"Saya Terima Nikahnya, Hanna Arabella Binti Saiful dengan Mas Kawin, Kalung Emas 30 gram dan sebuah Mobil Sport di bayar Tunai."
"Saksi Sah?"
"Sah!"
"Alhamdulillah, mulai sekarang kalian sudah menjadi sepasang Suami Istri."
Baru saja Akad Nikah di langsungkan dalam sebuah ruangan sederhana. Itu harusnya menjadi sebuah kabar yang bahagia karena dua orang baru saja memiliki ikatan pernikahan.
Sayangnya, adegan itu menjadi sebuah mimpi buruk bagi Sofia. Yang merupakan Istri dari Pria yang baru saja menikah itu.
Sofia yang diam-diam menyaksikan acara akad nikah itu hatinya begitu sakit. Tidak pernah dalam hidupnya memikirkan bahwa pria yang begitu dia cintai selama delapan tahun itu akan berkhianat dan bahkan menikah dengan wanita lain di belakangnya.
Tujuh tahun mereka menikah, dirinya selalu menjaga diri dan berusaha menjadi Istri yang baik, mengabdi pada Suami dan Keluarga Suaminya. Menjadi sosok Istri yang suaminya inginkan.
Suaminya Evan yang sangat berarti dan dia cintai, yang dulu selalu ada untuknya bahkan disaat-saat paling berat dalam hidupnya. Khususnya sejak kematian kedua orang tuanya dalam kecelakaan.
Dirinya kehilangan segalanya, dan jatuh pada keputusaasan. Paman dan Bibi nya yang hanya mengincar peninggalan orang tuanya, namun enggan untuk merawatnya.
"Sofia, tidak apa-apa. Aku akan selalu bersamamu oke?"
"Sekarang Aku sendirian, dan tidak memiliki siapa-siapa lagi...."
"Sofia, mari menikah denganku, jadi kamu tidak akan sendirian, Akan ada Aku yang akan menjadi Keluargamu."
Lalu Evan datang, dia yang bagai cahaya satu-satunya penopangnya, melamarnya dan menjadikannya Istrinya terlepas dari Keluarganya tidak merestui Pernikahan mereka.
Itu karena mereka menikah di usia yang cukup muda, saat itu dia baru saja Lulus SMA, dan Evan yang baru di Universitas tahun ke dua. Namun dengan Pernikahan itu juga, dirinya terbebas Keluarganya yang lain yang hanya memiliki niat buruk padanya.
Evan yang dua tahun lebih tua itu, sebagai Suaminya bisa menjadi walinya, dan penanggung jawabnya sepenuhnya.
Tentu saja itu adalah sebuah pernikahan yang bahagia walaupun tidak mendapatkan restu dari semua orang, dan hanya Kakek Evan yang setuju.
Sofia memikirkan awal pernikahan mereka yang bahagia. Dimana mereka saling mencintai satu sama lain dan berbagi kasih bersama, dan berjanji akan selalu bersama selamanya apapun yang terjadi.
"Dari mana semuanya salah?"
Sofia mengigat lagi hubungan dirinya dan Evan. Namun ternyata ingatan buruk sudah dimulai jauh lebih awal daripada yang dia kira.
Itu sejak hari mereka berdua pindah dari Apartemen ke Rumah Keluarga Evan. Hal itu karena Evan harus membantu Ayahnya di Cabang Perusahaan di Luar Kota, jadi dia di tinggalkan sendiri di Rumah Keluarga Evan.
Terlepas dari Kakek Evan satu-satunya yang baik padanya, Sofia menerima semua perlakuan dari Keluarga Evan yang lain.
"Sofia! Masak aja kamu gak bisa? Biasanya kamu kasih makan Apa Putraku Evan?"
"Bu-- Bukanya ada Bibi Pelayan Ma..."
"Kamu itu jadi Istri manja banget! Walaupun ada Pelayan di Rumah harusnya kamu tetep masakin Suamimu! Lihat, Kakak Iparmu itu yang pandai menenangkan Suaminya dengan masakannya!"
"Ta--Tapi Mas Evan enggak pernah nyuruh Ma..."
Sofia tentu hanya gadis muda yang belum terlalu mengerti tentang banyak hal di dunia, masih berumur 19 tahun dan terbiasa hidup nyaman saat bersama orang tuanya.
"Gak usah tunggu di Suruh! Mulai sekarang kamu yang harus masak buat Keluarga!"
"I--Iya, Ma...."
Sofia mencoba menurut Ibu Mertuanya itu, mulai belajar memasak bersama Pelayan di Dapur. Namun permintaan Ibu Mertuanya tidak hanya itu.
"Sofia! Mulai sekarang kamu yang tangguh jawab ngepel dan membereskan Ruang Tamu dan Ruang Keluarga!"
"Ta--Tapi bukannya sudah ada Bibi Pelayan?"
Lagi-lagi Sofia dimarahi lagi, dan berakhir mengikuti kata-kata Ibu Mertuanya itu.
Namun masalah tidak sampai disana, terutama karena Ruang Keluarga yang selalu berantakan akibat ulah Keponakan Suaminya yang masih kecil. Siang sampai malam, Sofia sibuk mengurus ini dan itu belum lagi kadang suruh jagain keponakan Suaminya yang nakal itu.
"Dek! Jangan lari-lari!"
"Biarin aja!"
Lantai kotor penuh jejak kaki anak itu yang baru saja main di hujan-hujanan diluar. Padahal Sofia baru saja mengepelnya.
"Apa-apaan ini? Kenapa masih kotor gini? Bukannya sudah Mama suruh untuk ngepel semuanya?"
"U--Udah Ma... Ta--Tapi..."
"Kamu itu pemalas!" Kata Ibu Mertuanya itu sambil menampar Sofia.
"Ma--Maaf Ma..."
Sofia yang takut itu segera kembali mengepel ulang Ruang Tamu secepatnya. Dia mencoba sabar untuk setidaknya sambil menunggu Suaminya Evan pulang dari Luar Kota.
Hari-hari berikutnya, masih sama dimana Ibu Evan masih menyuruh ini itu pada Sofia, membuatnya tidak nyaman.
Sampai Evan akhirnya pulang dari Luar Kota, disinilah harapan baru Sofia terbebas dari semua itu.
"Kamu turuti saja dulu, kemauan Mama. Kamu juga tahu, sudah satu tahun lebih sejak kita menikah, dan hubungan kalian masih belum terlalu baik karena jarang bertemu. Aku harap kamu bisa mengambil kesempatan ini untuk dekat dengan Mama dan Keluargaku yang lain. Aku tahu kamu akan bisa melakukannya kan?"
"Itu...."
"Sofia, kamu mencintai ku kan?"
"Iya Mas, tentu saja."
"Jadi belajarlah menerima Keluarga ku juga?"
Dengan senyuman manis dan ciuman lembut itu, Sofia tidak lagi mengeluh. Apa yang di katakan Suaminya mungkin benar, dia harus belajar dan mencoba dekat dengan Keluarga Suaminya itu.
Dari sana, Sofia benar-benar memulai hidupnya mencoba menjadi Menantu yang baik.
"Mama, Saya baru saja membuat Kue, ini Khusus untuk Mama."
"Cih, Kue apaan itu? Buang saja! Aku tidak suka Kue semacam itu!"
Sofia awalnya bersemangat memasak Kue Brownies karena tahu Ibu Mertuanya menyukainya. Namun bahkan mencobanya saja tidak, Kue yang susah payah dia buat itu malah di buang.
Itu hanya awalnya saja dari perjuangan Sofia di Rumah itu. Hingga tahun berganti, namun masih tidak ada yang berubah.
Bahkan yang lebih parah lagi, di Acara Sosialita Ibu Mertuanya dan teman-temannya, Sofia malah di Permalukan.
"Dia Menantumu? Istri dari Evan Putra Kedua mu itu? Kenapa penampilannya malah seperti Pelayan seperti itu?"
Dengan geram, Ibu Mertuanya itu mendatangi Sofia yang mengusirnya.
"Kenapa sih kamu pakai keluar segala? Sana masuk saja! Bikin malu saja!"
Setelah mengusir Sofia dia bilang ke teman-temannya,
"Hah, Dia Bukan Menantuku dari Awal, hanya gadis murahan yang merayu Putraku. Lihatlah, Putraku masih muda, nanti juga dia akan di ceraikan. Lagipula, dia belum memiliki anak dengan Putraku padahal sudah dua tahun menikah, mungkin dia mandul."
Sofia yang mendengar itu diam-diam tentu saja sakit hati. Sofia juga mulai memikirkannya, memang sudah dua tahun sejak dia dan Evan menikah, namun kenapa dia belum hamil juga?
Sofia yang memikirkan fakta itu tiba-tiba saja menjadi takut, tentang ucapan Ibu Mertuanya.
Jangan bilang....
Sofia yang cemas dan kepikiran tentang ucapan Ibu Mertuanya itu segera mengatakan kekhawatiran pada Suaminya Evan.
"Mas, Apa Mas gak khawatir kita belum juga punya anak sampai sekarang?"
Evan yang sedang bersiap tidur itu segera menahan Istrinya dan berkata,
"Kita masih muda. Tidak ada yang perlu di khawatirkan oke?"
"Tapi Mas... Gimana kalau..."
"Sofia sayang, apa yang kamu takutkan hmm? Apakah kamu benar-benar sangat menginginkan bayiku didalam sini?"
Evan mulai menggoda Istrinya itu dengan memegang perutnya yang rata itu, membuat Sofia memerah, dan menjawab dengan malu-malu,
"A--Aku selalu ingin memiliki seorang anak laki-laki denganmu, dia pasti akan setampan Ayahnya,"
"Owh, Aku jadi sedikit cemburu nantinya, apakah Suamimu ini masih belum cukup Tampan untukmu hmm? Sampai menginginkan Putra setampan Aku?"
"Bukan... Itu hanya karena Mas sangat Tampan...."
"Kamu sepertinya sedang merayuku dengan membahas soal anak ini bukan? Apa kah kamu ingin melakukannya?"
Sofia tidak menolak, dan itu menjadi salah satu malam indah untuk keduanya. Namun justru itu yang membuat Sofia cemas.
Dalam dua tahun, keduanya masih memiliki hubungan yang cukup baik, dan sering menghabiskan malam bersama seperti itu.
Jadi kenapa dia tidak kunjung hamil?
Atau memang bukan saatnya saja?
"Sofia apa yang kamu pikirkan?"
"Ahh... Bu--bukan..."
"Aku tidak suka kamu memikirkan hal lain saat bersamaku..."
"Hanya masalah yang tadi..."
"Soal anak? Kamu ingin memilikinya?"
"Kenapa Mas mengatakan hal yang sudah jelas?"
"Ah, berati malam ini, Aku harus bekerja lebih keras bukan?"
"Ah, Mas Evan~"
Setidaknya, Sofia senang Suaminya berpikir positif pada hal ini, dan mengginkan hal yang sama.
Sofia berharap dirinya bisa segera hamil, mungkin saja nanti Ibu Mertuanya juga jadi lebih menyukainya?
####
Di pagi hari, Sofia bangun dalam keadaan lemah, namun dia sudah disambut dengan sebuah senyuman hangat dan sebuah ciuman.
"Ternyata Cintaku sudah bangun? Apakah kamu baik-baik saja?"
"Iya, hanya sedikit lelah."
"Ini Aku sudah menyiapkan Sarapan untukmu, dan jangan lupa mimun Vitamin seperti biasanya untuk menambah energimu."
"Eh? Tapi Aku harus menyiapkan Sarapan juga untuk Keluarga yang lain,"
"Sudahlah, Aku sudah bilang pada Ibu tentang kamu yang sedang tidak enak badan. Jadi Istirahatlah oke?"
Mendapatkan perhatian dipagi hari, Sofia tentu sangat senang. Dia memakan sarapannya, lalu juga tidak lupa mengambil pil ungu yang sudah di siapkan di meja.
"Ukh, Pil Vitamin ini sangat tidak enak. Ah, tapi ini semua demi kesehatan."
Sofia tidak pernah curiga pada vitamin yang diberikan suaminya, dan meminumnya.
Sayangnya, kedamaian Sofia tidak lama karena di siang hari, Ibu Mertuanya sudah marah-marah ketika melihat Sofia keluar dari kamar.
"Enak ya, malas-malasan terus dari pagi."
"Ma--Maaf Ma, Saya sedang tidak enak badan."
"Hah, kamu pikir Aku tidak tahu apa yang kamu dan Suamimu lakukan semalam? Aku lihat kalian sering melakukannya, tapi kamu tidak hamil-hamil juga, jangan-jangan kamu mandul?"
Deg
"Ti--Tidak mungkin, Ma! Ini pasti hanya belum saatnya saja."
"Orang lain, setahun menikah sudah tuh pada Punya anak, lah kalian? Sudah mau dua tahun, namun tanda-tanda hamil saja tidak!"
Kakak Ipar Perempuan yang kebetulan lewat mendengar percakapan itu dan mulai menambahkan,
"Mama tidak lihat tubuh Sofia? Dengan tubuh sekecil itu mana bisa dia hamil? Mungkin memang dia mandul, Ma. Kasihan juga Evan menikah dengan wanita seperti dia."
"Memang dari awal, Evan itu bodoh. Bisa-bisanya tergoda dengan wanita seperti ini yang tidak ada bagusnya sama sekali kecuali wajahnya saja yang sedikit cantik."
"Tapi apa gunanya Ma, kalau cantik tapi mandul? Nanti juga di ceraikan."
Dua wanita itu tertawa dan mengejek Sofia yang hanya diam saja sambil mengigit bibirnya. Dan ketakutan semakin dalam memasuki hatinya.
Dan di sore harinya, ketika Evan pulang, Sofia kembali mengeluh soal ini.
"Mas Evan, bagaimana jika kita berdua ke Dokter saja?"
"Omong kosong apa yang baru saja kamu katakan?"
"Tapi Mas, jika ingin punya anak kita harus lebih serius dan konsultasi ke Dokter."
"Jadi kamu memang masih membahas ini lagi? Bukankah Aku sudah bilang? Kita ini masih muda, kenapa buru-buru punya anak pula? Kamu dan Aku baik-baik saja, hanya belum waktunya saja."
"Tapi---"
"Sofia! Kenapa kamu tidak mendengarkanku sih?"
Setelah itu, Sofia tidak lagi membahas soal anak dengan Evan. Dia hanya bersabar ketika mendengarkan hinaan dari Ipar ataupun Mertuanya setiap hari soal dia yang mandul. Kadang bahasan itu juga sampai pada Evan, namun Evan hanya mengagapi dengan santai omong Ibunya itu.
"Ini hanya belum saatnya, Aku dan Sofia memiliki anak, hal itu kan di atas sama yang diatas, nanti juga ada saatnya."
Sofia juga jadi terus percaya, jika nanti pasti ada saatnya dirinya akan hamil, hanya bukan sekarang, dan dirinya baik-baik saja.
Hanya saja sebuah fakta tidak terduga terungkap beberapa hari setelahnya. Ketika Sofia membereskan ruang tamu, dia melihat kepingan-kepingan obat yang familiar.
"Huh? Milik siapa ini?"
Pil itu segera diambil oleh Kakak Ipar Sofia, Olivia.
"Ini milikku. Jangan ambil obat orang sembarangan deh."
"Ah, jadi itu Vitamin milik Kak Olivia, apakah karena Kak Olivia serang kelelahan juga?"
Olivia yang mendengar itu segera tertawa mengejek seperti biasanya, dan berkata,
"Kamu itu bodoh ya. Vitamin apa? Ini adalah Pil KB. Aku dan Suamiku sih sudah punya anak jadi wajar mengunakan hal-hal seperti ini, berbeda denganmu yang mandul, tanpa obatpun kamu tidak hamil, hah entah itu bencana atau berkah, benar-benar lucu."
"Pil KB?"
"Sudah, kamu tidak perlu tahu pula."
Olivia juga segera pergi dari sana, meninggalkan Sofia yang binggung.
Tapi Sofia masih ingat dengan benar bahwa obat itu sama dengan yang suaminya suka berikan padanya. Dengan ragu, Sofia mengambil obat yang ada di kamarnya.
Sebuah pil yang dia kira vitamin, ternyata Pil KB?
Jadi selama ini alasan kenapa dia tidak hamil karena obat ini?
"Kenapa Mas Evan berbohong padaku?"
Sofia diam-diam menangis memikirkan tentang semua ini begitu banyak ketakutan menghampirinya.
Takut bahwa ternyata Suaminya hanya bermain-main dengannya dan akan menceraikannya nanti seperti kata Ibu Mertuanya.
Ketika Evan pulang, Sofia segera bertanya ini padanya sambil marah,
"Mas Evan!! Kenapa selama ini Mas memberikanku Pil KB?"
Evan yang beru meletakkan Tasnya itu segera kaget,
"Dengar dari siapa kamu omong kosong itu?"
Sofia menujukan obat yang biasa Evan berikan padanya.
"Ini! Ini obat yang sama seperti yang Kakak Ipar miliki! Ini adalah Pil KB! Jadi selama ini kamu menipuku? Jawab Mas!"
Sofia mulai menangis memikirkan semua itu.
Namun Evan segera memeluk Istrinya itu dan berkata,
"Aku tidak bermaksud berbohong padamu. Hanya saja, Aku melakukannya karena Khawatir padamu."
"Khawatir apa? Kamu tidak pernah membelaku di depan Ibumu saat di bilang Aku mandul, padahal jelas karena obat ini Aku belum hamil!"
"Sofia, dengarkan Aku, bukan begitu. Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu jika kamu hamil, bukankah kamu masih begitu muda? Aku hanya takut bisa kehilangan kamu... Aku melakukannya karena Aku sangat mencintaimu, Sofia...."
"Apa? Aku tidak mengerti!"
"Sofia, tubuh seorang wanita lebih rapuh dari pada yang kamu kira, kamu juga baru 19 tahun, jika kamu sudah lebih tua, kita bisa merencanakan anak nanti, jadi jangan marah oke? Ini semua demi kamu, karena Aku sangat mencintaimu...."
Mendapatkan pelukan hangat dan ciuman itu, membuat Sofia menghilangkan keraguannya.
Karena dia sangat mencintai Pria itu, jadi dia percaya padanya.
Namun itu hanya awal dari semuanya, dari kebohongan yang suaminya miliki.
"Mas hari ini temenin, Aku pergi ke makam Orang Tuaku ya."
Ketika menyebutkan itu, tiba-tiba saja wajah Evan sedikit tegang, Sofia sendiri juga tidak begitu mengerti kenapa Suaminya selalu seperti itu ketika menyangkut soal Almarhum Orang Tuanya itu.
"Tumben kamu kesana."
"Apa Mas lupa? Ini kan sudah peringatan Tiga Tahun meninggalnya Mama dan Papa."
Evan sedikit gugup ketika mendengar itu.
"Jadi hari ini ya. Aku lupa sayang."
"Gak apa-apa."
"Ya udah nanti habis dari kantor, Mas anter kesana."
"Ngomong-ngomong, Mas, gimana soal penyelidikan itu? Apakah Mas udah menemukan petunjuk?"
Wajah Evan sekali lagi menjadi sedikit pucat ketika ditanya.
"Maaf, ya Sofia. Sampai sekarang belum ada petunjuk. Soalnya tidak ada kamera CCTV disana jadi sedikit sulit menemukan petunjuknya."
"Ya, sudah enggak apa-apa. Terimakasih banyak udah mau bantuin memecahkan Kasus Kecelakaan Orang Tuaku yang bahkan Polisi aja sudah angkat tangan. Aku hanya ingin keadilan, menemukan pelaku yang bikin orang tuaku jadi seperti itu..."
"E--Enggak apa-apa. Itu kan susah tugas Mas sebagai Suamimu. Pasti suatu saat akan ketemu petunjuknya."
Evan memeluk erat Sofia, mencoba menghiburnya, barulah pergi ke kantor.
Dan sesuai janji, jadi sore itu, keduanya pergi ke Pemakaman Umum tempat orang Tua Sofia.
Menatap batu nisan kedua orangtuanya itu, Sofia mulai kembali menangis.
"Mama... Papa... Enggak kerasa kalian udah pergi meninggalkan Sofia sejak tiga tahun lalu... Maaf Papa, Mama Sofia belum bisa jadi anak yang berbakti sama kalian, bahkan sampai sekarang belum bisa mengangkap pelaku penyebab Kecelakaan itu."
Namun tidak ada suara yang menjawab, hanya ada tangisan Sofia disana. Evan masih memeluk Istrinya itu mencoba menenangkannya. Namun Sofia yang tidak tahan itu mulai menangis tersedu-sedu.
"Papa... Mama... Harusnya tidak pernah meninggalkan Sofia sendirian...."
Evan membiarkan Sofia menangis untuk melupakan isi hatinya itu. Butuh beberapa saat sampai Sofia akhirnya mulai menghapus air matanya.
"Mas, Aku mau ke kamar mandi sebentar di dekat sini. Mas tidak apa-apa tunggu disini sebentar?"
"Ya."
Sofia buru-buru kekamar mandi untuk cuci muka, sambil mencoba menghilangkan perasaan kalut dan frustasi yang ada di hatinya hari itu. Sudah tiga tahun, namun terasa baru kemarin saat kabar sebuah Kecelakaan menimpa Kedua orang tuanya.
Menurut laporan, Mobil Orang Tuanya sempat di serempet mobil orang hingga mobil itu oleng dan terjadilah kecelakaan maut itu. Namun sampai sekarang, Kasus itu di tutup dan masih tidak diketahui Identitas pelaku yang menyerempet Mobil Orang Tuanya itu.
"Tenang, Sofia... Pasti nanti akan ada petunjuk! Aku pasti akan menemukan pelaku Insiden itu!"
Sofia berbicara sambil menahan cermin didepannya, mencoba menyemangati dirinya. Merasa sudah cukup tenang, Sofia keluar dari sana dan kembali ke tempat Suaminya Evan menunggu.
Hanya saja, Sofia sempat heran ketika Suaminya Evan berkata sesuatu di depan makam Orang Tuanya.
"Maaf Nyonya Yulian... Tuan Robert.... Maaf...."
Sofia tentu kaget, dan segera menepuk pundak Evan dan bertanya dengan heran,
"Mas kenapa kok tiba-tiba minta sama orang tuaku?"
Mendengar pertanyaan itu, wajah Evan segera menjadi tegang, namun itu hanya sesaat sampai dia berkata,
"I--Itu karena Aku belum menemukan petunjuk soal kecelakaan itu, pada akhirnya Aku gagal membantu mu bukan?"
"Mas tidak boleh bicara seperti itu. Mas Evan udah cukup membantuku selama ini, jadi jangan minta maaf oke?"
Evan segera menarik Sofia dalam pelukannya, melewatkan wajahnya di bahu Sofia dan memeluknya erat.
"Kamu baik sekali padaku... Sofia."
"Itu karena Aku sangat mencintaimu, cuman Mas Evan yang Sofia cintai."
"Hmm, kamu juga satu-satunya yang paling Aku cintai, Sofia. Kamu percaya kan?"
"Kenapa bertanya hal yang sudah pasti?"
Setelah berpelukan keduanya segera pulang ke Rumah mereka. Hanya saja, malam itu Evan ijin keluar bertemu teman-temannya.
Sofia tentu saja mengijinkannya, dan tidur lebih awal.
Hanya saja, malam itu Evan kembali dalam keadaan mabuk parah. Sofia tentu segera merawatnya, namun Evan entah bagaimana terlihat sangat frustasi dan sedih, sambil bertanya pada Sofia,
"Sofia, apakah kamu mencintaiku?"
"Jangan tanya hal yang sudah pasti."
"Tapi aku masih ingin mendengar jawabanmu."
"Hah, apa-apa itu? Aku mencintaimu? Apakah kamu puas sekarang?"
"Lagi, Sofia, Aku ingin mendengarnya lagi..."
"Aku mencintaimu Mas Evan..."
"Bagus... Sofiaku, kamu selamanya akan menjadi milikku benar?"
"Benar... Aku milik Mas Evan... Sofiamu..."
Sofia tidak tahu kenapa Suaminya tiba-tiba bertingkah aneh, bahkan sampai sebelum Evan tidur dia masih meminta Sofia untuk mengulangi kata-kata sebelumnya, soal Sofia yang mencintai Evan. Sofia juga tidak terlalu memikirkannya hari itu, dan ikut segera tidur dalam pelukan Suaminya.
Sampai suatu hari hal-hal yang tidak terduga segera terjadi, ketika Sofia mendengar hal yang seharusnya tidak dia dengar.
Itu adalah hari dimana Evan memperkenalkan Sofia pada teman-temannya.
"Ini adalah Istriku, Sofia Aurelia Wijaya, Istri Evan Wiyata."
"Astaga jadi ini Istri yang selama ini disembunyikan oleh Evan? Ah, pantas saja dia tidak memperkenalkannya dan di sembunyikan, ternyata kamu secantik ini," goda salah satu teman Pria Evan.
"Azka, jaga bicaramu! Jangan membuatku malu!" Kata Evan baru saja memarahi temannya itu.
"Baik-baik, Aku akan memperkenalkan diriku dengan benar. Aku Azka Adijaya, namamu Sofia Aurelia Wijaya bener?"
"Benar, salam kenal Tuan Azka."
"Hmm, tunggu... Wijaya Aku sepertinya pernah mendengarnya di suatu tempat."
Azka terlihat sedang menggali ingatannya Dan teringat sesuatu ketika menatap ke arah Sofia lagi, sempat menujukan ekspresi terkejutnya.
"Evan... Dia itu kan--- Hphmmm"
Namun dia belum sempat bicara, dan Evan segera membungkam mulut Azka dengan tangannya, dan menginjak kakinya.
"Tunggu, Sofia, Aku ingin berbicara dengan Azka dulu sebenar."
Sofia tentu mengijinkannya, dan kemudian duduk di kursi cafe dengan santai. Dua orang lainnya pergi, dan seorang pelayan segera datang mengantarkan pesanan, sayangannya pelayan itu menumpahkan air pada rok Sofia.
"Aduh, maafkan saya Nona... Ini..."
"Tidak apa-apa, ini toh hanya kecelakaan,"
"Maafkan Saya Nona sekali lagi, mari saya antar ke Kamar mandi dan membersihkan rok nona sebentar, nanti saya ambilkan Lap,"
"Hah, baik-baik."
Sofia bukan tipe yang suka menyalahkan, jadi dia hanya segera mengikuti pelayan menuju ke kamar mandi, sedangkan pelayan segera menuju ke dapur mengambil lap setelah menujukan kamar mandi dimana.
"Nona ke sana dulu, nanti saya menyusul membawakan Lap,"
"Tentu."
Sayangnya, ketika sampai di lorong dekat kemar mandi, Sofia melihat Suaminya Evan dan Azka sedang berbicara berdua. Sofia awalnya ingin menyapa namun tidak sengaja dengan pembicaraan mereka.
"Evan? Kamu serius? Jadi menikahi gadis itu? Sofia Aurelia Wijaya? Putra dari Pak Robert dan Bu Yuliana yang Mobilnya kamu serempet dulu?"
"Diamlah!"
"Sebenarnya permainan apa yang coba kamu lakukan? Apakah kamu hanya merasa bersalah dan ingin menebus kesalahan itu dengan menikahinya?"
"Stttt... Ini bukan seperti itu..... Hanya awalnya..."
Sofia sangat syok mendengar hal-hal itu, segera menuju kearah Evan dan Azka.
"Apa Mas Evan barusan? Apa yang di katakan Azka barusan? Kamu yang menyerempet Mobil Orang Tuaku?"
"Tunggu, Sofia... Aku bisa menjelaskannya... Ini tidak seperti itu..." kata Evan dengan panik sambil mencoba meraih tangan Sofia, namun Sofia menepis tangan itu.
Hati Sofia terasa sangat hancur ketika mendengar semua kenyataan pahit itu. tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya orang yang paling dia cintai itu ternyata pelaku dari perenggut nyawa orang tuanya.
Apakah selama ini Evan membohonginya?
Dia menikahinya karena rasa bersalah?
Apakah itu juga alasan kenapa Suaminya tidak ingin memiliki anak dengannya?
Karena Suaminya hanya merasa bersalah padanya dan tidak pernah mencintainya?
Apakah selama ini semuanya hanya kebohongan?
Sofia dilanda rasa panik memikirkan semua kemungkinan itu. Sampai akhirnya dia pingsan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!