Dor ...
Suara tembakan terus terdengar dengan jelas, bahkan mampu membuat telinga berdengung. Bukan hanya tembakan antar tentara saja, namun ada pula suara ledakan yang begitu dahsyat. Siapa pun yang mendengarnya, seketika berlari tanpa tahu arah.
"Alhamdulillah, sesuai sasaran." Ucap Ahmed dengan perasaan lega
Qaseem tersenyum puas, mengalungkan senjata miliknya. "Mari kita periksa rumah mereka." Ucapnya dengan tegas
"Apa perlu kita sandra mereka Ahmed?" Tanya Omar seraya menatap serius kedua temannya itu
Ahmed menaikan alisnya sebelah. "Tidakkah, kau, mengerti dan mendengar ucapan, Qaseem?" Sahutnya
Omar tersenyum di balik surban yang menutup wajah mereka. Apakah mereka sama dengan tentara lainnya? Tentu saja tidak. Mereka adalah pasukan khusus yang di bentuk oleh pemerintahan negara mereka. Pasukan yang lebih kuat, pemberani dan gagah perkasa.
"Ayo ... Tidak ada waktu untuk mengobrol disini. Kita harus cepat." Teriak Qaseem yang memimpin beberapa temannya di lokasi itu
Mereka semua mengikuti Qaseem. Memeriksa semua rumah dan menjadikan beberapa penduduk menjadi sandra mereka. Jika di katakan kasihan, mungkin mereka juga kasihan dan tidak akan mau melakukan itu semua. Hanya saja, musuh mereka sudah melakukan kejahatan kepada negara mereka sendiri. Bahkan, tidak segan-segan untuk menyakiti para penduduk sipil. Apakah itu tidak pantas untuk di balas?
Brak!
Suara pintu yang mereka dobrak dengan paksa. Membuat penghuni rumah itu menjadi ketakutan. Beberapa dari mereka juga menangis dan memohon untuk di lepaskan. Namun, itu bukanlah hal yang mudah.
Qaseem menggiring beberapa penghuni rumah yang mereka periksa. Membawa mereka dengan paksa, hanya saja tidak dengan kekerasan. Tidak sama seperti musuh mereka, yang menyiksa para penduduk di negara mereka sendiri.
"Bisakah kami di lepaskan saja? Kami ini tidaklah berguna untuk kalian." Ucap pria tua yang memohon untuk di lepas
"Menurutlah, jika kalian ingin selamat." Tegas Qaseem
Para tentara lainnya menyiapkan kendaraan untuk mengangkut beberapa orang yang akan menjadi sandra mereka. Sebenarnya sudah ada beberapa di markas mereka yang sudah mengisi penjara yang sudah mereka siapkan. Namun, itu masih belum cukup untuk menjadikan sandra negara mereka.
"Tidakkah ada rasa belas kasih, bukankah di agama kalian di ajarkan belas kasih?" Ucap seorang wanita dengan lirih
Ahmed menatap sekilas wanita dan tersenyum di balik penutup wajah mereka. "Apakah ada belas kasih dari pemerintahan negara kalian ini?" Sahutnya dengan tegas
"Tidaklah ada agama yang mengajarkan kesesatan, bahkan kejahatan. Kecuali agama dan negara kalian." Sambung Qaseem
Mereka, para tentara yang di pimpin oleh Qaseem saling menatap dan mengangguk. Memang benar apa yang di katakan oleh Qaseem. Tidaklah ada yang mengajarkan keburukan di muka bumi ini, selain manusia yang pembangkang dan pengkhianat.
"Masuklah, kami akan menyandra kalian untuk beberapa waktu." Ucap Qaseem
Jujur saja, sebenarnya mereka sendiri tidaklah mau melakukan ini semua. Hanya saja, mereka juga harus berjuang mempertahankan tanah air mereka. Tanah yang sudah menjadi kehidupan mereka dan nenek moyang mereka. Namun, seketika ada negara lain yang mencoba menguasai negara mereka.
Kesombongan, keserakahan, bahkan kearoganan. Semua itu ada di negara B yang selalu membuat onar di berbagai tempat, mencoba menjajah dan mencuri tanah negara tetangganya sendiri. Walau pun tetangganya itu sudah membantu negaranya juga. Namun, tidaklah ada kata terimakasih dan penghormatan. Namun, pengkhianatan untuk semua yang pernah membantu negara B.
"Kita bawa kemana mereka ini?" Tanya Omar
"Bawa ke tempat yang lain. Kita akan menunjukkan kepada mereka, agar mereka bisa berpikir." Sahut Qaseem
"Ya, otak mereka seperti sudah di cuci. Tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah." Sambung Ahmed
Butuh waktu beberapa jam untuk mereka sampai di markas tersembunyi mereka. Para sandra mereka tutup wajahnya agar tidak mengetahui dimana letak persembunyian mereka selama ini.
*****
Setelah sampai di lokasi markas tersembunyi itu. Satu persatu sandra mereka bawa melewati terowongan besar dan gelap. Sampai mereka menemukan sebuah ruangan, selayaknya ruangan pada umumnya. Dan tanpa mereka sadari jika itu adalah bangunan dibawah tanah.
"Buka penutup wajah mereka." Perintah Qaseem
Saat penutup wajah mereka di buka, mereka begitu kaget dengan keadaan di dalam penjara itu. Ada beberapa orang yang sudah lebih dulu di sandra oleh tentara pilihan ini. Justru, bukanlah hal menakutkan yang mereka lihat. Melainkan wajah ceria dan juga tubuh yang sehat.
"Apakah benar ini penjara?"
Wanita itu bergumam seraya memperhatikan sekelilingnya. Dan kembali wanita itu memperhatikan beberapa Mujahidin yang membawanya ke dalam penjara itu. Lebih tepatnya adalah rumah, bukanlah penjara.
"Kalian akan di tahan sementara waktu. Janganlah membuat onar, kami tidak akan menyakiti kalian. Karena kita sama-sama manusia. Makhluk ciptaan-Nya." Ucap Qaseem
Terlihat beberapa sandra di dalam penjara itu tersenyum dan melambaikan tangan kepada Qaseem dan pasukannya yang lain.
"Kalian?" Ucap wanita itu seraya menatap aneh satu persatu sandra yang sudah lebih dulu berada di tempat itu. "Tidakkah kalian takut di penjara, apa lagi ini penjara musuh. Musuh negara kita sendiri." Tegasnya lagi
Seorang wanita tua tersenyum dan mendekati wanita itu. "Siapa nama, kamu, wahai anak muda." Ucap wanita tua itu
"Nama saya Zeefanca, nenek." Sahutnya
Wanita tua itu tersenyum dan merangkul wanita yang menyebut namanya Zeefanca itu. "Mereka tidaklah seburuk pemikiran mu, Zeefanca." Ucap wanita tua itu seraya tersenyum
Zeefanca duduk bersama wanita tua itu. "Apakah mereka tidak jahat, nenek?" Tanya Zeefanca dengan penuh selidik
Wanita tua itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Zeefanca. Mereka memberikan kami makanan yang layak. Memperlakukan kami dengan baik." Sahutnya mencoba menjelaskan kebenaran itu kepada Zeefanca.
"Dan." Zeefanca kembali memperhatikan sekelilingnya. "Mengapa kita di pisah. Maksudnya, kita dan mereka." Zeefanca menunjuk kearah para sandra pria di sebelah mereka.
"Ya, menurut mereka tidaklah baik jika wanita dan pria di satukan. Di ajaran mereka itu sangat dilarang, apa lagi kita tidak saling kenal dan bukanlah keluarga." Jelas wanita tua itu yang mencoba mengingat apa yang pernah para mujahid itu jelaskan.
"Hem, mungkin saja begitu." Sambungnya seraya cengengesan
Zeefanca mencoba memahami apa saja yang di ceritakan oleh wanita tua itu. Wanita yang di panggilnya dengan sebutan nenek. Dan mungkin saja mereka akan menjadi keluarga baru setelah ini.
"Tidakkah kau melihat wajah mereka? Atau, lihatlah tubuh mereka." Bisik wanita tua itu
Zeefanca menaikan sebelah alisnya. "Kenapa, nenek?" Jawabnya
"Entahlah." Ucapnya seraya memperhatikan beberapa mujahid yang sedang menghafal Al-Qur'an. "Mereka terlihat tampan, ya ... Walau pun tidak terlihat. Mereka sopan, dan sangat perhatian sekali." Sambungnya
Zeefanca menatap heran wanita tua di sebelahnya itu. Apakah semua ini hanya mimpi, atau apa? Zeefanca tidak memahami semuanya. Apakah memang boleh memuji musuhnya sendiri
"Gila, mungkin ini sudah gila. Mereka mencoba menjadi pengkhianat negara." Gumam Zeefanca
"Makanlah, kami akan berusaha memberikan yang terbaik." Ucap Qaseem
Zeefanca menatap serius wajah yang tertutup, namun hanya terlihat kedua matanya itu. "Kenapa kalian menutup wajah terus?" Ucap Zeefanca
Beberapa mujahid yang berada di dalam ruangan itu menatap Zeefanca. Selama ini belum ada seorang pun yang berani bertanya seperti itu. Bukannya menjawab, mereka malah tertawa.
"Makanlah, nona. Kami akan berusaha menjaga gizi kalian. Jangan penasaran dengan kami, karena kami ini bukan hanya tentara negara saja." Ucap Omar
"Apa kalian pura-pura baik kepada kami semua. Namun, kenyataannya berbeda." Sahut Zeefanca dengan penuh keberanian
Qaseem mencoba mengabaikan ucapan Zeefanca, walau pun dia sendiri ingin tertawa mendengar semua ocehan Zeefanca. Menurutnya, itu sangatlah tidak penting sama sekali.
"Apa ada yang salah, nona. Sebaiknya, kamu, makan dan minum. Jangan sampai kekurangan gizi setelah kami pulangkan nanti." Sahut Ahmed
"Katakan jika minum kalian sudah habis." Ucap Qaseem di sel sebelah
Nenek yang sering bersama Zeefanca mencoba menenangkan Zeefanca dan mengajaknya untuk sarapan bersama. Walau pun didalam hati Zeefanca ingin berteriak dan ingin bebas.
"Hentikan omong kosong mu, Zeefanca. Mereka bukanlah orang jahat." Ucap nenek itu
"Tidak jahat tapi menyandra kita. Bahkan bukan hanya kita berdua saja, nenek. Ada banyak, dan puluhan orang asli negara kita." Sahut Zeefanca
"Tidakkah, kamu, bisa melihat keadaan di dalam sini. Tidak ada yang menderita, walau pun kami merindukan keluarga kami di B." Ucap nenek itu
Mengunyah dengan perlahan, tanpa menyisakan makanan di piringnya. Sang nenek kembali bercerita kepada Zeefanca. "Sebentar lagi, kamu, akan terbiasa dengan ini semua. Melihat mereka saja pun sudah mampu membuat saya jatuh cinta." Sambungnya
Zeefanca terbelalak, merasa tidak percaya dengan ucapan nenek itu. Apakah para tentara itu, yang mereka sebut seorang mujahid benar-benar bersikap baik kepada mereka semua?
"Bismillahirrahmanirrahim ..."
Zeefanca menoleh ke sumber suara yang dia dengar. Terlihat beberapa tentara yang mereka sebut mujahid itu tengah duduk bersila. Dengan kedua tangan mereka yang memegang Al-Qur'an, yang selalu mereka baca dan hafal.
Suara merdu yang mereka dengarkan itu, mampu membuat mereka terbuai akan semuanya. Hingga ada beberapa dari mereka sampai hafal dengan bacaan para mujahid itu.
Zeefanca mengerutkan dahi, melihat beberapa orang di sebelahnya ikut melantunkan apa yang di baca oleh para Mujahidin itu. Zeefanca semakin heran, apakah ini semua sebuah hipnotis?
"Apa yang kalian lakukan?" Tanya Zeefanca dengan perasaan heran
"Setiap hari seperti ini, sampai kami hafal apa yang mereka bacakan itu." Jawab seorang wanita muda yang tidak jauh beda dengan dirinya
"Siapa nama, kamu?" Tanya Zeefanca kepada wanita itu
"Leha, ya ... Saya sampai hafal, haha." Ucapnya yang di akhiri gelak tawa. "Setiap saat mendengar mereka bergantian menghafalkan kitab mereka itu. Ya, mungkin itu seperti kitab." Sambungnya lagi
"Apakah tidak berbahaya, jika kita ikut mengucapkan itu semua?" Tanyanya dengan serius
"Entahlah, sepontan kepala kami dapat mengingatnya." Sahut Leha
Zeefanca duduk berdekatan dengan wanita muda yang bernama leha itu. "Sepertinya kita seumuran, saya 24 tahun dan, kamu?" Tanyanya kepada wanita yang bernama Leha itu
"Lebih muda setahun dari, kamu. Dari mana kamu berasal?" Leha bertanya kembali, berharap mereka tinggal di kota yang sama.
"Saya dari kota Be. Kemarin siang mereka semua tiba-tiba menyerang kota kami. Rumah tetangga kami rata karena bom mereka. Dan beberapa tentara negara kita tewas di tempat." Jelas Zeefanca dengan mata berkaca-kaca
Leha mengelus pundak Zeefanca karena merasa kasihan. "Saya sudah hampir sebulan jadi Sandra mereka. Dan yang lainnya, ada yang baru beberapa hari. Seperti nenek yang sering mengobrol dengan, kamu." Jelas Leha seraya menatap Zeefanca
"Kamu, tahu seorang mujahid itu yang bernama Ahmed." Sambungnya kembali
Zeefanca menatap serius wajah Leha. Wajah cantik khas negara mereka, dengan rambut sedikit pirang itu. "Ada apa dengannya?" Tanya Zeefanca penasaran
Leha tersenyum sumringah. "Suaranya begitu merdu, sama halnya seperti Qaseem. Hanya saja, Qaseem terlihat lebih tegas dan lebih berhati-hati dari pada yang lainnya." Jelas Leha dengan wajah sumringah itu
"Kamu, baru semalam disini. Saya sandra yang paling lama hidup di penjara mereka. Dan sejauh ini saya aman, belum pernah merasakan seperti sandra negera C yang di tahan negara kita." Leha kembali menceritakan semua kebaikan para Mujahidin
Di saat mereka asik bercerita, dan mendengarkan para Mujahidin yang menghafal Al-Qur'an. Suara merdu mereka mampu membuat hati Zeefanca merasa tenang. Mencoba memahami semua nasehat dan cerita dari teman barunya itu.
Sampai akhirnya Zeefanca sadar akan sesuatu, semua sandra itu berbicara selayaknya teman kepada musuh mereka. Apakah itu wajar? Apakah wajar jika kedua negara sedang melaksanakan perang, merebutkan salah satu kepemilikan suatu pulau. Justru, beberapa dari mereka malah terlihat berdamai dan seperti tidak ada masalah.
"Kamu, tahu jika nenek menyukai salah satu dari mereka?" Tanya Zeefanca
"Hem ... Bukan menyukai mereka, nenek itu sudah tua. Hanya mengagumi sifat mereka. Mereka yang menghargai kita disini, baik dan perhatian, apa lagi kepada orang tua." Jelas Leha dengan senyum manisnya
"Apakah kalian faham dengan mereka, sedangkan mereka menggunakan syal untuk menutupi wajah mereka itu. Dan ... Apakah mereka begitu buruk?" Ucap Zeefanca dengan rasa penuh penasaran
"Entahlah, tapi sebagian dari kami hafal. Termasuk dengan, Ahmed, Qaseem, Omar, dan Isa. Mereka yang lebih sering bercerita dengan kami semua. Yang lainnya hanya berbicara seadanya dan memberikan kebutuhan kami di sini." Jelas Leha
Zeefanca hanya diam mendengarkan penjelasan dari Leha. Kini, Zeefanca tanpa sadar memperhatikan seorang mujahid yang tengah fokus dengan kitab di tangannya. Apakah Zeefanca mencoba untuk memahami mereka satu persatu.
Mencoba untuk menghafal mata mereka, suara mereka. Bahkan, gerakan mereka apakah harus Zeefanca ingat dengan benar.
"Yang duduk sendirian di pojok, itu Qaseem. Pria gagah dan sungguh berkarismatik sekali. Sekilas mereka terlihat sama, namun jika di perhatikan mereka sangat jauh berbeda. Apa lagi tatapan mata mereka." Jelas Leha
"Apakah, kamu, pernah bertatapan langsung dengan mereka?" Tanya Zeefanca
"Tidak, mereka tidak mau menatap wanita. Tapi, mereka akan ramah, suka bercerita dan bercanda dengan sandra pria di sebelah. Tapi kita bisa melihat itu sih, tapi akan malu jika mereka menatap balik." Sahut Leha dengan sedikit berbisik kepada Zeefanca
"Oh ya?"
"Pernah dengan Ahmed. Waktu itu saya hampir pingsan, di pelukan Ahmed." Sahut Leha kembali
"Lalu?"
Zeefanca tampak serius mendengarkan cerita Leha kali ini."Apa yang terjadi dengan kalian?" Tanyanya lagi
"Saya kira, dengan keadaan lemas begitu bisa mengambil kesempatan. Tapi ... Saya malah di dorong dan terjatuh." Sahutnya dengan tertawa kecil
"Kejam sekali dia, seenaknya mendorong, kamu." Ucap Zeefanca dengan kesal
"Tidak, tidak ... Bukan begitu." Sahut Leha dengan pelan. "Mereka itu, sangat menjaga adab. Mereka tidak mau menyentuh wanita kalau tidak dalam keadaan terpaksa. Lagian salah saya juga, mencari kesempatan dalam kesempitan. Kirain sama seperti pria di negara kita." Jelas Leha dengan lirih dan penuh penyesalan
"Bagaimana caranya agar bisa kabur dari sini." Gumamnya dalam hati
Zeefanca, sangat berbeda dengan yang lainnya. Dia ingin sekali kabur dan lari dari penjara para musuhnya itu. Banyak hal yang coba dia pikirkan. Tidak lupa pula dia memikirkan apa yang akan terjadi juga.
Mereka hanya berdiam di dalam penjara, walau pun segala kebutuhan mereka terpenuhi. Walau pun terlihat enak hanya sekedar makan dan tidur, tapi Zeefanca tidak hanya memikirkan hal yang di anggap ringan oleh beberapa orang itu.
Zeefanca ingin melihat kembali kota kecil tempat kelahirannya. Bertemu dengan kerabat dan teman-temannya. Beraktifitas seperti orang normal lainnya. Tidak hanya diam dan menerima makanan.
"Saya ingin melihat matahari, sungguh membosankan hidup seperti ini. Lantas, mengapa mereka bisa betah berlama-lama di penjara musuh." Gumamnya lagi
Zeefanca, masih saja terus memikirkan cara agar bisa keluar dari penjara itu. Sampai beberapa mujahidin mulai berdatangan membawakan makanan dan keperluan mereka lainnya.
"Kalian boleh membersihkan badan, bergantian dan jangan berisik." Ucap Ahmed memberikan perintah kepada para sandera
"Ahmed, bolehkah saya berjemur sebentar?" Tanya Leha dengan wajah memohon.
"Hey, adik kecil. Tidakkah bisa memanggil saya dengan sopan?" Sahut Ahmed dengan gaya sok imut yang mampu membuat Leha semakin terpesona olehnya
"Ah iya, maaf kakak. Boleh tidak?" Jawab Leha kembali
"Silahkan, tidak ada waktu lebih dari sepuluh menit." Sahut Ahmed dan langsung pergi begitu saja. Namun berbeda dengan sandera pria yang terlihat begitu akrab dengannya.
"Leha." Zeefanca mengejar Leha dan merangkul bahunya. "Bagaimana mungkin, kamu, bisa tahu jika itu tadi Ahmed?" Tanya Zeefanca dengan rasa penasarannya
"Tentu, saya sudah pernah bilang. Selain Ahmed, ada Qaseem yang selalu kami ingat. Ada Omar yang suka bercanda, dan ada Isa yang suka bercerita." Sahut Leha dengan penuh percaya diri
"Bagaimana caranya?" Tanya Zeefanca lagi
"Sehari-hari kami bertemu, bagaimana tidak faham? Nanti, kamu, juga akan faham dengan sendirinya." Jelasnya
"Oh, oke." Zeefanca melepas rangkulannya di bahu milik Leha. Dan kembali berpikir, bagaimana caranya untuk bisa memahami mereka satu persatu. Dan bagaimana caranya untuk bisa menarik perhatian mereka. Agar misinya bisa terlaksana.
"Hey." Leha menepuk pelan pipi Zeefanca. "Apa yang, kamu, pikirkan? Apakah ada yang, kamu, sukai di antara mereka?" Tanya Leha dengan penuh penasaran
"Hemm, tidak. Hanya penasaran dengan pria yang tadi membangunkan, saya. Sepertinya dia orang yang sama di hari sebelumnya." Sahut Zeefanca yang mencoba mengingat kembali momen beberapa hari sebelumnya.
Seminggu telah berlalu, membuat Zeefanca mulai menghafal suara mereka. Dan Zeefanca merasa, pria itu adalah orang yang sama.
"Yang suka membangunkan di waktu subuh?" Tanya Leha
"Hem, ya. Benar sekali." Ucapnya
"Ah, sudah saya duga. Ada beberapa wanita yang menyukainya disini. Wajar jika, kamu, suka dengannya." Jawab Leha, dengan seolah-olah itu adalah hal yang wajar.
"Siapa dia?" Tanya Zeefanca lagi
Zeefanca berpikir, hanya pria itu yang dia ingat suaranya dan tatapan yang begitu menusuk. Ya, mungkin Zeefanca akan mencoba untuk mencari perhatian kepada pria itu.
"Qaseem. Dialah Qaseem, yang membuat orang lain terpesona. Selain jubir mereka, dan pimpinan tertinggi mereka." Jelas Leha dengan segala pengetahuannya tentang para Mujahidin yang menjadikan dirinya sandera itu.
"Qaseem." Zeefanca mencoba menyebut namanya dengan lembut, tersenyum sinis dengan banyak pemikiran yang akan dia lakukan nantinya.
Tanpa mereka sadari, mereka sudah lama berjemur dan sudah mendapatkan giliran untuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuh mereka agar terlihat lebih segar.
Selesai membersihkan tubuh mereka, Zeefanca dan Leha kembali bercerita banyak hal. Bercerita tentang kehidupan mereka di masa lalu, teman dan kerabat mereka. Tentunya sebelum mereka menjadi sandera.
"Saya pikir, bisa dengan mudah mendekati mereka. Sama halnya dengan pria di negara kita." Ucap Leha seraya menarik nafas dalam
"Kamu, terlihat frustasi. Apakah begitu menyukai, Ahmed?" Tanya Zeefanca
"Ya, tapi tidak tahu jika Ahmed itu apa." Ucapnya lagi
"Apa bagaimana?" Tanya Zeefanca yang tidak memahami ucapan Leha
"Apakah dia itu sudah beristri atau belum." Sahut Leha
Zeefanca membelalakkan matanya."kenapa dengan istri? Tidak harus memiliki kan? Kamu, bisa mendekatinya dan membujuknya. Kalian bisa tidur bersama, bukankah itu mudah?" Jelas Zeefanca yang mengatakan seolah-olah semua itu memanglah mudah
Leha menatap serius wajah Zeefanca. "Kamu, salah mengira mereka ini sama. Mereka tidak sama dengan pria di negara kita. Bisa tidur bersama walau pun tidak memiliki, itu sangat tidak benar. Menyentuh kita saja mereka tidak mau, bagaimana mungkin untuk bisa tidur bersama." Ucap Leha dengan frustasi
"Astaga, benarkah?" Zeefanca masih merasa tidak menyangka, apakah memang benar semua itu. Apakah semua pria itu memang tidak sama? Menurutnya selama ini semua pria itu sama saja. Termasuk pria hidung belang.
"Jika itu mudah, mungkin hidup saya tidak akan se membosankan ini, Zee." Sahut Leha
"Ya, kamu, benar. Setidaknya kita bisa bebas, itu jauh lebih baik." Ucap Zeefanca
Leha hanya mengedikkan bahu, dan melangkah menjauh dari Zeefanca. Merebahkan dirinya, dan berharap bisa mendapatkan apa yang Leha inginkan selama berada di penjara itu.
Jauh berbeda dengan Zeefanca yang berusaha untuk keluar dari penjara itu. Mencoba mencari celah, walau pun tidaklah mudah untuk melakukan itu semua.
Malam sudah mulai larut, satu persatu dari sandera sudah mulai tertidur. Begitu pun dengan Leha, yang sudah tertidur lelap. Zeefanca masih memikirkan untuk mencari celah agar bisa kabur.
"Hey. Bolehkah, saya ke kamar mandi?" Zeefanca mencoba memanggil salah satu mujahidin yang berjaga di penjara itu
Tanpa menjawab dan menatap Zeefanca, Mujahidin itu membukakan pintu dan membiarkan Zeefanca keluar begitu saja.
Zeefanca merasa heran, begitu mudah ternyata untuk mencari celah. Tanpa basa-basi, Zeefanca langsung berlari mencari jalan. Memperhatikan sekelilingnya yang terlihat sunyi itu. Sepertinya memang Zeefanca tidak diawasi oleh mereka.
"Aneh, ternyata mudah sekali. Tahu jika begini mudahnya, dari kemarin saya kabur." Gumamnya seraya memperhatikan sekelilingnya, berharap memang tidak ada orang lain di tempat itu
Tempat yang begitu sunyi dan minim penerangan, semakin jauh melangkah semakin gelap gulita. Zeefanca hanya bisa melihat warna hitamnya kegelapan. Mencoba meraba sesuatu, agar dia bisa tetap melangkah. Sampai beberapa waktu kemudian, Zeefanca dapat melihat remang-remang.
"Astaga, tempat apa ini. Gelap sekali, bagaimana mungkin mereka bisa betah di bangunan seperti ini." Ucapnya sedikit bergumam
Zeefanca mencoba memperhatikan ruangan yang sepertinya adalah terowongan. Mungkin memang itu adalah terowongan, dan kembali Zeefanca mengingat dia datang di tempat itu. Sepertinya itu memang jalan keluarnya.
Saat Zeefanca mulai menjauh dari penerangan. Zeefanca sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki, namun ...
"Kembali ke kamar."
Zeefanca tersentak kaget, bisa mendengarkan suara yang dia hafal. Namun tidak dapat melihat sosok dari suara tersebut
"Zeefanca, kembali ke kamar." Ucapnya lagi
Zeefanca kembali terdiam, tidak ada penerangan sama sekali. Dan apakah itu hantu yang berbicara? Zeefanca mulai merasakan merinding di tubuhnya.
Bukannya menuruti ucapan seorang pria itu, Zeefanca malah terus melangkah maju dengan keadaan gelap gulita. Hingga akhirnya ...
"Huaaaa ..." Zeefanca teriak histeris saat merasakan ada yang menarik paksa tangannya
Tap!
Senter menyala tepat di wajahnya, bahkan Zeefanca tidak dapat melihat siapa pria yang menariknya itu.
"Apakah yakin, bisa keluar dari sini?" Ucap pria itu lagi
Zeefanca mencoba membuka matanya, walau pun terasa begitu silau. Mencoba menutupi cahaya dari celah-celah jemarinya.
Zeefanca hafal dengan suara itu, suara yang katanya itu adalah milik Qaseem.
"Qaseem?" Ucapnya lirih
"Apa, kamu, yakin?" Jawabnya dengan santai
"Ya." Sahut Zeefanca dengan kesal
"Kembali ke tempat, mu. Apa tidak takut sendirian di dalam gelap?" Tanya Qaseem dengan suara tegasnya itu
Zeefanca tampak masih berdiam diri, hingga akhirnya Qaseem terpaksa menariknya untuk bisa melangkah dan meninggalkan tempat itu.
"Apakah kalian suka di kasari?" Ucap Qaseem dengan kesal
"Mana ada wanita yang suka dengan itu." Teriak Zeefanca yang berlari kecil karena di tarik paksa oleh Qaseem
"Bukannya kalian tidak boleh menyentuh wanita?" Teriak Zeefanca yang kewalahan mengikuti langkah Qaseem. "Kamu, melanggar ajaran agamamu sendiri, Qaseem!" Tegas Zeefanca
Qaseem terdiam dan mendorong Zeefanca agar lebih dulu melangkah. "Begitu yakin jika saya ini Qaseem?" Ucapnya. "Jalan dan kembali!" Tegasnya lagi
Zeefanca melangkah dengan terpaksa, kali ini rencananya gagal total. "Saya tahu jika itu, kamu." Sahut Zeefanca
"Terserah, kembali dan tidur. Jangan pernah mencoba kabur sebelum kami yang memulangkan kalian." Tegas Qaseem
"Arogan sekali." Ketus Zeefanca
"Apa saya menyakitimu?" Ucap Qaseem dengan heran
"Kasar, dan tidak tahu cara lemah lembut dengan wanita." Ketusnya lagi
"Siapa, kamu?" Tanya Qaseem dengan percaya dirinya
Zeefanca berhenti melangkah dan menatap nyalang kepada Qaseem. Namun, Qaseem seketika mengalihkan pandangannya.
"Kenapa, kamu berpaling? Apakah saya begitu buruk?" Ucap Zeefanca yang semakin kesal dengannya
"Kami di haramkan memandang wanita, menundukkan pandangan itu kewajiban untuk kami." Tegas Qaseem
"Munafik! Lalu kenapa, kamu, menyentuh saya?" Ucap Zeefanca
"Jika tidak, kamu, akan tersesat semakin jauh. Dan saya pastikan, kamu, hanya tinggal nama." Sahut Qaseem seraya mendorong Zeefanca dengan senjata miliknya. Dan seketika itu Zeefanca kembali melangkah dengan perasaan kesal.
Melihat senjata yang begitu canggih, membuat nyali Zeefanca seketika itu ciut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!