Oek ... Oek ... Oek
Sayup terdengar suara tangisan bayi. Christiana membuka pintu dan terkejut mendapati ada keranjang bayi di depan pintunya.
"Elard! Elard! Cepat kesini! Lihat apa yang aku temukan di depan pintu."
Tangan Christiana bergetar. Dia menarik keranjang bayi itu karena tidak kuat mengangkatnya. Ini tidak hanya berisi satu bayi melainkan dua. Elard keluar dengan tergesa mendengar teriakan istrinya.
Pria berusia 47 tahun itu terkejut melihat istrinya menggendong dua bayi sekaligus di lengannya.
"Sayang, bayi siapa ...?"
"Aku tidak tahu. Jangan banyak bertanya. Sebaiknya kau panggil Raven sekarang."
Elard bergegas ke atas memanggil putranya. Mendengar keributan di depan pembantu di keluarga Houston segera keluar untuk melihat, apa yang membuat nyonya di rumah itu berteriak histeris.
"Nyonya, bayi siapa ini?" tanya bibi Jolly, pelayan tua di kediaman Houston.
"Aku juga tidak tahu. Tadiya aku ingin mengambil majalah, tapi aku mendengar suara tangisan bayi di luar. Jadi aku membuka pintu. Siapa sangka aku melihat dua bayi malang ini di lantai."
"Cuaca di luar begitu dingin. Siapa yang tega meletakkan bayi-bayi ini di luar?" ujar Bibi Jolly prihatin.
Christiana menggeleng. Dia pun juga tidak tahu. "Sebaiknya bibi datang ke pos penjaga. Suruh mereka mengecek rekaman CCTV."
Setelah bibi Jolly berlalu pergi, Elard datang bersama Ravenhart putranya. Ravenhart atau yang biasa disapa Raven tertegun sejenak memandang dua bayi yang ada di lengan ibunya. Pikirannya seketika tertuju pada satu wanita yang selama ini dia cari.
Tak berpikir panjang, Raven berlari keluar seperti orang kesetanan. Malam itu cuaca sangat dingin. Salju turun dengan lebat. Namun, Raven sama sekali tidak peduli. Pria itu menerjang hujan salju keluar melewati gerbang rumahnya dengan pakaian tipis.
Elard yang melihat putranya berlari segera mengikuti Raven. Dia khawatir putranya akan bertindak nekat.
"Son, apa yang kau cari?"
"Dad. Aku tahu siapa yang meletakkan mereka di depan pintu rumah kita. Aku yakin itu dia. Aku harus menemukannya, Dad."
"Kita masuk dulu. Kau tidak akan menemukannya. Salju turun begitu lebat."
"Tapi, Dad ...."
"Masuklah dulu! Kita bicarakan ini di dalam." kalimat yang dikatakan Elard terdengar lembut. Namun, penuh dengan ketegasan. Mau tak mau Raven mengikuti ayahnya.
Begitu memasuki rumah, Elard menggigil kedinginan. Bibi Jolly membawa dua handuk besar dan menyerahkannya pada Elard dan juga Raven.
Bibir Raven sudah membiru. Namun, dia tidak terlalu peduli dengan dirinya sendiri. Dia ingin mendekat untuk menyentuh ayi-bayinya, tapi Christiana menghentikannya.
"Kau mau membuat dua bocah ini kedinginan. Ganti bajumu dulu dan segera turun," ujar Christiana. Dia berbicara dengan pelan karena tidak ingin mengagetkan dua bayi laki-laki yang telah terlelap di lengannya.
Tanpa menunggu komando dari istrinya, Elard juga bergegas menuju kamarnya. Dia berganti pakaian dengan secepat kilat. Meski dia tampak menahan marah, tapi dia berusaha tetap menjaga ketenangan.
Raven segera mendekati ibunya begitu dia selesai berganti baju. tatapan matanya yang semula penuh kegelisahan seketika melembut melihat dua bayi di hadapannya itu.
"Bibi, tolong jaga mereka. Aku perlu berbicara dengan Raven dan Elard."
"Baik, Nyonya."
Christiana memberi isyarat pada Raven agar mengikutinya. Raven dengan patuh mengikuti langkah ibunya masuk ke kamar. Elard yang kebetulan akan keluar, berhenti dan memandangi interaksi ibu dan anak itu.
Dia melihat raut kecewa di wajah istrinya. Elard tidak banyak bicara. Dia duduk di sebelah istrinya sementara Raven duduk di hadapan kedua orangtuanya.
"Raven, apa kau bisa menjelaskan apa yang terjadi? Dari gelagatmu, mommy tahu ada yang sedang kamu sembunyikan dari kami, kan?"
Raven menunduk sesaat dan mengusap wajahnya kasar. Saat dia mengangkat wajahnya, matanya terlihat memerah. Christiana bisa melihat kesedihan yang begitu dalam di wajah putranya.
"Mom, aku membuat kesalahan 10 bulan yang lalu. Aku terlalu mabuk malam itu, aku tidak sengaja menodai seorang gadis." Raven terdiam sebentar dan menarik napas dalam-dalam.
"Aku pria pertamanya. Aku sudah berkata ingin bertanggungjawab jika dia hamil karena perbuatanku. Aku sudah meninggalkan kartu namaku. Aku tidak mengira, setelah sekian lama dia justru datang hanya untuk meletakkan bayi-bayi itu."
Mendengar penuturan putranya, Kemarahan semakin menguasai hati Christiana, dia benar-benar kecewa. Christiana berdiri dan menampar wajah Raven dengan keras.
"Kau merusak seorang gadis dan kau hanya mengatakan kalimat basa-basi seperti itu? Kau sama saja merendahkan harga dirinya, Raven. Apa kau tahu itu?" Christiana yang tidak terbiasa marah, kini meninggikan suaranya.
"Mom, aku ...." Raven kehilangan kata-katanya. Apa yang ibunya katakan benar.
"Sayang, sabarlah. Sekarang tugas kita untuk mencari gadis itu."
Christiana menangis sesenggukan sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Bagaimana aku bisa membesarkan seorang b*jingan sepertinya? Kenapa kau tidak berpikir tentang nasibnya setelah kau merusaknya? Kenapa?"
Christiana tidak melanjutkan ucapannya. Dia tiba-tiba tak sadarkan diri sangking marahnya. Elard dan Raven panik melihat Christiana seperti ini.
Elard membaringkan Christiana di sofa. Dia melotot tajam pada Raven.
"Jika terjadi sesuatu yang buruk pada istriku, bersiaplah. Aku akan membuatmu hidup menderita, Son."
Elard lantas mengambil ponselnya dan menghubungi dokter keluarga. Raven keluar dari kamar orangtuanya dengan langkah lunglai.
Raven berjalan menuju ke kamar tamu di mana kedua bayinya ditidurkan. Raven masuk dan melihat bibi Jolly memberikan sebotol susu untuk salah satu bayi.
"Tuan muda."
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Mereka haus. Beruntung wanita yang meninggalkan bayi-bayi ini masih memiliki nurani. Dia meninggalkan beberapa kantong asinya dibawah bayi-bayi ini tadi. Oh iya, Tuan ...." bibi Jolly menjeda ucapannya. Dia merogoh kantongnya dan menyerahkan sepucuk surat di tangannya kepada Raven.
Raven duduk di tepi ranjang. Dia membuka surat yang kemungkinan ditulis oleh gadis itu.
Teruntuk Kamu,
Maaf jika aku baru datang sekarang dan mungkin aku mengacaukan hari-harimu setelahnya. Aku tidak tahu bagaimana cara membesarkan bayi-bayi ini. Aku memberi mereka nama King Arlo dan Leonard Davin, jika kau tidak suka kau boleh mengantinya. Sekali lagi maafkan aku jika aku harus merepotkanmu. Aku tidak bisa menjamin keselamatan mereka jika mereka terus berada di sekitarku. Jadi aku harap kau bersedia merawat mereka.
Seravina
Raven mengusap tulisan tangan yang terlihat begitu lemah dan halus itu. Hatinya berdenyut nyeri. Dia bukannya tidak berusaha mecari, tapi dia selalu terhalang untuk menemukan keberadaannya, dia berpikir mungkin latar belakang gadis ini tidak biasa.
"Seravina." Bibir Raven menyebut nama gadis itu. Dia lantas mengalihkan tatapannya pada dua bayi laki-laki di sampingnya.
"King, Leonard, mulai sekarang aku akan menjaga kalian."
Tanpa terasa sembilan tahun berlalu, King dan leonard tumbuh menjadi anak yang memiliki temperamen seperti ayahnya. Sikapnya dingin dan datar di permukaan.
"Apakah ada perkembangan?" King mendekati Leonard yang sejak tadi sibuk dengan gadgetnya."
"Bagaimana denganmu?" tanya Leonard tanpa mengalihkan pandangannya ke arah saudaranya.
"Aku sudah berhasil membuat wanita ke 80 pergi dengan kesal," kata King penuh dengan percaya diri. Dia selalu bertugas menggagalkan kencan buta yang dirancang neneknya untuk sang ayah.
"Jika begitu kita harus bersiap mendengar omelan nenek lagi," kata Leonard santai.
King terkekeh mendengar ucapan saudara kembarnya itu. Sekilas jika dilihat, mereka sama sekali tidak memiliki perbedaan yang mecolok. Namun, jika diamati secara seksama, mereka memiliki dua iris mata yang berbeda. King memiliki warna mata coklat terang, sedangkan Leonard memiliki corak berwarna abu-abu. Menurut Ravenhart, King memiliki iris mata seperti ibunya.
Sesaat Leonard melirik saudara laki-lakinya. Leonard tampak ragu mengatakan pada King tentang apa yang baru saja dia temukan. Namun, mereka pernah tinggal di rahim yang sama dan berbagi makanan selama sembilan bulan lebih, bagaimana bisa King tidak menyadari jika saudaranya sedang dilema.
"Ada apa katakan saja, aku sudah cukup sering mendapatkan berita mengecewakan. jadi jika sekali lagi kabar ini mengecewakan. Aku hanya bisa berdoa lagi dan lagi agar kita bisa dipertemukan dengan ibu.
"Lihatlah wajah wanita ini. Bukankah dia terlihat mirip dengan ibu kita."
"Jika begitu, tunggu apa lagi? Kapan kita mendatanginya?" tanya King bersemangat.
"Diketahui dia adalah seorang wanita yang berasal dari jepang. Namanya Harumi Hashimoto bukan Seravina."
"Menurutmu kita perlu ke jepang?" tanya King. Segala kemungkinan yang menyangkut soal ibunya, King pasti akan berupaya untuk mencaritahu secara langsung.
"Dia ada di kota ini sekarang. Menurut berita yang aku dapatkan, dia adalah seorang wakil CEO muda. Perusahaannya bergerak dibidang otomotif. Perusahaannya menjadi sponsor kompetisi balapan yang akan diadakan pekan depan."
"Jika begitu kita harus mencari cara agar bisa bertemu dengannya." King terlihat sangat bersemangat, tapi Leonard tidak terlalu. Dia sudah sering kecewa. Jadi dia tidak lagi menggantungkan harapannya untuk bertemu dengan ibunya.
"Apa kita akan memberitahu ayah mengenai hal ini?" tanya King lagi.
"Tidak perlu. Aku tidak mau melihat ayah bersedih lagi. Sebaiknya kita memastikan sendiri terlebih dahulu. Jika benar dia ibu kita, barulah kita beritahu ayah mengenai hal ini," ujar Leonard berpendapat.
Saat Leonard selesai berbicara, seseorang mengetuk pintu kamar mereka.
"Tuan muda, kalian sudah ditunggu untuk makan malam."
"Baiklah, Bibi. Kami akan segera turun."
King dan Leonard turun menuju ruang makan. Di sana semua anggota keluarga sudah berkumpul. Namun, alis King dan Leonard seketika terangkat saat mereka melihat ayahnya duduk di samping seorang wanita.
"Nah, itu mereka." Suara Christiana terdengar bersemangat. Dia memanggil kedua cucunya untuk mendekat.
"King, Leon, ini adalah teman ayahmu sewaktu ayahmu kuliah dulu. Namanya nona Chaterine."
"Hmm," jawab keduanya tak bersemangat. Mereka melirik ayahnya dengan tatapan tajam seolah hanya dengan menatapnya, mereka bisa merobek hati sang Ayah. Raven sangat tahu kemarahan kedua putranya tertuju padanya, tapi dia juga tidak bisa berbuat banyak. Karena Chaterine datang atas undangan ibunya.
"Respon apa itu? Kalian harus bertingkah sopan pada tamu," ujar Christiana memarahi kedua cucunya.
"Mom!" Raven langsung bereaksi keras saat ibunya memarahi kedua putranya.
Christiana mendengus. Elard segera meraih tangan Christiana dan menepuknya dengan lembut. Sementara itu Chaterine tersenyum tulus di permukaan, tetapi dalam hatinya mengeluh. Dua bocah di hadapannya ini terlihat sangat menjengkelkan.
"Tidak apa-apa, Christiana. Jangan memarahi mereka."
Baik King maupun Leon hanya mendengus melihat sikap tamu neneknya. Mereka akhirnya makan bersama. Akan tetapi tidak ada pembicaraan sama sekali di meja makan, mereka semua tampak serius menghabiskan makanannya.
Usai makan malam, Chaterine berniat tinggal untuk berbicara dengan Raven, tapi siapa sangka, begitu Raven menyelesaikan makanannya, King dan Leonard langsung menarik Raven ke kamar mereka. Christiana tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya menghela napas panjang melihat tingkah kedua cucunya.
"Maafkan sikap King dan Leonard. Biasanya mereka menjadi anak yang baik. Entah kenapa malam ini mereka bertingkah kekanak-kanakan."
"Tidak masalah. Jika begitu aku akan pulang. Terima kasih untuk makan malamnya."
Chaterine pergi dari rumah Raven dengan perasaan kesal. Dia marah dan ingin melampiaskan kemarahannya sekarang juga.
Di dalam kamar si kembar. Raven diam-diam mengamati perilaku kedua anak laki-lakinya.
"Kenapa kalian menarik ayah tadi?"
"Apa ayah ingin terus bersama wanita itu?" King mengembalikan pertanyaan Raven dengan pertanyaan. Raven menghela napas panjang.
"Kalian tahu, ayah tidak bisa menolak-"
"Ayah memang tidak berniat menolak. Kenapa ayah selalu diam saat nenek menjodoh-jodohkan ayah? Apa sekarang ayah menyerah untuk mencari ibuku?" King bertanya dengan wajah memerah. Jelas dia sangat marah. Meski dia ditinggalkan oleh ibunya, tapi dia sangat yakin apa yang dilakukan ibunya adalah yang terbaik bagi dirinya dan Leonard. Maka dari itu sejak dia berusia 6 tahun, dia dan saudara kembarnya selalu mencari informasi apapun yang berhubungan dengan ibunya.
"Maafkan ayah, bukan maksud ayah seperti itu."
"Katakan saja jika ayah sudah lelah untuk menemukan ibu. Biar kami cari sendiri ibu kami."
"King, jangan memaksa," tegur Leonard. Leonard bisa melihat keputusasaan di mata ayahnya.
King lantas terdiam. Matanya memerah dan air matanya mengalir deras. Bocah itu hanya ingin menemukan ibunya dan bertanya alasan kenapa dia meninggalkan mereka. Bahkan setelah dia membaca sendiri surat yang dikirim ibunya 9 tahun lalu. Dia masih penasaran.
Raven tak kuasa melihat air mata putranya. Dia menarik King dan memeluknya.
"Maafkan ayah."
Tangisan King semakin pecah. Dia benar-benar sudah tidak tahan ingin bertemu dengan ibunya. Setiap hari dia dan saudara kembarnya tidak pernah lelah mencari keberadaan ibunya. Mereka berdua mencari sosok yang mirip dengan ibunya, hanya berbekal dari rekaman CCTV pada malam ibunya meninggalkan mereka di depan pintu keluarga Houston.
Mata Leonard ikut memerah, tapi dia sangat pandai mengendalikan diri. Sehingga dia tidak menangis seperti saudara kembarnya. Pada akhirnya King tertidur karena kelelahan. Sedangkan Leonard masih tampak segar.
"Tidak tidur?" Raven mendekati Leonard dan mengusap rambut bocah itu. Raven baru saja meletakkan King diatas ranjang.
"Ayah, katakan padaku bagaimana perasaanmu pada ibu?"
"Ayah ...." Raven terdiam sebentar untuk memilih kata yang tepat. Dia tidak mungkin mengatakan jika dia tidak mengenal Seravina dia hanya pernah sekali bertemu dan berbuat salah.
"Ayah sangat menantikan bisa bertemu dengan ibu kalian."
"Jika begitu, ayah tolong bilang pada nenek jika ayah menolak kencan buta yang selalu nenek atur untukmu. Aku khawatir di luar sana ibu bisa mengakses segala informasi tentangmu. Jika dia tahu kau memiliki kekasih. Ibu pasti tidak akan mau muncul untuk bertemu kami."
Raven tersenyum. putranya tampak tumbuh semakin dewasa.
"Ya, ayah akan menolaknya lain kali."
"Ayah, aku kemungkinan tahu dimana ibu."
...----------------...
"Kak, kau yakin akan tinggal di kota ini? Bagaimana jika Daisuke kembali menemuimu," tanya Yuri cemas.
"Aku tidak takut padanya. Kau tenang saja. Aku harus ke kota itu, karena ada hal yang harus aku lihat," kata Seravina.
Yuri menggelengkan kepalanya. Kakaknya benar-benar tipe wanita keras kepala, tapi Yuri yakin, sifatnya ini ada pemicunya.
Dulu kakaknya adalah seorang gadis yang pemalu dan sangat tertutup. Namun, 9 tahun yang lalu, kakaknya tiba-tiba berada di rumah sakit dan mendapat luka tusuk di pinggangnya. Lama tidak bertemu dan tiba-tiba mendapat kabar buruk itu, Yuri dari Jepang bergegas terbang bersama kedua orangtuanya.
Menurut keterangan orang-orang yang menolong kakaknya pada malam itu, dia sedang diikuti oleh seorang pria. Namun, tidak berselang lama, setelah pria yang mengikutinya menyenggol tubuhnya, Seravina jatuh bersimbah darah.
Yuri sangat tahu resiko yang harus dirinya dan Seravina tanggung karena menjadi anak seorang Zakuza. Musuh ayahnya ada dimana-mana.
Baik Seravina maupun Yuri tidak tahu siapa lawan dan siapa kawan ayahnya. Sebab itu, Ayahnya mengirim Seravina untuk tinggal bersama neneknya, tapi siapa sangka, nasib buruk tetap saja mengikutinya. Seravina terluka tanpa alasan dan satu-satunya dugaan kuat mereka adalah itu ulah Daisuke. Anak dari musuh bebuyutan ayah Seravina.
Sejak kejadian penusukan itu, Seravina berubah. Dia sangat keras pada dirinya sendiri. Melatih dirinya untuk menjadi sosok yang tangguh seperti ayahnya. Dia benar-benar telah berusaha untuk bisa berada di titik ini.
Seravina duduk di ruangannya. Kini dia menjabat sebagai wakil CEO di perusahaan kakeknya yang berada di SF. Seravina sudah menekan tombol lock pintu ruangannya. Seravina mengeluarkan selembar foto. Dia mengusapnya dengan hati-hati seolah takut jika foto itu akan rusak karena dia tergesa-gesa menyentuhnya. Di foto itu terdapat gambar dua bocah laki-laki yang sangat tampan.
Bibir Seravina bergetar menahan isak tangis. "King, Leonard, ibu sangat merindukan kalian."
***
Di lain tempat, Ravenhart saat ini sedang duduk termenung di sebuah kawasan klub mewah di kotanya. Dia merasa hatinya kosong, meski saat ini ia berada di tengah keramaian.
Dua sahabat Raven tahu jika saat ini kemungkinan besar hanya satu yang membuat Raven sampai seperti ini, yaitu Raven pasti teringat dengan wanita masa lalunya. Wanita yang tiba-tiba mengubah status Raven menjadi seorang ayah dari dua orang putra.
"Kenapa kau tiba-tiba mengudang kami malam ini?" Ansel salah satu sahabat Raven memberanikan diri untuk bertanya. Raven menghela napas panjang, sebelum akhirnya menatap kedua sahabatnya.
"Leon menemukan identitas baru dari wanita itu. Menurut kalian, apakah aku harus pergi menemuinya atau tidak?"
"Sekarang identitas apa yang dia miliki?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak bertanya lebih lanjut pada Leon," kata Raven putus asa.
"Bagaimana respon Leon saat itu?"
"Dia tidak menunjukkan respon apapun. Dibandingkan dengan King yang sangat ekspresif, Leonard adalah pribadi yang sangat tertutup. Aku bahkan selalu kesulitan menebak emosinya.
Dua jam kemudian, Raven pulang dengan diantarkan pulang oleh kedua sahabatnya dalam keadaan mabuk. Leonard berdiri di ujung tangga dan menatap tiga pria dewasa itu dengan tatapan kecewa.
Leonard merasa ada yang aneh dengan sikap ayahnya. Setiap kali dia menyinggung ibunya, ayahnya akan pergi keluar dan pulang dalam keadaan mabuk setelahnya. Jujur Leonard sangat kecewa.
Keesokan harinya, Leonard dan King diantar supir pergi ke sekolah. Mereka turun di depan gerbang sepert biasanya. Setelah memastikan mobil yang mengantar mereka berlalu, King dan leonard berjalan menyamping dan pergi membolos.
Hari ini King dan Leonard berniat mendatangi wanita yang bernama Harumi Hashimoto ini. Mereka sudah sangat penasaran ingin melihatnya.
Mereka tiba di sebuah sirkuit balap dengan menumpang taksi. Menurut penelusuran Leonard, hari ini wanita yang diduga ibunya ada di sana untuk mengawasi proses gladi bersih sebelum besok acara balapnya digelar.
Leonard dan King meyelinap masuk. Entah bagaimana caranya, kedua bocah itu berhasil mengelabuhi penjaga keamanan.
"Sekarang dimana kita akan mencarinya," tanya King. Leonard mendengus kesal.
"Apa kau akan terus berpura-pura bodoh. Kau bisa memikirkan caranya. Jangan terus terusan bertanya padaku!"
King terkekeh melihat Leonard kesal. King dan Leonard tidak tahu siapa dari mereka yang terlahir duluan. Jadi baik dirinya maupun Leonard tidak akan menyebut siapa kakak dan siapa adik.
King mengambil gadget dari tasnya dan mulai melakukan sesuatu. Leonard menunggu sembari mengedarkan pandangan. Dia berjaga-jaga jika ada orang yang mendekat ke arahnya.
"KETEMU!"
"Sttt! Pelankan suaramu." Leonard mendelik pada King. Bocah laki-laki bermata coklat terang itu pun tersenyum sembari menutup mulutnya.
"Maaf. Ayo sekarang kita temui dia. Ku harap kali ini dia benar-benar ibu kita. Dia sangat cantik," kata King. Leonard tidak menjawab. Namun, jauh di lubuk hatinya dia memiliki harapan yang sama dengan apa yang King harapkan.
Leonard dan King berjalan dengan santai karena lorong dimana mereka berada cukup sepi, itu mungkin karena orang sibuk berada di paddock area, di mana para tim atau kru, tekhnisi dan pembalap berada.
King menemukan lokasi dimana wanita bernama Harumi Hashimoto ini berada. bocah itu melihat di pintu yang bertuliskan Staff Only.
Namun, Leonard dan King sama-sama merasakan keanehan, pintu ruangan itu sedikit terbuka dan terdengar pembicaraan menggunakan bahasa jepang. Itu pembicaraan antara seorang pria dan wanita.
Sedikit banyak kedua bocah itu tahu apa yang dua orang di dalam sana bicarakan.
"Pergilah, aku tidak ada urusan denganmu," ujar Seravina.
"Bagaimana jika aku tidak mau pergi? Keluargamu harus menderita. Kalian harus membayar harga karena ayahmu telah membunuh ayahku," kata Daisuke marah.
"Aku tidak ada urusannya dengan itu. Itu urusan antara ayahku dan ayahmu. Jangan mengusikku."
"Aakh!" Seravina memekik saat Daisuke tiba-tiba mencekiknya.
Leonard dan King seketika merasa panik mereka langsung mendorong pintu dengan keras sehingga Daisuke dan Seravina terkejut melihatnya. Daisuke mengernyit tak senang melihat keberadaan dua bocah yang datang entah dari mana itu. Wajah Seravina mendadak pucat melihat keberadaan King dan Leonard.
"Siapa kalian?"
King dan Leonard menatap Daisuke dengan aura permusuhan. Meski keduanya hanya bocah berusia sembilan tahun, tapi baik King maupun Leonard memang mewarisi sifat ayahnya yang datar dan dingin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!