NovelToon NovelToon

Manipulatif

Kembali

Ada begitu banyak hal yang ku khawatirkan. Dan ini membuat ku tertekan. Aku merasa aku pernah mengalami ini dan jika terus saja seperti ini aku takut bahwa aku akan mati di tangan kembaran ku sendiri dan juga teman-temannya karena telah mengganggu orang yang mereka cintai.

"Non, kita sudah sampai rumah." Ucap mang Nurdin.

"Iya, mang. Makasih ya." Ucapku sambil tersenyum.

"Sama-sama, non."

Aku turun dari mobil dan melihat rumah yang sudah lama tak ku tempati.

Tidak ada siapa-siapa, ayah tak ada di rumah dan Gino pin tak ada di sini. Meski kami kembar tetapi kami tak dekat bahkan dia membenciku.

Awalnya ku pikir kenapa dia membenciku, padahal aku enggak ada salah apa-apa sama dia. Nyatanya aku memang mempunyai banyak salah padanya.

Dan semua itu berawal dari ayah kami sendiri. Dia menciptakan jarak antara kami sehingga samapi dewasa pun Gino menganggap ku sebagai saingannya buka saudaranya.

"Non, kenapa diem disini aja? Enggak masuk ke kamar, istirahat?" Tanya bik Zia.

Aku menyalaminya dan dia terkejut akan hal itu. Dan yah ku akui dulu aku tak beradab pada orang yang lebih tua dariku. Sehingga banyak orang yang menunggu kematian ku.

Ku kira itu bukan sekedar mimpi biasa tetapi gambaran tentang masa depan ku. Jadi, aku mau merubah yang harusnya ku rubah.

"Gimana kabar bibik?" Tanyaku sambil memeluknya.

Aku terkekeh karena merasa bahwa bik Zia bingung harus merespon bagaimana padaku.

Ya wajar saja sih karena kami sudah lama tak berinteraksi. Sejak lulus SD aku sudah di buang ke asrama oleh ayah.

"Kabar bibik, baik." Jawabnya kikuk.

Aku melepaskan pelukannya dan pamit ke kamar. Dan kamar ini sama sekali tak berubah ketika terkahir kali aku meninggalkannya.

Aku merebahkan tubuh ku. Jujur saja aku ingin segera pergi dari sini. Tetapi, aku tak bisa karena aku tak mungkin melawan ayahku.

"Mari kita hidup dengan damai seperti lerry."

Aku tertidur karena aku benar-benar merasa sangat lelah. Samar-samar aku mendengar suara pintu terbuka dan aku membuka mataku.

Di depanku ada Gino yang sedang menatap ku penuh dengan kebenciannya.

Apa aku harus balik menatap dengan kebencian? Oh, tentu saja tidak. Aku langsung berdiri dan memeluknya sangat erat dan aku putuskan aku akan berhubungan baik dengannya supaya tak ada alasan dia membunuh ku.

"Aku kangen banget sama, kakak." Ucapku lirih.

Gini hanya diam dan tak membalas pelukan ku. Aku memeluknya cukup lama hingga dia melepaskan pelukan ku secara paksa hingga aku terjatuh ke lantai.

Dia menatap ku dan aku berdiri sambil menatapnya balik.

"Jangan panggil gue kakak!" Sinisnya.

Diam-diam aku tersenyum samar. Rasanya aku ingin sekali tertawa tetapi aku tahan karena tak ingin di anggap meremehkannya.

Siapa juga yang mau menganggapnya kakak? Aku tak menganggapnya sama sekali. Disini aku hanya bertahan untuk hidup. Dan setelah berhasil lulus SMA maka aku akan kuliah di luar negeri supaya terbebas dari orang-orang yang menjengkelkan ini.

"Dan kenapa ayah mendaftarkan lo di sekolah yang sama sih? Pasti Lo yang minta ya?" ketusnya.

Aku menggeleng, "enggak kok."

Gini memandang jijik kearah ku, "enggak usah sok lembut deh. Jijik gue." Dia terlihat merinding mendengar suaraku.

Aku hanya diam dan terus menatapnya dan aku tahu dia tak nyaman dengan apa yang aku lakukan.

"Jangan sok polos, jangan sok kenal kalau di sekolah. Jadi, jauh-jauh dari gue!" Kesalnya.

Gini pergi dari kamar ku dan menutup pintu dengan suara yang menggelar.

"Kenapa dulu aku terlalu berharap dapat kasih sayang dari dia. Kalau ingat tentang hal itu bikin aku jijik sama diri sendiri."

Gino memacu sepeda motornya menuju markas geng Insta.

"Kenapa Lo?" Tanya Regan dengan tatapan heran.

Regan adalah ketua geng, wakilnya Gino. Sementara itu ada tiga orang anggota inti lainnya seperti Bian, Asen dan Morgan.

"Iya datang-datang muka masam kayak gitu? Ada masalah?" Tanya Bian sambil memberikan minum pada Gino.

Gino menerimanya dan langsung meneguknya, "Gina balik ke rumah dan dia satu sekolah sama gue." Jawab Gino.

"Gina? Kembaran Lo?" Tanya Morgan memastikan.

Gino hanya mengangguk. Dia merasa sangat malas membahas mengenai Gina. Tetapi, pikirannya kembali di saat Gina memeluknya dengan erat seolah-olah ia sangat merindukan Gino.

"Gimana dia? Cantik enggak?" Heboh Asen.

Pertanyaan itu langsung mendapatkan jitakkan dari Regan. Asen memegangi kepalanya yang berdenyut.

"Enggak usah mulai deh. Dia tuh adeknya Gino. Kalau Lo jadikan dia mangsa Lo selanjutnya bakalan abis Lo." Ancam Regan.

"Biarin aja sih. Kalau Lo mau PHP ke dia juga enggak papa. Rusak sekalian pun enggak papa." Santai Gino.

Semuanya terkejut. Mereka tahu bahwa hubungan Gino dan Gina tak baik. Tetapi, bukankah akan sangat aneh bila membiarkan saudaranya sendiri di rusak oleh sahayanya sendiri?

"Lo gila! Walaupun Lo benci sama dia, dia tetep adek Lo." Heran Bian.

"Hooh, kalau nama dia jelek kan otomatis nama Lo juga keseret bego!" Komen Regan.

Gono menatap teman-temannya dengan malas, "biarin aja sih. Gue enggak perduli." Ketus Gino.

Regan duduk di samping Gino dan menghela nafas panjang, "terserah deh. Mendingan kita bahas tentang balapan malam ini. Siapa yang mau maju?" Tanya Regan serius.

"Taruhannya apa?" Tanya Gino mode serius.

"Uang seratus juta dan motor." Jawab Bian santai.

"Gue aja yang maju." Ucap Gino.

Mereka berlima datang ke area balapan dan disini sudah sangat ramai dari berbagai geng.

Setelah pendaftaran dan sekarang adalah saatnya untuk balapan. Ada 5 orang yang balapan dan semuanya memiliki kemapuan yang tak dapat di remehkan.

Balapan di mulai dan Gino memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Saingan terberatnya adalah Tirta dari geng BlacBlack. Mereka berdua saling bersaing cukup sengit hingga akhirnya Gino memenangkan balapan.

"Curang tuh pasti." Sindir Rehan anggota geng Lipan.

"Enggak usah fitnah!" Tak terima Gino.

Suasana mulai tak kondusif sehingga baku hantam antar geng tak dapat terhindarkan.

Mereka saling serang secara berutal bahkan ada yang menggunakan senjata tajam.

"Orang lemah macam apa tuh yang pakai sejam!" Ejek Sean.

Orang-orang yang membawa senjata pun semakin naik pitam hingga secara bringas mereka mulai menyerang siapa saja yang mengganggunya.

Hingga suara sirine polisi membuat mereka panik dan pergi meninggalkan lokasi kejadian.

Mereka berusaha untuk membantu teman mereka yang terluka parah dan ada juga yang mengamankannya dirinya sendiri supaya terhindar dari polisi.

"Balik ke rumah masing-masing!" Tegas Regan.

"Woke bos." Setuju Gino, Sean, Bian dan Morgan.

Sejujurnya Gino malas untuk pulang tetapi karena ini sudah pukul tiga subuh maka ia pun memutuskan untuk pulang ke rumah.

Si Cupu Aslinya Suhu

Aku mendengar suara motor masuk kedalam garasi dan aku yakin bahwa Gino baru pulang dari balapan.

Aku pura-pura pergi ke dapur untuk mengambil minum setelah itu aku ingin kembali ke kamar ku dan langkah ku terhenti ketika aku melihat Gino pulang dengan keadaan yang membuat ku senang.

"Ngapain Lo?" Sinis Gino.

Ngapain? Ya jelas menunggu mu. Melihat wajah mu yang babak belur membuat ku bahagia. Karena aku tak bisa memukul mu maka kamu haus sering-sering di pukuli sama orang.

"Ambil minum. Kamu kenapa kok mukanya kayak gitu?" Tanyaku.

Aku memasang wajah panik dan khawatir dan mendekatinya.

"Bukan urusan Lo!" Bentaknya.

"Ini minum dulu." Ucapku sambil menyodorkan gelas.

Dan dia menepis tanganku kasar sehingga gelas yang ku pegang pun terlepas dari genggaman ku.

"Enggak usah sok perduli! Lo pasti ketawa kan dalam hati." Sorot mata Gino terlihat marah.

Sial, hampir aja aku mau ketawa. Tapi, yang dia katakan enggak salah sih. Aku rasanya pengen ketawa tapi enggak mungkin aku ketawa depan dia. Dia enggak berhak lihat tawaku yang manis ini.

"Aku obati ya." Aku bergegas pergi mengambil kotak P3K dan buru-buru menghampiri Gino yang masih berdiri di tempatnya.

"Duduk-duduk." Ajak ku.

Gino awalnya menolak tetapi anehnya dia malah nurut sama aku. Kalau dia nurut kan enak. Jadi aku sama dia enggak perlu adu bacot setiap hari.

Melihat Gino yang hanya diam saja, aku pun langsung membersihkan lukanya dan mengobatinya.

"Nggrokkk."

Begitulah kira-kira suara dia ngorok. Aku yang serius ngobatin dia, eh dia malah tidur dengan tampang tak berdosa.

Padahal dulu dia yang bunuh aku. Kali ini aku enggak akan biarin dia bunuh aku lagi.

"Kak, tidurnya di kamar aja. Jangan disini nanti lehernya sakit." Ucapku mencoba untuk membangunkannya.

Memang dasar kebo mau di bangunin pakai cara apa aja susah. Jadinya aku tinggalin dia aja.

Awalnya aku mau langsung tidur tapi misalnya besok dia bangun pasti bakalan mikir kalau aku sengaja tinggalin dia.

Karena aku ingin terlihat baik maka aku turun lagi dan membawa bantal serta selimut untuknya.

"Semoga besok aku bisa bersantai tanpa adanya suaranya." Harap ku.

Aku pun langsung terlelap dan kali ini aku ingin tidur dan tidur.

Keesokan paginya aku terbangun gara-gara suara Gino yang mengendor pintu kamarku.

Aku sih males ya. Jadi, aku milih untuk tarik selimut dan lanjut tidur.

Brakkkk

Pintu dibuka dengan paksa sampai engsel pintu rusak. Dan aku pun langsung duduk karena kaget.

"Dibangunin enggak bangun-bangun! Simulasi mati!" Ejeknya.

"Kenapa?" Tanyaku menahan ngantuk.

"Sekolah!" Tegasnya.

Hah? Aku mengucek mataku dan mengorek telinga ku. Aku enggak mungkin salah denger kan? Sekolah? Harusnya kan besok aku sekolahnya. Hari ini aku masih harus istirahat.

"Besok aku sekolahnya." Ucapku sambil naik ke atas kasur lagi. Tapi, sialnya Gino menahan tanganku sehingga aku harus berpisah dengan kasur yang baru temui belum 24 jam.

"Jangan malas. Lo harus sekolah hari ini. Dan berangkat bareng gue." Ucapnya.

Aku langsung melek detik itu juga. Padahal kita enggak sedekat dan seakrab itu sampai berangkat sekolah bareng.

Biasanya juga dulu aku yang mohon-mohon untuk berangkat bareng tapi dia selalu nolak dengan alasan yang enggak masuk akal.

"Kalau enggak Lo, bakalan gue aduin ke ayah." Ancamnya.

Mendengar kata ayah aku langsung merinding. Di masa lalu dan masa depan aku selalu saja takut padanya.

"Iya, tunggu ya." Ucapku.

"Gue tunggu di bawah." Setelah itu Gino pergi.

Dan aku langsung bersiap-siap. Mandi, ganti seragam, pakai kaus kaki, sepatu dan apa lagi yang kurang?

"Oh iya buku. Aku bawa buku betapa ya? Satu aja cukup kali ya? Eh kalau satu aneh kan ya?"

Aku asal memasukkan buku kedalam tas dan langsung turun ke bawah untuk ikut sarapan dengan Gino.

"Ayah, mana?" Tanyaku yang tak melihat ayah.

"Di luar negeri." Jawabnya cuek.

Aku mengangguk dan ikut sarapan bersama dengan Gino.

Setelah sarapan aku berangkat bersamanya. Awalnya aku menolak tapi dia maksa. Ya udah deh jadinya berangkat bareng sama dia.

"Siapa tuh cewek yang bareng Gino?" Tanya Jihan pada Zeta.

Zeta hanya diam dan mengamatinya Gino yang kini sedang membantu Gina melepaskan helem.

"kenapa helem bisa nyangkut di kepala Lo sih." Heran Gino.

Dasar kakak enggak punya perasaan dia main asal tarik aja nih helem sampek kepalaku rasanya mau ikut kecabut.

"Nah, gini kan dari tadi." Tawanya setelah berhasil melepaskan helem dari kepala ku.

"Mereka kelihatan serasi. Apalagi Gino yang ketawa karena cewek itu. Kan enggak biasanya Gino ketawa. Apalagi sampek selepas itu." Komentar Jihan.

Lagi dan lagi Zeta hanya mengangguk Gina yang meninggalkan Gino dan Gino yang mencoba untuk berjalan beriringan dengan Gina.

"Ikut gue. Gue anterin ke ruang guru." Ajak Gino.

Aku sih ngikut aja. Aku merasa akrab dengan sekolah ini. Dan hal ini semakin membuat ku yakin bahwa aku tidak berhalusinasi. Aku benar-benar bisa melihat masa depanku, ataupun aku kembali ke masa lalu? Entahlah aku bingung dengan keadaan ini.

"Ini ruangannya. Gue balik kelas dulu."

Aku masih berdiri di sini dan Gino udah menghilang entah kemana.

Dan pada akhirnya aku bertemu dengan wali kelasku dan mengajak ku pergi ke kelas.

"Perkenalkan namaku Gina Marlela. Panggil aja Gina. Asal sekolah ku SMA Raflesia. Salam kenal semuanya, semoga kita bisa akrab." Ucapku memperkenalkan diri.

Semuanya tampak baik-baik saja di awal. Dan aku harus berhubungan baik dengan mereka supaya ketika aku berbuat salah atau ada orang yang mencoba menjelekkan ku, maka mereka akan percaya padaku.

"Gina, kamu duduk di samping Jino." Ucap Bu Ani.

"Baik, Bu." Ucapku sambil tersenyum manis.

Aku duduk bersama dengan Jino. Cowok ini pura-pura cupu padahal dia suhu dan dia anak orang kaya. Bapaknya aja mafia.

"Salam kenal Jino." Ucapku sambil mengulurkan tangan.

Dia menatap tanganku lama, samapi pegel rasanya.

"Jino." Ucapnya tanpa menjabat tangan ku.

Aku tetap tersenyum walaupun aslinya aku sangat kesal padanya.

Selintas bayangan muncul di ingatan ku. Bahwa dulu aku juga ikut menindaknya. Bahkan setelah aku mati di tangan Gino dan geng Insta, Jino mengambil jasad ku dan melemparkan ke kandang harimau kesayangannya.

"Kenapa?" Tanya Jino yang risih karena sedari tadi tanpa ku sadari aku memandanginya.

"Em, boleh lihat buku paketnya enggak?" Tanyaku sambil tersenyum.

Jino tak menjawab tetapi dia menggeser bukunya.

"Makasih." Ucapku.

Dan dia hanya diam saja. Ku rasa wajar saja dia di buli oleh orang-orang karena sifat-sifat ini. Ya walaupun penampilannya cupu, dia enggak aka di buli kalau dia enggak nyebelin kayak gini.

Wajar Sih

Ketika bel istirahat berbunyi, ada beberapa orang yang menghampiri meja ku. Dan dua orang yang kini sedang menatapku adalah orang yang melatarbelakangi kematian ku.

"Gina." Ucapku sambil mengulurkan tangan ku pada Zeta.

"Zeta." Sambutnya.

Kemudian aku mengulurkan tangan pada Jihan, "Jihan." Sambutnya malas.

"Ada hubungan apa Lo sama Gino?" Selidik seorang perempuan yang tiba-tiba nongol.

Ya dia adalah Marisa. Orang yang mengompori ku untuk melakukan tindakan di luar nalar pada Zeta.

"Aku kembarannya." Jawab sambil menatapnya dengan tatapan polos.

"Oh, kembaran Gino. Pantesan mirip." Batin Jihan.

"Kalau dia kembarannya Gino, gue harus baik-baikin dia dong." Batin Marisa.

"Oh, ikut kita ke kantin." Ajak Marisa sambil menarik tangan ku.

"Gina, Lo di panggil sama Bu Welti." Ucap Digo, ketua kelas.

"Oh, oke. Makasih ya." Ucapku.

"Sama-sama."

"Maaf ya, aku pergi dulu." Pamit ku.

Aku buru-buru pergi ke ruangan Bu Welti. Dan aku sudah mendung apa yang akan terjadi. Ya dia akan menawarkan ku ikut olimpiade Biologi. Dan ini adalah awal keretakan antara aku dan Morgan.

"Ibu sudah mendengar tentang mu. Dan ini ingin kamu mengikuti olimpiade Biologi." Ucapnya setelah aku duduk.

"Maaf Bu sebelumnya. Saya kan siswi baru disini. Jadi, aneh kalau tiba-tiba saya di tunjuk sebagai salah satu perwakilan sekolah untuk mengikuti olim Bio." Tolak ku secara halus.

Untuk menghindari perdebatan dengan Morgan lebih baik aku menghindar dan tak ikut campur dengannya.

"Kami sudah membicarakannya dengan kepala sekolah dan ada ayah mu juga yang menyarankan kami untuk kamu ikut dalam olimpiade kali ini." Jelas Bu Welti.

Seberapa keras aku mencoba sepertinya aku tak bisa merubah takdir.

"Em, saya akan ikut olimpiade tetapi bukan biologi Bu. Saya ingin ikut olimpiade matematika, bagaimana?" Tawar ku.

Bu Welti terlihat ragu padaku. Dan aku mencoba untuk meyakinkannya dengan berbagai cara.

"Bu, saya jago itung-itungan. Dan saya juga selalu menang lomba matematika. Piala saya berjejer di rumah." Ucapku.

Bu Welti masih saja berpikir, "baiklah kamu yang akan mewakili sekolah kita untuk olimpiade matematika." Ucapnya.

Ternyata aku bisa merubahnya. Dan ku harap aku tak akan bertemu dengan Morgan. Dia beneran arogan banget.

Dulu dia mikir bahwa aku sengaja mengalah padanya dan hal itu membuatnya membenci diriku.

"Pembimbing kamu, pak Boni. Kamu bisa temui beliau." Ucap Bu Welti.

"Baik, Bu. Terimakasih." Ucapku.

Setelah itu aku langsung menemui pak Boni untuk berkonsultasi. Dan yah tidak buruk karena aku sudah mengetahui soal-soal yang akan di ujikan nanti.

Cukup lama aku berkonsultasi dengan pak Boni. Bahkan ketika aku memasuki kelas di sana sudah ada Bu Welti.

"Permisi, Bu." Ucapku sambil mengetuk pintu kelas.

Bu Welti yang sedang menjelaskan pelajaran pun langsung melihat kearah ku.

"Masuk." Ucapnya.

Aku pun langsung masuk dan duduk di tempat ku.

"Bu, biasanya kalau ada yang telat masuk enggak dibolehin masuk ke kelas. Kok Gina boleh masuk?" Tanya Reza tak terima.

Semua mata langsung menatap ku. Termasuk Jino yang melirik sekilas kearah ku.

"Dia udah izin sama ibu. Dia konsultasi sama pak Boni untuk olimpiade Matematika. Awalnya Gina mau ibu rekrut ke olim Bio tapi dia nolak dan mau ke matematika." Jelas Bu Welti.

Semuanya terkejut dan menatap ku lagi, "hehehe." Aku cuma bisa nyengir sambil garuk tengkukku.

"Udah, kita lanjutin pelajarannya." Ucap Bu Welti.

Asen sedari tadi memainkan kursinya sehingga membuat Gino merasa kesal.

"Ngapain sih?"

"Gue, tuh penasaran sama adek Lo. Kenapa dia enggak ke kantin sih?" Tanya Asen pada Gino yang kini sedang menatapnya tajam.

"Dia di panggil sama Bu Welti tadi." Jelas Morgan.

"Ngapain?" Tanya Bian yang ikutan nimbrung.

Morgan sedikit ragu tetapi tadi ketika ia masuk ke ruang guru ia samar-samar mendengarkan percakapan antara Gina dan Bu Welti mengena olimpiade Biologi.

"Dia ditawarin ikut olimpiade Biologi." Jawab Morgan.

Mereka tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Morgan termasuk Regan.

"Padahal baru masuk tapi udah di tawarin ikut olim?" Heran Regan.

"Si Gina tuh jenius. Banyak piala dia berjejer di rumah." Keluh Gino.

"Gue kira cuma panjangan doang. Nyatanya itu beneran piala." Komen Asen.

Mereka sering main ke rumah Gino dan mereka melihat banyak piala di sana. Dan piala itu bukanlah piala kaleng-kaleng.

"Udahlah enggak usah bahas dia lagi. Males gue." Kesal Gino.

Kelas mereka sekarang ini sedang jam kosong. Dan bagaimana bisa mereka berlima sekelas? Ya, karena mereka mau sekelas. Karena sekolah ini adalah swasta maka dengan mudahnya mereka berlima meminta untuk di satukan.

"Entar kita main ke rumah Lo ya." Ucap Asen tiba-tiba.

Gino menaikan sebelah alisnya, "ngapain main ke rumah gue?"

Asen cuma cengengesan dan Bian tahu kemana arah otak Asen. Si Asen pasti pengen modus sama Gina.

"Ya, enggak papa. Numpang makan." Jawab Asen santai sambil menepuk bahu Gino.

"Dia tuh pengen ketemu sama adek Lo." Ucap Morgan dingin.

Gino menghela napas panjang, "kalau mau ketemu ya samperin aja. Nanti kan bakalan ketemu juga di parkiran. Ngapain harus ke rumah gue segala sih." Heran Gino.

Asen malah tertawa, "ya gue mau ngobrol banyak lah sama dia." Jelasnya.

"Terserah." Ketus Gino.

Regan melirik Morgan yang tampangnya seperti ingin memakan orang.

"Kenapa Lo?" Tanya Regan.

Mau tak mau semua langsung menatap kearah Morgan.

"Enggak papa." Jawa Morgan.

"Apa mungkin karena Gina bakalan ikut oleh Biologi makanya Lo khawatir bakalan kalah?" Tanya Bian dengan nada bercanda.

Dan yang sedang di berandai malah memasang wajah horor membuat Bian langsung diam.

"Gue enggak takut kalah ya. Lagian di kamus gue enggak ada tuh yang namanya kalah." Kesal Morgan.

Asen menendang pelan kursi Bian, "jangan pancing dia." Ucap Asen dengan gerakan bibir tanpa bersuara.

"Tapi, gue denger-denger sih si Gina memang pinter banget. Lo kan lihat sendiri berapa banyak piala yang terpampang di rumah Gino." Ucap Regan yang disambut tatapan tajam oleh Asen.

"Nih anak malah nambahin minyak kedalam api." Batin Asen.

"Adek Lo belajar setiap hari atau gimana kok bisa pinter banget?" Tanya Bian sambil cengengesan.

Morgan yang kesal diam-diam memekakkan telinganya.

Gino berpikir sejenak dan dia sama sekali tak tahu bahwa Gina bisa sepintar itu karena mereka berpistol sejak SD dan baru sekarang mereka ketemu lagi.

"Gue enggak tahu. Tapi, yang jelas dia dari kecil memang suka banget belajar. Waktu dia belum pindah ke asrama, dia selalu belajar sampek pagi. Saking sukanya belajar dia enggak ada waktu untuk main. Dia selalu bimbel dan bimbel." Gino mencoba mengingat tentang Gina.

"Masak sih?" Ucap Morgan tak percaya.

Mereka berempat melihat kearah Morgan. Bian mencoba menahan tawanya. Karena dia yakin bahwa Morgan sangat penasaran dengan sistem belajar yang digunakan oleh Gina.

"Iya." Jawab Gino malas.

"Kalau gitu wajar aja sih kalau dia pinter." Batin Morgan.

Ada sesuatu yang menganggu pikiran Morgan, untuk apa Gina mati-matian belajar samapi ia tak memiliki waktu untuk bermain?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!