengetuk pintu. Rupanya di dalam sana ada beberapa orang dari perusahaan yang sepertinya sedang membahas soal perusahaan yang tidak pernah Salsa mengerti. Meski sudah beberapa kali Fariz meminta Salsa untuk memahami soal perusahaan karena kelak dia juga akan mewarisi peninggalan orang tua mereka ini, dan juga berkewajiban mengelola perusahaan.
Dua pria berusia lebih tua dari Fariz sampai terlonjak mendengar suara Salsa yang mengejutkan. Fariz meminta maaf kepada dua manager dari perusahaan yang datang hari ini karena kelakuan adiknya, terpaksa meeting mereka berakhir.
Setelah dua pria itu berpamian pada Fariz, mereka juga menganggukkan kepalanya pada Salsa dan juga pada Ares yang berdiri di belakang Salsa. Mereka tentu saja tahu siapa Ares. Pria itu jauh lebih ditakutkan di perusahaan dari pada Fariz. Ares yang berstatus sebagai tangan kanan sekaligus bodyguard Fariz selalu memastikan semua hal berjalan sebagaimana rencana tuannya. Ia tak segan menjegal siapa pun yang menghalangi niat Fariz.
Fariz bersandar, sementara Salsa berdiri dengan sikap defensif, ia melipat kedua tangannya di depan dada, tak lupa wajah memberengut terpeta jelas pada wajah manisnya.
"Kenapa Kakak nyuruh dia jemput aku? Aku tuh jadi tontonan tau gara-gara dia! Besok pasti aku bakalan jadi bahan ejekan sekampus! Nyebelin!" Omel Salsa sambil menunjuk dan melemparan tatapan permusuhan penuh kebencian pada Ares. Sementara yang ditatap tetap diam seperti tidak bernyawa, seperti Terminator yang sistemnya sedang dalam keadaan off.
"Ah, benar begitu, Res?" tanya Fariz dengan nada suaranya yang santai.
"Benar Tuan."
"Bagus."
"Kok malah bagus sih?!" Protes Salsa.
"Kalau begitu besok biar Ares mengantarmu lagi dan memastikan nggak akan ada orang yang bisa mengejekmu."
"Apaan sih! Nggak gitu juga konsepnya!" Salsa menghentakkan kaki.
"Lalu bagaimana?" tanya Fariz dengan nada sabarnya.
"Ya dipecat lah!" kata Salsa dengan bulat. "Dia udah bikin aku malu!"
Fariz menghela napas panjang,
"Masalahnya," Fariz bangkit berdiri, dia mendekati Salsa, memegang kedua bahu Salsa. "Aku nggak bisa memecat Ares."
"Kenapa? Masih banyak orang yang bisa kerja, kali, bukan dia doang."
"Karena dia calon adik iparku."
"Dia... tunggu, dia apa?" Salsa mengerutkan kening.
"Calon adik iparku." jawab Fariz dengan tenang. Setenang permukaan danau yang keruh.
"Memangnya dia akan menikah dengan siapa?"
"Memangnya aku punya adik berapa?"
"Maksudnya? Dia nikah sama aku?" Salsa melebarkan kedua matanya, menatap Ares dan kembali lagi pada Fariz.
"Yep! Kalian akan menikah minggu depan." kata Fariz dengan nada bersenandung dan senyum lebar pada wajahnya.
"APA?!"
.
.
.
Bersambung ❤️
"APA?!" Salsa mundur beberapa langkah menjauh dari kakaknya, matanya melotot seperti ikan mas koki, ekspresi terkejut bercampur marah dan tidak suka menjadi satu pada wajah manisnya yang dibingkai dengan rambut bob sedagu.
"Kakak pasti bercanda!" Salsa melihat Fariz dan Ares bergantian.
"Kakak serius. Kakak sudah mengurus semuanya, minggu depan kalian menikah." jawab Fariz dengan tenang, dia melepaskan tangannya dari bahu Salsa, kemudian bersandar pada tepi meja kerja dengan sebelah tangannya masuk ke dalam saku celana, sementara tangan yang lain bertumpu pada tepi meja kerja.
"Ap-pa?" Salsa sempoyongan hingga dia memilih duduk untuk menenangkan jantungnya juga pernapasannya. "Aku sama sekali nggak suka prank ini, Kak!"
"Prank? Kakak nggak lagi nge-prank. Kakak serius. Semua berkas yang diperlukan sudah masuk ke KUA. Catering sudah di pesan, gaun juga, undangan juga. Ah, paling tinggal undangan untuk teman-temanmu. Kakak pikir, paling kamu hanya mengundang tiga sahabatmu saja, kan? Lagi pula, nanti acaranya bukan acara besar yang-"
"KAK!" Teriak Salsa menghentikan omongan Fariz.
"Ya?" Sahut Fariz, masih dengan ketenangan yang sama sambil mengusap sudut matanya yang tiba-tiba terasa gatal.
"Kakak sadar nggak sih?! Ini tuh soal pernikahan! Kakak mau aku nikah sama dia?!" ujar Salsa dengan nada tinggi yang tidak perlu dia tahan.
"Ya. Kenapa?"
"Kenapa? KENAPA? Kakak mau buat aku mati?!" Nada suara Salsa meninggi, hingga Fariz harus mengusap telinganya.
"Mati?" Fariz menaikkan kedua alis matanya. "Ah, pasti kabar tentang Ares yang kejam di kantor membuatmu berpikir Ares akan membunuhmu? Tenang aja, dia memang kejam, tapi karena itu Ares akan menjagamu. Iya, kan, Res?"
"Tentu." jawab manusia batu yang sejak tadi membisu.
"Tenta-tentu! Nggak usah ke-pede-an deh! Gue nggak mau nikah sama lo!" Bentak Salsa seraya menudingkan jari telunjuk kepada Ares..
"Salsa, jaga nada bicaramu sama calon suamimu!"
"Dia nggak akan pernah jadi calon suamiku!" Teriak Salsa penuh dengan amarh.
"Tapi sudah kuputuskan kalian akan menikah."
"Ngggakkk! Aku nggak mau nikah! Aku nggak mau nikah sama Ares!" Salsa menatap nyalang pada dua pria di dalam ruangan itu. Yang satu bersikap sangat tenang. Yang satu sekaku batu. Batu yang mengeluarkan aura dingin.
Salsa bangkit berdiri dari duduknya, ia mengepalkan tangannya menatap penuh kebencian pada Fariz di depannya.
"Mungkin Kakak bisa menggantikan posisi Papa di perusahaan, tapi bukan berarti Kakak bisa mengatur hidup aku! Aku akan hidup dengan caraku sendiri!"
"Oh, ya?" Fariz menaikkan sebelah alis matanya. "Dengan cara apa? Mogok makan? Kabur dengan sahabat-sahabatmu? Atau minta tolong pada pacarmu yang pecundang itu?"
"Dafian bukan pecundang!" Salsa membela Dafian dengan kedua tangannya yang terkepal.
"Karena dia memang pecundang." jawab Fariz datar dan terkesan masa bodoh.
Salsa menyipitkan matanya, menggelengkan kepalanya. "Aku benci sama Kakak!" Setelah mengutarakan kebencian pada Fariz, Salsa melangkah keluar dari ruangan kerja itu, melewati Ares tanpa menganggapnya ada disana.
"Awasi dia, untuk saat ini." Titah Fariz pada Ares.
Ares mengangguk. Dia hendak melangkah keluar dari ruangan itu ketika ekor matanya melihat Fariz berdiri sempoyongan.
"Tuan!"
"Aku nggak apa-apa, Res. Awasi saja kucing kecilku." ucap Fariz, ia merasa lelah.
"Tapi Tuan..."
"Please Res, we have a deal." Fariz mengingatkan.
Ares mengepalkan tangannya, kemudian membungkuk sebelum meninggalkan tuannya di dalam sana.
Maafkan Kakak, Sal. Kakak harus melakukkannya.
* * *
Dia pikir menjelang hari akhir UAS akan menjadi hari kemerdekaannya seperti yang sudah-sudah. Ia akan merencanakan tempat-tempat untuk berlibur, menenangkan pikiran, menjernihkan memori otak dan yang pasti bersenang-senang diusia awal dua puluhannya. Menikah belum menjadi prioritas utamanya saat ini. Demi Tuhan, dia baru saja menginjak dua puluh tahun dengan jiwa yang masih ingin merasakan kebebasan berekspresi.
Kalaupun ia akan menikah, dia akan menikah dengan pria yang dia cintai dan mencintainya balik. Dia akan menikah pada seseorang yang akan membuatnya jatuh cinta setiap hari. Bukan pada robot batu yang malah membuatnya menggerutu, marah dan keki setiap hari. Itu sama saja Fariz membunuh mental Salsa perlahan demi perlahan.
Ini tidak pernah tertulis pada kamus rencana hidup Salsa, tidak pernah ada pada daftar resolusi setiap pergantian tahun. Menikah dengan Ares tidak pernah ada yang tidak pernah dia inginkan dalam hidupnya.
Salsa menangis di dalam kamarnya, menangisi hidupnya yang mungkin akan segera menemukan halaman terakhir dengan cerita yang menyedihkan. Tisu sudah berserakan di atas lantai kamarnya. Ia bahkan mengusir Bi Itay dari dalam kamarnya, wanita yang telah bekerja sebagai ART pada keluarganya sejak Fariz kecil. Tak peduli Bi Itay membuatkan dan membawakan camilan-camilan kesukaan Salsa, gadis itu tetap tidak mau berhenti menangis dan membuat Bi Itay selalu kembali keluar dari kamar dengan isi nampan yang tidak disentuh oleh Salsa.
"Keluar!" Usir Salsa untuk ke tujuh kalinya setelah Bi Itay masuk membawa sepiring cookies cokelat. "Aku nggak mau makan apa pun! Biarin aja aku mati!" Teriaknya di depan Bi Itay.
"Tapi Non-"
"Keluaaar!" Salsa mendorong pelan Bi Itay hingga wanita itu melangkah enggan keluar dari kamar Salsa. Di depan pintu, Salsa dapat melihat Ares yang tak jauh berdiri di sana seperti fondasi bangunan. Matanya yang sembab bertemu dengan sepasang mata tajam dan dingin.
BRAK! Kemudian Salsa menutup pintu kamarnya dengan membantingnya sekuat tenaga dan menguncinya.
Dia akan mogok makan. Mogok minum. Mogok keluar dari kamar. Mogok bicara. Mogok mandi. Mogok segalanya.
Meski tenggorokannya kering karena menangis sepanjang hari. Perutnya lapar karena naga dalam perutnya belum mendapatkan asupan empat sehat lima sempurna, dia tetap bertahan mengunci dirinya di dalam kamar. Oh, di dalam kamar itu, dia bukan hanya menangis dengan meringkuk di dalam selimut, tapi ia melempari semua barang yang ada dalam jangkauan tangannya, sehingga penampilan kamar itu layaknya baru saja terkena sambaran angin tornado.
"Nona belum makan sejak tadi. Bagaimana ini?" Suara Bi Itay terdengar begitu khawatir.
Tapi Salsa meneguhkan hati, dia sedang dalam masa mogok sebagai aksi protesnya atas kebijakan Fariz yang sama sekali tidak bijak untuk dirinya.
"Nona tidak akan sakit apa lagi mati hanya karena tidak makan dan minum beberapa jam saja." Suara Ares menyahuti Bi Itay. Salsa meringis mendengar nada suara datar tanpa empati milik Ares. Bagaimana mungkin Kakaknya ingin dirinya menikahi manusia tanpa hati dan belas kasihan seperti Ares. Yang lebih konyolnya, Fariz bahkan percaya manusia dengan aura dingin dan muram itu akan menjaganya. Ha! Entah ilham dari mana Fariz bisa mendapatkan konsep paling konyol dan tidak masuk akal seperti itu.
Salsa mengusap wajahnya dengan ujung lengan pakaiannya, dia mulai berhenti menangis, tapi tidak dengan ide cemerlang yang bekerlap-kerlip dalam kepalanya. Dia mencari ponselnya yang tenggelam entah dimana, cukup memakan waktu sepuluh menit hingga Salsa dapat menemukan benda pipih. Ia mencoba menghubungi Sita, tapi sepertinya Sita sendiri sedang berada di tengah peperangan orang tua dan adik-adiknya yang selalu ribut.
Dia melanjutkan menghubungi Rere, namun latar suara operator yang memanggil nomor antrian BPJS memberikan informasi yang konkrit bahwa Rere sedang menemani ibunya cek up di rumah sakit untuk terapi saraf pada lututnya. Salsa kemudian menghubungi Mesya, tapi sepertinya, Mesya pun belum bisa membantu Salsa kabur dari sangkar emasnya, karena Mesya harus bekerja lembur menggantikan shif rekannya di salon.
Harapan terakhir adalah Dafian. Tapi seperti biasanya, Dafian tidak bisa selalu menjawab panggilan telepon Salsa. Salsa tahu apa alasannya, tapi kali ini Salsa sungguh berharap Dafian memprioritaskan dirinya dari pada game online sialannya. Tapi sayangnya, harapan itu berakhir sia-sia.
Tapi bagi Salsa tidak ada yang sia-sia, dia tidak akan menyerah dan pasrah begitu saja pada kehidupan. Dia mempunyai pilihan. Dan dia memilih untuk melawan! Dia tahu, meski Fariz terlihat tidak peduli, tapi dia yakin aksi protesnya akan menjadi pertimbangan kembali untuk Fariz memikirkan ulang rencana konyolnya untuk menikahkan Salsa dengan manusia batu.
Salsa mengeluarkan tiga seprai dari dalam lemari dan mengikatnya pada ujung-ujung seprai itu hingga menjadi tali darurat.
Dia akan menunjukkan pada Fariz bahwa dirinya juga bisa melawan!
.
.
.
Bersambung~
Meski ini bukan kali pertamanya dia kabur sebagai aksi protesnya terhadap peraturan-peraturan Fariz yang menyebalkan dan membuat Salsa seperti hidup di dalam sangkar emas, Salsa tetap menjadikan kabur sebagai aksi protes andalannya setelah aksi mogok makan. Tapi kali ini, Salsa tidak akan membawa kartu debit atau pun kartu kreditnya, tidak membawa mobil, bahkan tidak membawa ponsel agar Fariz atau pun Ares tidak akan bisa melacaknya. Dia hanya akan membawa beberapa lembar uang merah, uang receh, ktp, kartu mahasiswa dan kartu e-money untuk berkereta dan ber-TransJakarta.
Setelah memasukkan dompet dan masker ke dalam sling bag kecil, Salsa mulai keluar dari jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Tentu saja ini bukan kali pertama Salsa melakukannya. Dia tersenyum puas ketika kedua kakinya mendarat dengan sempurna di atas tanah berumput, dia sangat meyakini Ares atau pun Fariz tidak tahu kalau saat ini dirinya bahkan sudah berhasil melompati pagar belakang rumahnya. Dengan berlari di bawah langit yang mulai senja, Salsa menuju pangkalan ojek yang berada di luar kavling perumahan. Alamat yang dituju tentu saja alamat kosan Dafian. Dia harus segera memberitahukan Dafian bahwa hubungan mereka kini tengah dalam ancaman Fariz.
Setelah menempuh waktu satu jam, Salsa akhirnya sampai di kosan Dafian. Kosan yang memiliki dua lantai itu mempunyai banyak kamar, dan kosan itu tidak khusus laki-laki saja. Jadi, tak heran jika melihat ada perempuan di lingkungan kosan itu. Salsa langsung menuju lantai dua, dimana kamar kosan kekasihnya itu berada di ujung, kamar kosan nomor 17. Tapi, langkah kaki Salsa berheti ketika melihat banyak orang seperti sedang berkumpul tak jauh dari depan kamar nomor 17 itu. Melihat dari ekspresi orang-orang yang Salsa tahu adalah para penghuni dari kosan itu, Salsa dapat menduga sesuatu tengah terjadi dan itu telah mengusik penghuni kosan yang lainnya.
"Maaf, ada apa ya ini?" tanya Salsa pada seorang perempuan berkacamata tebal yang sedang berbicara pada perempuan lainnya, terlihat mereka tidak senang.
"Itu loh, tadi tuh sekitar jam berapaan ya? Jam tigaan deh kayaknya, cowok yang tinggal di kamar itu dateng bareng cewek. Ya, disini kan memang kosnya campur ya, cewek cowok, tapi kan memang ada aturan nggak boleh dong berduaan di dalam kamar gitu apa lagi sampe tutup pintu." jawab cewek berambut keriting.
Dafian datang sama cewek? Batin Salsa mulai merasakan tidak enak.
"Dan yang bikin ini orang-orang ngumpul di luar gini karena kita tuh dengar suara-suara mencurigakan."
"Mencurigakan gimana maksudnya?" tanya Salsa, masih tidak mengerti dan mencoba untuk tidak langsung berburuk sangka pada Dafian sebelum mendengar kesaksian orang-orang yang ada di sana.
"Kita tuh ngedenger suara cewek yang kayak... ih gitu deh, mendesah-desah gitu, geli banget dengernya!" jawab si perempuan berkacamata sambil menunjukkan ekspresi ingin muntahnya.
"Jadi ada dua kemungkinan, mereka lagi nonton film begituan atau memang mereka yang lagi syuting adegan itu." ujar yang lain.
"Tadi udah diketok pintunya, tapi bukannya keluar malah nyetel lagu kenceng banget gitu."
"Lagi nanggung kali." Celetuk yang lain.
"Sekarang kita lagi nunggu ibu kos dateng."
Salsa mencoba menghubungkan dengan usahanya yang sejak di rumah mencoba menghubungi Dafian tapi tidak membuahkan hasil. Apakah benar apa kata orang-orang disini? Apakah di dalam sana Dafian sedang....
Salsa langsung melepaskan jepit rambut kawatnya yang berwarna hitam, tipis seperti lidi yang tadinya dia pakai untuk menjepit helaian poninya yang mengganggu ketika akan menuruni jendela kamarnya dan langsung menuju pintu kamar kosan Dafian. Dia mempraktekkan aksi membuka kunci yang pernah dia pelajari dulu dari Ares sebelum Ares bertransformasi menjadi manusia batu menyebalkan.
Aksi MacGyver lokal itu pun mencuri perhatian orang-orang yang ada di sana.
"Mbak, nanti kena denda kalo merusak fasilitas kos." kata salah satu pemuda.
"Ini nggak akan ngerusak, Mas." jawab Salsa tanpa melihat siapa yang berbicara karena sedang fokus melancarkan aksinya hingga terdengar bunyi 'cklak' yang pelan, teredam suara musik rock dari dalam kamar itu. Seketika itu, telapak tangan Salsa menjadi dingin, jantungnya berdegup takut. Takut akan kecurigaan orang-orang yang ada disana menjadi nyata begitu dia membuka pintu.
"Mau Mbaknya yang buka pintunya, atau saya yang buka pintunya?" tanya pemuda tadi karena melihat Salsa hanya mematung setelah kunci berhasil dia buka.
"Kita grebek aja langsung!" Seru suara dari belakang mereka.
Salsa menguatkan hati, dia berdiri tegap, bersama dengan penghuni kos yang lain, Salsa membuka pintu dengan sangat tiba-tiba tanpa terprediksi oleh penghuni yang nyatanya memang sedang melakukan tindakan asusila di dalam sana. Dua orang, lelaki dan perempuan tanpa pakaian. Dimana yang wanita sedang berpose seperti kucing betina pada musim kawin, sementara yang lelaki di belakang wanita itu tengah bergerak memompa sesuatu ke dalam sesuatu yang membuat ekspresi wanita itu merasai kenikmatan yang terlarang. Dan yang pasti suara musik rock keras itu untuk meredam suara erangan dan desahan dari bibir-bibir mereka. Nyatanya musik keras itu malah menjadi bumerang untuk mereka sendiri.
Seketika pintu terbuka, Dafian dan perempuan berambut panjang bergelombang bercat agak-agak pirang itu terkejut bukan main, mereka langsung berusaha menutupi tubuh polos mereka dengan bantal seadanya.
Rasanya Salsa akan segera pingsan jika saja salah seorang dari mereka yang menggerebek tidak sigap menahan tangan Salsa agar tidak ambruk. Mereka yang lainnya mengamuk dan berteriak, membuat wanita yang tadi sedang menikmati pompaan Dafian ketakutan dan bersembunyi di belakang Dafian.
Dafian sendiri tentu saja terkejut melihat ada Salsa diantara para penghuni kosan yang menggerebek dirinya. Namun, Dafian tidak punya waktu untuk memberikan pembelaan diri pada Salsa dan pada siapa pun. Sebelum Salsa menutup matanya karena Dafian dipaksa untuk memakai pakaiannya, ia sempat melihat wajah wanita yang ketakutan itu.
"Maya?" Lirihnya.
Seolah mendengar lirihan suara Salsa, wanita bernama Maya yang tadinya ketakutan itu juga melihat Salsa. Mata mereka saling beradu, dan tiba-tiba saja bibir Maya bergerak tersenyum sinis penuh kemenangan.
Salsa memaksakan diri untuk keluar dari sana. Dadanya sesak, sakit, nyeri. Dia berlari keluar dari kerumunan dengan air matanya yang tumpah tak tertampung lagi.
Sementara disisi lain lantai dua itu, seseorang berdiri memperhatikan dari jauh. Ia melihat dengan jelas kekecewaan, kemarahan juga kesedihan dari wajah seorang Salsa. Pria itu menghela napas berat, kemudian kembali menggerakkan kakinya, menyusul ke arah dimana Salsa melarikan diri.
Langit mulai temaram, suara geledek terdengar dari atas awan yang kelabu.
Hujan akan segera turun. Sementara di depan pria itu, Salsa terus saja melangkah gontai tanpa arah.
Langkah Salsa gontai, bahkan tanpa ia sadari kakinya melangkah hampir ke tengah jalan, untung saja suara klakson mobil yang cukup membahana menyadarkan Salsa hingga gadis itu menyingkir kembali ke trotoar, mengumpulkan kembali kesadarannya, kemudian melanjutkan mengayunkan kedua kakinya.
Gue rasa ini benar-benar akhir hidup gue... Salsa menengadahkan kepalanya pada awan-awan kelabu. Nyeri hatinya tak terkira. Ini lah balasan atas semua kesetiaan dan kesabaran Salsa? Pengkhianatan yang dilakukan dengan brutal di depan matanya. Harapannya dihancukan begitu saja.
Apakah pilihan menikah dengan Ares akan menjadi pilihan yang lebih baik ketimbang berakhir menyedihkan seperti ini?
Apakah gue terima aja perjodohan itu.... Dengan begitu gue bisa membalas pengkhianatan mereka? Apakah itu lebih baik?
.
.
.
Bersambung~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!