NovelToon NovelToon

Pelampiasan Hasrat Suami Kejam

PHSK 1

Citara Anindyaswari, wanita berusia 20 tahun yang berprofesi sebagai tukang bersih-bersih di sekolah elit. Pagi ini Citara sudah siap untuk berangkat ke sekolah tempat ia bekerja.

Baru saja kakinya melangkah keluar dari kamar, suara teriakan sang ibu sudah menguar hingga ke penjuru rumah sepetak yang menjadi tempat mereka berteduh.

"Ara!" teriak Cahyati, ibu tiri Citara.

Citara buru-buru ke asal suara, hampir saja ia terjatuh karena terpentok kursi kayu yang berada tak jauh darinya.

"Hosh hosh iya, Bu?" tanya Citara dengan napas tersenggal-senggal.

"Kau lihat! Tidak ada makanan di bawah tutup sangi ini! Di mana otakmu ha?! Kakak mu mau pergi kuliah, dia harus sarapan pagi!" maki ibu Cahyati sembari mendorong-dorong kening Citara dengan jari telunjuknya.

Tiba-tiba suara lain muncul di antara makian dari ibu tiri Citara. Siapa lagi jika bukan Amira, perempuan berusia 22 tahun yang menjadi kakak tiri Citara.

"Apa dia membuat masalah lagi, Bu?" tanya Amira dengan bersedekap dada.

"Ya, anak ini selalu saja membuat ibu emosi. Untung saja lusa dia akan dibawa oleh orang yang membelinya," ucap ibu Cahyati dengan nada sinis.

Mata Citara membelalak lebar begitu mendengar ada orang yang akan membelinya. Apa yang baru saja dilontarkan oleh mulut ibu tirinya membuat seluruh tubuh Citara bergetar.

Bahkan, untuk menggerakkan bibir saja Citara merasa begitu kesulitan, lidahnya terasa kelu. Tidak! Ia tidak ingin dijual.

Citara mengigit bibir bawahnya sembari menahan air mata yang berdesakan ingin ke luar. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan menarik napas panjang sejenak.

Ia harus membujuk ibu tirinya. Ya! Harapan agar hati ibu tirinya luluh begitu besar.

"Bu, tolong jangan jual Citara, bulan ini Citara gajian. Citara janji gaji kali ini sepenuhnya milik ibu dan kakak." Wanita malang itu memohon ke pada dua orang berhati jahat yang tidak menghiraukan permohonannya.

Ibu Cahyati bersedekap dada dengan dagu naik ke atas. Tatapan penuh keangkuhan dirinya layangkan pada Citara.

Amira turut mengikuti apa yang ibunya lakukan terhadap Citara. Bahkan, dirinya berdecih di depan wajah sang adik tiri.

"Gajimu yang tidak seberapa itu lebih besar dari penawaran orang yang membelimu. Lusa dia akan datang, jadi bersiaplah. Hari ini tidak usah pergi berkerja. Amira! Kunci dia di kamar!" seru ibu Cahyati.

"Siap, Bu!" Amira langsung mengindahkan seruan sang ibu. Ia menarik tangan adik tirinya dengan kuat.

Citara menangis, dadanya terasa sangat sesak mendengar penuturan sang ibu.

Air mata Citara mengalir dengan begitu deras. Ia meronta-ronta dan menoleh ke pada sang ibu, berharap ada sedikit saja belas kasih untuknya.

"Bu, Citara mohon jangan jual Citara," pinta Citara dengan wajahnya yang memerah.

"Berisik!" Amira mendorong kuat tubuh adik tirinya hingga terjerungup ke atas lantai kamar yang dingin.

Amira mendekat ke arah Citara, ia menyamakan tingginya dengan sang adik tiri.

"Kau tidak perlu menolak begini, yang menikahimu itu orang kaya!"

Mata Citara yang basah menelisik tepat pada netra sang kakak.

"Kalau begitu kenapa bukan kakak saja yang menikah dengannya," sahut Citara dengan suara bergetar.

Amira mendelikkan matanya dengan tajam, hidung wanita itu tampak mengembang, dengan ringan Amira mengangkat tangannya, lalu mengayunkan tangan itu dengan penuh tenaga.

PLAK!

"Berani kau melawan! Asal kau tahu, aku tidak sudi menikah dengan pria tua!" murka Amira.

Citara memegangi pipinya yang terasa panas akibat dari tamparan yang dilayangkan oleh sang kakak di wajahnya, ia hanya bisa menangisi nasib buruk yang menimpanya terus-menerus.

Napas Citara tersenggal-senggal diiringi dengan suara isakan pilu yang tidak mampu meluluhkan kedua hati keluarga Citara.

"Selamat menjadi istri pria tua, Adikku sayang. Ha-ha-ha." Amira melangkahi kaki Citara, lalu membanting pintu serta menguncinnya.

Citara hanya bisa menangis sambil menekuk kakinya, wanita malang itu sudah merasakan keperihan ini semenjak ayahnya menikah lagi dengan ibu Cahyati. Ayahnya yang memang sedari awal tak perduli dengannya membuat ibu serta kakak tirinya lebih leluasa dalam menindas.

***

Hari yang tidak dinantikan pun tiba, sebuah mobil mewah terparkir di depan rumah Citara. Wanita berkulit kuning langsat itu menggenggam tangan sang ibu, namun ibu Cahyati langsung menepisnya.

"Permisi, siapa yang akan ikut bersama saya?" Pria yang hampir menginjak kepala lima itu bertanya, sebab di kanan dan kiri ibu Cahyati ada dua wanita muda.

"Dia, Pak!" Tunjuk Amira ke arah adik tirinya.

Citara hanya bisa menunduk pasrah, mungkin inilah jalan hidupnya. Menikah dengan orang yang lebih pantas dipanggil paman.

"Ini uangnya, sesuai dengan perjanjian."

Ibu Cahyati menerima map coklat berisi uang tersebut dengan senang hati. Amira turut mengintip map yang dibuka oleh ibunya. Citara hanya mampu tersenyum miris, ia benar-benar seperti barang yang diperjual belikan.

"Baiklah, ayo kita pergi Nona," ucap Pria berjas hitam.

Citara mengangkat tas punggung yang berisi baju-bajunya. Ia mengikuti pria bejas hitam itu dari belakang, sesekali Citara menoleh ke arah ibu dan kakak tirinya. Kedua orang itu tidak menghiraukan ia yang pergi dan malah sibuk dengan uang hasil menjual dirinya.

Kepala Citara terus menunduk sepanjang perjalan, ia tidak tau akan dibawa ke mana. Pria di sebelahnya juga hanya diam tanpa kata, sesekali mengeluarkan suara untuk memberi perintah ke pada supir.

"Kamu masih bersekolah?"

Citara tersentak kaget, pria di sebelahnya tiba-tiba bertanya ke padanya. "T-tidak, Pa ...," jawab Citara kebingungan harus memanggil apa.

"Panggil saja saya Paman Arya."

Kepala wanita itu mengangguk, ia tak berani menoleh ke arah pria yang bernama Arya itu.

Drt!

Arya merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya yang berdering. "Baik, Tuan. Apartemen kosong, di rumah ada kedua anak tuan."

Citara melihat paman Arya yang sedang berbicara dengan orang yang menelfonnya. Ia dapat mendengar suara berat dari sebrang sana.

"Kenapa?"

Wanita itu gelagapan dan kembali menunduk, ia tertangkap basah. "T-tidak Paman, ma-maaf."

Arya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pak, kita ke apartemen."

"Baik, Pak Arya," jawab supir tersebut.

Tidak butuh waktu lama, mobil mewah yang mereka naiki sudah tiba di tempat yang mereka tuju. Kepala Citara menoleh ke kanan dan ke kiri, sungguh asing baginya tempat sebagus ini.

"Ayo nona ikuti saya," seru Arya.

Citara nengikuti langkah pria di depannya, mereka menaiki lift dan berhenti di lantai tertinggi.

"Kenapa sepi sekali? Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan," batin Citara.

Pria yang bernama arya itu menelfon seseorang, lalu tak lama kemudian pintu terbuka.

"Silahkan masuk nona. Saya pamit, Tuan." Arya membungkukkan badannya, lalu pergi meninggalkan Citara bersama pria berwajah kaku yang ada di hadapannya.

"Masuk!" perintah pria itu dengan suara beratnya.

"E-eh iya." Citara masuk ke dalam apartemen yang bernuansa monokrom.

Wanita itu menggenggam kuat tas ranselnya, ia menunduk ketakutan. Pria di hadapannya lebih dingin dari paman Arya.

"Duduk!" Pria berusia 40 tahun itu kembali memberi perintah ke pada Citara.

Citara yang ketakutan hanya bisa menuruti setiap perintah yang keluar dari mulut pria tampan di hadapannya.

"Kau tau kenapa dirimu ada di sini?" tanya pria itu.

Kepala Citara menggeleng, ia tetap menundukkan kepalanya. Dirinya tidak memiliki keberanian untuk menatap lawan bicara yang duduk di hadapannya.

"Angkat kepalamu!"

Citara mengangkat kepalanya perlahan, satu pemandangan yang sangat jarang ia temui. Wajah tampan, garis rahang yang tegas, walau terlihat sedikit garis-garis halus di sekitar sudut mata pria itu.

"Kita menikah hari ini! Tapi ingat! Kau hanya menjadi ibu untuk anakku, tidak lebih dari itu!"

Mata Citara mengerjap beberapa kali, wanita berkulit kuning langsat itu tak menyangka ia akan dijadikan sebagai seorang istri oleh pria dingin di hadapannya. Dan lagi, pria itu sudah memiliki anak.

"P-pak," panggil Citara dengan gugup.

"Tuan, panggil aku Tuan Varen!" tekan pria itu.

Citara terhenyak mendengar ucapan Varen, Tuan? Itu artinya dia hanya menjadi pembantu untuk keluarga Varen.

Bersambung ....

Hai-hai zeyeng😊 ini adalah karya lama Othor yang pernah Othor up di NT.

PHSK 2

Tak pernah terbayang oleh Citara menikah dengan pria yang umurnya cukup jauh dari dirinya. Citara mengetahui itu saat ia memberanikan diri untuk bertanya pada Varen.

"Hari ini aku akan membawamu ke rumah utama," ucap Varen dingin.

Lagi-lagi Citara menjawab ucapan pria yang baru saja menikahinya dengan anggukkan kepala. Sungguh pernikahan kilat, mereka menikah tanpa persiapan, tanpa baju pengantin, hanya sebuah cicin sederhana yang Citara tak tau berapa harganya.

Wanita itu mengikuti langkah Varen menuju ke sebuah mobil mewah yang hanya bisa dimasuki oleh dua orang. Keduanya masuk ke dalam mobil Lamborghini Aventador LP 720-4, yaitu salah satu koleksi mobil milik Varen.

Mata Citara memperhatikan mobil yang ia naiki dengan tatapan kagum. Baru kali ini ia bisa duduk di mobil sebagus ini. Tatapan mata Citara tidak berhentik menelisik ke sekitarnya.

"T-tuan ...."

"Jangan banyak bicara!" potong Varen dengan ketus.

Citara terdiam, wanita itu menunduk takut. Ia tak lagi berani mengeluarkan suara. Bahkan, untuk bernapas saja dirinya harus berhati-hati.

Kepala Citara terangkat saat mobil tak lagi melaju. Ia menatap kagum ke arah bangunan yang lebih mirip istana di matanya.

"Turun!" perintah Varen dengan suara dinginnya.

"B-baik, Tuan." Citara tergagap, wanita itu turun dari mobil mengikuti perintah dari suami yang ia panggil dengan sebutan 'tuan'.

Begitu turun dari mobil, Citara bergidik ngeri melihat beberapa pria bertubuh kekar dengan pakaian serba hitam yang berdiri seperti patung tepat di pintu masuk.

Sebuah pertanyaan muncul dibenak Citara. Pria seperti apa yang menjadi suaminya saat ini? Mengapa sampai ada penjaga yang banyak. Apakah dirinya menikahi seorang presiden?

Citara mengikuti langkah suaminya yang berjalan dengan dada membusung dan dagu naik ke atas. Sombong dan otoriter, itulah yang ada di pikiran Citara mengenai suaminya.

"Tuan, Nona Muda menolak kehadiran nyonya Citara. Guci-guci yang ada di kamar nona muda semuanya pecah," ucap salah satu maid yang berkerja di mansion milik Varen.

Citara terhenyak mendengar ucapan wanita yang berpakaian serba hitam putih. Wanita yang baru saja menikah itu langsung mendapat penolakan dari anak suaminya.

Tidak dapat dibayangkan olehnya bagaimana hari-hari yang harus dilewati kedepannya. Yang pasti terasa sangat berat dan tidak mudah.

Dan, kenapa mereka tau nama dirinya? Apa mungkin pernikahannya sudah diumumkan terlebih dahulu oleh pria berwajah dingin ini.

"Hmm, aku akan menemui putriku. Kau! Antar wanita ini ke kamarnya!" perintah Varen pada salah satu maid.

"Baik, Tuan." Maid itu menunduk patuh.

"Mari, Nyonya saya antar."

Citara menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sangat aneh bagi dirinya dipanggil nyonya seperti itu.

Lihat saja, pakaian yang dikenakan maid lebih baik dari pakaian yang ia kenakan. Warna yang sudah pudar, ada beberapa benang yang mulai renggang. Sungguh dirinya tidak pantas dipanggil nyonya.

Kaki Citara masih menapak di tempat yang sama, ia tampak larut dalam pikirannya sehingga tidak menyadari jika saat ini Varen tengah menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin.

"Kau tuli?!" hardik Varen.

Citara tersadar dari lamunannya, ia langsung mengkuti maid yang diperintahkan oleh Varen.

"Dia adalah monster salju," batin Citara.

Ketika masuk ke dalam mansion, Citara langsung dibuat terpanah dengan kemegahan yang membalut bangunan ini. Tak hanya luarnya saja, dalamnya juga luar biasa mewah.

"Wah ada lift-nya," gumam Citara tanpa sadar.

Layaknya orang kemaruk, Citara terus memindai matanya ke setiap sudut jalan yang dilaluinya.

"Silahkan masuk, Nyonya." Maid itu mempersilahkan Citara untuk masuk terlebih dahulu.

Citara membawa langkahnya ke dalam lift, lalu disusul oleh maid itu.

"Panggil Citara saja," ucap Citara dengan mengulas senyum manisnya, lesung pipi wanita itu begitu kentara setiap kali bibirnya melengkung.

Kaki Citara bergerak mundur, menyamakan jarak dengan maid yang kini menjadi berada di sampingnya. Ia risih ketika Maid yang mengantarnya itu berdiri di belakangnya.

Ia belum terbiasa diperlakukan dengan sedemikian rupa.

"Nyonya jangan seperti ini, nanti saya yang akan mendapat hukuman dari tuan." Kepala Maid itu menunduk sopan.

Reflek Citara menolehkan kepalanya ke arah maid yang memancing rasa penasarannya.

"Hukuman?" tanya Citara.

Cting!

Pintu lift terbuka, mereka tiba di lantai tiga. Mata Citara menatap ke sekeliling jalan yang ia lalui. Tidak hanya di luar, di dalam juga bayak pria berbaju serba hitam.

Ia jadi semakin penasaran apa pekerjaan suaminya hingga bisa punya rumah semewah ini dan memiliki banyak penjaga.

"Silahkan masuk, Nyonya. Ini kamar nyonya dan di sebelah adalah kamar tuan. Apakah ada yang nyonya butuhkan sebelum saya pergi?" tanya maid itu dengan tubuh sedikit membungkuk.

Tubuh Citara tersentak dengan pupil mata melebar, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Emmm ...." Citara menggaruk kepalanya merasa bingung.

"Nyonya bisa memanggil saya Rani," ucap maid berumur 28 tahun itu yang mengerti akan kebingungan nyonya-nya.

"Kalau Citara boleh tau, pekerjaan tuan Varen apa ya?" tanya Citara dengan suara berbisik sembari menatap ke sekeliling. Jangan sampai manusia yang mirip patung ini mendengar ucapannya.

"Maaf, nyonya bisa tanyakan pada tuan secara langsung nanti. Apakah ada lagi yang nyonya butuhkan?"

Citara menggeleng lesu, percuma saja bertanya di sini. Pasti seluruh penghuni di rumah yang besar ini patuh pada pria dingin yang sudah menjadi suaminya.

Di tengah kekesalannya, Citara dibuat terkejut ketika maid itu menutup pintu, dan yang membuat wanita itu heran adalah ... kenapa pintunya harus di kunci?

"Hah! Kenapa ibu tega menjualku dan membuatku masuk ke tempat aneh ini," keluh Citara.

Ia mendekati ranjang besar berselimutkan seprai putih yang rapi. Ia mengeluarkan semua pakaian yang ada di tas ranselnya.

"Di mana lemari bajunya?" tanya Citara pada dirinya sendiri.

Wanita itu menyusuri kamar yang begitu luas. Bahkan, kamar yang ia tempati sekarang lebih besar daripada rumah sepetak milik ayahnya yang sudah dikuasai oleh ibu dan kakak tirinya.

Kaki Citara terus melangkah, ia seperti sedang melakukan tour saja. Mulutnya sesekali berdecak kagum saat mendapati ruangan di dalam kamarnya yang begitu mewah.

"Pintu apa ini? Yang tadi kamar mandi, terus yang ini apa ya?" Citara menyentuh handle pintu dengan perlahan.

Untuk mengakhiri rasa penasarannya, tangan Citara terulur ke arah handle pintu. Perlahan ia membuka pintu itu, begitu pintu terbuka Citara dibuat terkagum dengan sesuatu yang ada di balik pintu, ada berbagai lemari yang cantik.

Di tengah-tengah ruangan ini terdapat meja kaca yang di dalamnya berisi berbagai perhiasan yang dilengkapi dengan permata indah.

"Aku letakkan bajuku di sini saja," ucap Citara bermonolog.

Wanita itu membawa bajunya ke ruangan mewah yang berisi berbagai barang branded. Ketika Citara membuka lemari yang paling besar ukurannya, wanita itu menatap isi lemari di depannya dengan mulut menganga.

Baju, gaun dan pakaian lainnya berjejer rapi. Citara jadi sungkan meletakan pakaiannya di dalam lemari ini dan malah mengganggu keindahan pakaian lainnya.

"Aku letakkan di samping ranjang sajalah." Citara memasukkan pakaian-pakaiaannya kembali kedalam tas.

Deg!

Begitu selesai memasukkan kembali pakainnya, Citara membalik badan berniat ke luar dari tempat yang berhasil membuatnya merasa tidak pantas.

Jantung Citara berdentum hebat, dirinya kaget akan kehadiran Varen yang tiba-tiba. Wanita itu mulai ketakutan, ia khawatir pria dingin yang ada di hadapannya marah karena dirinya sudah lancang masuk ke tempat ini.

"M-maaf, Tuan." Citara menunduk takut.

"Buang baju lusuh yang kau bawa! Semua yang ada di dalam ruangan ini milikmu!" ucap pria itu dengan datar.

Citara mengangkat kepalanya dengan ragu, ia tak tau harus mengatakan apa.

"Aku mau melihatmu memakai salah satu pakaian yang ada di dalam lemari itu." Varen bersedekap dada, pria itu menatap wajah Citara dengan datar.

"Cepat!" Teriak Varen saat tidak mendapat jawaban dari wanita di hadapannya.

Tubuh Citara tersentak kaget. Bahkan, tas ransel yang ia pegang sampai terjatuh ke atas lantai.

Bersambung ....

PHSK 3

Citara buru-buru melangkah ke lemari yang sempat ia buka tadi. Wanita itu menatap deretan baju dengan bingung, semua pakaian bagus itu terlihat sangat pendek dan jika dipakai pasti membentuk tubuh.

"Pakai ini!" perintah Varen tiba-tiba.

Entah sejak kapan Varen berada di belakang Citara. Pria yang mirip monster salju itu mencengkram pundak Citara lalu memutar tubuh wanita itu menjadi ke hadapannya.

Citara bergidik ngeri menatap baju tanpa lengan yang ada di tangan Varen.

Wanita berlesung pipi itu mengambil kain kurang bahan yang disodorkan oleh suaminya dengan wajah tanpa ekspresi.

"Tuan, saya izin ganti baju di kamar mandi," ucap Citara menunduk takut.

"Ini tempat mengganti pakaian. Kenakan di sini, di hadapanku!" Cengkraman tangan Varen di bahu Citara kian menguat.

Wanita berlesung pipi itu sampai meringis kesakitan akibat cengkraman kuat yang ia rasakan.

Akan tetapi, tampaknya Varen tidak memperdulikan hal itu dan malah semakin memperdalam tekanan tangannya pada bahu Citara.

"T-tapi, Tuan." Lutut Citara bergetar hebat.

Citara enggan memakai pakaian super sexy itu, dengan jantung yang berdetak hebat Citara memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan menatap mata suaminya.

Pria berusia 40 tahun itu beralih mencengkram kedua pipi Citara. Citara meringis kesakitan, rasa takut mendominasi perasaan Citara.

Sangking takutnya ia tidak berani membuka mata, sebab mata Varen menatapnya dengan tatapan membunuh.

"Kau sudah kubeli, seluruh yang ada ditubuhmu itu milikku. Jadi kau tidak punya hak apa pun dan aku bebas melakukan segala hal pada tubuh ini! PAHAM!" teriak Varen di akhir kalimatnya.

Tubuh Citara bergetar hebat, perasaannya benar-benar tak karuan, ia semakin memejamkan matanya dengan kuat. Sebulir air mengalir dari mata yang terpejam itu.

"Cepat ganti bajumu!" Varen menghempaskan cengkraman tangannya pada kedua pipi Citara dengan kasar sampai wanita itu terhuyung ke kiri.

Dengan menahan tangis Citara melepas kaus yang ia kenakan, ia masih memejamkan matanya. Betapa malangnya nasib yang kini membelenggu Citara.

Kini tangan Citara membuka celana kulot yang ia kenakan dengan tangan gemetar, hanya tersisa dua benda penutup yang melindungi aset penting wanita itu.

"Buka matamu," perintah Varen dengan nada rendah.

Mau tak mau Citara membuka matanya dengan perasaan takut, saat kelopak mata indah itu terbuka, tatapan mata Citara langsung menangkap wajah Varen yang menatapnya dengan datar.

Spontan Citara menutupi tubuhnya dengan menyilangkan tangan di tempat yang sensitif. Ia buru-buru mengenakan pakaian yang dipilihkan oleh monster salju berwujud manusia.

"Nice, sekarang ikut aku!" Varen langsung melangkah pergi begitu memberi titah ke pada Citara.

Citara hanya mampu mengikuti segala perintah dari Varen yang sudah membelinya. Sunggu ia merasa sedih dan tidak memiliki harga diri. Bahkan, ia tidak punya hak atas tubuhnya lagi.

Jika ia bisa memilih, maka dirinya lebih memilih dijadikan ibunya sebagai sapi perah yang bekerja tanpa kenal waktu daripada menjadi istri seorang Varen.

Langkah kaki Citara mengikuti ke mana Varen berjalan, pria itu berhenti di kamarnya, lebih tepatnya Varen duduk di salah satu single sofa yang ada di kamar itu.

"Sekarang menarilah!" perintah pria itu dengan wajah datar.

Hati Citara rasanya menciut, ia menarik napas dengan susah payah. Menari? Sungguh apa yang diperintahkan oleh Varen barusan membuat tenggorokannya tercekat.

"T-tapi Tuan ... saya tidak pandai menari," jawab Citara dengan rasa takut yang teramat besar.

"Menari atau kuhukum!" ucap Varen dengan menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Deg! Deg! Deg!

Debaran jantung Citara tidak karuan, dengan terpaksa wanita itu mulai menggerakkan tangannya, Citara bergerak ke sana dan ke mari.

Ia meliuk-liukkan tubuh bak penggoda, pinggangnya ia hentakkan ke kanan dan ke kiri.

Tak sengaja mata Citara bersitatap dengan mata Varen yang sedang menyaksikan setiap gerakannya, buru-buru Citara mengalihkan penglihatannya.

"Gerakkan pinggulmu lebih kuat!"

Pria di hadapannya benar-benar suka memerintah. Citara kembali melakukan setiap titah yang keluar dari mulut Varen. Wanita itu menggerakkan pinggulnya dengan kaku.

Baju yang membungkus ketat tubuhnya menambah kemolekkan lekukan badan Citara yang memang bagus.

Varen menyalakan cerutunya. Ia menghisap lalu menghembuskan asap itu dengan santai. Sementara itu, Citara mulai lelah karena terus meliuk-liukkan tubuhnya di hadapan Varen.

Bulir keringat mulai membanjiri wajah serta tubuh Citara.

Bugh!

Citara terjatuh lemas di atas lantai dengan kedua tangan menjadi penyanggah tubuhnya. Kaki Citara begitu terasa pegal. Namun, dengan tak punya hati Varen memaksa Citara untuk kembali berdiri.

"T-tuan izinkan saya istirahat sebentar saja," pinta Citara dengan wajah memohon.

"KEMBALI MENARI!" teriak pria yang tidak ingin dibantah itu dengan wajah yang tetap datar.

Tangan Citara membantu tubuhnya untuk bisa kembali berdiri, ia menahan lelah fisik dan batin yang ia rasakan. Padahal baru satu hari ia menjadi istri. Ah! Lebih tepatnya budak pria itu. Tetapi, rasanya sudah seperti beribu tahun lamanya.

Citara menghabiskan waktunya untuk menari selama tiga jam, ia berhenti saat melihat mata Varen sudah tertutup.

"Apa Tuan sudah tertidur?" batin Citara bertanya.

Wanita itu menghela napas lega, ia merasa ini adalah kesempatan emas untuk kabur dari penjara mewah yang mengurungnya.

Dengan hati-hati Citara melangkahkan kakinya menuju pintu kamar. Ia menekan handle pintu dengan gerakan perlahan agar tidak membangunkan monster salju yang sedang tertidur.

"Terima kasih, Tuhan," ucap Citara dalam hati dengan rasa bersyukur.

Pintu kamarnya tidak dikunci dan hal itu membuat secercah harapan Citara kembali bersinar, perlahan wanita itu membuka pintu.

"Selangkah lagi kau bergerak, kakimu akan kupatahkan!" Sebuah suara dengan aura dingin membuat tubuh Citara merinding.

Wanita itu menoleh ke belakang, Varen masih duduk di single sofa dengan memejamkan mata. Citara tak menghiraukan ucapan pria itu dan memilih untuk berlari dengan kencang.

Baru saja ia keluar dari pintu kamarnya dan hendak berlari ke luar kamar. Namun, para penjaga berseragam hitam sudah siap sedia menghadang langkahnya.

"Saya mohon bantu saya untuk keluar dari sini." Dengan berlinang air mata Citara memohon pada penjaga yang tidak memberikannya akses untuk keluar.

"Seret dia ke hadapanku!" titah Varen yang masih berada di tempat yang sama, yaitu single sofa.

Tanpa kata para pria berseragam hitam itu menyeret tubuh Citara untuk kembali menghadap ke pada tuan mereka. Citara yang diseret terus meronta-ronta.

Varen membuka matanya, ia memberikan kode ke pada para anak buahnya untuk ke luar dari kamar Citara, dan saat detik itu pula mereka keluar dengan cepat.

"Berani kau melawan perintahku!" Teriak Varen di depan wajah Citara.

Wanita itu menangis ketakutan, berulang kali ia mengucapkan maaf dengan bibir bergetar.

"Hukuman apa yang pantas untuk wanita sepertimu?!" Varen menjambak kasar rambut hitam Citara.

"Auh! Ampun tuan, maafkan saya, ampun." Tangan Citara berusaha melepaskan tangan Varen yang menarik rambutnya.

Kepala Citara mendengak ke atas sangking kuatnya Varen menarik rambutnya.

"Ada harga untuk sebuah kata maaf," ujar pria itu dengan dingin.

Kepala Citara mengangguk pelan karena rambutnya masih berada dalam genggam pria berhati dingin itu.

"Saya janji akan membayarnya tuan, saya akan bekerja untuk mengumpulkan uangnya," ucap Citara dengan terisak.

"Aku tidak butuh uang!" sentak Varen

"Bagaimana jika jari kakimu saja yang jadi bayarannya? Emm sepertinya akan menarik!" guman pria itu dengan berpura-pura berpikir.

Tubuh Citara lemas begitu mendengar kata 'jari kaki' Pria yang membelinya benar-benar monster. Hati wanita itu menjerit ketakutan.

Dia berharap bala bantuan datang untuk menolongnya agar terlepas dari kekejaman Varen.

"Saya mohon jangan lakukan itu, Tuan." Citara mengatupkam kedua tangan di depan dada dengan terisak takut.

Bukannya menjawab, Varen malah mengangkat salah satu sudut bibirnya.

Untuk pertama kalinya Citara melihat ekspresi wajah Varen yang berbeda. Sebuah senyum, senyuman devil.

"Time to show. HA-HA-HA!" Pria itu tertawa jahat.

Citara semakin ketakutan dan menangis dengan kencang saat dirinya di seret paksa.

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!