NovelToon NovelToon

Pengantin Raja Iblis

Terdampar di alam lain.

Vio, seorang penulis amatiran berbakat, telah menciptakan beberapa judul novel sukses di berbagai platform online.

Jari lentiknya selalu menari di atas keyboard laptop atau kadang-kadang bergerak gesit di layar ponsel.

Dalam tiga tahun lebih, dunianya terperangkap dalam kata-kata, melupakan realita kehidupan sehari-hari, sampai-sampai orang menjulukinya sebagai 'Jomblo Akut dan Perawan Tua.'

Karena sebetulnya, ia begitu bukan tanpa alasan, ia juga sebenarnya ingin seperti orang lain, akan tetapi keberuntungan dalam urusan asmara tak berpihak padanya.

****

"Mengapa terus begini, Vio? Saatnya kamu mencari pendamping hidup. Lihatlah teman-teman seusiamu, mereka sudah memiliki keluarga!" protes Bu Alina, mencoba menyadarkan putrinya yang hampir kepala tiga.

Sampai saat ini fisiknya hampir tak berubah, Vio tetap terlihat muda dan menggemaskan.

"Ah, berisik!" keluhnya, kesal mendengar ocehan sang ibu soal kehidupan asmara.

Vio pernah beberapa kali menjalin asmara. Namun, ia selalu gagal dan gagal, kerap di selingkuhi, dan sering kali menjadi korban ghosting dari mahkluk yang dinamakan 'Pria,' sampai-sampai ia muak dengan yang namanya "CINTA."

Dalam usahanya melepaskan kekecewaan, Vio mencurahkan segala luka lewat karya tulisnya, kendati belum menghasilkan banyak uang, tetapi dilakukannya dengan tulus karena cinta pada hobi dan kesenangan.

Vio, ingin menghindari ocehan sang ibu, masuk ke dalam kamar dan membuka laptopnya kembali, benda yang selalu menjadi sahabat setia dalam kesendirian dan kesepian.

Senyumnya merekah ketika membaca komentar-komentar pembaca yang memantik semangatnya untuk terus menulis.

Namun, tiba-tiba lelah menyerang. Matanya berat, tubuh menggeliat, mengajaknya ke tempat tidur untuk segera berbaring.

Sebelum melemparkan jiwanya ke alam mimpi, kesadaran masih menyusup. Ia merenungi nasib kehidupannya saat ini.

"Mungkin lebih baik aku mati saja, supaya bebas dari beban kewajiban mencari pendamping hidup. Aku muak terus menerus di singgung soal itu!" pikirnya dengan kalimat penuh emosi, lalu membalik tubuhnya dan kini dalam posisi terlentang, pandangannya lurus menatap ke arah langit-langit kamar dengan penerangan temaram.

"Aku sudah mati rasa untuk urusan asmara, tetapi Mama... mengapa terus mendesak aku untuk segera menikah? Pacar saja tidak punya, apa lagi calon!" Kerisauan merefleksikan wajah Vio, mewakili kebingungan yang ia rasakan.

Hingga terhempas ke alam mimpi, Vio mendapati dirinya berada di tempat asing, diantara deretan rumah mewah yang terletak di kanan dan kiri. Matanya mengerling ke sekeliling dengan ekspresi takjub luar biasa.

"Dimana aku?" gumamnya penuh kebingungan di luar batas, melangkah ke sudut lainnya.

Tiba-tiba, ia berpapasan dengan se sosok pria bertubuh tinggi, berbadan tegap, berparas rupawan dengan rahang tegas, bentuk wajah v shape, dan sorot mata kecil memicing tajam yang begitu menawan.

"Hei, halo..." Vio merasa jika ia benar-benar sedang berada di alam mimpi, dengan berani menyapanya penuh harapan.

Namun, sosok tampan berjubah hitam itu hanya menoleh dengan wajah geram seakan tak menyetujui kehadiran Vio, lalu sosok tampan itu melanjutkan langkahnya tanpa mempedulikan gangguan asing di sekitarnya.

Vio mencoba mengejar, hingga tubuh mungilnya menabrak punggung tegap sang pria.

Dengan tinggi badan sekitar 189 cm, tubuh atletis, dan kulit putih cenderung pucat.

Sosok itu terlihat sangat mengesankan, benar-benar idaman, melebihi ketampanan manusia yang ada di muka bumi ini, tak bisa di jelaskan dengan kata-kata dan ilustrasi.

Vio memberanikan diri menggenggam tangannya.

"Lepas!" Sang pria menghempaskan tangannya secara kasar, seakan tubuhnya merupakan sebuah benda mahal yang tak bisa di sentuh oleh siapapun.

"Kamu ini mengganggu sekali!" bentaknya tanpa ramah sedikitpun.

"Dasar, laki-laki sombong!" cibir Vio, melontarkan umpatannya, mencerminkan keberaniannya yang tak tergoyahkan.

...

Sinar matahari menyusup ke dalam jendela kamar Vio saat eksistensi pagi mulai terasa. Hangatnya menyapa, menyilaukan indra dengan kehadirannya yang membangunkan. Vio menggeliat malas, mulutnya menguap lebar, dan matanya bergerak perlahan membuka pandangan samar.

"Ah, ternyata hanya mimpi," gumamnya sambil bangkit dari tempat tidur. Duduk dengan memeluk bantal, ia memikirkan sosok pria tampan dalam mimpinya. "Dia begitu sempurna," bisiknya, tersenyum sambil memikirkan kilas balik indah dari pertemuan imajiner mereka.

Vio meraih ponselnya, membuka aplikasi novel untuk melihat perkembangan karyanya.

Dalam sinar pagi yang memeluknya, dia tersenyum, membayangkan bahwa meskipun mimpi, pengalaman itu memberinya inspirasi baru.

Dengan tekad membuat karya baru, Vio mulai merancang sinopsis, merangkai kata-kata untuk pembuka, dan membentuk blurb yang memikat. "Judulnya apa ya?" batin Vio, jemari lentik itu tak lepas dari ponsel yang erat digenggamnya.

Sambil menatap awan-awan yang beriringan di langit biru melalui kaca jendela kamar, Vio tiba-tiba merasa terilhami. "Ah, bagaimana kalau judulnya 'Dia Bersamaku'? Judul yang singkat dan menarik," pikirnya, senyum muncul di sudut bibirnya yang merenggang.

Tanpa ragu, ia mulai mengetik judul itu, setiap huruf terasa menjadi langkah pertama menuju karya baru yang mungkin bisa menarik hati para pembacanya.

Suara ketukan pintu bergema, namun Vio tetap enggan membukanya, terfokus pada setiap kata yang tercipta di pikiran. Panggilan itu ia abaikan begitu saja.

"Vio, sudah jam 10 pagi, matahari semakin tinggi, tapi kamu masih di dalam kamar! Dasar pemalas!" Ocehan yang selalu mengusik keasyikan hobinya menjadi mantra yang tak terelakkan.

Setelah 3 tahun yang lalu keluar dari pekerjaan karena masalah internal, Vio tidak lagi bekerja dan masih mencari pekerjaan yang sesuai dengan passion-nya, menggeluti hobi seorang diri.

Sang Ibu, jengah dengan ketidakpatuhan Vio, terus menggedor pintu dengan kasar, membangkitkan emosi dalam darah Vio yang tengah asyik dalam dunianya sendiri.

Gadis itu memekik kesal, menghentikan aktivitasnya. Mata dan jarinya terasa pegal setelah setengah jam mengetik naskah yang pada akhirnya, terasa sia-sia tanpa hasil yang berarti.

Dengan geram, ia membanting ponselnya, menghela napas, dan beranjak. Vio membuka pintu dengan rasa ingin tahu tentang ketukan yang mengganggu.

Tapi, tiba-tiba, terasa tamparan keras mendarat di pipinya.

"Vio, usiamu hampir 30 tahun, tapi kelakuanmu masih kekanak-kanakan dan tak jelas!"

Wajah Vio terhempas ke kiri, mengusap permukaan pipinya yang perih akibat sentakan keras sang Ibu.

"Aah, sakit!" Vio bergumam, rasa putus asa terasa tak terlukiskan.

Sang Ibu memberikan ancaman yang menusuk hati, berencana mengirimnya kepada Paman dan Bibi, tempat yang Vio tak ingin kunjungi. Keduanya adalah orang religius dan pekerja kasar, kontras dengan karakter dan passion Vio.

"Aku tidak mau, Ma!" tolaknya dengan tegas. Namun, tatapan mata sang Ibu menusuk bagai belati yang hendak menjatuhkannya ke dalam jurang nestapa.

"Kamu bikin malu keluarga, hidupmu tak jelas, nggak bisa membanggakan orangtua! Lihat sepupumu, semuanya udah berkeluarga. Kapan giliran kamu? Usiamu udah semakin tua!" papar sang Ibu, merendahkan semangat Vio yang tadinya tegar. Vio hanya bisa menelan liurnya kasar mendengar pemaparan yang tak memahami perasaannya.

"Mama pikir cari pasangan itu gampang?" kedua mata Vio memicing tajam, dadanya terasa sesak dan mencekik.

"Kemarin Mama sudah kenalkan kamu pada Titus, kamu malah nolak. Dia pria baik, religius, dan kayaknya tanggung jawab, kurang apa lagi?" cerocos Bu Alina, berusaha mengingatkan Vio tentang sosok Titus yang gemuk, berkulit sawo matang, berambut tipis, dan senyumnya memperlihatkan deretan gigi-gigi yang kekuningan.

Jika berdekatan dengan Titus, bau ketiaknya begitu menusuk dan memabukkan.

Membayangkan hal itu, membuat Vio langsung memutar matanya jengah.

"Ma, apakah tak ada pilihan lain untukku?" tanya Vio penuh penolakan terhadap tawaran tersebut, karena membayangkan hidup bersama Titus, mungkin akan terasa seperti neraka daripada kebahagiaan yang didapat.

"Masih mending ada yang mau sama kamu, Vio! Perempuan itu takdirnya dipilih, bukan memilih!" ucap sang Ibu, seolah tak ingin dibantah.

Namun, Vio tetap menolak pinangan Titus, menentang arus yang tidak sesuai dengan keinginannya.

"Pokoknya malam ini Titus akan datang, dan dia akan melamarmu. Kamu jangan menolak!" ucap tegas Bu Alina, suaranya seperti kilat yang menyambar. Mata gadis itu membelalak tajam.

Langsung, Vio melarikan diri ke dalam kamarnya, berdiri di balik pintu dengan tubuh gemetar. Ia tak ingin pertemuan dengan Titus terulang.

"Tuhan... aku harus pergi dari sini!" gumam Vio, lalu segera membersihkan tubuhnya di bawah aliran air yang turun dari atas, mencuci setiap ketegangan dan kekhawatirannya.

Usai mandi, Vio mengenakan bathrobe, mengaplikasikan skin care di wajah, dan menata rambut pendeknya. Ia menatap wajah di depan cermin, tersenyum dengan kedua mata yang bersinar.

"Meski usiaku bertambah, Tuhan memberikan fisik yang awet muda. Aku amat bersyukur, meski tidak secantik mereka," gumamnya. Setelah itu, ia mengenakan pakaian sesuai dengan gaya tomboynya, menyambar tas selempang, dan turun dari lantai atas.

"Mau pergi ke mana, Vio?" tanya Pak Burhan kepada putrinya.

"Aku mau jalan-jalan, Pah, suntuk!" jawab Vio, seakan buru-buru, dan bergegas keluar sebelum sang Ibu bisa menghalanginya.

Rona kegigihan terpancar dari matanya yang berkilau, menunjukkan keinginan kuat untuk menjauh sejenak dari segala tekanan di rumah.

Vio meraih sepedanya, melaju dengan langkah yang tanpa tujuan pasti. Setiap jalan yang ditempuhnya terasa hambar dan hampa, dunia seakan enggan memberinya sapaan hangat.

Seperti kodrat manusia pada umumnya, Vio merasa seperti tak dianugerahi takdir yang sempurna oleh Tuhan. Pertemuan yang tak kunjung terjadi, cinta yang tak pernah melabuhkan sayapnya, semua itu membuatnya merasa seperti hidupnya terperangkap dalam kehampaan. Meski kebahagiaan tampak menggoda dalam bayangan pikirannya, sulit untuk diwujudkan dalam realitas yang keras.

Bertemu seseorang, menjalin kasih, dan merajut asmara—semuanya seperti impian yang tak akan pernah ia rasakan. Mungkin seumur hidupnya akan diisi oleh kehampaan, dan kilasan bayangan kebahagiaan hanya menari-nari di benaknya, sulit untuk dihidupkan dalam realitas yang terasa begitu jauh.

Tiba-tiba, sejuknya embun menyelubungi tubuh Vio, meskipun hari sudah menunjukkan pukul 11 siang. Sensasi tak terduga itu membingungkannya, terutama karena kehadiran embun pada waktunya yang tidak lazim.

Padangannya terusik, sepedanya menerobos masuk ke dalam gumpalan embun. Ia mencoba memejamkan matanya untuk menghindari rasa perih yang mungkin timbul. Saat matanya kembali terbuka, Vio mendapati dirinya berada di tempat yang asing, tak pernah dilihat sebelumnya.

Bangunan megah dan mewah menjulang seperti istana dalam film dan dongeng. Vio menghentikan laju sepedanya, mengerlingkan mata, dan mengucek kedua matanya untuk memastikan kejelasan pandangannya.

"Ya Tuhan, aku ada dimana? Tempat apa ini? Indah sekali," gumamnya, kebingungan merajalela.

Ia melihat pesawat melintas begitu dekat di atas kepalanya hingga membuatnya menunduk sedikit. Angin berbisik lembut dan melibas rambutnya.

Pemandangan yang terbentang di depannya penuh dengan aktivitas padat dan sibuk.

Orang-orang berpakaian modern dengan gaya yang lebih maju daripada yang pernah dilihatnya. Kendaraan super mewah melintas, berbeda dari yang biasa ia temui, dengan sayap yang dapat terbuka dan tertutup secara otomatis.

Vio terdiam sejenak, mencoba meresapi keajaiban tempat ini yang seolah membawanya ke dunia lain yang begitu futuristik dan menakjubkan.

"Apakah aku sedang bermimpi? Atau aku ada di planet lain, barangkali?" Vio menampar pipinya, dan rasa sakit membuktikan bahwa ini bukanlah mimpi.

"Ah, ternyata ini nyata," ujarnya, masih bingung, saat ia tertegun melihat seorang pria yang tak asing.

"Dia, dia seperti yang aku temui dalam mimpi," bisik Vio, lalu ia memanggil. "Hei..." teriaknya, pria misterius itu, seperti dalam mimpinya semalam, tidak menjawab. Ia terus berjalan tanpa henti, langkahnya begitu cepat.

Vio bersusah payah mengejar sosok itu. Namun, entah mengapa langkahnya terasa begitu berat dan melelahkan, berkali-kali lipat dari biasanya.

"Hei, tunggu aku!" teriak Vio lagi berharap sosok itu akan menoleh saat mendengar seruannya. Tetapi, pria itu tetap melangkah tanpa memedulikan, seakan menjadi bayangan yang semakin sulit dikejar.

Akhirnya, setelah beberapa sentimeter jarak antara Vio dan pria itu, ia terjatuh dan meraih pergelangan kakinya yang kekar.

"Aaww..." Vio memekik, dan pria itu menoleh, mendongak ke bawah. Kedua mata mereka saling bertatapan. Vio terpesona oleh ketampanan pria asing itu; wajahnya bersinar, dengan sorot mata tajam yang menyipit, memberikan kesan seolah mengenakan riasan untuk mempertegas bingkai matanya, tetapi semuanya itu alami.

Alisnya sedikit tebal, dengan sedikit sebit di ujungnya, hidung mancung yang mempesona, kulit putih yang berkilau, dan bibir tipis nan merah muda tanpa keramahan. Wajahnya membawa pesona yang sulit diabaikan, membuat Vio terpaku pada ketampanan yang terpancar dari sosok pria tersebut.

Aroma tubuhnya begitu maskulin, tetapi pria itu mengenakan pakaian serba hitam dengan rambut yang sedikit memanjang, tanpa meredakan kegagahan yang dimilikinya.

"Si... Siapa kamu?" tanya Vio terbata, seolah menghadapi mimpi indah yang sedang terjadi.

"Aku Ayusa," jawabnya dengan nada dingin dan datar, tanpa senyum atau keramahan. Vio bangkit sendiri dengan susah payah.

"Sombong sekali dia!" pekik Vio, tetapi kedua matanya seakan tak bisa lepas memandang pesona Ayusa. Rasa kagum dan keheranan terpatri dalam tatapan Vio yang terpesona dengan misteri yang diusung oleh pria bernama Ayusa tersebut.

...

Bersambung...

Dunia Elyrian

Ilustrasi Dunia Futuristik.

Vio yang masih diliputi rasa heran, ketika berhadapan dengan sosok Ayusa, seolah semua keanehan yang ia rasakan buyar, terpesona pada pandangan pertama.

Kedua matanya menatap kagum pada kesempurnaan yang dimiliki oleh Ayusa, dan mencoba menepis fenomena langka yang terjadi padanya.

"Hei, kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Ayusa dengan wajah angkuhnya yang khas, membuat dirinya terkesan cool dan berwibawa.

"Ehe... Maaf, kalau boleh aku tanya, ini tempat apa, ya?" tanya Vio berupaya berbasa-basi sekaligus mencari tahu, dan berharap ia akan menemukan jawabannya dari Ayusa.

"Kamu sedang berada di dunia kami, dan kami adalah bangsa Elyrian," ujarnya, Vio langsung mengerutkan kening atas ketidak pahaman dengan apa yang di tuturkan oleh Ayusa.

"Apa kamu bilang? Bangsa Elyrian? Maksudmu?" tanya Vio, seketika Ayusa menatap penampilan Vio dari atas sampai bawah.

"Dasar manusia kuno!" cibirnya, membuat Vio langsung membelalakan kedua matanya kesal.

"Hei, apa maksudmu mengataiku manusia kuno? Kamu sendiri aneh, pakaianmu serba hitam, terlihat seperti malaikat pencabut nyawa yang sering aku tonton dalam sebuah drama!" cibir Vio, kedua mata Ayusa langsung memicing tajam mendapat kalimat ledekan darinya.

"Memangnya masalah dengan pakaianku, hah? Asal kamu tahu, peradaban kami jauh lebih maju dari kalian! Kami tidak pernah membuang kotoran seperti kalian!" Ayusa tersenyum miring.

Vio terdiam sejenak, mencoba menyusun kata-kata yang tepat untuk merespons angkuhnya Ayusa.

Udara seolah membeku di antara mereka, dan Vio merasakan kehadiran Ayusa begitu intens.

"Peradaban yang lebih maju, huh?" Vio tersenyum sinis, mencoba menyembunyikan keheranannya.

"Tapi apakah kecanggihan teknologi kalian bisa menyembuhkan sikap arogan dan sombongmu?"

Ayusa menatapnya dengan sorot mata tajam, senyumnya semakin menyeringai. "Kamu memang aneh, manusia. Kalian tidak mengerti betapa rendahnya peradaban kalian dibandingkan dengan Elyrian."

Vio mengangkat sebelah alisnya, tidak terpengaruh.

"Mungkin di mata kalian, tapi bagiku, sikapmu yang sombong membuatmu terlihat seperti alien yang merasa paling pintar di antara makhluk luar angkasa."

Ayusa tertawa sebentar, lalu melangkah mendekati Vio.

"Manusia zaman kuno, kalian bahkan belum menyentuh ujung kecanggihan teknologi. Bagi kami, kalian hanya seperti fosil hidup."

Vio mengepalkan tangannya, tetapi mencoba menahan diri.

"Tapi meskipun kami 'manusia kuno', setidaknya kami punya kelebihan: kemampuan untuk menghargai dan belajar dari masa lalu."

Ayusa tersenyum mengejek, "Kemampuan yang tak berarti. Kamu mungkin bisa menulis sepanjang hari, tapi di sini, tulisanmu tidak lebih dari goresan di permukaan waktu."

Vio merasa darahnya mendidih, tapi ia tetap tenang.

"Entah apa yang kalian anggap bernilai, tapi bagi aku, keindahan dunia bukan hanya tentang teknologi canggih. Ada kekayaan di setiap detail kehidupan yang kalian lewatkan."

Ayusa menyipitkan mata, mencoba memahami logika Vio.

"Kalian manusia, selalu saja dengan retorika kalian yang penuh emosi."

"Hei, mungkin kalian butuh sedikit emosi untuk menyadari bahwa kecanggihan tanpa makna adalah kekosongan," ujar Vio dengan tegas, menunjukkan bahwa meskipun terpesona, dia tidak akan membiarkan dirinya diremehkan begitu saja.

Tiba-tiba, beberapa figur berpakaian serba hitam, mirip dengan Ayusa, mendekat dengan sikap angkuh yang sama. Langkah mereka seragam, seakan sebuah barisan pasukan yang tunduk pada perintah sang pemimpin.

"Ada apa, Tuan?" ujar salah satu dari mereka dengan ekspresi serius, membungkukkan tubuh sebagai tanda penghormatan kepada Ayusa. Namun, mata mereka terus mengawasi Vio dengan tatapan tajam yang penuh penilaian.

"Dia berasal dari bangsa manusia. Mengapa bisa berada di sini?" Rion, salah satu pengawal setia Ayusa, bertanya dengan nada tajam. Sorot matanya menusuk ke arah Vio, seolah menghujat keberadaannya.

"Hei, kamu pikir aku sengaja datang kemari!" seru Vio, matanya memancarkan kekesalan atas perlakuan yang ia terima.

"Kamu, manusia, menyingkir lah dari tempat kami! Kalian itu kotor, selalu berbuat ulah, dan bodoh!" Rion melontarkan kata-kata merendahkan, seolah menegaskan pandangan negatifnya terhadap manusia. Tatapan tajam dan sikap angkuh mengiringi perkataannya.

"Apa yang kamu katakan?" desis Vio, amarahnya mulai memuncak.

"Dasar makhluk tak berperasaan! Kalian seperti robot yang dirancang begitu detail dan sempurna, tubuh menawan dan wajah tampan, tetapi kalian tak memiliki ekspresi ramah!"

Rion tersenyum sinis, tidak tergoyahkan oleh kata-kata Vio. Seakan menjaga image tak tertandingi dari keangkuhan mereka.

Konfrontasi antara manusia dan Elyrian semakin memanas, menciptakan ketegangan yang bisa meledak kapan saja.

Vio, seorang diri, berhadapan dengan formasi keangkuhan berlima yang terbentuk di sekelilingnya. Mereka, dengan sikap angkuh dan sikap yang terkoordinasi, menciptakan tekanan tak terelakkan di sekitar Vio. Ayusa berdiri di tengah formasi, seakan menjadi titik pusat dari kekuatan mereka.

"Kalian benar-benar membuatku muak!" seru Vio dengan nada tinggi, geram dan keberanian bergelombang di dalam suaranya.

Ia maju beberapa langkah, menunjukkan ketidaksenangannya, sebelum akhirnya mengambil risiko dengan mencengkram erat kerah pakaian Ayusa. Pakaian itu, meskipun futuristik, memiliki aksen dan sentuhan yang memukau.

"Apa yang akan kamu lakukan?" bentak Ayusa, melepaskan diri dengan kasar, menghempaskan lengan Vio dengan gesit. Gadis itu terhempas ke belakang, tubuhnya bersentuhan dengan tembok jalanan yang begitu keras.

"Aduh," pekik Vio, menggambarkan rasa ngilu di bokongnya akibat bersentuhan dengan tembok yang keras. Namun, ekspresinya penuh dengan kegigihan dan keteguhan.

"Jangan macam-macam kepada Tuan kami!" Rion menunjukkan sikap mengancamnya dengan tatapan tajam, setiap gerakan dan ekspresi wajahnya hanya mencirikan keangkuhan dan kepatuhan tanpa ada sedikit pun senyuman.

Suasana semakin tegang, menciptakan ketidaksetujuan yang mendalam antara Vio dan pengawal Ayusa.

Rion membuka setengah jubahnya, memperlihatkan sebatang tongkat trisula yang ujungnya sangat tajam.

Dengan gerakan ahli, ia berupaya menikam Vio, menciptakan ancaman nyata yang terasa di udara.

"Rasakan ini! Hia...." seru Rion sambil mengangkat tinggi tongkatnya, siap menusuk ke arah Vio.

Gadis itu, terkejut bukan kepalang, berteriak dengan insting yang membuatnya menutup pandangan untuk melindungi diri.

"Aa...."

Namun, beberapa detik berlalu, Vio merasa seperti tidak merasakan apa pun atas tindakan Rion.

Ia berani membuka kedua matanya kembali dan terkejut melihat Ayusa membentangkan lengannya dengan sigap, berdiri di antara mereka, memberikan perlindungan terhadap serangan yang ditujukan pada Vio.

"Hentikan! Jangan sakiti dia!" bentak Ayusa, suaranya mengandung otoritas yang membuat Rion terdiam sejenak, meskipun masih mendengus dengan ekspresi keberatan.

"Tapi, dia sudah berani datang kemari dan menantang kita, Tuan!" protes Rion, mencoba mempertahankan tindakannya. Namun, Ayusa mencoba memahami situasi dengan lebih bijak.

"Sepertinya dia datang kemari tanpa unsur kesengajaan!" papar Ayusa dengan nada yang lebih tenang, mencoba membujuk Rion untuk melihat perspektif yang lebih luas.

Vio bangkit dari posisinya, kebingungan terpampang jelas di wajahnya. Ia merasa seperti terperangkap di dunia yang tak dikenal, di antara makhluk-makhluk Elyrian yang begitu tampan dan asing baginya.

"Tolong, siapapun di antara kalian, tolong antarkan aku keluar dari sini!" rintih Vio, suaranya penuh dengan permohonan, menyiratkan keinginan kuat untuk kembali ke kehidupan yang dikenalinya.

Mereka, para Elyrian, masih diam, mengawasi Vio tanpa ekspresi. Tatapan mereka seperti menilai air mata yang keluar dari mata Vio sebagai pemandangan yang tak lazim dan sulit dimengerti.

"Kenapa dari matanya bisa keluar air?" tanya Kaino kepada rekan-rekannya, terutama kepada Ayusa, mencari pemahaman akan fenomena yang terjadi pada manusia di depan mereka.

"Entahlah!" jawab salah satu rekan Ayusa sambil menaik-turunkan pundaknya dengan acuh tak acuh.

Ekspresi mereka tetap datar, karena bangsa Elyrian hanya memiliki satu ekspresi di wajahnya.

Mereka tak bisa tertawa, merasakan kesedihan dan bahagia, seolah-olah sifat angkuh dan arogan adalah satu-satunya emosi yang mereka miliki, membuat dunia mereka begitu kaku dan dingin.

Pengawal Ayusa meninggalkan tempat itu dengan langkah mantap, merasa bahwa berurusan dengan Vio hanya membuang-buang waktu percuma. Mereka lebih memilih kembali bekerja pada tugas mereka masing-masing, merancang inovasi canggih yang tak terjangkau oleh manusia.

Kini, hanya tersisa Ayusa dan Vio dalam keheningan yang menegangkan, dihiasi oleh nuansa dingin dan kaku dari dunia Elyrian.

Ayusa perlahan hendak meninggalkan tempat itu, tetapi teriakan penuh permohonan dari Vio membuatnya ragu. Gadis itu berteriak, "tunggu!"

Ayusa, meski dengan enggan, berupaya berbalik dan menatap Vio.

"Sudahlah, aku sibuk!" ucap Ayusa, mencoba untuk tidak memedulikan Vio. Namun, Vio tak menghiraukannya, berlari mendekati Ayusa, dan dengan penuh keberanian, memeluk tubuh pria Elyrian tersebut dari belakang.

"Apa yang kamu lakukan?" bentak Ayusa, berupaya menghempaskan dekapan Vio.

Namun, gadis itu seakan terhanyut dalam pesona kegagahan pria Elyrian yang tak biasa baginya.

"Ya Tuhan, dia begitu sempurna," bisik hati Vio, tanpa menyadari bahwa Ayusa seakan mampu membaca pikirannya.

"Ya, aku memang sempurna, bahkan lebih sempurna dari kalian, manusia!" ucap Ayusa lirih dengan seringai kecil, menyampaikan rasa superioritasnya.

Vio langsung melepas dekapannya, terkejut saat menyadari bahwa Ayusa mampu mendengar ucapan batinnya.

"Dasar makhluk sombong!" cibir Vio sambil memutar kedua matanya dengan ekspresi jengah yang nyata.

"Aku tidak sombong, tapi kamu yang mengakui kalau aku ini tampan dan sempurna, bukan?" Ayusa membungkuk untuk memperhatikan wajah Vio yang tengah cemberut, seolah mengejek ekspresi gadis itu dengan santai.

"Jangan menatapku seperti itu, aku tidak kuat!" Vio tak sanggup menahan pesona ketampanan yang terpancar dari Ayusa, membuat jantungnya berdebar tidak menentu.

"Apakah ini surga untukku?" batin Vio, merasa seperti terjebak di dunia pria-pria tampan yang begitu mempesona. Wajahnya tak bisa menyembunyikan kekaguman luar biasa yang tak terelakkan.

Tidak Percaya Tuhan

Ayusa melihat keadaan putri Bumi yang sedang terpaku di tengah kehidupan yang begitu asing.

Walaupun tanpa sepatah kata, ia merasa sesuatu yang berbeda saat melihat perempuan di sisinya menangis di tengah keramaian dan kesibukan dunia Elyrian.

Tanpa menghiraukan sorot tajam orang-orang di sekitarnya, Ayusa terus melangkah, membawa Vio yang masih menggenggam lengannya.

Vio yang masih terhanyut dalam tangisannya berusaha menyusuri jalanan yang penuh dengan kendaraan futuristik. Suara dan cahaya yang menyilaukan seakan menciptakan dunia yang semakin menakutkan baginya.

Beberapa warga dunia Elyrian yang melintas melihatnya dengan pandangan campuran, dari kecaman hingga rasa ingin tahu.

Tiba-tiba, sebuah mobil terbang melambat mendekati mereka. Pengemudinya, seorang pria Elyrian dengan wajah sombong, mengecam Vio dengan tatapan sinis. Ayusa menggelengkan kepala dengan rasa kecewa atas tingkah laku Vio yang menarik perhatian negatif.

"Kamu, ikut aku!" ucap Ayusa dengan suara tegas, menarik lengan Vio lebih erat. Mereka berdua berjalan di tengah sorot tajam warga dunia Elyrian yang masih memperdebatkan kehadiran Vio.

"Dasar, kau ini mahkluk bodoh!"

"Iya, berani-beraninya berbuat onar di alam kami!"

Vio merasa terhempas dan terasing ke dunia yang tak dikenal.

Tangisannya tak lagi bersuara, tetapi ekspresinya mencerminkan kebingungan dan ketakutan. Ayusa, sementara itu, terus melangkah tanpa memperdulikan komentar-komentar negatif.

"Berhenti mengeluarkan suara dan air di mata mu!" bentak Ayusa dengan kasar, membuat Vio merasa terpukul. Ia berusaha menahan tangisannya, mencoba menghapus air mata yang masih mengalir.

"Masih untung, aku mengamankan mu, jika tidak, maka mereka akan melenyapkan mu!" ujar Ayusa, menyadarkan Vio akan bahaya yang mengintainya. Suasana hening kembali menyelimuti mereka, dengan warga dunia Elyrian yang kini mengawasi dengan sorot mata tajam.

"Aku minta maaf," ucap Vio lembut, mencoba meredam ketegangan. Dengan hati-hati, ia mendekap Ayusa, mencari perlindungan dan kenyamanan di dunia yang begitu asing ini. Sorot mata Ayusa, bagaimanapun, masih menyiratkan ketidakpuasan dan kekesalan.

Ayusa dan Vio melangkah di antara hiruk pikuk kota futuristik, di mana kendaraan-kendaraan canggih melintas dengan kecepatan tinggi. Ayusa terus berupaya melindungi Vio, dan tatapannya yang angkuh membuat orang-orang di sekitarnya memberikan hormat dengan menundukkan kepala.

Setiap orang yang berpapasan dengan mereka tunduk dan patuh kepada Ayusa, menyiratkan jika Ayusa memiliki kedudukan yang tinggi. Namun, mata mereka tetap memandang Vio dengan penuh kecurigaan besar, membuat gadis berambut pendek itu kian terancam.

Meski fisik mereka yang tampak sempurna dan rupawan, sorot mata mereka menyiratkan ketidaksetujuan yang dalam, seakan ingin menelan Vio hidup-hidup. Suasana yang tercipta memberikan nuansa tegang dalam perjalanan Vio di dunia Elyrian yang begitu berbeda.

Langkah mereka terhenti di depan istana yang megah dan canggih. Sistem keamanan otomatis dengan pintu yang terbuka menggunakan sensor deteksi dan perlindungan tingkat tinggi memberikan kesan kemewahan.

Ayusa mengajak Vio untuk masuk, namun, ketika Vio hendak melewati pintu, sistem keamanan memberikan reaksi tiba-tiba. Sebuah sinar laser menyilaukan mata Vio, disertai dengan kejutan aliran listrik tinggi.

Vio berteriak kesakitan, tetapi Ayusa dengan cepat menanggapi dan mengatasi situasi tersebut, memastikan bahwa Vio bisa melewati pintu dengan aman.

"Sudahlah, di sini sangat berbahaya bagi mu," ujar Ayusa dengan tegas, menunjukkan kepeduli yang mungkin tak terduga dari sosok angkuh seperti dia.

Vio, meski masih terpojok, merasa terkesan dengan tindakan tersebut.

Ayusa, tersenyum miring, menyatakan dengan tegas bahwa kebaikannya tak membuatnya lebih baik dalam pandangan Vio. Namun, ada kehangatan yang tersembunyi di balik tingkah laku angkuhnya, dan Vio semakin terpesona oleh sisi-sisi tak terduga dari pria Elyrian ini.

"Ternyata Ayusa tidak sekejam yang aku bayangkan," batin Vio

Kedua mata Ayusa memicing tajam, ia mendengar kata hati Vio.

"Jangan harap aku akan baik terhadapmu!" kecamnya, Vio menelan liurnya kasar.

"Ya sudah, habisi saja aku!" Vio seakan pasrah, karena ia berpikir hidupnya juga sudah tak berarti lagi, mendengar hal itu, Ayusa tersenyum miring.

"Dasar mahkluk bodoh!" Ayusa mengusap kasar pucuk rambut Vio membuat gadis itu salah tingkah.

"Apa memang manusia di rancang memiliki IQ yang terbatas?" sindir Ayusa dengan seringai tajam, Vio mengangkat sebelah alisnya.

"Tidak semua, nyatanya masih banyak kok manusia-manusia jenius yang telah menciptakan beberapa teknologi canggih di Bumi, aku pikir bangsa kalian lah yang mencontek teknologi manusia! Mengaku saja!" ucapan tegas Vio dengan berani.

Ayusa, dengan wajah serius, menjelaskan fakta yang sulit dipercaya oleh Vio. "Bangsa kami sudah ada jauh sebelum manusia!" ungkap Ayusa, mencoba membuat Vio memahami kedalaman sejarah bangsanya.

Wajah Vio mencerminkan keheranan, dan dengan nada bercanda, ia merespons, "O, ya? Memangnya kalau boleh aku tahu usiamu berapa tahun?"

Ayusa, tanpa ragu, menjawab dengan bangga, "Genap 2000 tahun."

Keterkejutan di wajah Vio menjadi hiburan tersendiri.

"Hmm... Bagaimana kamu bisa terlahir, dan mana ayah dan ibumu?" Vio, yang tak pernah melihat orangtua di negri Elyrian, merasa penasaran.

Ayusa menjelaskan, "Aku tidak memiliki keduanya, aku tercipta dengan sendirinya."

"Kok bisa?" tanya Vio dengan ekspresi bingung. Ayusa menjelaskan bahwa bangsanya terlahir dari cahaya supernova, menggunakan analogi bintang yang memiliki batas usia.

Vio, meski tetap bingung, mencoba merangkai informasi ini dengan pengetahuan sainsnya dari masa lalu.

Vio, dengan rasa ingin tahu yang tinggi, mencoba menebak konsep Ayusa. "Jadi, kamu tercipta dengan sendirinya dan suatu saat kamu akan meledak menjadi serpihan cahaya?" tanyanya, mengingat pelajaran fisika yang pernah dia dapatkan.

Ayusa mengangguk, "Ya, tentu. Suatu masa akan tiba di mana aku akan hilang, dan serpihan cahaya itu akan menciptakan jiwa dan individu yang baru."

Penjelasannya membuat Vio merasa lebih mengerti, walaupun konsep itu masih terasa asing.

"Gitu ya. Jadi, kamu bukan bangsa malaikat atau iblis?" Vio terus menggali informasi, namun ketika dia menyebut kata 'iblis', mata Ayusa memicing tajam, menunjukkan ketidaksetujuannya.

"Enak saja!" bentak Ayusa, menepis asosiasi tersebut. "Kami bahkan tidak percaya adanya malaikat atau pun iblis!" ujarnya tegas, mencoba menghapus bayangan tersebut dari pikiran Vio.

"Bagaimana dengan Tuhan pencipta alam semesta? Apa kamu percaya dengan keberadaannya?" tanya Vio lagi, mencoba menyelidiki keyakinan Ayusa. Ayusa hanya menggeleng,

"Tidak juga. Itu hanya mitos, dongeng karangan kalian, manusia!" Penolakan Ayusa terhadap konsep-konsep tersebut membuat Vio semakin penasaran.

Tiba-tiba, beberapa pengawal menanyakan kepada Ayusa tentang identitas Vio dan asal-usulnya. Dengan tegas, Ayusa menjawab, membuat beberapa dari mereka mengeluarkan suara ketidaksetujuan.

"Kenapa dia bisa berada di sini, Tuan?"

"Bukankah mahkluk yang dinamakan manusia sering menghasilkan kotoran dalam tubuhnya? Kalau dia membuat polusi udara, bagaimana?"

Ayusa menyikapinya dengan bijak. "Kalian tenanglah dulu, aku yang akan mengatasi itu semua!" ujarnya. Lalu, ia menarik lengan Vio dan membawanya ke salah satu ruangan seperti laboratorium, diisi dengan alat-alat canggih, tabung berbentuk kapsul, kabel, serta selang rumit yang saling terhubung satu sama lain.

Ayusa membuka pintu salah satu kapsul. "Masuklah!" titahnya, tetapi Vio menolak dengan wajah tegang.

"Kamu pasti akan melenyapkan aku, kan?" tanya Vio gemetar, dan Ayusa tersenyum miring.

"Kau ini benar-benar bodoh, dan terbelakang! Tentu aku tak ada niat untuk melenyapkan mu, wahai manusia bumi. Justru, aku akan mengubah sistem metabolisme tubuhmu, agar kamu tidak merasakan lapar dan dahaga, keuntungan lainnya kamu akan awet seperti ini selamanya! Apa kamu tak tertarik akan hal itu?" goda Ayusa, membuat Vio sejenak terpana memikirkan potensi menjadi manusia abadi tanpa kebutuhan makan dan minum.

"Wah, tentu itu akan sangat menarik," batin Vio, dan Ayusa bisa mendengar suara hatinya.

"Sepertinya kamu tertarik," ucap Ayusa. Vio menghela napas sejenak sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam tabung kapsul tersebut.

Namun, sebelum benar-benar memasuki kapsul, ia melontarkan beberapa pertanyaan terakhir pada Ayusa.

"Kalau boleh aku tahu, kenapa aku bisa terjebak ke dunia kalian? Apa kamu bisa menjelaskannya?" tanya Vio dengan penuh misteri.

"Tentu aku akan menjawab sebisa yang aku ketahui," balas Ayusa, memperhatikan wajah Vio yang menanti jawaban masuk akal, meski situasinya sendiri memang tak masuk akal sama sekali.

"Kamu tanpa sengaja masuk ke dalam portal dimensi ruang waktu, dan aku juga tahu kamu seorang penulis novel yang... Sama sekali tidak berbakat! Tulisanmu itu payah!" ujarnya, membuat wajah Vio merah padam antara amarah dan rasa malu.

"Jadi, kamu membaca hasil karyaku?" Vio benar-benar sangat malu, terutama karena novel-novelnya banyak berisi cerita dewasa. Ayusa mengulum senyum dengan wajah mengejek, menambah rasa malu Vio.

"Aish! Dasar mahkluk menyebalkan!" pekik Vio, kesal dengan komentar Ayusa. Tanpa memberi kesempatan untuk berbicara lebih lanjut, Ayusa mendorong tubuh Vio masuk ke dalam kapsul, lalu menutupnya dengan tegas.

"Kau ini memanglah manusia kesepian!" ujar Ayusa dengan nada merendahkan dan mengejek, seolah mengetahui segala seluk-beluk dan kepribadian Vio sehari-hari.

Vio mencoba menggedor pintu kapsul yang terbuat dari kaca. "Woy, keluarkan aku dari sini!" teriaknya, tetapi Ayusa pura-pura tak mendengar. Ia langsung menekan tombol yang akan memulai perubahan unsur materi tubuh Vio.

"Aaahh..." Vio berteriak ketika ruangan kapsul memancarkan sensasi aneh yang membuatnya terkejut.

Tubuhnya seakan-akan tergoncang dan terombang-ambing, rambut berantakan dan matanya juling sesaat akibat efek perubahan yang terjadi.

Hingga pintu kapsul itu kembali terbuka, dan Vio keluar, terhuyung-huyung, merasakan sensasi pening di kepalanya.

"Arrgghh..." Vio jatuh tergeletak sambil menjulurkan lidah, merasakan efek perubahan yang terjadi pada tubuhnya.

"Hei! Berhentilah bertingkah aneh!" teriak Ayusa, agak kesal melihat reaksi dramatis Vio.

Vio tersadar dari keadaannya, mencoba berdiri. Tubuhnya terasa aneh, seakan ringan tanpa beban, seperti aliran listrik menggantikan aliran darahnya.

Vio mencengkram lengan Ayusa untuk menjaga keseimbangan. "Apa yang kamu lakukan padaku?" desisnya, mata Vio memancarkan rasa heran dan kebingungan yang mendalam.

...

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!