Sepasang mata mengerjap memfokuskan pandangannya, Dinda Larasati, wanita itu baru saja terjaga setelah melewati malam panas bersama kekasihnya. Sorot matanya beralih pada sosok yang terus memeluknya sepanjang malam, sudut bibir wanita itu terangkat melihat wajah pria yang paling dia cintai itu yang masih memeluk mimpinya.
Dinda mendekatkan wajahnya pada wajah kekasihnya. Wanita itu pun langsung mendaratkan bibirnya di dahi Abimana, pria yang tadi malam baru saja melamarnya. Dinda pun dengan suka rela memberikan mahkota yang selama ini dia jaga kepada Abi, karena pria itu sebentar lagi berjanji akan menikahinya.
Merasakan pergerakan disebelahnya Abi pun langsung membuka kedua matanya.
Pria itu menggeliat dan langsung menarik tubuh mungil Dinda ke dalam pelukannya.
“Bi, bangun ini sudah pagi, bukannya kamu ada meeting hari ini?”
Dengan perlahan Dinda melepaskan diri dari dekapan sang kekasih.
“Aku masih ngantuk, Din, tolong bangunin sepuluh menit lagi,” jawab Abi dengan mata yang masih terpejam.
“Baiklah, aku akan menyiapkan sarapan untuk kita.”
Dinda pun langsung bangkit meninggalkan Abi yang masih tertidur.
Wanita itu dengan sigap memasak nasi goreng seafood makanan kesukaan Abi, sedang fokus membolak balikkan nasi di atas wajan. Dinda dikejutkan dengan tangan yang tiba-tiba saja melingkar memeluk pinggangnya.
“Astaga …!” pekik wanita itu.
“Abi … jantungku hampir copot tau nggak!”
Abi hanya tersenyum, pria itu malah menaruh dagunya di pundak wanita yang paling dia cintai itu.
“Wanginya tercium sampai kamar, aku nggak bisa melewatkan masakan yang dibuat oleh calon istriku,” puji Abi. Wajah Dinda pun langsung bersemu mendengar Abi memanggilnya dengan sebutan calon istri. “Sayang … makasih …,” sambung pria itu.
“Untuk?” tanya Dinda singkat.
Abi mengecup pipi Dinda sekilas, pria itu membalikkan tubuh Dinda supaya berhadapan dengannya. “Untuk semalam, terima kasih sudah mengijinkan aku untuk menjadi yang pertama, semalam adalah pengalaman yang paling indah dan berharga untuk kita berdua, akhir pekan … kita akan pergi ke rumahku, Mommy harus berkenalan dengan bidadari yang sebentar lagi akan menjadi menantunya.”
Wajah Dinda langsung memerah mendengar perkataan Abi, wanita itu terbuai dengan kata-kata manis kekasihnya tanpa dia tahu, bahwa selama dua tahun menjadi kekasihnya, Abi selalu menyembunyikan hubungan mereka dari keluarganya.
“Apakah orang tuamu akan menerimaku?” tanya Dinda pada Abi.
Tanpa ragu, Abi pun langsung mengangguk. “Mommy pasti setuju, aku pastikan itu!” ujarnya meyakinkan.
***
Satu hari berlalu hari ini Dinda berniat untuk mencari gaun, wanita itu tidak sabar karena besok malam Abi akan mengenalkannya kepada keluarga pria itu.
Wanita itu harus memberi kesan baik, dia tidak mau mengecewakan Abi.
“Hah … kenapa aku sangat gugup sekali, padahal hanya berkenalan dan makan saja. Kenapa jantungku tidak bisa santai sedikit,” gumamnya sambil memegang dada.
Baru saja hendak membuka pintu, tiba-tiba dua orang wanita berbeda usia berkunjung ke rumahnya.
“Selamat siang, benar ini rumahnya Dinda Larasati?” tanya wanita paruh baya itu pada Dinda.
Dinda mengangguk. “ Benar,” jawabnya singkat.
“Sepertinya saya tida salah mengira, kamulah wanita yang bernama Dinda?” tanya Wanita paruh baya itu.
“Iya, dengan saya sendiri. Ada urusan apa yah ibu mencari saya?” tanya Dinda tanpa berbasa-basi.
“Saya Ratna, orang tua Abimana Sanjaya, boleh saya masuk? Saya akan membicarakan suatu hal yang penting demi masa depan anak saya!” jelas wanita paruh baya itu pada Dinda.
“Deg …!”
Jantung Dinda langsung berdetak dengan cepat mendengar perkataan Ratna.
“I-iya … mari silahkan masuk!” jawab Dinda dengan suara terbata. Wanita itu terlihat gugup karena orang tua Abi telah mendatanginya.
Ratna bersama wanita cantik berpenampilan elegan itu pun masuk ke dalam rumah Dinda.
“Saya tidak mau berbasa-basi, Dinda, saya tahu kamu adalah kekasih gelap anak saya … saya harap kamu mau melepaskan Abi, tinggalkan dia, level kalian ada di tingkat yang berbeda … saya akan memberikan kompensasi jika kamu bersedia meninggalkan Abi!”
Bagai tersambar petir, Dinda mematung mendengar kata-kata wanita paruh baya itu.
“Ma-maaf, Bu. Tapi, saya bukan kekasih gelap Abi, kita sudah menjalin hubungan selama dua tahun dan Abi sudah melamar saya!” jawab Dinda tanpa menyembunyikan apapun dari Ratna.
Sontak Ratna mendengus, wanita paruh baya itu menatap Dinda dengan tatapan meremehkan.
“Seharusnya kau sadar diri, wanita sepertimu tidak akan pernah menjadi bagian dari keluarga Sanjaya. Jangan pernah bermimpi terlalu tinggi karena ketika kau terjatuh, kau akan hancur menjadi debu!” Ratna pun langsung memperlihatkan ketidaksukaannya kepada Dinda.
“Tinggalkan Abi, karena sebentar lagi … Wilona lah yang akan menjadi istrinya, mereka berdua sudah dijodohkan sedari dulu, kau hanya mainan bagi Abi … setelah bosan, dia akan membuangmu kapan saja!” perintah wanita paruh baya itu.
Wajah Dinda memucat seketika. Jantung nya berdetak sangat cepat. “Ti-tidak mungkin, Abi berjanji akan menikahi saya, tidak mungkin dia berbohong!” Dinda mencoba menyangkalnya.
“Terserah kau percaya atau tidak, yang jelas, tinggalkan Abi. Jika kau tidak mau meninggalkannya, maka saya akan menghancurkan keluargamu!” ancam wanita paruh baya itu pada Dinda.
Wanita yang sedari tadi diam tidak mengeluarkan sepatah kata itu pun menyodorkan satu lembar kertas kecil. “Ini cek kosong, kau bisa menuliskan berapapun yang kau mau, dan satu lagi yang harus kau ingat. Abi sangat senang bergonta-ganti wanita simpanan hanya untuk memuaskan nafsunya saja, jika dia sudah bosan, Abi akan langsung menyingkirkannya. Jadi, sebelum dia yang menyingkirkanmu, aku sarankan kau pergilah sejauh mungkin dari kehidupannya!” ancamnya pada Dinda.
Wilona juga memberikan beberapa foto ketika Abi dan Wilona sedang bersama.
Setelah puas membuat Dinda terguncang, kedua wanita itu pun pergi meninggalkan Dinda yang sedang menangis tersedu-sedu.
Hancur sudah angan yang selama ini Dinda rajut, berharap mempunyai suami yang tulus mencintainya, bagai tertusuk ribuan jarum hatinya terasa sakit karena Abi, pria yang paling dia cintai itu telah tega membohonginya selama ini.
“Kenapa … kenapa aku begitu bodoh …!” jerit wanita itu sambil memukul-mukul dadanya.
***
Malam pun tiba, Abimana pun datang kerumah Dinda. Karena pintu tidak terkunci, dengan leluasa Abi masuk ke dalam rumah Dinda.
“Din … sayang, kamu dimana?” panggil Abi, pria itu pun langsung mengetuk pintu kamar Dinda.
“Din, kamu di dalam? Aku datang mengantarkan gaun untuk kamu pakai besok.”
“Ceklek ….” suara pintu terbuka dari dalam.
Abi sangat terkejut melihat penampilan Dinda yang sangat berantakan. “Din, apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?” tanyanya. Terlihat jelas Abi begitu khawatir pada kekasihnya.
Dinda hanya diam, wanita itu pun langsung melemparkan setumpuk foto tepat di depan wajah Abi.
“Kau … pria bajingan yang pernah aku kenal …!”
Kedua bola mata Abi membulat melihat foto dirinya bersama wilona.
“Tunggu … dari mana kamu dapat semua foto ini? Kamu salah paham, Din. Aku akan jelaskan semuanya!” Abi terlihat panik saat ini.
“Tidak ada yang perlu dijelaskan, karena Ibumu sudah memberitahu semuanya! Kita akhiri sampai disini, kau dan aku … tidak terikat hubungan apapun! Pergi kau dari rumahku!” Begitu sakit rasanya dikhianati oleh pria yang paling dicintai, dan saat ini Dinda merasa hancur.
“Tunggu … Din, ini salah paham, kamu harus dengar penjelasanku!” Abi hendak meraih tangan Dinda. Namun wanita itu langsung menepis dengan kasar.
“Tidak ada yang perlu dijelaskan, karena semua ini sudah jelas … pergilah!”
“Din, dia wanita yang dijodohkan denganku, tapi aku tidak mencintainya … aku hanya mencintaimu seorang, Din, aku bersumpah, hanya kau yang ada di dalam hatiku!” ungkap Abi mencoba menjelaskannya.
“Hahaha … omong kosong, jadi benar selama ini kau telah menipuku … sekarang dan selamanya anggap saja kita tidak pernah bertemu, pergilah, aku muak melihat wajah penipu sepertimu …!”
“Brak …!”
Abi membuka pintu kediamannya dengan keras. Pria itu berjalan dengan cepat menghampiri kamar Ibunya. Dia tau penyebab Dinda memutuskan hubungan mereka pasti ulah orang tuanya.
Tanpa mengetuk terlebih dahulu, Abi langsung membuka pintu kamar Ibunya.
“Abi … kemana perginya sopan santunmu?” tanya Ratna, wanita itu sedikit terkejut mendengar pintu terbuka.
“Apa yang Mommy katakan pada Dinda, sehingga dia tega memutuskan hubungannya denganku?” tanya Abi tanpa berbasa-basi.
“Jadi karena wanita miskin itu, kamu bersikap seperti ini? Sadarlah Mommy tidak akan menerima wanita manapun selain pilihan Mommy sendiri!” jawabnya Ratna dengan santai.
“Setuju atau tidak, aku akan tetap menikahi Dinda, mulai sekarang jangan pernah mengganggunya lagi!” Abi tidak gentar, pria itu tetap teguh dalam pendirian untuk menikahi wanita yang paling dia cintai.
“Abi … apakah kamu nggak sayang sama Mommy? Jadi karena wanita itu kamu tega menyakiti wanita yang sudah bertaruh nyawa melahirkanmu ke dunia ini? Mommy sudah menyelidiki wanita miskin itu, dia hanya menginginkan uangmu saja …!”
Abi menggeleng.”Mommy pasti salah, Dinda bukanlah wanita penggila harta, kita saling mencintai, Mom. Jadi aku mohon, restui lah hubungan kami!”
“Tidak … sampai kapan pun mommy tidak akan pernah setuju!” Dengan tegas Ratna menolaknya.
“Baiklah … jika Mommy tidak setuju, aku akan mengundurkan diri dari perusahaan!” Abi pun langsung berbalik.
“Prang …!” Suara gelas terjatuh membuat langkah Abi terhenti. Pria itu berbalik dan alangkah terkejutnya dia melihat Ratna sudah terjatuh dan tidak sadarkan diri.
“Mommy …!” panggilnya dan langsung membaringkan Ibunya ke atas ranjang.
Abi langsung menghubungi dokter pribadinya, tidak berselang lama dokter pun datang dan langsung memeriksa keadaan Ratna.
“Bagaimana keadaan, Mommy, Dok?” tanya Abi pada dokter.
“Tekanan darahnya sangat tinggi, jangan buat Nyonya terlalu banyak berpikir dan stress karena akan mempengaruhi kesehatannya, anda harus lebih memperhatikan Ibu anda tuan,” jawab dokter. Setelah memberikan resep obat dokter pun pamit pulang.
Abi menghela napas dalam. “Apakah aku harus menuruti keinginan mommy dan menikahi Wilona? tapi, bagaimana dengan Dinda … dia akan membenciku selamanya!” gumam pria itu sambil menarik rambutnya kasar.
***
Dua bulan berlalu, sekuat tenaga Dinda mencoba melupakan Abi. Namun, rasa cintanya begitu dalam terpatri di relung hatinya, sehingga sangat sulit bagi Dinda untuk melupakan lelaki yang dia cintai itu.
Terlebih Abi selalu berusaha menemuinya dan mencoba menjelaskan semuanya pada Dinda, akan tetapi, abi tidak bisa membuat keputusan untuk menolak permintaan orang tuanya, pria itu pun dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Antara wanita yang dia cintai dan Ibu yang paling berarti di dalam hidupnya.
Dinda sedang fokus menaruh roti-roti yang baru saja matang dan menatanya di atas nampan. Walaupun hidupnya tidak bergelimang harta. Namun, wanita itu memiliki toko roti, dari situlah wanita itu bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa bantuan siapapun termasuk Abi.
“Selamat datang ada yang bisa saya bantu?” tanya Dinda.
Wanita itu mengira pelanggan yang akan membeli rotinya. Namun, netranya membulat dan wajahnya berubah datar setelah melihat sosok yang berdiri tidak jauh dari pintu.
“Din, bisakah kita berbicara sebentar?” tanya Abi pada Dinda.
Wanita itu mendengus.
“Apakah kau tidak mengerti juga? Hubungan kita sudah berakhir, jadi aku harap jangan pernah mengganggu hidupku lagi, pergi dari sini …!” usirnya dengan tegas.
“Baiklah … walaupun kamu terus mengusirku dan tidak mau menerimaku kembali … tapi kamu harus ingat, Din … aku akan kemari setiap hari sampai kamu memaafkanku!” jawab Abi.
“Bi, sangat sakit rasanya mencoba melupakanmu, tapi untuk memaafkan pun aku tidak bisa … kamu tega bohongin aku, padahal aku udah kasih sesuatu yang paling berharga dalam hidupku, aku harap kita tidak pernah bertemu lagi,” gumam Dinda setelah Abi pergi.
“Kak, Din … muka Kakak kok pucat banget, Kakak sakit?” tanya karyawan Dinda.
Dinda menggeleng. “Aku baik-baik saja, hanya saja akhir-akhir ini nggak nafsu makan dan sering mual,” jawabnya.
“Wah, mungkin Kakak kelelahan, mending Kakak istirahat biar aku yang gantikan. Oh iya Kak, hari ini aku lagi datang tamu bulanan, belum sempat beli pembalut, pembalut yang ada di lemari, aku izin pakai ya, nanti aku ganti?” tanya Irma pada Dinda.
“Deg …!”
jantung Dinda seketika berdetak dengan cepat mendengar penuturan karyawannya itu. Dia baru sadar jika dua bulan ini wanita itu belum mendapatkan tamu bulanannya, hatinya sangat gusar. Bagaimana jika sesuatu yang dia takutkan akhirnya terjadi?
Dinda bergeming wanita itu sibuk dengan pikirannya sendiri, Irma yang terus mengajaknya berbicara pun dia hiraukan.
“Kak … kak Dinda!” panggil Irma sambil memegang tangan Dinda.
“Eh … iya, Irma … kamu ngomong apa?” jawab Dinda.
“Kakak kenapa? Sepertinya Kak Dinda sakit, mau aku antar periksa ke Dokter?” tanya Irma memastikan karena bosnya itu terlihat gelisah dan wajahnya sangat pucat.
“Irma … tolong belikan aku sesuatu!”
Setelah Irma membeli benda yang Dinda inginkan, wanita itu pun langsung bergegas masuk ke dalam toilet.
Jantungnya berdetak sangat cepat, Dinda berharap dugaannya salah.
Namun, terlihat jelas garis dua tercetak di benda kecil alat pendeteksi kehamilan itu.
“Tidak mungkin, alat ini pasti salah!”gumamnya menolak kebenaran yang ada.
Wanita itu pun langsung mencobanya sampai lima kali dan hasilnya tetap sama, semua bergaris dua.
"Hiks …!" Cairan bening meluncur begitu saja dari kedua netra indahnya membasahi pipi mulus wanita itu.
"Kenapa harus terjadi kepadaku … hidupku sudah cukup menderita, kenapa benih yang kau tanamkan tumbuh dalam rahimku … kenapa …!" Dinda tersedu menangisi keadaannya, kedua netranya tiba-tiba menggelap telinganya terasa berdenging, kesadarannya perlahan menghilang tubuhnya ambruk Dinda tidak sadarkan diri di dalam toilet.
Kedua netra Dinda mengerjap, cahaya putih menyilaukan pandangannya. Aroma asing pun menyeruak masuk kedalam indera penciumannya. Dinda akhirnya sepenuhnya terjaga setelah melihat tangan kanannya sudah terpasang jarum infus.
“Ah … kepalaku,” ringis wanita itu sambil memegang kepalanya.
“Kak, Dinda sudah sadar, Kakak bisa melihat aku kan?” tanya Irma gurat khawatir begitu jelas tercetak di wajah gadis itu.
“Irma, kamu kah yang membawaku ke rumah sakit?” tanya Dinda dengan suara yang yang masih terdengar lemah.
Sontak Irma menganggukan kepala. “Iya, tadi aku panik karena Kak Dinda nggak keluar-keluar dari toilet, akhirnya security membantu mendobrak pintu, dan ternyata Kakak udah pingsan di dalam toilet, aku panik makanya langsung bawa ke IGD.” Panjang lebar Irma menjelaskannya pada bosnya itu.
“Terima kasih ya, Irma … maaf udah ngerepotin,” tutur Dinda.
“Sama-sama, Kak Dinda udah aku anggap seperti Kakak sendiri jadi aku nggak merasa direpotkan, tunggu sebentar aku panggil Dokter ya Kak.”
Irma pun langsung memanggil dokter yang yang sedang berjaga di ruang IGD tersebut.
Setelah memeriksa Dinda, dokter pun langsung memberitahukan tentang kondisinya.
“Tekanan darah Anda sangat rendah, Anda juga mengalami dehidrasi. Saya sarankan untuk mendapat perawatan selama beberapa hari, sudah berapa lama Anda terlambat datang bulan Nona Dinda?” tanya Dokter sambil menyerahkan satu benda kecil pendeteksi kehamilan.
Dinda sempat terkejut. Namun, wanita itu langsung bersikap biasa karena dia yakin Irma pasti membawa salah satu alat itu setelah melihatnya pingsan.
“Sudah dua bulan, Dok,” jawabnya.
“Baik, setelah ini akan datang Dokter kandungan. Demi memastikan umur janin yang ada di dalam perut anda, kita akan melakukan USG.”
Dokter pun langsung menjelaskannya kepada Dinda, Irma yang mengetahui jika Dinda dan Abi telah berpisah, wanita itu merasa sedih dan kasihan melihat kondisi Dinda yang lemah tidak berdaya.
Dinda diam cukup lama, wanita itu seperti sedang memikirkan sesuatu. “Irma … menurutmu melahirkan bayi tanpa suami, apakah aku bisa?”
Irma diam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan Dinda. “Apa Kak Dinda berniat menyembunyikan kehamilan Kakak pada Tuan Abi?” Bukannya menjawab Irma malah melontarkan pertanyaan kembali pada Dinda.
Dinda pun mengangguk. “Dia tidak perlu tahu tentang anak ini, Abi … pria itu sebentar lagi akan bertunangan dengan wanita pilihan orang tuanya.” Tanpa menyembunyikan apapun Dinda pun langsung memberitahu Irma.
“Nggak bisa gitu dong Kak, Tuan Abi harus bertanggung jawab, ini kan anak kalian berdua … enak aja dia tunangan sama wanita lain, tapi Kakak sendiri menderita dan hamil anaknya!” Irma tidak terima dengan kenyataan bahwa Abi sudah memiliki wanita lain, walaupun itu dijodohkan.
“Aku, akan pindah dari kota ini … kamu mau kan meneruskan usaha toko roti?” tanya Dinda.
“Hah? Kakak mau pindah kemana? Kalo Kakak pindah aku akan ikut kemanapun Kakak pergi, aku nggak mau ditinggal sendirian!” jawab Irma dengan raut yang sedikit merajuk.
Dinda menghela napas dalam. “Aku akan pindah keluar kota untuk menjauhi nya. Aku ingin hidup tenang bersama anakku tanpa ada bayang-bayang Abi, dalam kehidupan kami!” jawab Dinda.
“Kalau gitu aku ikut Kakak, aku tidak bisa mengurus toko sendirian. Kakak tau disini aku tinggal sebatang kara, jadi kemanapun kak Dinda pergi, aku akan ikut.” Irma pun dengan tegas akan mengikuti kemanapun Dinda pergi.
“Tapi aku nggak bisa gaji kamu, Irma. Kehidupan di kampung tidak sama dengan di ibu kota, sangat sulit mencari pekerjaan!” Dinda mencoba memberi pengertian pada Irma.
“Nggak apa-apa Kak, asal ada tempat tinggal, soal uang aku akan mencarinya sendiri,” jawab gadis yang sudah beberapa tahun menjadi karyawannya itu.
“Baiklah kalau itu maumu, setidaknya saat aku hamil dan melahirkan ada keluarga yang selalu menemani, Irma … maukah kamu jadi adik angkatku?”
Sontak Irma mengangguk dengan senyum merekah. “Mau Kak, aku seneng banget akhirnya punya keluarga!” jawabnya antusias.
Beberapa jam berlalu, kini Dinda sedang berada di ruangan Dokter kandungan. Wanita itu sedang menjalani pemeriksaan USG. Dokter yang layar besar yang ada di hadapannya.
“Wah … selamat nyonya, bayi Anda kembar dan saat ini usia kehamilan Anda sudah 10 minggu!” jelas dokter mengatakannya pada Dinda.
Jantung Dinda berdetak tidak karuan, wanita itu merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya, rasa senang karena sebentar lagi akan menjadi seorang Ibu dan rasa sedih karena dia harus melalui kehamilannya tanpa seorang suami, perasaannya semakin tidak karuan setelah mendengar dokter mengatakan jika janin yang dikandungnya adalah anak kembar.
“Dok, apakah mereka baik-baik saja didalam sana?” tanya Dinda dengan netra berkaca-kaca.
Dokter mengangguk. “Mereka tumbuh dengan sehat, lihatlah yang bergerak itu adalah detak jantungnya,” jawab Dokter.
Irma yang ikut melihat pun terlihat antusias, gadis itu tidak sabar ingin segera bertemu dengan kedua anak kembar Dinda.
Tiga hari berlalu, Dinda dan Irma pun sudah dalam perjalanan menuju daerah yang hendak mereka tuju. Dinda memutuskan untuk pindah ke Jogja, wanita itu akan pindah ke kampung Neneknya. Dinda akan menempati rumah mendiang Neneknya yang sudah lama dibiarkan kosong setelah Neneknya wafat.
Setelah melakukan perjalanan 15 jam lamanya, akhirnya Dinda dan Irma pun sampai di rumah tua peninggalan Neneknya Dinda.
“Kak, ini rumahnya?” tanya Irma penasaran.
“Iya, semoga kamu betah tinggal di rumah tua ini ya, Ir,” jawab Dinda dengan menampilkan senyum manisnya.
“Kak, walaupun rumah tua, tapi rumah ini sangat nyaman, aku pasti betah,” jawabnya antusias.
Rumah Neneknya Dinda terletak di pertengahan kebun, rumah tetangga pun jaraknya tidak terlalu dekat. Perut Dinda pun belum terlihat sehingga para tetangga tidak mengetahui jika wanita itu sedang berbadan tiga.
Satu bulan berlalu, Dinda dan Irma sedang berada di rumah sakit yang terletak di kota Jogja. Wanita itu berniat akan memeriksakan kandungannya. Sedang menunggu namanya gilirannya diperiksa. Dinda melihat berita di salah satu televisi ruang tunggu rumah sakit tersebut secara siarang langsung.
Dinda pun melihat layar besar itu. Hatinya seperti tertusuk jarum, rasanya sangat sakit melihat tontonan yang dia lihat. Ternyata hari ini Abi sedang melangsungkan pertunangan dengan wanita yang pernah Dinda temui waktu itu. Sangat megah dan mewah, bahkan media sosial pun penuh dengan kabar pertunangan mantan kekasihnya itu.
“Kak, jangan diliatin terus,” cetus Irma yang menyadari raut wajah Dinda yang terlihat murung.
“Iya, Ir … keputusan yang benar kita menjauh dari kehidupan mereka, aku baru menyadarinya sekarang, ternyata perbedaan kita bagai bumi dan langit,” jawab Dinda menampilkan senyum palsunya.
“Dinda Larasati!” panggil perawat.
Dinda pun langsung bergegas masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
“Permisi, Dok,” sapa Dinda yang melihat Dokter sedang fokus memeriksa data diri pasien.
“Iya, silahkan duduk, Bu,” jawab Dokter pria itu.
Setelah mendongakkan kepala pandangan Dinda dan Dokter pun bertemu.
Kedua mata Dinda membulat dengan sempurna saat menyadari sosok pria yang ada di hadapannya.
“Dinda …?” panggil Dokter itu yang sama terkejutnya dengan Dinda.
“Sa-satria ….!” jawabnya dengan suara terbata.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!