Dipertemukan di kesempatan yang tak terduga membuat tubuh Ghea menegang hebat. Suara bass yang Ghea dengar dari kamar sang kakak membuat matanya nanar. Apalagi, suara itu tengah menyanyikan lirik yang seperti sindiran keras untuknya di tiga tahun lalu.
Sungguh hebat diriku
Menyukai tanpa kata
Sungguh kuat diriku
Mampu memendam rasa
Terus mengagumimu
Sedangkan ku tau
Kita tak akan bersama
Hati Ghea terasa begitu perih. Sikap jahatnya tiga tahun lalu kembali berputar di kepala. Dia sudah salah bersikap. Seharusnya dia tidak seperti itu. Menyiakan lelaki yang begitu tulus dan lebih memilih lelaki alim yang ternyata berengseknya bukan main.
Niatan Ghea pun dia urungkan. Dia memilih untuk kembali ke kamar dengan sebuah penyesalan yang tiba-tiba datang. Memori indah bersama lelaki jangkung itu mulai berputar. Betapa bahagianya dia ketika bersama Reksa yang selalu menjadi happy virus untuknya.
.
Di meja makan, Ghea duduk berhadapan dengan lelaki yang sudah memakai pakaian formal. Di mata Ghea, penampilan Reksa sekarang jauh lebih berkharisma. Tata bicara Reksa pun begitu berbeda. Sungguh sangat berwibawa.
Mencuri pandang itulah yang Ghea lakukan. Sayangnya, lelaki itu bersikap seolah dirinya tak terlihat. Ghea harus terima itu semua. Sikap Reksa seperti itu karena ulahnya.
Ghea berharap itu adalah pertemuan pertama dan terakhir dirinya dengan Reksa. Namun, semesta seakan tidak mengabulkan harapan Ghea. Dia dipertemukan kembali ketika di Sydney. Sikap Reksa masih tetap dingin.
Sebuah kejadian yang tak terduga membuat mereka kembali saling bicara. Wajah pucat Ghea ketika masuk ke ruangan sang kakak ipar membuat Reksa curiga. Sedikit banyak dia tahu sifat Ghea. Tangan Ghea yang sudah memilin ujung bajunya membuat Reksa semakin yakin akan dugaannya.
Tanpa aba dari siapapun Reksa segera mencari tahu apa yang terjadi dengan Ghea. Tak memakan waktu lama, Reksa menemukan jawabannya. Mimik wajahnya seketika berubah. Ghea yang tengah memeluk lengan sang ayah terus menatap gelagat Reksa yang fokus pada layar benda pipih di tangannya. Wajah Reksa teramat serius.
Satu jam berselang, Reksa bangkit dari tempatnya. Dia berpamitan kepada orang yang berada di sana.
"Aku keluar dulu, ya."
Reksa menunjukkan wajah biasa di tengah hatinya yang sudah panas. Dia menatap sekilas Ghea yang juga tengah menatapnya dengan sorot mata sendu. Baru saja beberapa langkah keluar dari ruang perawatan Aleena, suara Ghea menghentikan langkahnya.
"Kak Reksa!"
Lelaki jangkung itu mulai menoleh. Ghea sudah berada tepat di hadapannya. Kepalanya menggeleng dengan pelan.
"Ketika gua sudah melangkah, haram buat gua untuk mundur."
"Tapi, Kak--"
Reksa menatap ke arah lengannya yang dipegang oleh Ghea. Aliran darahnya terasa menghangat. Perlahan, Ghea melepaskan tangannya yang berada di lengan Reksa. Kecanggungan pun kembali hadir.
Reksa menyentuh pipi Ghea. Sontak mata Ghea berair. Jari Reksa mulai turun ke bibir Ghea dan mengusapnya dengan lembut.
"Ini kan yang hampir si berengsek itu nodai."
Ghea tak bisa berkata. Air matanya luruh begitu saja. Bulir bening yang sudah terjun itu seakan tengah mengadukan kesedihan sang pemilik bola mata indah tersebut.
"Selama dia masih membawa nama gua untuk ganggu lu. Gua gak akan pernah bisa tinggal diam."
Reksa mulai membalikkan tubuhnya dan meninggalkan Ghea yang masih mematung dengan bulir bening yang semakin deras mengalir. Dia takut jika lelaki yang hampir menodainya dihabisi oleh Reksa.
Ghea masih setia menunggu Reksa kembali. Dia diam di depan lift menuju kamar perawatan sang kakak ipar. Hatinya sudah berdegup tak karuhan. Dua jam berselang, lelaki jangkung yang ditunggu Ghea keluar. Ghea segera menghampiri lelaki itu dengan wajah sembab.
"Gua keduluan kakak lu. Jadinya kebagian sisa."
Bukannya tertawa Ghea malah menangis. Reksa menghela napas kasar. Dia mendekat ke arah Ghea dan memeluk tubuh mungil itu. Membiarkan Ghea menangis di atas dadanya.
Setelah tangisnya reda, Reksa mengendurkan pelukannya. Dia mengusap lembut rambut Ghea. Kemudian, meninggalkan Ghea sendiri di sana. Hati Ghea tiba-tiba perih. Reksa yang dia kenal seperti orang asing sekarang. Senyum pun terukir tipis di wajah Ghea.
"Jangan berharap lebih, Ghe. Dia udah lu hancurin dan gak akan bisa kembali lagi seperti dulu."
.
Pagi harinya, Ghea yang memang tidur di rumah sang kakak tidak tahu jika Reksa sudah tidak ada di Sydney. Ketika dia mengunjungi Aleena yang masih berada di rumah sakit, dia terkejut akan ucapan sang ayah.
"Reksa udah balik ke Jakarta tengah malam tadi."
Ghea menyunggingkan senyum yang teramat miris. Reksa memang sudah sangat berubah. Dia seakan tengah berusaha tak ingin dekat lagi dengan Ghea.
"Karma ini, Ghe. KARMA!"
.
Ghea dan kedua orang tuanya masih berada di Sydney menemani Aleena dan Rangga. Bayang wajah Reksa mulai menghilang dari ingatannya. Dia harus sudah siap jika sering bertemu dengan Reksa nanti. Toh, pertemuan mereka tidak akan lama. Ghea harus bisa bersikap biasa. Melupakan kenangan-kenangan yang pernah terukir bersama Reksa.
Seminggu berselang, Ghea yang tengah melepas rindu dengan Axel yang baru saja datang membeku ketika melihat siapa yang tiba-tiba datang.
"Akhirnya , lu sampe juga."
Reksa tersenyum dan mulai melangkah menuju Ghea berada. Jantung Ghea sudah berdetak hebat, tapi Axel lah yang Reksa tuju.
Obrolan serius antara Axel dan Reksa serta kakak dan ayahnya membuat Ghea mengerutkan dahi. Tanda tanya besar bersarang di hatinya sekarang.
"Ada apa sebenarnya?"
Dua lelaki jangkung itu segera keluar rumah. Padahal, baru satu setengah jam mereka berada di sana. Rasa penasaran Ghea kini terbayar sudah. Dia tahu apa yang sedang terjadi.
Ghea akui Reksa sangat totalitas dalam bekerja. Tak sampai dua hari permasalahan perusahan sang kakak sudah menemukan titik terang. Ghea nampak bangga ketika ayah dan kakaknya memuji kinerja Reksa yang luar biasa. Akan tetapi, ada sebuah kalimat yang membuat Ghea terdiam.
"Nanti malam aku pamit pulang ke Jogja."
Ada raut kecewa yang Ghea tunjukkan. Semalam Reksa baru saja memberikan kehangatan untuknya. Di mana dia begitu khawatir akan punggung kaki Ghea yang terkena air panas. Tapi, sekarang Reksa seakan kembali menghindari dirinya lagi.
"Kenapa buru-buru?" tanya ibunda Ghea.
"Kasihan Agha nge-handle kerjaan sendirian."
Ghea memilih untuk menjauh dari sana. Dia bergelut dengan pikirannya sendiri. Hingga dia memutuskan untuk menemui Reksa sebelum dia kembali ke Jogja. Ghea ingin meminta maaf atas sikap jahatnya tiga tahun lalu. Juga dia ingin berterima kasih karena Reksa selalu membantunya setiap kali bertemu.
Langkah Ghea terhenti ketika dia mendengar Reksa tengah berbincang dengan seseorang di balik sambungan telepon.
"Malam ini aku terbang dari Sydney. See you di Jogja, Nuna." Kalimat itu terdengar begitu lembut di telinga Ghea.
"Ternyata ini alasannya kenapa kamu menjadi dingin."
...***To Be Continue***...
Tinggalkan komennya, ya. Kalau bisa banyakin biar aku up 2 bab sehari.
Sesuai dengan perkataan Reksa, di tengah malam dia berpamitan kepada penghuni rumah tersebut. Axel terlihat sedikit kecewa karena betapa singkatnya Reksa berada di sana. Padahal, mereka baru saja berjumpa.
"Hati-hati, ya. Jaga putra Tante dan calon menantu Tante."
"Tentu, Tan."
Disela senyum yang dia ukirkan, ujung matanya mencari sosok yang sedari sore tak dia jumpai.
"Adek udah tidur."
Kalimat Aleena membuat wajah Reksa sedikit pucat. Dia tertangkap basah oleh kakak ipar Ghea yang tersenyum penuh arti. Sedangkan Axel sudah menahan tawa.
.
Ghea sedari tadi berada di depan jendela kamar yang mengarah ke arah halaman. Di sana sudah ada mobil yang akan mengantar Reksa. Wajah Ghea begitu sendu. Satu nama yang masih menempel di kepala Ghea sampai saat ini, Nuna.
Tak lama berselang, dia melihat lelaki jangkung itu masuk ke dalam mobil. Dia tersenyum perih. Tiga tahun berlalu ternyata banyak merubah semuanya. Termasuk hatinya yang kini mulai menyimpan sesal atas sikapnya terhadap Reksa. Juga menimbulkan sebuah rasa yang tak dia duga.
"Aku harap ini hanya rasa biasa yang nantinya akan menghilang begitu saja."
.
Ghea yang biasa ceria, hari ini terlihat lebih senang mengurung diri di kamar. Aleena dan Rangga sudah memaksa Ghea untuk turun dan bermain dengan Pangeran, tapi Ghea selalu beralasan jika dia tak enak badan.
Axel mengetuk pintu kamar Ghea sebelum dia masuk. Terlihat Ghea tengah asyik bergelut dengan gawai di tangannya.
"Kamu kenapa, Ghe?"
Suara Axel membuat Ghea menegakkan kepala. Dia menatap Axel yang kini sudah duduk di samping tempat tidur. Axel sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri.
"Enggak apa-apa, Kak."
Ghea masih bisa menyunggingkan senyum di depan Axel. Namun, Axel tak bisa Ghea bohongi.
"Terkadang, kita baru merasakan yang namanya sayang sungguhan ketika dia sudah pergi dan berubah. Ketika dia ada di samping kita, tanpa sadar kita menyiakannya."
Sentilan keras yang Axel berikan untuk Ghea. Kepala Ghea pun kembali menunduk. Axel mengusap lembut ujung kepala adik dari Agha tersebut.
"Boleh menyesal, tapi jangan kebablasan. Kamu juga berhak mendapatkan kebahagiaan."
Axel memeluk tubuh Ghea dengan begitu erat. Mengusap lembut punggung Ghea. Kehadiran Axel mampu membuat Ghea tenang. Beban yang ada di hatinya perlahan menghilang. Meskipun, dia tidak menceritakan, Axel tahu semua perasaannya.
Tiga hari kemudian, sebuah kejutan pun Ghea dapatkan dari sang ayah. Sebuah tiket pesawat Aksa berikan kepada sang putri. Ghea mengerutkan dahi ketika membaca tempat yang ayahnya pilihkan.
"Kamu sudah lama kan pengen ke sana. Mumpung ada Mas dan calon istrinya di sana. Jadi, kamu bisa liburan bersama di sana selama tiga hari. Setelah itu, kalian akan kembali lagi ke Jakarta."
Jogja memang tempat yang ingin Ghea kunjungi untuk liburan. Tapi, tidak untuk sekarang. Dia ingin menyudahi rasa yang salah. Sang ayah malah mendekatkan dirinya dengan lelaki tersebut. Menolak pun Ghea tidak bisa. Apalagi melihat wajah ayahnya yang terlihat begitu ceria.
"Terimakasih, Daddy."
Ghea berhambur memeluk tubuh Aksara. Dia pura-pura senang agar tak mengecewakan orang yang dia sayang. Riana sudah menyiapkan perlengkapan untuk Ghea ke Jogja.
"Jaga diri baik-baik ya, Dek. Mas kamu nanti akan jemput di Bandara."
Ghea hanya mengangguk. Tersenyum ke arah sang ibu yang menatapnya dengan begitu tulus.
Malam ini, Ghea masih betah berada di kamar Pangeran. Dia terus menatap bayi yang belum ada satu bulan tersebut. Sang keponakan yang memiliki aura tenang membuatnya hatinya ikut tenang jika berlama-lama memandang wajah bayi tersebut.
"Aunty pasti akan merindukan kamu," gumamnya sambil mengusap lembut pipi merah Pangeran.
"Apa kamu sedikit keberatan?" Suara sang kakak membuat Ghea menoleh.
Lelaki yang semakin ke sini semakin tampan itu sudah mendekat ke arah Ghea. Dia seakan tahu apa yang tengah Ghea pikirkan dan rasakan. Dia mengusap lembut ujung kepala sang adik.
"Enggak kok, Kak."
Rangga tersenyum mendengar jawaban sang adik. Dia ikut duduk di karpet bulu di mana Ghea berada. Rangga tak berbicara apa-apa. Namun, pelukannya yang tiba-tiba membuat hatinya mencelos seketika.
"Have fun di sana, ya. Bawa kabar baik setelah itu."
Dahi Ghea mengkerut setelah mendengar ucapan sang kakak. Dia belum paham dengan kalimat yang kakaknya utarakan.
Ada bahagia dan tak selera. Itulah yang Ghea rasakan sekarang. Dia sudah menuju bandara diantar oleh kedua orang tuanya.
"Yang akur sama calon kakak ipar," ujar sang ibu.
"Iya, My."
.
Selama mengudara, pikiran Ghea ters berkelana. Dia sudah bertekad untuk menjaga jarak terhadap Reksa. Dia tidak ingin menjadi perusak. Dia juga terus memposting hal-hal yang ceria di media sosial. Bisa dibilang kini Ghea menjadi manusia bermuka dua.
Pesawat sudah mendarat dengan selamat. Kegalauan Ghea pun sedikit menghilang setelah dia keluar dari pesawat. Menghirup udara tanah air yang dia rindukan.
"Akhirnya," gumam Ghea dengan rona bahagia.
Dia segera menuju ke pintu keluar setelah semuanya selesai. Sang kakak dan calon kakak iparnya sudah menjemputnya. Wajah sumringahnya pun terpampang begitu nyata.
Namun, seketika langkahnya terhenti ketika melihat lelaki jangkung yang dia kenali memeluk seorang wanita cantik dengan begitu erat. Pelukan itu seperti pelukan perpisahan. Ghea seketika terasa perih dan sakit kembali. Seperti dipatahkan dengan sengaja. Bertepatan dengan itu, Apang mengirimkan sebuah foto kepada Ghea.
"Apang kita dia gak normal."
.
Tibanya di rumah yang dihuni oleh sang kakak, Agha melihat wajah adiknya yang sangat berbeda. Foto itu membuat hatinya patah berkeping-keping.
"Are you okay?" Sang kakak sudah membuka suara.
"Hug me!"
Agha memeluk tubuh Ghea dengan begitu erat. Begitu juga dengan Ghea yang membalasnya tak kalah erat. Kehangatan mulai menjalar di tubuhnya. Sang kakak selalu menjadi obat penawar di setiap rasa sedihnya.
Agha tak menanyakan apapun kepada sang adik. Dia tidak ingin memaksa adiknya untuk sekarang ini. Biarlah nanti Ghea yang bercerita sendiri.
.
Ghea menghela napas lega karena dia tidak bertemu dengan sahabat sang kakak. Dia harus menjaga jarak dan tidak terbuai akan sikap hangat Reksa. Kenyataan yang sesungguhnya membuat dia harus membuka mata.
Sayangnya, semesta seakan terus mempertemukan mereka. Ghea yang hendak turun ke dapur berpapasan dengan Reksa yang hendak naik ke lantai atas. Mereka berdua kompak berhenti dan menatap satu sama lain. Namun, Ghea segera mengakhiri pandangannya dan melanjutkan langkahnya. Reksa memandangi punggung Ghea yang semakin menjauhinya.
"Kenapa dia ada di sini?"
Ghea menghela napas kasar. Dia memilih mencari cemilan. Memakannya di meja makan seorang diri sambil menunggu sang kakak pulang. Setengah jam berselang. Derap langkah kaki terdengar. Ghea tahu siapa yang datang.
"Lu udah makan belum?"
"Nunggu Mas Agha."
"Dia pulang malam." Reksa masih memandang Ghea yang kini berkutat dengan benda pipih
"Gak apa-apa"
Begitu datar dan dingin kalimat yang terlontar dari mulut Ghea. Perempuan itupun kini berdiri dan mulai meninggalkan Reksa tanpa memandang Reksa sedikit pun. Lelaki jangkung itu hanya bisa terdiam melihat sikap Ghea yang tidak seperti di Sydney Minggu kemarin.
Ghea memang sedang menonton televisi, tapi pikirannya berkelana ke mana-mana. Hingga suatu suara benda diletakkan di atas meja membuat Ghea tersadar.
"Ganjel perut dulu. Udah gua buatin mie," ujar Reksa.
Tak ada jawaban sama sekali dari Ghea. Dia malah memasukkan kacang almond ke dalam mulutnya. Ghea mendengar Reksa menghela napas kasar. Kemudian, lelaki itupun pergi meninggalkannya. Ghea melihat ke arah mie cup kesukaannya sudah tersaji. Namun, tak ada keinginan darinya untuk menyantap mie itu.
"Pasti rasanya hambar."
...***To Be Continue***...
Boleh minta komennya? Banyakin ya biar nanti up lagi.
Niat hati ingin melupakan dan menjauh, tapi malah terus didekatkan. Itulah Ghea sekarang.
"Rasa ini salah, Ya Allah. Kenapa harus didekatkan lagi dengan dia?"
Sebuah ajakan sang calon kakak ipar membuat Ghea terdiam. Salju mengajak Ghea jalan-jalan keliling Kota Jogja malam ini. Ghea tidak mungkin menolak karena tujuan dia ke Jogja memang ingin menikmati Kota Jogja di malam hari.
"Lu juga ikut," ujar sang kakak kepada Reksa yang tengah sibuk sendiri.
Lelaki jangkung itu hanya berdehem. Sedangkan Ghea hanya dapat menghela napas berat. Namun, dia juga tidak bisa protes. Dia tidak ingin kakaknya menaruh curiga.
Reksa meletakkan roti tawar tanpa pinggiran yang sudah diolesi selai cokelat ke atas piring Ghea. Perempuan yang duduk berhadapan dengam Reksa sangat terkejut. Dia menatap cukup lama ke arah roti yang ada di depannya. Tak lama berselang, dia menatap ke arah Reksa yang tengah mengoleskan selai strawberry ke atas roti yang hendak dia makan.
"Kenapa dia masih ingat?"
Pagi yang membuat Ghea harus kuat iman. Dia tidak boleh goyang hanya karena sikap Reksa yang mulai menghangat. Ghea tidak ingin merusak hubungan Reksa dengan Nuna.
Setelah sang kakak dan Reksa berangkat ke kantor, Ghea merapalkan doa dengan begitu serius.
"Semoga dia gak ikut."
Sayangnya, doa Ghea tidak terkabul. Reksa ikut serta keliling Kota Jogja sambil menikmati kulineran khas Kota gudeg. Tibanya di salah satu tempat nongkrong anak muda, suasana di sana sudah sangat ramai. Padahal, Agha dan tiga orang lainnya datang masih sore.
Suasana yang cukup padat membuat Agha menggenggam erat tangan Salju dan Ghea tidak boleh jauh darinya. Ghea berada di belakang sang kakak dengan memegang ujung baju Agha bagian belakang layaknya anak kecil. Namun, telapak tangan yang begitu lebar menggenggam erat tangannya. Ghea terdiam sejenak. Dia menatap ke arah tangannya. Kemudian, menatap ke arah lelaki yang memiliki telapak tangan lebar tersebut.
Reksa bersikap biasa dan masih melanjutkan langkahnya dengan menatap lurus ke depan. Ujung mata Reksa dapat melihat keterkejutan Ghea.
"Bukan hanya Mas lu yang harus gua jagain. Lu juga sama. Harus gua jaga."
Ghea dapat merasakan kehangatan walaupun nada bicara Reksa begitu dingin.
"Dek, jangan jauh-jauh dari Mas."
Agha menoleh ke arah Ghea yang berada di belakangnya bersama Reksa. Ghea hanya mengangguk dengan hati yang berdegup. Dia takut sang kakak melihat tangannya yang digenggam oleh Reksa.
Setiap kali pejalan kaki mulai padat, genggaman tangan itu semakin erat Reksa berikan. Sesekali dia juga merengkuh pinggang Ghea untuk semakin dekat kepadanya.
Keringat mulai bercucuran di wajah Ghea karena panas berdesakkan. Reksa mengeluarkan sapu tangan miliknya untuk mengelap keringat Ghea. Sontak tubuh Ghea mematung. Ghea menatap wajah Reksa dengan begitu dalam. Lelaki jangkung itu sungguh begitu tampan jika dilihat dari dekat. Wajah Reksa begitu serius.
Reksa sama sekali tak melepaskan genggaman tangan Ghea tersebut. Sampai di mana mereka berhenti di sebuah tempat makan yang kata Salju enaknya bukan main. Wajah Ghea terlihat memerah bagai kepiting rebus karena efek keringat yang bercucuran.
"Muka lu perih gak?"
Ghea menoleh ke arah Reksa. Tangan Reksa mengusap lembut pipi Ghea seraya berkata, "merah."
Tangan itu masa hangat seperti tiga tahun lalu. Perhatiannya tidak berubah meskipun sikapnya dingin.
Wajah Reksa terlihat begitu cemas. Dia masih memperhatikan Ghea ketika mereka sudah mendapat tempat di kedai makanan tersebut.
"Dek, muka kamu kenapa merah?"
Salju terlihat bingung dengan kondisi wajah Ghea. Sang calon adik ipar hanya tersenyum.
"Kalau kepanasan terus keringetan begini," sahut Ghea.
"Tapi, gak apa-apa kan?" Salju pun khawatir.
"Enggak, Kak."
Seulas senyum Ghea berikan. Tak lama berselang, dua botol air mineral merk ternama, tapi sedikit langka dibawakan oleh seseorang dari arah luar.
"Mas, ini air yang Mas pesan."
Lelaki muda itu memberikannya kepada Reksa. Agha mengerutkan dahi. Apalagi dia melihat Reksa memberikan dua botol air mineral itu kepada sang adik. Ghea pun menerimanya.
"Adek ke toilet dulu, ya."
"Aku antar," balas Salju dengan cepat.
Dua perempuan itu menuju toilet. Sedangkan Agha menatap tajam Reksa yang terlihat biasa saja.
"Jelasin!"
"Cuci muka pake air mineral merk itu bisa mengurangi kemerahan di muka adik lu."
Kedua alis Agha menukik tajam mendengar penjelasan Reksa. Dia masih menatap tajam ke arah sahabatnya itu.
"Apa lu lupa? Empat tahun gua jagain adik lu."
Agha pun terdiam. Reksa mampu menutup rapat semuanya. Kemampuan Agha meretas sesuatu masih kurang dibandingkan kemampuan Reksa. Dua wanita itu sudah kembali. Agha menelisik wajah Ghea yang memang terlihat sedikit membaik. Tidak Semerah tadi. Reksa tersenyum tipis melihat reaksi Agha.
Menikmati makanan dengan gelak tawa membuat Ghea tidak canggung lagi terhadap Reksa. Mereka nampak sangat menikmati malam itu. Ghea yang dapat tertawa lepas membuat Reksa tak melepaskan pandangannya pada pemilik tawa yang begitu cantik.
Ponsel Reksa yang berada di atas meja menyala. Nama seseorang muncul di sana. Seketika Reksa membalikkan ponselnya.
Tengah malam mereka berempat baru meninggalkan tempat tersebut. Namun, masih ramai pengunjung. Reksa menggenggam tangan Ghea kembali. Kali ini Ghea tak berbicara apapun. Apalagi tangan Ghea Agha masukkan ke dalam saku Hoodie yang Reksa gunakan.
"Jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini."
Tiba di rumah pun, Reksa mengetuk pintu kamar Ghea. Sudah satu jam lalu dia masuk ke kamarnya. Ghea keluar dengan wajah polos dan hanya memakai piyama.
"Susu cokelat dulu sebelum tidur."
Segelas susu cokelat hangat Reksa berikan kepada Ghea. Ternyata lelaki itu tidak lupa akan rutinitas rutin Ghea sebelum tidur.
"Makasih."
Reksa hanya mengangguk. Sebelum dia pergi dia mengucapkan kalimat selamat malam, "mimpi yang indah."
Ghea masih berdiri di ambang pintu. Menatap punggung Reksa yang mulai membuka pintu kamar yang dia tempati. Dia sudah menekan gagang pintu, tapi sebelum dia masuk, dia menoleh ke arah Ghea yang masih berdiri di sana. Lengkungan senyum manis Reksa berikan.
"Amankan hatiku, Ya Allah."
Saking manisnya senyuman itu membuat Ghea tak bisa berkutik. Dia menjelma menjadi cewek gila tak tahu diri sekarang. Ghea menatap ke arah telapak tangannya yang digenggam oleh Reksa selama mereka jalan malam tadi.
"Rasanya masih sama, tapi status kamu sudah berbeda."
Ghea menghela napas begitu kasar ketika dia teringat akan kenyataan yang harus dia terima. Ghea mulai merebahkan tubuhnya. Memeluk guling sambil menatap langit kamar.
"Boleh gak sih aku jadi perebut pacar orang?"
.
Ghea yang baru saja keluar di pagi hari, harus menghentikan langkahnya ketika mendengar sesuatu dari kamar Reksa.
"Semalam aku udah tidur. Maaf, ya."
"Sadar, Ghe! Dia udah punya yang spesial."
...***To Be Continue***...
Boleh minta komennya? Kencengin atuh biar aku tetap up rutin setiap hari.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!