Pagi-pagi sekali Rena sudah bangun untuk menyiapkan sarapan. Ia hanya membuat nasi goreng menggunakan sisa nasi semalam, selain itu ia juga membuat roti sandwich yang hendak dibawanya ke sekolah sebagai bekal makan siangnya nanti.
Rena si gadis remaja 16 tahun itu begitu telaten memasak di dapur. Tiga bulan yang lalu sang ayah meninggal dunia karena penyakit stroke, dan kini gadis itu hanya tinggal berdua saja dengan abangnya, Alvin. Alvin berusia 27 tahun dan bekerja di sebuah perusahaan kosmetik dan skincare sebagai salah satu staf di bagian keuangan sejak dua tahun lalu. Lalu ibu mereka juga sudah lama meninggal karena sakit saat Alvin masih berusia 17 tahun dan Rena yang berusia 7 tahun.
Setelah menyiapkan sarapan dan bekal, Rena segera kembali ke kamarnya untuk siap-siap mandi. Sebelumnya ia melirik ke arah pintu kamar Alvin, abangnya.
"Bang Al, sudah bangunkah?" tanya Rena yang setengah berteriak sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar Alvin.
"Hmm, iya!" sahut Alvin di dalam sana dengan suara yang terdengar berat, sepertinya baru bangun tidur.
"Sarapan sudah siap ya bang, aku tunggu di meja makan," ujar Rena lalu bergegas masuk ke kamarnya.
***
Rena pun keluar dari kamarnya sudah dalam keadaan wangi dan rapih dengan mengenakan seragam putih abu-abunya. Begitu sampai di meja makan, ia melihat Alvin juga sudah tampak rapih dengan kemeja kantornya. Alvin sedang menikmati nasi goreng buatan sang adik tercinta. Kedua kakak-beradik itu kini saling menguatkan setelah kepergian orang tua mereka kepada Sang Pencipta.
"Gimana sekolah kamu Ren?" Tanya Alvin sekedar basa-basi saat melihat sang adik juga turut sarapan bersamanya.
"Awal semester masih aman-aman aja kok,"
"Kamu kalau butuh les tambahan bilang saja ya, abang masih bisa kok biayai satu atau dua les yang kamu mau,"
Rena hanya mengangguk pelan. Sejujurnya ia sangat berat jika harus terus menerus merepotkan sang kakak yang kini menjadi tulang punggung baginya. Dulu, sebelum sang ayah meninggal, Alvin bukanlah sosok abang maupun kakak yang baik bagi Rena. Ia terkesan acuh dan kadang juga bersikap jahat pada gadis itu. Dulu ia merasa cemburu saat orang tuanya mencurahkan kasih sayang dan begitu memanjakan Rena karena dia adalah anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan dalam keluarganya.
Apalagi saat Alvin bekerja sebagai staf keuangan di PT. Mahendra Jaya Abadi, ia sangat sibuk dan jarang ikut berkumpul dengan adik dan ayahnya. Ditambah lagi ia memiliki seorang kekasih yang telah resmi bertunangan dengannya beberapa minggu sebelum kematian sang ayah.
"Abang duluan ya," Alvin tak menghabiskan sarapannya, ia segera meneguk segelas air putih hingga habis setengah. "Kamu masih ada uang untuk pesan ojol kan?" Tanya Alvin memastikan sebelum ia benar-benar pergi sambil membawa tasnya.
"Ada bang," jawab Rena, dan seketika Alvin melenggang pergi meninggalkannya sendirian. Saat menatap kepergian Alvin, Rena mendapati dengan kedua matanya kalau name tag sang kakak tidak sengaja terjatuh di lantai. Rena segera bangkit dan melangkah mengambil name tag itu.
"Bang Alvin!" panggilnya dan segera menyusul sang kakak yang sudah sampai di ambang pintu rumah mereka.
"Name tag-nya tadi jatuh," jelas Rena yang melangkah menghampiri saat Alvin menoleh kepadanya.
Alvin menerima name tag-nya sambil tersenyum sekilas. Saat itu juga beberapa mobil memasuki pekarangan rumahnya. Alvin menatap terkejut, dan Rena menatap dengan raut bingung mobil-mobil tersebut.
Alvin seketika menjatuhkan tas dan name tag-nya di lantai saat melihat orang-orang yang turun dari mobil adalah para polisi dengan seragam yang lengkap juga polisi yang berpenampilan seperti intel.
"Saudara Ahmad Alvin, kami membawa membawa surat perintah penangkapan untuk anda atas tindakan korupsi dan pencucian uang," sahut salah satu polisi Intel yang baru tiba bersama rekan-rekan lainnya dan segera mengelilingi Alvin selaku tersangka yang akan ditangkap dan dibawa.
Alvin tampak pasrah saat dibekuk dan kedua tangannya pun diborgol oleh anggota kepolisian.
"Ini ada apa pak? Kok kakak saya diborgol?" sahut Rena dengan gusar dan hendak memegangi kakaknya namun dihalangi oleh polisi.
"Adek tidak dengar tadi ya, kalau kakakmu ini tersangka kasus korupsi dan pencucian uang di perusahaan tempatnya bekerja," jawab si polisi intel yang membawa surat perintah penangkapan.
"Bang Al, kenapa bisa begini?" Rena tampak syok dan panik, kedua matanya pun berkaca-kaca.
Alvin tak menjawab, ia hanya tertunduk dan pasrah saat dibawa pergi oleh polisi.
"Bang Alvin!" teriak Rena yang mengejarnya di belakang saat sang kakak dibawa pergi oleh para polisi.
Alvin menoleh dan meminta pengertian para polisi agar memberinya waktu untuk bicara dengan adiknya.
"Rena, kamu tunggu di sini. Abang harus tetap ikut mereka ke kantor polisi. Kamu bisa kan telpon Tamara dan memberitahunya soal apa yang terjadi kepadaku, dan kalau semisalnya abang harus di penjara, abang akan minta Tamara untuk jagain kamu ya," pesan Alvin yang kemudian dibawa pergi oleh para polisi.
"Bang Alvin! Jangan tinggalin aku," Rena menangis sejadinya. Para polisi itu menatap iba, begitupun Alvin, tapi mau bagaimana pun hukum dan peraturan harus ditegakkan. Alvin bisa menjelaskan semuanya saat di kantor polisi nanti.
Seorang supir segera turun dari sebuah mobil Rolls Royce yang tadi datang bersamaan dengan mobil para polisi, ia segera membuka pintu belakang dan sesosok pria dengan setelan rapih turun dari mobil mewah itu. Pria itu tinggi tegap, sorot mata hitamnya bagai mata elang, wajahnya pun ditumbuhi rambut-rambut halus yang disebut brewok. Ekspresinya menatap kesal dan penuh marah kepada Alvin sebelum ia dibawa naik mobil oleh polisi.
"Pak Bas, maafkan saya," Alvin tertunduk malu dan seketika air mata penyesalannya pun luruh.
Lelaki yang dipanggil Pak Bas itu tidak menyahut. Tapi ia merasa puas hari ini karena bisa menangkap salah satu orang yang telah membuat rugi keuangan perusahaannya.
"Walaupun kamu pantas menerima hukuman penjara, saya tidak akan pernah memaafkan kesalahan fatal yang telah kamu buat," sahutnya dengan tatapan yang tajam kepada Alvin. "Korupsi dan pencucian uang itu jauh lebih biadab dari sekedar menghilangkan nyawa orang lain,"
"Kakak saya tidak mungkin korupsi!" erang Rena kepada pria yang dipanggil Pak Bas itu.
Pria itu menoleh kepada si gadis remaja yang berlinang air mata. Saat menatap netranya yang bening dan basah, pria itu terdiam dan terpaku, memorinya kembali membawanya ke masa silam, di mana ia pernah jatuh cinta pada pemilik netra bening dan indah seperti gadis di hadapannya ini.
Sorot matanya kenapa begitu mirip? Bathin pria itu. Rena sendiri pun jadi bingung dengan respon pria dewasa yang sangat berkharisma itu. Hanya diam menatapnya.
Pria itu meminta kepada sopirnya untuk mengambil sesuatu di dalam mobilnya. Sang sopir mengangguk paham dan tidak lama kemudian ia memberinya sebuah map. Pria itu mengambil map itu dan melemparkannya langsung ke bawah kaki Rena.
"Kamu baca itu! Itu adalah laporan transaksi mencurigakan dari bagian keuangan perusahaan dengan beberapa rekening mencurigakan yang setelah ditelusuri dibuat atas nama kakakmu ini," jelas pria itu sambil menunjuk-nunjuk ke arah Alvin yang tertunduk malu dan menyesali perbuatannya.
Rena mengambil map itu dan membukanya untuk membacanya sesuai perintah pria itu. Ia semakin kaget saat melihat data transaksi mencurigakan itu sampai bernilai milyaran rupiah.
"Bang Alvin," Rena menatap sedih dan kecewa pada kakaknya.
"Maafin kakak ya dek, kakak menyesal," ucap Alvin turut sedih, kemudian ia pun dibawa pasrah masuk ke dalam mobil.
Tangis Rena semakin menjadi-jadi ketika Alvin dibawa pergi oleh polisi dan tetangga-tetangga sekitar rumahnya berkumpul di depan pagar untuk melihat dan menggunjing perbuatan tidak bermoral Alvin yang telah terbukti melakukan tindakan korupsi di perusahaan tempatnya bekerja.
Pria yang dipanggil Pak Bas itu segera masuk kembali ke dalam mobilnya. Sementara sopirnya meminta kembali map tersebut kepada Rena.
"Yang sabar ya dek, Tuan Baskara itu orang yang sangat menjunjung tinggi kejujuran dan kakakmu benar-benar terbukti melakukan tindakan korupsi," sopir itu tampak iba pada sang gadis remaja yang kini dirundung kesedihan seorang diri. Melihat Rena, ia jadi teringat dengan putrinya sendiri yang ia duga pasti seumuran Rena karena sama-sama murid SMA.
Saat masuk di dalam mobil, Pak Bas yang bernama lengkap Baskara Aditya Mahendra itu tak lepas menatap ke arah Rena yang sedang berhadapan dengan sopirnya. Ia kembali teringat dengan gadis bermata bening di masa lalunya dulu dengan perasaan senang namun di satu sisi ia juga merasa terluka dan begitu rapuh.
Setelah peristiwa penangkapan Alvin oleh pihak kepolisian, pagi itu Rena tidak ke sekolah. Wali kelas dan juga beberapa teman-temannya menghubunginya, menanyakan keberadaannya. Rena hanya bilang kalau ia sedang kurang enak badan jadi tidak ke sekolah.
Rena masih begitu syok. Sekarang ia kepikiran, kalau Alvin di penjara, maka mulai hari ini ia akan hidup sebatang kara tanpa orang tua, juga tanpa saudara. Rena kembali menangis sambil menatap foto kedua orang tuanya yang tertata rapi di nakas ruang tamu.
"Ayah, ibu, Rena harus gimana sekarang? Rena sungguh tidak menyangka kalau Bang Alvin korupsi, Rena tahu bang Alvin itu baik, Rena ingin membantah, tapi memang benar terbukti kalau Bang Alvin itu korupsi di perusahaan. Apa mungkin Bang Alvin difitnah?"
"Rena! Rena!' teriak seseorang dari luar.
Rena meletakkan kembali foto orang tuanya. Ia bergegas keluar dan melihat Tamara, tunangan Alvin sedang melangkah tergesa-gesa menghampirinya yang tengah berdiri di ambang pintu rumah.
"Kak Tamara," Rena menghapus air matanya, "aku baru mau menelponmu kak,"
"Alvin sudah menelponku dari kantor polisi," jawab Tamara, ia tidak kelihatan khawatir apalagi bertanya kepada Rena kenapa bisa tunangannya itu ditangkap.
Tanpa dipersilahkan, Tamara segera masuk ke dalam rumah. Rena mengekornya di belakangnya, "kak sekarang kita harus bagaimana? Kita harus mencari pengacara untuk membela kakakku, bisa saja bang Alvin difitnah telah melakukan korupsi dan pencucian uang," pikir Rena, ia masih berharap jika Alvin tidak benar-benar bersalah.
Tamara tidak peduli, ia kini memasuki kamar Alvin dan mulai mencari-cari sesuatu di dalam kamar itu.
"Kak Tamara dengar aku nggak sih?"
Tamara yang sedang membuka laci meja, seketika berhenti lalu menoleh ke arah Rena yang berdiri di belakangnya, barusan gadis remaja itu setengah berteriak kepadanya.
"Kita tidak bisa membela kakakmu Rena, dia benar-benar terbukti melakukan korupsi," Tamara menatap kesal.
Rena serasa tak bisa menerima fakta itu, "oke kalau memang Bang Alvin korupsi, tapi pasti ada alasannya kan? Aku kenal Bang Alvin kak, aku ini adiknya. Orang tua kami selalu mengajarkan kami untuk bersikap jujur walaupun kami miskin,"
Tamara menghentikan lagi aktivitasnya mengacak-acak isi laci meja tulis di kamar Alvin. Ia kini berdiri menghadap gadis remaja itu. Rena menyadari tatapan Tamara kini berbeda, wanita itu yang sebelum-sebelumnya begitu ramah dan penuh senyuman kini tampak menatap dengan perasaan jijik dan penuh penyesalan.
"Iya, ada alasannya kenapa Alvin melakukan korupsi. Kamu lihat rumah ini? Kapan rumah ini direnovasi menjadi lebih bagus? Saat Alvin kerja di perusahaan kan? Uang dari mana? Dari gajinya sebagai staf keuangan di perusahaan itu. Lalu kamu lihat dia juga punya satu unit mobil Innova keluaran terbaru, belinya cash, bukan kredit. Uang dari mana? Gajinya selama bekerja di perusahaan itu. Bukan hanya rumah ini, tapi semua perabotan dan barang-barang di rumah kalian juga Alvin yang membelinya dengan uang hasil kerjanya di perusahaan itu. Coba kamu pikir lagi Rena sayang, kakakmu itu hanya staf biasa, hanya staf," Tamara menekankan sambil melipat kedua tangannya depan dada, tampak begitu angkuh. "Apa mungkin bagimu seorang staf biasa seperti kakakmu itu bisa membeli semua ini dengan gajinya padahal dia baru sekitar dua tahunan bekerja di perusahaan?"
Rena diam mencerna. Yang dikatakan Tamara adalah benar, sejak kakaknya bekerja di perusahaan, mereka yang semula hidup sederhana dan kadang juga kekurangan tiba-tiba mereka hidup serba berkecukupan, mampu renovasi rumah, membeli mobil, mengganti perabotan yang usang maupun rusak dengan yang baru, bahkan mampu membayar biaya pengobatan almarhum ayah mereka ketika dirawat di rumah sakit.
Tamara menghembus nafas dengan kesal, melihat Rena yang diam seperti orang yang bodoh.
"Walau bersalah, tetap boleh dibela sama pengacara kan?" Tanya Rena.
"Sudahlah Rena, tidak perlu sewa pengacara segala. Uang dari mana," Tamara benar-benar tidak mau peduli.
"Aku ada tabungan kok, itu bisa dipakai. Kak Tamara juga harusnya begitu, kalian ini sudah bertunangan sebentar lagi juga akan menikah,"
"Kamu pikir sewa pengacara itu, murah apa? Tidak usahlah, aku tidak mau buang-buang uang untuk itu,"
"Kak, Bang Alvin itu tunanganmu. Apa rasa cintamu sudah hilang setelah kakakku mengalami musibah ini?"
"Apa aku harus bertahan dengan seorang koruptor? Orang tuaku juga pasti akan menyuruh aku untuk pisah dengannya,"
"Aku mengerti kak Tamara pasti kecewa karena Bang Alvin korupsi, tapi setidaknya tolonglah bersimpati sedikit, kamu seperti tidak mengenalnya saja. Pasti ada alasan dia melakukan ini, bisa jadi juga dia difitnah,"
"Sudahlah Rena, kamu terima kenyataan saja, kakakmu itu sudah melakukan perbuatan yang sangat merugikan perusahaannya," Tamara kembali sibuk menggeledah isi kamar Alvin. Ia kini berpindah ke lemari pakaian.
"Kak Tamara cari apa sih?"
Tamara tak menggubris. Tak lama kemudian, perempuan itu memegang sebuah kotak bludru berwarna merah dan membukanya, tampak satu set perhiasan emas di dalamnya.
"Aku mengambil milikku. Ini dari kakakmu, dan dia memintaku mengambil barang ini di rumah kalian, dia bilang kalau perhiasan ini dia beli dengan uang tabungannya, bukan menggunakan uang hasil korupsi," jelas Tamara kepada Rena, melihat gadis itu menatapnya curiga dan juga tampak risih dengan tindakannya.
"Kak di saat begini kamu hanya memikirkan harta? Itu bisa dipakai untuk menyewa pengacara kak, walaupun dia bersalah aku ingin hukuman kakakku mendapatkan keringanan lewat bantuan pengacara,"
"Rena, kamu pasti pernah diajarin sama ayahmu untuk tidak membela orang yang terbukti bersalah kan?" Tamara menatap penuh kemenangan, ia lalu melangkah sambil memasukkan kotak set perhiasan itu ke dalam tas brandednya yang mahal lalu melangkah melewati Rena, hendak keluar dari kamar itu.
Begitu sampai di ambang pintu kamar Alvin, Tamara berhenti dan menoleh ke arah Rena yang tertunduk lesu menahan linangan air matanya. Sejahat-jahatnya dirinya, ia masih punya sedikit hati nurani melihat gadis remaja itu tampak sedih dan putus asa. Tamara melangkah mendekat, ia mengeluarkan dompetnya dan menyelipkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan ke dalam kepalan tangan gadis itu.
Rena mendongak dan ingin menghujat untuk apa memberinya uang segala, apa ia sungguh sangat menyedihkan?
"Kamu tidak perlu menolak, ini bantuan dari aku," ucap Tamara lebih lunak, walau raut mukanya masih tampak arogan. "Sebenarnya, Alvin memintaku menjagamu, membawamu tinggal di apartemenku, tapi maaf ya aku tidak bisa. Aku sibuk dengan pekerjaanku, tidak ada waktu bagiku untuk merawatmu. Kamu baik-baik ya di sini, kalau butuh apa-apa kamu bisa hubungi aku, selama aku tidak sibuk, aku akan berusaha membantumu," pesannya, walaupun sebenarnya ia tidak janji bisa seperti itu. Tamara hanya berkata saja, supaya gadis itu merasa tenang akan ditinggal sendirian di rumahnya.
Rena hanya diam mematung, kedua mata beningnya kembali berkaca. Tamara melihat lagi tangisan gadis itu.
"Kenapa kamu tidak coba untuk mencari keberadaan orang tua kandungmu?"
Rena menghapus air matanya ketika Tamara berkata demikian.
"Aku bukan bermaksud jahat padamu. Kalau sudah begini siapa yang akan peduli padamu? Ayahmu sudah meninggal, Alvin mendekam di penjara, ke mana lagi kamu akan pergi kalau bukan kepada keluarga kandungmu? Lagipula bukan tanggung jawab Alvin untuk terus menjagamu, kalian tidak ada hubungan darah sama sekali. Carilah keluargamu, supaya kamu tidak kesepian dan Alvin tidak akan terus kepikiran bagaimana nasibmu saat dia dipenjara,"
Rena tidak menanggapi. Dirinya masih diam. Tamara segera berlalu pergi, meninggalkan Rena sendirian di rumah itu. Padahal tadi saat ditelpon, Alvin memohon-mohon padanya agar mau membawa serta adiknya tinggal menumpang di apartemennya. Tapi Tamara tidak bisa, Rena hanya akan jadi beban, ia juga berpikir jika Rena itu bukan adik kandungnya Alvin, sama sekali bukan urusannya untuk peduli dengan nasib gadis itu.
"Keluarga kandung katamu? keluarga kandungku sudah membuangku, kau memintaku untuk mencari mereka. Hanya di sini aku dianggap ada, hanya di sini keluargaku yang sebenarnya, meski kini aku harus kembali menjadi sendirian," Rena terisak sepanjang hari itu.
Sorenya, Rena menyusul Alvin ke kantor polisi. Sungguh gadis itu tak bisa menggambarkan bagaimana sedih hatinya melihat satu-satunya kakak, satu-satunya keluarga dan satu-satunya tempat bersandar yang ia miliki kini mendekam di balik jeruji besi.
Adik-kakak tak sedarah itu kini duduk berhadapan di sebuah meja di tengah-tengah para polisi yang sibuk dengan kerjaan mereka masing-masing. Alvin turut merasa sedih melihat Rena, sang adik yang datang mengunjunginya di kantor polisi yang bahkan belum mengganti sama sekali seragam SMA-nya.
"Dek, abang minta maaf ya. Abang tahu, abang salah, maaf ya dek,"
"Abang mengakui kalau betul-betul melakukan tindakan korupsi seperti yang dituduhkan?"
Alvin mengangguk pelan, ia pun tak mampu membendung air matanya. Rena semakin sedih saat melihat Alvin mengusap air matanya dengan kedua tangannya yang diborgol.
"Kenapa bang Alvin korupsi dana perusahaan? Bukankah selama ini ayah sama ibu mengajari kita untuk hidup sederhana bang? bersyukur banyak tidaknya rezeki kita,"
"Iya dek abang menyesal," Alvin hanya mampu terisak pelan, sementara Rena tak lepas menatap kedua mata Alvin yang benar-benar menunjukkan penyesalan yang mendalam.
"Sebenarnya awalnya abang terdesak biaya pengobatan ayah di rumah sakit. Abang tidak tahu bisa dapat uang di mana untuk membayar biaya operasi ayah, akhirnya abang melakukan korupsi itu untuk bisa melunasi tagihan selama ayah dirawat di rumah sakit,"
"Bang Al sadar tidak, itu uang haram," Rena sungguh menyayangkan. Mungkin saja karena uang haram itu, penyakit ayah mereka tak kunjung sembuh dan berakhir dengan kematian.
"Abang tahu, tapi abang tidak punya pilihan lain dek. Keluarga kita tidak kaya raya, sanak saudara ayah ataupun ibu tidak yang bisa membantu untuk memberi pinjaman,"
Rena menatap kakaknya penuh rasa kasihan. Alvin sungguh memikul beban yang berat sebagai anak sulung dalam keluarganya, ayah mereka jatuh sakit, ia yang harus memutar otak untuk mencari biaya melunasi tagihan rumah sakit. Sementara dirinya tidak bisa membantu banyak, penghasilannya berjualan gantungan ponsel via online dan market place pun hanya cukup untuk meringankan kebutuhan pribadinya saja, seperti jajan, membeli buku ataupun kebutuhan penting lainnya yang menunjang sekolahnya.
"Trus Bang Alvin keterusan melakukannya?"
"Iya, abang berpikir hanya sedikit tidak akan ketahuan kok. Tapi ternyata, sekarang abang sudah tertangkap, abang sudah membuat bos abang Pak Baskara marah besar,"
Rena menghela nafasnya yang berat.
"Abang siap kok menerima hukuman ini. Hanya, abang minta maaf dek ninggalin kamu sendiri sekarang,"
Rena hanya diam dan terisak pelan. Sejujurnya ia memang tidak siap jika harus hidup sendirian. Sejak lahir ia sudah ditinggal oleh orang tua kandungnya sendiri, dan sekarang ia harus hidup sebatang kara.
"Dek, apa Tamara tadi datang ke rumah? Kenapa dia tidak ikut dengan kamu jenguk abang di sini?" Tanya Alvin kemudian.
Rena menghapus lebih dulu air matanya sebelum menjawab, "Bang, tidak usah lagi sebut nama Kak Tamara. Dia tidak akan pernah datang menjengukmu di sini,"
Alvin cukup kaget, "aku tahu aku ini salah dek, tapi apa dia tidak menyadari kalau aku selama ini sudah banyak berkorban buatnya, aku memberinya kemewahan yang dia inginkan," Alvin tampak begitu frustasi dan kecewa.
"Maksud Bang Alvin apakah memberi Kak Tamara barang-barang mewah itu dari uang hasil korupsi?"
Alvin sungguh malu mengakui hal itu. Ia mengangguk pelan menatap adiknya penuh rasa penyesalan.
"Astaghfirullahaladzim, Bang Alvin," Rena betul-betul kecewa.
"Aku mengerti kalau Tamara kecewa, tapi setidaknya dia mengerti aku hanya ingin membahagiakan dia dengan memenuhi apa saja yang dia minta, aku sangat cinta padanya, kamu tahu kan?"
"Bang, uang korupsi itu tidak akan berkah sedikitpun. Bang Alvin lihat, ayah mati pada akhirnya walaupun biaya rumah sakit dan pengobatannya lunas. Dan Kak Tamara akhirnya memilih meninggalkan Bang Alvin setelah tahu kalau Bang Alvin harus mempertanggung jawabkan tindak pidana korupsi ini,"
"Abang sangat menyesal dek, sungguh,"
Rena membuang pandangan, tak ingin menatap Alvin walaupun ia merasa iba dengan penderitaan yang dialaminya.
"Tamara benar-benar brengsek!" kesal Alvin
"Sudahlah bang, lupakan saja Kak Tamara. Setidaknya abang bersyukur lewat musibah ini, abang jadi tahu sifat aslinya dia," ucap Rena yang menyemangati sang kakak agar tidak perlu sedih memikirkan Tamara.
"Tapi Tamara itu satu-satunya harapanku supaya dia mau menemani kamu tinggal bersamanya selama abang dipenjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatan ini,"
"Aku tidak apa-apa kak hidup sendiri, mungkin awalnya terasa berat, tapi pasti akan terbiasa juga," pada akhirnya Rena hanya bisa berkata demikian. Ia harus siap hidup sendiri di rumah mereka.
Alvin benar-benar marah dan kecewa memikirkan Tamara, kedua tangannya yang diborgol sampai mengepal di bawah meja, menahan gejolak amarahnya.
"Jadi dia datang hanya untuk mengambil perhiasan itu?"
Rena hanya mengangguk saja.
"Aku benar-benar bodoh!" Alvin mengumpat ke dirinya sendiri, "perhiasan itu aku beli dengan uang tabungan dari gaji abang, rencananya itu adalah mas kawin buat dia. Semudah itu aku percaya pada wanita j*lang itu, dia bahkan tidak sudi untuk mengajakmu tinggal bersamanya, seandainya saja aku tidak memberitahunya soal perhiasan itu, kamu bisa jual dan gunakan untuk membiayai hidup kamu selama abang dipenjara,"
"Sudahlah bang, harta masih bisa dicari. Biarkan saja, aku yakin perempuan seperti Kak Tamara, pasti akan mendapatkan hukumannya dari yang kuasa. Bang Alvin tidak perlu khawatir, aku masih ada tabungan kok,"
"Dek, kamu ambil buku tabungan abang di rumah ya, nanti kamu jenguk abang lagi dengan membawa surat kuasa, supaya kamu bisa mencairkan tabungan abang di bank. Awalnya sebagai modal nikah abang dengan Tamara, tapi abang akan berikan semuanya buat kamu bertahan hidup sampai abang bebas dari penjara,"
Rena mengangguk. Setidaknya ia bangga dengan sang kakak yang berbesar hati mau mengakui dan mau mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menerima hukuman penjara.
"Sekarang aku sudah tidak marah bang. Aku bangga pada Bang Alvin karena mau mengakui dan menerima hukuman atas perbuatan yang telah Abang lakukan,"
Alvin merasa terharu, "tapi dek, kamu perlu tahu kalau nilai korupsi abang itu tidak sampai menyentuh angka milyaran rupiah,"
"Benarkah bang?" Rena menatap kaget. "Apa abang juga difitnah?"
"Sepertinya begitu. Abang berani bersumpah dek, total korupsi abang itu tidak melebihi dari lima ratus juta. Abang kagetlah waktu penyidik bilang kalau nilai total korupsi abang sampai dua milyar. Gila apa! Asal tahu aja, Tamara pernah membujukku untuk membelikan dia mobil baru, tapi aku menolak, aku tidak mau lagi mencuri uang perusahaan,"
"Astaghfirullah bang. Aku akan berusaha ya bang cari bantuan hukum, aku akan berusaha sewa pengacara untuk abang," Rena berjanji, walaupun ia tidak tahu akan dapat uang dari mana. Ia harap uang tabungan Alvin di rekeningnya cukup untuk menyewa jasa seorang pengacara.
Alvin terdiam. Sebenarnya ia tahu siapa orang yang paling bertanggung jawab atas kerugian keuangan di perusahaan. Alvin memang bersalah, tapi apakah harus ia menanggung semua kesalahan yang tidak diperbuatnya? Namun ia tak bisa gegabah membocorkan kepada kepolisian tentang orang yang juga bersalah dalam kasus korupsi ini. Ia tidak bisa gegabah membuka mulut, sebab ia memikirkan keselamatan Rena di luar sana.
"Tidak perlu sewa pengacara dek," ucap Alvin kemudian.
"Kenapa bang? Abang mau dihukum atas perbuatan yang bukan abang lakukan?"
"Abang benar-benar korupsi dek,"
"Iya, tahu. Tapi abang tadi menyangkal bilang korupsi abang tidak sampai milyaran. Kita harus cari pelaku yang sudah memfitnah abang, aku tidak mau di luar sana dia masih bebas berkeliaran sementara Bang Alvin harus menghabiskan hari-hari di sini, menanggung hukuman yang seharusnya dia juga merasakannya," Rena sungguh tidak ikhlas jika sang kakak memilih sabar dan pasrah saja menjalani hukuman penjara.
Alvin merasa terharu pada sikap tegas adiknya, ia tahu Rena bukanlah adik kandungnya. Makanya dulu di saat masih kecil, di awal-awal ia tidak pernah berlaku baik kepadanya karena berpikir ia tak harus sayang pada adik yang bukanlah saudara kandungnya. Dan kenakalannya kepada Rena semakin menjadi ketika ia menyadari bahwa gadis itu merebut banyak perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Alvin cukup tahu jika orang tuanya sangat mendamba kehadiran seorang anak perempuan, tapi Tuhan hanya mencukupkan dengan kelahiran Alvin saja sebagai anak tunggal.
"Bang Alvin, aku serius," Rena membuyarkan Alvin yang mengenang masa-masa kecilnya dulu bersama Rena.
"Tidak perlu dek. Bukan tanpa alasan Abang melarang kamu, abang hanya ingin melindungi kamu, abang takut kamu kenapa-napa," Alvin menaikkan kedua tangannya yang diborgol, ia lalu meraih tangan Rena dan menggenggamnya. "Rena, kamu janji sama kakak ya, jaga dirimu baik-baik, dan jangan pernah berpikir untuk sewa pengacara membela abang. Abang akan terima berapa tahunpun abang akan dipenjara di sini,"
"Tapi bang, kebenaran harus ditegakkan,"
Alvin tersenyum kecut, "kamu tidak akan pernah bisa menegakkan kebenaran kalau tidak punya uang dan kekuasaan, dek. Yang penting kamu memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup selama abang di penjara,"
Rena tak bisa berkata-kata lagi.
"Kamu janji ya, jangan pernah sewa pengacara. Ingat baik-baik, abang tidak akan pernah memaafkan diri abang sendiri kalau kamu sampai celaka, jadi kalau kamu sayang sama abang, janji untuk dengerin kata-kata Abang ya?" Alvin seolah sedang berbicara dengan seorang anak kecil.
Rena pun mengangguk, "janji bang," ia bisa apa. Ia tak punya uang dan juga kekuasaan untuk membela sang kakak, menyeret orang yang paling bertanggung jawab atas kerugian keuangan perusahaan.
"Abang pasti belum makan ya, ini aku bawain makanan," Rena mengalihkan pembicaraan dengan membuka ranselnya dan mengeluarkan kotak bekalnya yang berisi sandwich buatannya. Sandwich itu tadinya ingin ia bawa ke sekolah, tapi seharian ini ia tak bisa ke sekolah.
Alvin menatap terharu, ia lalu memakan sandwich buatan sang adik yang terasa begitu lezat dengan kedua tangannya yang diborgol.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!